Minggu, 30 Desember 2018

Doa Doa yang Disunnahkan

Doa Mendengar Petir.

سُبْحَانَ الَّذِيْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمِدِهِ وَالْمَلاَئِكَةُ مِنْ خِيْفَتِهِ

Subhaanalladzi yusabbihur ra’du bihamdihi wal malaaikatu min khiifatihi

Maha Suci Allah yang halilintar bertasbih dengan memujiNya, begitu juga para malaikat, karena takut kepadaNya

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/18975-doa-ketika-mendengar-petir.html
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Doa ketika Hujan.

Dari Ummul Mukminin, ’Aisyah radhiyallahu ’anha,

إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ  اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, ”Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat]”. (HR. Bukhari no. 1032)

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/3759-doa-ketika-turun-hujan.html
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Doa melunasi hutang sepenuh gunung

1. Doa pertama:

اَللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلكَ مِمَّنْ تَشَاءُ، وُتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ، بِيَدِكَ الخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، رَحْمَـانَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَرَحِيْمَهُمَا، تُعْطِيهِمَا مَنْ تَشَاءُ وَتَمْنَعُ مِنْهُمَا مَنْ تَشَاءُ، اِرْحَمْنِي رَحْمَةً تُغْنِينِي بِهَا عَنْ رَحْمَةِ مَنْ سِوَاكَ


Ya Allah, Pemilik Seluruh Kekuasaan. Engkau beri kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau mencabutnya dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau memuliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau menghinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu-lah segala kebaikan, dan Engkau Maha Berkuasa Atas Segala Sesuatu. Wahai Penyayang dan Pengasih di Dunia dan Akhirat, Engkau memberi keduanya (dunia dan akhirat) kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan menahan keduanya dari siapa yang Engkau kehendaki. Rahmatilah aku dengan rahmat-Mu yang menjadikanku tak lagi memerlukan belas kasih selain-Mu.”

(Diriwayatkan oleh At-Thabrani dalam Al-Mu’jamus Shaghier dengan sanad yang dianggap jayyid oleh Al-Mundziri. Sedangkan Syaikh Al-Albani menghasankannya; lihat Shahih at-Targhieb wat Tarhieb No. 1821).

2. Doa kedua:

اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

“Allahumak-finii bi halaalika ‘an haroomik, wa agh-niniy bi fadhlika ‘amman siwaak”

Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu. (HR. Tirmidzi no. 3563, hasan menurut At Tirmidzi, begitu pula hasan kata Syaikh Al Albani).

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/9450-doa-melunasi-utang-sepenuh-gunung.html
~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Doa kepasrahan hidup atau mati kepada Allah

اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيًْرا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيًْرا لِي

Allahumma akhiini Maa kaanatil khayatu khairan lii, watawwafani idzakanatil wafatu khairan lii

“Ya Allah! Hidupkanlah aku (panjangkanlah umurku) apabila kehidupan itu lebih baik bagiku dan wafatkanlah aku apabila kematian itu lebih baik bagiku.” [HR. An Nasai]

Di dalam doa ini ada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam mengajarkan tentang kepasrahan. Kita pasrahkan hidup dan mati kepada Allah Al Karim.
~~~~~~~~~~~~~~~~~

Doa kesehatan
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Allahumma ‘afini fi badani. Allaahuma ‘afini fi sam’i. Allahumma ‘afini fi bashari. Allahumma inni a’udzu bika minal kufri wal faqri. Allahumma inni a’udzubika min ‘adzabil qabri laa ilaaha illa anta.

Ya Allah, sembuhkanlah badanku. Ya Allah, sembuhkanlah pendengaranku. Ya Allah sembuhkanlah penglihatanku.

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekafiran dan kefakiran.

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, tiada Tuhan selain-Mu.

~~~~~~~~~~~~~~~~~

Doa ruqyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk orang sakit,

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ مُذْهِبَ الْبَاسِ اشْفِ أَنْتَ الشَّافِى لاَ شَافِىَ إِلاَّ أَنْتَ ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا

ALLAHUMMA RABBAN NAAS MUDZHIBAL BA’SI ISYFI ANTASY-SYAAFII LAA SYAFIYA ILLAA ANTA SYIFAA’AN LAA YUGHAADIRU SAQOMAN.
Artinya:
“Ya Allah Wahai Tuhan segala manusia, hilangkanlah penyakitnya, sembukanlah ia. (Hanya) Engkaulah yang dapat menyembuhkannya, tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dariMu, kesembuhan yang tidak kambuh lagi.” ( HR. Bukhari, no. 5742; Muslim, no. 2191).

~~~~~~~~~~~~~~~~~

Do'a pertolongan setiap pagi dan petang yaitu ucapkanlah:

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا

Ya hayyu ya qoyyum bi rahmatika astaghiits, wa ash-lihlii sya’nii kullahu wa laa takilnii ilaa nafsii thorfata ‘ainin abadan [artinya: Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu, dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata tanpa mendapat pertolongan dari-Mu selamanya].” (HR. Ibnu As Sunni dalam ‘Amal Al-Yaum wa Al-Lailah no. 46, An-Nasa’i dalam Al-Kubra 381: 570, Al-Bazzar dalam musnadnya 4/ 25/ 3107, Al-Hakim 1: 545. Sanad hadits ini hasan sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 227).

~~~~~~~~~~~~~~~~~
Doa memiliki barang baru/baru menikah


Dibaca sambil memegang bagian ubun-ubun istri atau depan kendaraan baru tersebut:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَمِنْ شَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ

"Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan yang Engkau tetapkan padanya, dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan dari keburukan yang Engkau tetapkan padanya".

〰〰〰〰〰〰〰〰

Ruqyah Mandiri

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

                           *كيف أرقي نفسي*
Ustadz Shalahuddin Sunaan al-Sasaki حفظه الله.

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على اشرف الانبياء والمرسلين وعلى آله واصحابه أجمعين: أما بعد:

Meruqyah diri sendiri sangat dianjurkan apalagi ditempat kita tidak ada peruqyah, atau kalaupun ada, kita bingung masalah biaya dll.

Untuk itu kali ini saya akan berbagi mengenai cara meruqyah diri sendiri agar ketika kita, atau orang lain, terindikasi ada gangguan jin kita bisa langsung meruqyah diri sendiri maupun orang lain.

Sebelum melakukan ruqyah mandiri perhatikan adab-adabnya dulu yaitu:

1. Harus dalam keadaan suci/wudhu
2. Menyakini bahwa ruqyah hanya sebagai sebab sedangkankan yang menyembuhkan hanya Allah SWT.
3. Bertobat dari segala bentuk dosa, terutama dosa kesyirikan.
4. Tempatnya harus kondusif. Bebas dari hal-hal yg diharamkan seperti bersih dari gambar-gambar bernyawa, patung, lonceng, anjing, dan suara-suara musik dan nyanyian. Semua ini harus dihilangkan selama-lamanya,bukan waktu ruqyah saja.
5. Bila ada jimat-jimat harus dihancurkan.
6. Duduklah dengan tenang menghadap ke kiblat. Dianjurkan dilakukan setelah shalat.
7. Niatkan dalam hati tujuan meruqyahnya
8. Mulailah dengan memuji Allah SWT dan bershalawat kepada Nabi SAW seperti:

أعوذ باالله من الشيطان الرجيم
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على اشرف الانبياء والمرسلين وعلى آله واصحابه أجمعين.

Lalu perbanyak istighfar bisa 3x atau 100x, lalu baca  hauqalah 3x:

لا حول ولا قوة الا باالله

lalu baca do'a 3x:

يا حي يا قيوم برحمتك أستغيث

"Wahai Zat yang Maha Hidup dan terus menerus mengurus makhluk-Nya dengan rahmat-Mu aku mohon pertolongan".

9. Mulailah membaca ayat-ayat ruqyah dengan khusyu' sambil memegang tempat yg sakit. Kekhusyu'an hanya bisa didapatkan dgn memahami apa yg dibaca. Jadi pahamilah apa yg dibaca dgn baik. Jadilah pembaca yang faham.

Untuk do'a ruqyah bisa dari Al-Qur'an dan hadist sahih dari Nabi SAW.Diantara yg di anjurkan dari Al-Qur'an adalah:

1. Alfatihah
2. Albaqarah:1-5
3. Albaqarah:102
4. Albaqarah:163-164
5. Albaqarah:255-257
6. Albaqarah:284-286
7. Al-Imran:18-19
8. Al-A'raf:54-56
9. Al-Mukminun:115-118
10. Asshoffat:1-10
11. Al-Ahqaf:29-32
12. Ar-Rahman:33-36
13. Al-Hasyr:21-24
14. Al-Jin:1-9
15. Alikhlas, Alfalaq, dan An-Nas.

Adapun dari hadist sahih dari Nabi diantaranya:

1.اَللَّهُمَّ أَذْهِبِ اْلبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ، اِشْفِ وَ أَنْتَ الشَّا فِيْ لاَ شِفَاءَ إِلاَّشِفَا ؤُكَ شِفَاء ًلا يُغَادِرُسَقَمًا.

Allahumaa ‘adzhibil ba’sa robbannas, isyfi wa ‘antasyafiy laa syifaa’a ‘illa syifaa ‘uka syifaa’anlaa yughoodiru saqomaa.

“Ya Allah, hilangkan penyakit ini, wahai Penguasa seluruh manusia, sembuhkanlah ! Engkaulah yang menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, sembuhkanlah dengan kesembuhan sempurna tanpa meninggalkan rasa sakit.”

2. Letakkan tangan ditempat yg sakit lalu baca:

بِسْمِ اللهِ، بِسْمِ اللهِ، بِسْمِ اللهِ،أعُوْذُ بِعِزَّةِاللهِ وَ قُدْ رَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ.

Bismillahi (3x), a’uwdzu bi’izzatillahi waqudrotihi min syarrimaa ajidu wa uhaadziru

“Dengan nama Allah, dengan Nama Allah, dengan nama Allah, aku berlindung dengan keperkasaan Allah dan kekuasaan-Nya dari kejahatan yang aku hadapi dan aku hindari”.

Untuk pemula cukup itu dulu.Yg penting tanamkan keimanan yg kuat bahwa do'a2 diatas hanya sebab saja sedangkan yg menyembuhkan Allah SWT semata.

Selamat mengamalkan.

Selasa, 18 Desember 2018

(2) Kitab Bahjatu Qulūbil Abrār Wa Quratu Uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi al Akhbār

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 10 Rabi’ul Akhir 1440 H / 18 Desember 2018 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 026 | Hadits 26 (bagian 01)
〰〰〰〰〰〰〰
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-26 dsalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhyār) yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Kita sudah sampai pada hadīts ke-26 yaitu hadīts yang diriwayatkan dari Mālik bin Al Huwayrits radhiyallāhu ta'āla 'anhu.

Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ، فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ،وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

"Shalātlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalāt, dan apabila telah datang waktu shalāt maka salah satu dari kalian mengumandangkan adzan untuk kalian, dan hendaklah yang mengimami kalian adalah orang yang paling tua usianya di antara kalian." (Hadīts shahīh riwayat Bukhāri dan Muslim)

Di dalam hadīts ini terdapat tiga pembahasan penting yang berkaitan dengan shalāt.

⑴ Pembahasan pertama terdapat dalam sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:

إِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ، فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ

"Apabila telah datang waktu shalāt, maka salah satu dari kalian mengumandangkan adzan untuk kalian."

Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menjelaskan bahwa dalam lafazh ini (konteks hadīts ini) menunjukkan tentang disyari'atkannya adzan dan menunjukkan wajibnya melakukan adzan, apabila telah datang waktu shalāt.

Dan hadīts ini juga menunjukkan bahwa adzan itu boleh dilakukan apabila telah datang waktu shalāt (setiap shalāt lima waktu).

Adzan dilakukan bila sudah datang waktu shalāt kecuali pada shalāt fajar (shubuh) karena pada shalāt shubuh dilakukan dua adzan.

√ Adzan pertama dilakukan sebelum masuknya waktu shalāt shubuh.

Sebagaimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ

"Sesungguhnya Bilāl beradzan di waktu malam, maka silahkan kalian makan dan minum, sampai ibnu ummi Maktūm mengumandangkan adzan." (Hadīts shahīh riwayat Muslim nomor 1092)

Di sini menunjukkan bahwasanya adzan ketika itu dilakukan oleh Bilāl pertama kali sebelum masuk waktu shalāt, yang tujuannya untuk membangunkan kaum muslimin agar mereka bersiap-siap untuk shalāt dan juga untuk bersahūr bagi yang ingin melakukan puasa.

Hadīts ini menunjukkan diwaktu shalāt shubuh boleh mengumandangkan adzan dua kali, (yaitu) yang pertama sebelum masuknya waktu shalāt, kemudian yang kedua setelah datang waktu shalāt shubuh.

Adapun di waktu shalāt lain, selain shalāt shubuh, maka adzan dilakukan jika telah datang waktu shalāt.

Kemudian dari lafazh hadīts ini, perintah untuk melakukan adzan bersifat fardhu kifayyah.

• Fardhu Kifayyah adalah:

"Suatu amalan yang apabila telah dilakukan oleh salah satu dari kalangan kaum muslimin di tempat tersebut maka sudah tidak wajib lagi bagi yang lainnya."

• Fardhu 'Ain adalah:

"Suatu amalan yang harus dilakukan oleh seluruh kaum muslimin tidak terkecuali apabila telah mencapai status sebagai seorang mukallaf."

Kemudian beliau (rahimahullāh) menjelaskan juga di antara kriteria yang sebaiknya terpenuhi oleh seorang muadzin adalah orang yang memiliki suara lantang dan dia dipercaya sebagai orang yang tahu datangnya waktu shalāt.

Karena tujuan dari adzan adalah memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa waktu shalāt telah datang, maka sangat dianjurkan orang yang mengumandangkan adzan adalah seorang yang memiliki suara yang lantang supaya suaranya bisa didengar oleh kaum muslimin.

Selain itu orang yang mengumandangkan adzan harus orang yang tahu tentang datangnya waktu shalāt.

Konteks hadīts ini menunjukkan bahwasanya adzan ini dilakukan baik ketika tidak dalam keadaan safar maupun saat sedang safar.

Maka apabila sedang safar dan tidak ada yang adzan maka sebaiknya salah seorang dari mereka beradzan dan kalau mereka tidak mendengar adzan sama sekali maka salah seorang dari mereka harus melakukan adzan untuk memberitahukan kepada yang lain bahwa telah datang waktu shalāt.

Dan tentang keutamaan adzan tersebut telah datang banyak hadīts yang menjelaskan tentang keutamaan dan pahala orang yang melakukan adzan.

Serta beliau sebutkan bagi orang yang mendengar adzan dianjurkan untuk mengikuti apa yang diucapkan oleh muadzin ketika muadzin adzan (mengikuti lafadz adzan tersebut), kecuali pada lafazh 'Hayya 'alash shalāh" dan "Hayya 'alal falāh". 

Karena pada kedua lafazh ini ketika muadzin mengucapkannya, maka orang yang mendengar mengucapkan:

لا حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

"Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allāh." (Hadīts riwayat Bukhāri 1/152 dan Muslim 1/288)

Dan setelah selesai adzan maka dianjurkan untuk bershalawat kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam seraya mengucapkan:

اَللَّهُمَّ رَبَّ هَـٰذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ

"Ya Allāh, Tuhan Pemilik panggilan yang sempurna (adzan) ini dan shalāt (wajib) yang didirikan. Berilah Al Wasīlah (derajat di Surga, yang tidak akan diberikan selain kepada Nabi) dan fadhilah kepada Muhammad. Dan bangkitkan Beliau sehingga bisa menempati maqam terpuji yang telah Engkau janjikan." (Hadīts riwayat Bukhāri 1/152)

Kemudian setelah itu dia boleh berdo'a dengan apa yang dia inginkan, karena waktu tersebut adalah di antara waktu-waktu dikabulkannya do'a.

⑵ Pembahasan berikutnya adalah:

وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

"Dan hendaklah yang mengimami kalian adalah orang yang paling tua usianya diantara kali."

Di dalam lafazh ini, Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menjelaskan bahwa ini menunjukkan wajibnya melakukan shalāt secara berjamā'ah karena Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkan:

وَلْيَؤُمَّكُمْ 

"Hendaknya mengimami kalian."

Ini artinya dilakukan dengan cara berjamā'ah. Dan beliau sebutkan di sini bahwa konteks ini sebagai dalīl diwajibkannya melakukan shalāt secara berjamā'ah.

Shalāt berjamā'ah minimal dilakukan oleh dua orang, yang satu menjadi iman dan yang lain menjadi makmum.

Adapun orang yang paling berhak atau paling utama menjadi imam adalah sebagaimana  disebutkan di dalam hadīts berikut ini. Dimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله، فإن كانوا في القراءة سواء، فأعلمهم بالسنة، فإن كانوا في السنة سواء فأقدمهم هجرة أو إسلاما

"Hendaknya yang mengimami suatu kaum adalah orang yang paling pandai membaca kitābullāh, kalau seandainya mereka sama dalam hal bacaan, maka hendaknya yang paling berilmu tentang sunnah, kalau seandainya mereka sama dalam keilmuannya tentang sunnah, maka hendaknya orang yang paling dahulu hijrah ke dalam Islām."

Adapun apabila sama dalam semua ini barulah kemudian apa yang disebutkan dalam hadīts yang kita bahas ini (yaitu)  orang yang paling tua usianya.

Karena syari'at menganjurkan untuk memprioritaskan orang yang lebih tua usianya di dalam suatu yang diperintahkan selama orang yang lebih muda tidak memiliki kelebihan daripada orang yang lebih tua.

Kemudian disebutkan apabila shalāt dilakukan secara berjamā'ah, hendaknya makmum mengetahui bahwasanya imam itu harus di ikuti, sehingga apabila imam melakukan gerakan dalam shalāt maka makmum harus mengikuti imam itu.

Dan tidak boleh seorang makmum mendahului imam, karena mendahului imam hukumnya adalah haram bahkan beliau sebutkan itu membatalkan shalāt.

Karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan, "imam itu untuk diikuti oleh para makmum", sehingga makmum tidak boleh mendahului imam di dalam gerakan-gerakan shalāt.

Kemudian beliau sebutkan juga posisi makmum, apabila makmum tersebut dua orang laki-laki, maka posisi yang paling utama keduanya berada dibelakang imam (membuat shaf dibelakang imam).

Namun tidak mengapa jika keduanya berdiri disamping imam) sebelah kanan atau sebelah kanan dan sebelah kirinya imam. Namun yang lebih utama keduanya berdiri dibelakang imam.

Adapun jika makmum tersebut hanya satu orang maka dia berdiri disebelah kanannya imam dan apabila makmum tersebut satu orang wanita, maka makmum wanita tadi berdiri sendiri dibelakang imam.

Kemudian beliau sebutkan seorang imam hendaknya dia membaca bacaan secara jahr pada kondisi-kondisi dimana di situ diperintahkan untuk membaca secara jahr (keras). 

Begitu juga ketika bertakbir, berpindah dari gerakan-gerakan shalāt hendaknya dia mengeraskan bacaan takbirnya karena tujuannya agar imam tersebut bisa diikuti oleh makmum, sehingga imam diperintahkan untuk membaca takbir dengan keras.

⑶ Pembahasan berikutnya adalah tentang sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

"Shalātlah sebagaimana kalian melihat aku shalāt."

In syā Allāh pembahasan ini akan kita lanjutkan pada halaqah mendatang.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_______________________

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 11 Rabi’ul Akhir 1440 H / 19 Desember 2018 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 027 | Hadits 27 (bagian 02)
〰〰〰〰〰〰〰
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-27 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Kita masih melanjutkan pembahasan hadīts ke-27, pada poin berikutnya, yaitu:

⑶ Pembahasan berikutnya adalah tentang sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

"Shalātlah sebagaimana kalian melihat aku shalāt."

Di dalam ucapan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tersebut, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengajarkan kepada kita tata cara shalāt.

Dimana Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) mengajarkan shalāt dengan menggabungkan antara perintah dan contoh yang beliau lakukan sendiri.

Sehingga orang yang akan mengerjakan shalāt harus sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam (mencontoh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam), baik itu gerakan maupun bacaan shalāt.

Tentunya dari gerakan atau bacaan shalāt tersebut ada yang sifatnya wajib maupun mustahab.

Oleh karena itu Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menyebutkan bahwa segala yang dilakukan atau diucapkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam ketika Beliau shalāt atau ketika Beliau mengajarkan shalāt maka semua itu masuk di dalam makna hadīts:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

"Shalātlah sebagaimana kalian melihat aku shalāt."

Baik itu perintah yang sifatnya wajib atau mustahab.

Rukun shalāt adalah perkataan (bacaan) atau gerakan yang akan membentuk hakikat shalāt yang tidak boleh ditinggalkan ketika shalāt, baik karena lupa atau karena tidak tahu atau bahkan dengan sengaja. Dimana jika rukun shalāt ditinggalkan maka shalātnya tidak sah.

Dan yang termasuk rukun shalāt di antaranya adalah:

√ Takbiratul ihram (mengucapkan Allāhu akbar) ketika pertama kali akan memulai shalāt.

√ Membaca Al Fātihah (secara berurutan di setiap raka'at).

√ Tasyahud akhir dan ucapan salam ketika selesai shalāt.

Adapun yang bentuknya gerakan, seperti:

√ Berdiri
√ Rukuk
√ Sujud
√ Duduk di antara dua sujud
√ Duduk pada tasyahud akhir

Adapun sesuatu yang apabila ditinggalkan karena lupa dan cukup diganti dengan sujud sahwi dan tidak sampai membatalkan shalāt maka ini di istilahkan sebagai kewajiban-kewajiban dalam shalāt.

Termasuk kewajiban shalāt adalah:

√ Tasyahud awal

√ Duduk untuk tasyahud awal.

√ Takbiratul intiqal ketika berpindah gerakan mengucapkan Allāhu akbar, maka itu beliau sebutkan termasuk kewajiban shalāt yang apabila lupa cukup diganti dengan sujud sahwi.

√ Bacaan: سمع الله لمن حمده (Allāh mendengar orang yang memuji-Nya).

√ Bacaan rukuk, sujud dan ketika duduk di antara dua sujud (beliau sebutkan di sini termasuk kewajiban shalāt).

Kemudian ada kategori ketiga di dalam gerakan-gerakan shalāt yang sifatnya atau hukumnya adalah sekedar sebagai penyempurna shalāt.

Dan hukumnya adalah mustahab, apabila seorang melakukannya maka shalātnya menjadi sempurna dan apabila ditinggalkan maka tidak mempengaruhi sah shalātnya (karena hukumnya mustahab).

Jadi,  selain gerakan-gerakan yang tadi disebutkan pada rukun dan kewajiban shalāt maka ia masuk dalam kategori penyempurna atau mustahabah atau sebagian menyebutkan sebagai sunnah-sunnah shalāt.

Maka semua itu baik yang sifatnya rukun, wajib dan sunnah masuk dalam konteks hadīts Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam ini:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

"Shalātlah sebagaimana kalian melihat aku shalāt)."

Sehingga ketika seorang mengerjakan shalāt dia harus mengerjakannya sebagaimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengerjakan, baik itu rukun shalāt, kewajiban shalāt maupun sunnah-sunnah shalāt.

Termasuk juga di dalam konteks perintah tersebut: صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي , adalah hal-hal dimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkan untuk meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat ketika sedang shalāt, seperti tertawa ataupun berbicara atau banyak bergerak tanpa adanya suatu kebutuhan yang mengharuskan dia untuk melakukan gerakan selain gerakan shalāt. Maka hal-hal tersebut juga harus ditinggalkan.

Karena shalāt tidaklah sempurna kecuali telah terpenuhi syarat, rukun, dan kewajiban shalāt serta meninggalkan hal-hal yang membatalkan shalāt.

Sehingga seorang yang ingin melakukan shalāt harus mempelajari tentang bagaimana gerakan shalāt dan bacaan shalāt yang dilakukan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Di sini Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh sedikit menjelaskan tentang tata cara shalāt.

√ Beliau sebutkan pertama kali ketika seorang akan melakukan shalāt dia harus menyempurnakan syarat-syarat shalāt, seperti melakukan thahārah kemudian menutup auratnya dan menghadap qiblat.

√ Apabila telah terpenuhi syarat-syarat tersebut, kemudian dia berniat di dalam hatinya untuk melakukan shalāt dan dia mengucapkan takbiratul ihram (Allāhu akbar) sambil mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahunya.

√ Lalu dia membaca do'a istiftah kemudian membaca ta'awudz dan dilanjutkan dengan membaca surat Al Fātihah yang dimulai dengan بسم اللّه الرحمن الرحيم.

√ Setelah selesai membaca surat Al Fātihah, kemudian membaca surat lain yang ada di dalam Al Qur'ān.

√ Setelah selesai kemudian dia melakukan rukuk dengan mengucapkan, "Allāhu akbar," seraya mengangkat kedua tangannya.

√ Kemudian turun untuk melakukan rukuk, ketika rukuk dia mengucapkan bacaan:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ

"Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung."

⇒ Minimal dibaca satu kali.

√ Setelah selesai rukuk kemudian dia mengangkat lagi kepalanya dengan mengucapkan:

سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ

"Semoga Allāh mendengar pujian orang yang memuji-Nya."

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ

"Wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji. Pujian yang banyak, yang baik, yang diberkahi di dalamnya."

Sambil mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahunya.

√ Setelah itu baru kemudian dia berpindah ke sujud dengan mengucapkan takbir ("Allāhu akbar") tanpa mengangkat kedua tanganya.

Karena posisi mengangkat kedua tangan ada pada posisi takbiratul ihram, pada saat akan rukuk kemudian bangun dari rukuk dan bangun dari tasyahud awal, adapun selebihnya tidak perlu mengangkat kedua tangan.

Ketika posisi sujud seorang harus menempelkan 7 (tujuh) anggota tubuhnya ke tanah atau ke bumi tempat dia shalāt.

Tujuh anggota tubuh itu adalah:

⑴ Kedua telapak jari-jari kakinya.
⑵ Kedua lututnya.
⑶ Kedua telapak tangannya
⑷ Dahi bersamaan dengan hidung.

Dia tempelkan tujuh anggota badan itu ke tempat sujudnya kemudian dia renggangkan kedua lengannya dari tubuhnya.

Ketika posisi sujud membaca:

سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى

"Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi (dari segala kekurangan dan hal yang tidak layak)."

⇒ Minimal dibaca satu kali.

√ Kemudian dia mengangkat kepalanya untuk melakukan duduk diantara dua sujud, dengan cara duduk di atas telapak kaki kirinya dan menegakkan telapak kaki kanannya seraya membaca:

رَبِّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَاجْبُرْنِي، وَارْفَعْنِي، وَارْزُقْنِي، وَاهْدِنِي

"Yā Allāh, ampunilah aku, rahmatilah aku, cukupilah aku, angkatlah derajatku, berilah aku rezeki dan tunjukilah aku."

⇒ Tata cara duduk seperti itu dinamakan duduk iftirosy.

√ Setelah itu dia lakukan sujud lagi sebagaimana sujud yang pertama. Setelah selesai sujud dia mengangkat kepalanya untuk berdiri dengan bertakbir lalu melakukan raka'at kedua.

Raka'at kedua dilakukan sebagaimana raka'at pertama.

√ Setelah dia sampai pada tasyahud awal dia duduk dengan cara iftirosy dan membaca doa tasyahud:

اَلتَّحِيَّاتُ لِلَّهِ، وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، اَلسَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، اَلسَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَـٰهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

"Segala penghormatan hanya milik Allāh, begitu juga shalawat dan kebaikan. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepadamu wahai Nabi, begitu juga rahmat Allāh dan berkah-Nya. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kami dan hamba-hamba Allāh yang shālih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allāh, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya"

√ Setelah selesai dia bertakbir untuk bangun ke raka'at ketiga dan pada posisi bangun dari raka'at yang ketiga, dia dianjurkan untuk mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahunya.

√ Setelah itu dia membaca surat Al Fātihah saja, (pada raka'at ketiga dan keempat) tanpa dilanjutkan dengan surat yang lain.

√ Setelah sampai pada tasyahhud akhir maka dia lakukan dengan cara duduk tawarruk yaitu duduk dengan cara mengeluarkan kaki kirinya dari bawah betis kanannya atau dari sisi kanannya, dan dia mendudukkan pantatnya di atas bumi (tidak duduk di atas telapak kaki kirinya lagi).

Kemudian membaca bacaan tasyahhud (seperti bacaan tasyahhud pertama) dan di lanjutkan bacaan tasyahhudnya dengan mengucapkan shalawat Ibrāhīmiyyah:

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

"Yā Allāh, berikanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan shalawat kepada Ibrāhīm dan keluarga Ibrāhīm. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Yā Allāh, berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad (termasuk anak dan istri atau umatnya), sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrāhīm dan keluarga Ibrāhīm. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia."

Kemudian dilanjutkan dengan do'a:

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ

"Yā Allāh, Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, siksa neraka Jahanam, fitnah kehidupan dan setelah mati, serta dari kejahatan fitnah Al masih Dajjal."

Setelah itu boleh dilanjutkan dengan doa lain, yang dia inginkan.

√ Setelah selesai berdo'a kemudian mengucapkan salam dan menoleh ke kanan dan ke kiri, mengucapkan:

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

"Semoga keselamatan atas kalian, demikian juga rahmat Allāh dan berkah-Nya."

Demikian gambaran singkat bagaimana tata cara shalāt yang dilakukan (dicontohkan) oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_______________________

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 09 Jumādā Al-Ūlā 1440 H / 14 Januari 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 028 | Hadits 28
〰〰〰〰〰〰〰
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-28 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Kita sudah sampai hadīts ke-28, yaitu hadīts yand diriwayatkan oleh Jābir bin Abdillāh radhiyallāhu ta'āla 'anhumā.

Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ، وَجُعِلَتْ لِيَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا، فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ، وَأُحِلَّتْ لِيَ الغَنَائِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي، وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ، وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً

"Aku diberikan lima hal yang belum pernah diberikan kepada seorangpun dari kalangan para nabi sebelumku:
⑴ Aku ditolong oleh Allāh dengan adanya rasa takut (dikalangan musuh-musuh Beliau) sejauh sebulan perjalanan.

⑵ Dijadikan bagiku bumi sebagai masjid dan sebagai alat untuk bersuci.
Maka barangsiapa dari kalangan umatku ini mendapati waktu shalāt (di manapun dia berada) maka hendaklah dia shalāt.

⑶ Dihalalkan bagiku ghanimah-ghanimah perang dan sebelumnya tidak dihalalkan bagi nabi-nabi sebelumku.

⑷ Aku diberikan syafā'at.

⑸ Dan para nabi terdahulu diutus kepada umatnya secara khusus sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia".
(Hadīts riwayat Imām Bukhāri dan Muslim)

Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menjelaskan, bahwa hadīts ini menunjukkan tentang perkara-perkara yang merupakan kekhususan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yang tidak dimiliki oleh seorang dari kalangan nabi sebelum Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam).

Yang di mana lima perkara ini seluruhnya kembali kepada umat ini dalam bentuk kebaikan dan keberkahan serta manfaat yang bisa diambil oleh umat Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam).

⑴ Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyatakan kekhususan beliau adalah bahwa Allāh Subhānahu wa Ta'āla memberikan pertolongan dengan memberikan rasa takut kepada musuh-musuh Beliau sejak selama satu bulan perjalanan (sebelum bertemu kaum muslimin).

Demikianlah apabila Allāh menghendaki untuk menolong hamba-Nya dari musuh-musuh musuh mereka tersebut sebagaimana Allāh Subhānahu wa Ta'āla  berfirman:

سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ بِمَا أَشْرَكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا ۖ وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ ۚ وَبِئْسَ مَثْوَى الظَّالِمِينَ

"Akan Kami masukkan rasa takut ke dalam hati orang-orang kāfir karena mereka mempersekutukan Allāh dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan keterangan tentang itu."
(QS Āli Imrān: 151)

Oleh karena itu Allāh Subhānahu wa Ta'āla memberikan kepada hati orang-orang beriman kekuatan dan ketenangan yang itu merupakan sebab terbesar yang bisa mendapatkan kemenangan.

Dan sebaliknya bagi musuh-musuh mereka, Allāh Subhānahu wa Ta'āla timpakan rasa takut sebelum mereka berhadapan dengan kaum muslimin.

Dan sebagaimana juga Allāh Subhānahu wa Ta'āla membantu orang-orang beriman, agar mereka bisa mendapatkan kemenangan dari musuh-musuh mereka dengan cara menganjurkan hal-hal yang itu merupakan sebab-sebab kemenangan.

Seperti persatuan di kalangan mereka dan agar mereka bersabar dan mempersiapkan kekuatan yang bisa digunakan untuk menghadapi musuh-musuh mereka.

Yang semua itu merupakan sebab yang bisa mendatangkan kemenangan, disamping rasa takut yang Allāh timpakan kepada musuh-musuh mereka.

Ini merupakan kekhususan yang Allāh Subhānahu wa Ta'āla berikan kepada Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam, sehingga musuh-musuh Beliau sebelum sempat untuk berhadapan dengan Beliau dan kaum muslimin maka mereka telah ditimpa rasa takut terlebih dahulu.

⑵ Semua bumi ini dijadikan sebagai masjid dan alat bersuci.

Dari sini kita ketahui bahwasanya di manapun kaum muslimin berada apabila telah datang waktu shalāt dan dia tidak mendapati bangunan masjid, maka dia bisa melakukan shalāt di tempat tersebut tanpa dia harus pergi kebangunan masjid yang kita kenal, karena seluruh bagian bumi ini adalah masjid sebagaimana sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Sehingga tidak dikecualikan tempat apapun untuk melakukan shalāt kecuali apa yang memang telah dikecualikan oleh syari'at, di antaranya adalah kuburan, kemudian tempat yang di situ ada najisnya karena itu akan mengotori pakaian dan badan orang yang shalāt, sedangkan suci dari najis adalah syarat sahnya shalāt.

Begitu pula sebagaimana beliau sebutkan di sini bahwa tempat yang masuk ke dalam yang diambil dengan cara yang tidak benar, maka itu juga termasuk yang dilarang melakukan shalāt ditempat tersebut.

Begitu juga bumi ini dijadikan sebagai alat untuk bersuci. Maka apabila seseorang tidak mendapatkan air untuk bersuci atau dia tidak mampu untuk menggunakan air untuk bersuci dikarenakan sakit, maka dia bisa menggunakan pengganti air : صَعِيدة (tanah atau permukaan bumi) yang merupakan bagian dari bumi.

Sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla :
تَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًۭا طَيِّبًۭا

"Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)." (QS An Nissā': 43)

Ini merupakan pengganti air apabila seseorang tidak mendapatkan air.

Dan beliau sebutkan bahwasanya sha'īd (pengganti air) yang beliau sebutkan maksudnya adalah segala yang berada dipermukaan bumi merupakan bagian dari material bumi, maka ini bisa digunakan untuk bersuci.

Dan hukumnya sama dengan hukum air dalam artian boleh digunakan untuk melakukan shalāt, berapa kali pun shalāt yang dilakukan, selama dia belum berhadats. Sebagaimana seorang bisa melakukan shalāt dengan wudhū selama dia belum berhadats. Dan tidak terkait dengan batasi waktu masuk shalāt atau keluar waktu shalāt. Ini merupakan pendapat yang rajīh karena hukumnya adalah sama dengan air, karena sebagai pengganti air.

Dan ini merupakan kekhususan yang Allāh Subhānahu wa Ta'āla berikan kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dan juga kepada umatnya dimana bisa menggunakan tempat di manapun untuk melakukan shalāt dan juga menjadikan bagian bumi manapun sebagai pengganti air apabila mereka tidak mendapati air.

⑶ Dihalalkan bagiku rampasan perang yang sebelumnya tidak dihalalkan bagi nabi sebelumku.

Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menyebutkan di sini, dahulu di kalangan umat-umat terdahulu, jihād itu sedikit dibandingkan jihād yang ada pada umat ini.

Dan tingkat keimanan umat-umat sebelum umat Islām kalah dibandingkan dengan kekuatan keimanan dan keikhlāsan kaum muslimin.

Karena itu merupakan bentuk rahmat yang Allāh berikan kepada mereka (umat sebelum Islām). Allāh haramkan mereka untuk mengambil ghanimah agar tidak merusak keikhlāsan mereka sehingga kalau mereka berperang maka rampasan perangnya tidak boleh mereka miliki.

Berbeda dengan umat ini, dimana Allāh Subhānahu wa Ta'āla telah menghalalkannya,  sehingga boleh dimiliki oleh kaum muslimin. Tentunya dengan ketentuan-ketentuan yang disebutkan di dalam kitāb-kitāb para fuqahā'.

⑷ Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) diberikan syafā'at.

Syafā'at disini maksudnya adalah syafā'atul uzma yaitu syafā'at yang akan Beliau peroleh ketika seluruh makhluk ketika itu membutuhkan syafā'at para nabi agar Allāh Subhānahu wa Ta'āla segera menegakkan hukuman kepada mereka.

Maka seluruh nabi memberikan udzurnya tidak bisa memberikan syafā'at, hingga akhirnya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yang Allāh karuniakan hak untuk memberikan syafā'at tersebut.

Yang ini merupakan kedudukan yang terpuji yang Allāh Subhānahu wa Ta'āla  karuniakan. kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Dan yang mendapatkan syafā'at ini adalah seluruh manusia karena ini adalah syafā'atul uzma.

Sebagaimana juga Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam memiliki syafā'at yang khusus yang akan beliau berikan kepada orang-orang yang beriman sebagaimana disebutkan dalam hadīts Beliau.

أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي (يَوْمَ الْقِيَامَةِ) مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ ".

"Orang yang paling bahagia dengan syafā'at ku adalah orang yang mengucapkan 'Lā ilāha illallāh' ikhlās dari hatinya."

Yang dimaksud dengan syafā'at yang keempat ini adalah syafā'atul uzma yang merupakan kekhususan yang dimiliki oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

⑸ Bahwasanya nabi-nabi sebelumnya diutus kepada umat mereka secara khusus, sedangkan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam diutus kepada seluruh manusia.

Demikian itu dikarenakan syari'at yang Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) bawa ini telah sempurna dan bersifat umum mencakup seluruh kebaikan yang ada pada setiap zaman dan tempat, sehingga tidak butuh lagi syari'at lain.

Maka barangsiapa dia ingin untuk mendapatkan kebahagiaan atau kebaikan di dunia maupun agama maka dia bisa mengambilnya dari syari'at yang dibawa oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Demikian lima hal yang beliau sampaikan dalam hadīts ini yang semua itu sebagai kekhususan Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) dibandingkan apa yang diberikan kepada nabi-nabi sebelum Beliau.

Demikian kita cukupkan sampai di sini kita lanjutkan hadīts berikutnya pada halaqah yang mendatang.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
___________________

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 09 Jumādā Al-Ūlā 1440 H / 15 Januari 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 029 | Hadits 29
〰〰〰〰〰〰〰
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-29 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Kita sudah sampai hadīts ke-29, yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla 'anhu:

أَوْصَانِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- بِثَلاَثٍ صِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ

Kekasihku, Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mewasiatkan kepadaku tiga hal yaitu:

⑴ Puasa tiga hari pada setiap bulannya.
⑵ Dua raka'at shalāt dhuhā.
⑶ Mengerjakan shalāt witir sebelum tidur.
(Hadīts riwayat Bukhāri dan Muslim)

Hadīts ini menjelaskan tentang wasiat Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam kepada salah seorang shahābat Beliau yaitu Abū Hurairah radhiyallāhu ‘anhu.

Dan tentunya sesuatu yang diwasiatkan kepada salah seorang dari umat Beliau ini, berlaku juga bagi seluruh umat Beliau selama belum ada dalīl yang menyatakan kekhususan hal tersebut bagi orang tadi.

Oleh karena itu hadīts ini (wasiat-wasiat ini) merupakan wasiat tentang amalan-amalan sunnah yang sangat dianjurkan yang bentuknya shalāt dan puasa.

Di antara wasiat tersebut adalah:

⑴ Puasa tiga hari pada setiap bulan

Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menjelaskan di sini, bahwasanya puasa tiga hari pada setiap bulannya sebanding dengan puasa sunnah satu tahun.

Dikarenakan pada setiap satu amalan kebaikan akan dilipat gandakan menjadi sepuluh kali lipat sehingga puasa tiga hari setiap bulan sepanjang satu tahun sebanding dengan pahala puasa selama satu tahun sendiri secara penuh.

Syari'at memberikan kemudahan dan keutamaan-keutamaan yang sangat banyak. Dan amalan ini merupakan amalan yang mudah bagi orang yang Allāh berikan kemudahan untuk melaksanakannya.

Sehingga meskipun dia berpuasa, tidak akan menghalangi dia dari aktifitas-aktifitasnya yang lain.

Disamping itu hal ini juga memiliki keutamaan yang sangat besar.

Selain itu ada juga puasa-puasa sunnah yang lain yang juga sangat dianjurkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yang tentunya masing-masing memiliki keutamaan yang besar.

Di antaranya adalah:

√ Puasa enam hari di bulan Syawwāl.
√ Puasa Arafah (9 Dzulhijjah).
√ Puasa tanggal 9 dan 10 Muharram.
√ Puasa Senin Kamis.

Semua itu tentunya merupakan amal kebaikan yang apabila dilakukan akan menambah pahala bagi orang yang melakukannya.

⑵ Melakukan dua raka'at shalāt dhuhā

Telah banyak hadīts menunjukkan tentang keutamaan shalāt dhuhā tersebut. Diantaranya hadīts Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:

أنه يصبح على كل آدمي كل يوم ثلاثمائة وستون صدقة، فكل تسبيحة صدقة، وكل تحميدة صدقة، وكل تكبيرة صدقة، وأمر بالمعروف صدقة، ونهي عن المنكر صدقة، ويجزئ من ذلك ركعتان يركعهما من الضحى

"Sesungguhnya pada setiap anak Ādam, di setiap harinya ada 360 sedekah yang seharusnya dia kerjakan, maka setiap ucapan tasbih adalah sedekah, setiap ucapan tahmid adalah sedekah dan pada ucapan takbir adalah sedekah dan memerintahkan pada perkara yang ma'ruf inipun dinilai sedekah dan melarang dari satu kemungkaran adalah sedekah, dan dua raka'at shalāt dhuhā akan mencukupi dari semua sedekah-sedekah tersebut."

Ini menunjukkan keutamaan melakukan shalāt dhuhā, karena itu sebanding dengan sedekah-sedekah yang banyak yang dilakukan dengan berdzikir dan amar ma'ruf.

• Jumlah raka'at shalāt dhuhā

Para ulamā menyebutkan minimal jumlah raka'at shalāt dhuhā adalah 2 (dua)  raka'at dan maksimalnya dilakukan 8 (delapan) raka'at.

• Waktu shalāt dhuhā

Dimulai sejak meningginya matahari setinggi tombak hingga mendekati masuk shalāt zhuhur.

⑶ Shalāt witir

Shalāt witir adalah sunnah mu'akkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Bahkan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam senantiasa melakukan shalāt witir, baik Beliau dalam keadaan bermuqim atau saat Beliau dalam keadaan safar.

Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) tidak pernah meninggalkan shalāt witir.

• Jumlah raka'at shalāt witir

Para ulamā menjelaskan bahwa shalāt witir ini dilakukan minimal dalam satu raka'at dan bila dia ingin menambah bisa dilakukan dengan tiga raka'at, lima raka'at, tujuh raka'at, sembilan atau sebelas raka'at.

Dan dia bisa memilih:

√ Melakukan sekaligus satu kali salam pada shalāt yang dilakukan pada satu raka'at, tiga, lima, tujuh atau sembilan raka'at.

√ Dengan cara salam pada setiap kali dua raka'at.

⇒ Semua itu adalah tatacara atau sifat yang boleh dia lakukan. 

• Waktu shalāt witir

Shalāt witir bisa dikerjakan sejak waktu shalāt (setelah melakukan shalāt Isyā') hingga terbit fajar.

Dan yang lebih utama dilakukan pada akhir malam bagi yang mampu untuk melakukan di akhir malam.

Jika tidak, dia berwitir sebelum dia tidur sebagaimana yang diwasiatkan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam kepada Abū Hurairah di dalam hadīts ini, agar dia tidak meninggalkan shalāt witir.

Demikian penjelasan tentang hadīts yang singkat ini namun memiliki faedah yang besar yang menjelaskan kepada kita keutamaan beberapa amalan-amalan yang sangat dianjurkan bahkan diwasiatkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam kepada kita.

Semoga apa yang kita kaji ini bermanfaat dan in syā Allāh akan kita lanjutkan hadīts berikutnya pada halaqah mendatang.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
___________________

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 10 Jumādā Al-Ūlā 1440 H / 16 Januari 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 030 | Hadits 30 (Bagian 1)
〰〰〰〰〰〰〰
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-30 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Kita sudah sampai hadīts ke-30, yaitu:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (إن الدين يُسْر، ولن يَشادَّ الدينَ أحد إلا غلبه، فسَدِّدوا وقاربوا وأبشروا، واستعينوا بالغُدْوة والروحة، وشيء من الدُّلَجة) متفق عليه. وفي لفظ (والقصدَ القصدَ تَبْلُغوا).

Dari Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla 'anhu beliau mengatakan, Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya agama ini mudah dan tidaklah ada seorang memaksa dirinya di dalam agama ini kecuali agama itu akan mempersulitnya, maka berusahalah semaksimal mungkin untuk mendekati kebenaran itu sendiri. Jikalau tidak bisa sampai pada yang sebenarnya dan bergembiralah. Dan manfaatkanlah waktu pagi dan waktu sore serta beberapa waktu di tengah malam."
(Hadīts ini riwayat Imām Bukhāri dan Muslim)

Dalam lafazh lain, Beliau bersabda: "Bersikaplah sederhana niscaya kalian akan sampai pada tujuan."

Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh ketika menjelaskan hadīts ini mengatakan:

Sungguh betapa agungnya hadīts dan betapa kaya akan kebaikan dan wasiat serta prinsip-prinsip yang sangat penting. Di mana Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam hadīts ini telah meletakkan satu prinsip utama di dalam agama Islām yaitu bahwasanya agama ini mudah.

Syari'at-syari'at agama ini telah Allāh mudahkan bagi manusia, baik dalam aqidah maupun dalam amalan-amalab dan akhlaq yang diperintahkan di dalam syari'at.

Semua itu merupakan perkara-perkara yang mudah.

Perkara aqidah yang mengacu iman kepada Allāh, iman kepada malāikat, iman kepada kitāb, iman kepada rasūl, iman kepada hari akhir serta iman kepada takdir, semua itu merupakan aqidah-aqidah yang shahīhah (yang benar).

Yang akan menjadikan jiwa tentram dan merupakan aqidah yang sesuai dengan akal yang masih lurus, akal yang selamat dari kerancuan serta fithrah yang masih lurus pada jalannya yang mudah untuk dipahami.

Begitu juga amalan-amalan (ibadah-ibadah) dan akhlaq-akhlaq yang ada di dalam syari'at ini, semuanya mudah. Di mana setiap orang, dia akan merasa dirinya mampu untuk melaksanakannya. Melaksanakan ibadah tersebut.

Dan dia mampu untuk menghiasi dirinya dengan akhlaq-akhlaq tersebut (akhlaq mulia dan sempurna) yang dianjurkan di dalam syari'at Islām. Sehingga tidak ada seorang yang akan merasa bahwasanya dia adalah seorang yang tidak akan pernah mampu untuk melakukan syari'at. Tidak!

Setiap orang mampu untuk melakukannya sesuai dengan kondisi yang ada pada dirinya. Maka ini merupakan suatu prinsip utama yang ada dalam syari'at ini, yang telah dikabarkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

إن الدين يُسْر

"Sesungguhnya agama ini mudah."

Sebagai contoh kemudahan yang Allāh berikan di dalam menjalankan syari'at ini adalah:

⑴ Masalah shalāt lima waktu
Shalāt lima waktu ini meskipun dilakukan setiap hari, namun waktu-waktunya telah Allāh sesuaikan dengan waktu-waktu yang di situ mampu dilalukan oleh setiap orang.

Di waktu-waktu yang telah Allāh tetapkan dengan adanya kelonggaran di waktu-waktunya selama tidak keluar dari waktu shalāt tersebut.

Selain itu, Allāh juga memberikan kemudahan di dalam melaksanakannya dengan cara menganjurkannya secara berjamā'ah.

Shalāt tersebut secara berjamā'ah dengan tujuan agar ketika seorang melakukan shalāt dia merasa bahwasanya ada teman yang sama-sama melakukan ibadah yang sama, sehingga dia tidak merasakan sendirian. Hal ini akan menimbulkan semangat dalam dirinya untuk melakukan ibadah shalāt tersebut.

Berbeda halnya bila dilakukan sendiri, dia akan ditimpa rasa malas dan dia ditimpa perasaan bahwasanya hanya dia yang dibebani kewajiban.

Berbeda halnya bila dia lakukan berjamā'ah, dengan merasa bahwasanya dia memiliki teman-teman yang menemani dia dalam menjalankan kewajiban tersebut, sehingga akan mudah dia lakukan.

Ini sebagai satu kemudahan dari satu sisi yang Allāh berikan dalam mensyariatkan shalāt berjamā'ah.

Di samping itu Allāh Subhānahu wa Ta'āla  juga memberikan pahala yang besar di dalam ibadah shalāt tersebut. Sehingga dengan mengerjakan shalāt lima waktu pada setiap harinya in syā Allāh akan mendapatkan pahala yang besar di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla dan mendapatkan kebahagian di akhirat.

⑵ Zakāt
Contoh yang lain ada pada zakāt. Di mana kemudahan yang Allāh berikan di dalam masalah zakāt ini, bahwa kewajiban zakāt tidak diwajibkan pada setiap orang namun hanya diwajibkan bagi orang yang memiliki harta tertentu yang telah Allāh tetapkan apabila telah mencapai jumlah tertentu (nisab).

Dan yang dikeluarkan pun bukan jumlah yang sangat besar yang tidak sampai pada kerugian apabila dia keluarkan maka itu kemudahan yang Allāh berikan.

Di samping itu,  menunaikan kewajiban zakāt itu akan mensucikan dirinya, menyempurnakan agamanya mensucikan akhlaqnya, membersihkan akhlaqnya dari akhlaq-akhlaq yang kotor, kebakhilan, ketidakpedulian dan merasa ingin memiliki sendiri harta yang Allāh karuniakan kepada dia. Serta akan menumbuhkan rasa cinta di antara sesama manusia dan menimbulkan kepedulian dia kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan.

Semua itu tidak lain dan tidak bukan, menunjukan kepada kita tentang kemudahan yang ada di dalam syari'at dan kemuliaan serta kesempurnaan yang ada di dalam syari'at ini.

⑶ Puasa
Contoh yang lain adalah puasa, yang hanya Allāh wajibkan sekali di dalam setahun yaitu selama satu bulan dan kewajiban ini berlaku umum untuk semua kaum muslimin. Sehingga ketika melakukan puasa, dia tidak sendiri (tidak merasa terbebani sendiri). Tapi ada teman-teman yang menemani dia untuk menahan syahwatnya, menemani dia untuk menjalankan ibadah puasa bersama yang nantinya ibadah itu akan memberikan pahala yang begitu besar kepada dirinya yang bisa menyelamatkan dia dari kesengsaraan yang abadi dan menimbulkan rasa taqwa di dalam dirinya.

Ini merupakan contoh kesempurnaan dan kemudahan di dalam ibadah puasa.

⑷ Haji
Dimana Allāh Subhānahu wa Ta'āla  tidak mewajibkan kepada semua orang hanya wajib bagi orang yang telah memiliki kemampuan untuk melaksanakannya.

Dan itupun diwajibkan hanya satu kali seumur hidup. Dia tidak dibebani melakukan kedua kalinya kecuali hanya tathawu saja.

Serta dalam syari'at lainpun terdapat kemudahan yang apabila kita cermati merupakan penerapan (bukti) dari firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ 

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu."
(QS Al Baqarah: 185)

Di samping asal syari'at-syari'at ini mudah, Allāh Subhānahu wa Ta'āla  juga memberikan kemudahan bagi orang yang sedang dalam kondisi tidak mampu untuk melakukan ibadah secara normal. Seperti orang yang ditimpa sakit, atau dia dalam keadaan safar, maka Allāh memberikan keringanan di dalam menjalankan ibadah-ibadah. Baik ibadah tersebut dihapus secara total kewajibannya (tidak menjadi wajib lagi baginya) ketika dia dalam kondisi tersebut atau berupa keringanan yang ada pada cara melakukannya.

Contohnya:

√ Mengqashar shalāt ketika dalam keadaan safar.
√ Shalāt dalam keadaan duduk bagi orang yang sakit.
√ Dan contoh lainnya.

Apabila kita perhatikan apa yang dicontohkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam ibadah Beliau, di dalam keseharian-keseharian Beliau, maka itu terdapat kemudahan bagi umatnya.

Apabila kita mencontohnya maka kita akan mudah menjalankan ibadah.

Oleh karena itu Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam mewanti-wanti agar kita tidak memberatkan diri kita di dalam menjalankan agama dengan melakukan sesuatu yang tidak beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) lakukan karena itu akan memberatkan kita.

Maka Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

ولن يَشادَّ الدينَ أحد إلا غلبه

"Dan tidak ada seorang dia membebani dirinya dalam beragama melainkan dia (agama tersebut) akan menyulitkan."

Maka barangsiapa dia memberatkan dirinya dengan melakukan atau tidak mencukupi dengan apa yang telah dilakukan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam maka berarti dia telah memberatkan dirinya sendiri dalam beragama yang nantinya kembali pada dirinya dalam bentuk kerugian.

Dia akan merasa letih, dia merasa kesusahan atas apa yang dilakukan sehingga dia tinggalkan sama sekali, dia akan kembali tidak melakukan ibadah tersebut.

Kemudian Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam hadīts ini juga memberikan satu motivasi di dalam menjalankan ibadah.

Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

، فسَدِّدوا وقاربوا وأبشروا، واستعينوا بالغُدْوة والروحة

"Maka berusahalah semaksimal mungkin untuk mencapai kesempurnaannya, dan berusahalah jikalau kalian tidak bisa secara sempurna maka berusahalah mendekati kesempurnaan dan berbahagialah."

Maksudnya, berbahagia dengan pahala yang akan tetap tertulis bagi kalian meskipun kalian tidak sampai sempurna seratus persen.

Maka barangsiapa, dia telah berusaha semaksimal mungkin, dia bertaqwa kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla sesuai dengan apa yang dia mampu akan tetapi tidak akan bisa sampai seratus persen sempurna, maka setidaknya dia telah mendekati kesempurnaan telah berusaha mendekati kesempurnaan. Dengan itu telah tetap baginya pahala di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla .

Oleh karena itu Allāh Subhānahu wa Ta'āla menegaskan tentang bagaimana kita bertaqwa, di dalam firman-Nya.

فٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ مَا ٱسْتَطَعْتُمْ

"Bertaqwalah kepada Allāh semampu kalian."
(QS At Taghābun: 16)

Kita diperintahkan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan kita untuk menjalankan ketaqwaan, meskipun tidak seratus persen sempurna. Kita tidak boleh mengabaikannya.

Karena Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam juga bersabda:

وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

"Apabila aku perintahkan suatu amalan, maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian."

Maka ini merupakan suatu kaidah yang sangat agung di dalam agama ini yang menunjukkan bahwasanya amalan ibadah itu harus dilakukan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan.

Apabila tidak mampu, maka dilakukan dengan kondisi yang ada, bukan dengan cara meninggalkan ibadah-ibadah yang telah Allāh wajibkan tersebut.

Dan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam juga memberikan suatu nasehat atau saran agar kita bisa sempurna atau mendekati kesempurnaan di dalam menjalankan ketaqwaan.

Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mewasiatkan:

واستعينوا بالغُدْوة والروحة، وشيء من الدُّلَجة

"Dan mohonlah atau manfaatkanlah waktu pagi dan waktu sore serta beberapa waktu di waktu malam."

Dimana kalau kita perhatikan, waktu-waktu ini adalah waktu yang paling mudah (ringan) ketika seorang melakukan safar.

Safar di waktu pagi akan terasa lebih ringan dibandingkan dia berjalan ditengah hari. Begitu juga di waktu sore. Begitu pula ketika malam, maka akan terasa lebih ringan perjalanan yang dilakukan.

Begitu juga di dalam menjalankan ibadah (ketaqwaan), maka waktu-waktu tersebut adalah waktu-waktu dimana semangat akan mudah untuk didapatkan.

Maka Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menyarankan bagi kita untuk memanfaatkan waktu-waktu tersebut.

Ibarat seorang musafir, dia akan memanfaatkan waktu-waktu tersebut untuk melakukan perjalanan supaya dia cepat sampai tujuan.

Begitu juga seorang yang dia ingin mendapatkan ketaqwaan menggapai kebahagiaan di akhirat, maka dia bisa memanfaatkan waktu-waktu tersebut untuk menjalankan ibadah-ibadah yang dicontohkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Karena waktu waktu itu adalah waktu-waktu dimana semangat ibadah mudah untuk dilakukan yaitu di awal waktu pagi dan di akhir siang (sore), serta sebagian di waktu malam, dimana waktu-waktu tersebut adalah waktu-waktu yang memberikan kemudahan atau memberikan semangat di dalam menjalankan ibadah.

Maka, dari hadīts yang mulia ini bisa kita ambil beberapa faedah yang agung (kesimpulan) dari faedah-faedah yang kita sebutkan.

⑴ Syari'at ini adalah syari'at yang mudah di dalam segala sisi.

⑵ Kesulitan itu akan menjadi sebab untuk datangnya kemudahan di dalam menjalankan ibadah.

⑶ Apabila Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkan sesuatu maka kita wajib untuk melaksanakannya sesuai dengan kemampuan kita.

⑷ Adanya motivasi bagi orang-orang yang ingin beramal serta hendaknya mereka berbahagia atas amalan yang mereka lakukan, karena adanya pahala yang akna Allāh  tulis pada catatan amalan-amalan mereka.

⑸ Di dalam hadīts ini terdapat wasiat Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tentang bagaimana kita menjalankan atau memanfaatkan waktu untuk bisa menjalankan ketaqwaan kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Semoga apa yang kita kaji pada halaqah kali ini memberikan manfaat kepada kita dan memotivasi kita agar kita menjalankan ketaqwaan kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, menjalankan agama Islām ini dengan semaksimal mungkin dan mencontoh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam serta tidak memberatkan diri kita dengan menambah atau melakukan sesuatu yang Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak menganjurkan kita, tidak mencontohkan kita melakukannya.

Karena pada diri Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam telah terdapat tauladan, apabila seseorang mengikutinya maka dia akan mendapatkan kemudahan di dalam menjalankan syari'at.

Demikian yang bisa kita kaji pada halaqah kita kali ini, kita lanjutkan pada halaqah yang mendatang (in syā Allāh).

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
___________________

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 13 Jumādā Ats-Tsānī 1440 H / 18 Februari 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 031 | Hadits 31 (bagian 2)
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR HADĪTS 31 (BAGIAN 2)
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat, rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-31 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Kita masih melanjutkan hadīts pada halaqah sebelumnya yaitu hadīts yang ke-31, dimana kita telah sampai pada sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

فسَدِّدوا وقاربوا وأبشروا

"Maka berusahalah untuk sempurna di dalam amalan.”

Makna "tasdid" yaitu "al ishabah" atau menggapai kesempurnaan dalam ucapan dan perbuatan.

وقاربوا

"Dan berusaha mendekati kesempurnaan.”

Jikalau kalian tidak mampu untuk benar-benar sampai sempurna maka berusahalah minimal untuk bisa mendekati kesempurnaan itu, meskipun tidak benar-benar sampai.

وأبشروا

"Dan bergembiralah.”

Dan bergembiralah (yaitu) dengan adanya pahala yang akan tetap kalian dapatkan jikalau kalian melakukan ketaatan tersebut semaksimal mungkin (semaksimal yang kalian mampu).

Di dalam sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tersebut ada satu prinsip yang penting di dalam agama ini. Yaitu sebagaimana yang Allāh Subhānahu wa Ta'āla sebutkan di dalam firman-Nya:

فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ مَا ٱسْتَطَعْتُمْ

"Bertaqwalah kepada Allāh semampu kalian.”
(QS At Taghabun: 16)

Begitu juga di dalam sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yang lain:

إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم

"Jikalau aku memerintahkan kalian suatu perkara maka lakukanlah semampu kalian.”

Dari sini kita mengetahui bahwasanya prinsip yang ada di dalam agama ini, bahwasanya setiap muslim maupun muslimah, dia diperintahkan untuk semaksimal mungkin melakukan perintah-perintah Allāh dan Rasūl-Nya sesuai dengan kondisi yang dia bisa.

Apabila dia mampu untuk mengerjakannya secara sempurna maka dia wajib mengerjakannya secara sempurna, jikalau tidak mampu dikarenakan kondisi dia yang tidak memungkinkan maka dia tetap diperintahkan untuk mengerjakan sesuai dengan kemampuan dirinya.

Selain itu, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam juga mengabarkan agar kita berbahagia tentang adanya pahala.

Dan berbahagialah (وأبشروا) yaitu dengan pahala yang akan kalian dapatkan jikalau kalian melakukan ketaatan sesuai dengan kemampuan kalian.

Dan di akhir hadīts ini Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam memberikan suatu nasehat yang sangat bermanfaat bagi kita, dimana Beliau bersabda:

واستعينوا بالغُدْوة والروحة

"Dan manfaatkanlah waktu pagi, sore hari dan beberapa waktu dari tengah malam.”

Di dalam sabda Beliau tersebut, Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) mengarahkan agar kita memanfaatkan waktu-waktu yang dimana waktu-waktu tersebut bisa menambah semangat kita di dalam ibadah, bisa mempermudah kita di dalam menjalankan ibadah, di dalam mengapai tujuan kita di akhirat kelak.

Karena waktu yang paling menyenangkan, waktu yang paling meringankan baginya adalah waktu melakukan perjalanan tersebut, di pagi hari, sore hari atau ketika malam hari.

Itu adalah waktu-waktu nyaman bagi seseorang melakukan perjalanannya, dibandingkan jika dia harus berjalan di siang hari. Karena siang hari adalah waktu yang panas maka akan terasa letih baginya.

Jika dia memanfaatkan waktu-waktu tersebut (siang yang panas) maka dia bisa menghadapi kesulitan atau lamanya perjalan dia.

Begitu juga ketika seorang ingin berusaha menggapai perjalanan menuju akhirat, karena dunia ini ibarat jalan untuk mengambil bekal di akhirat yang kita semua akan mengarah kepada akhirat tersebut.

Maka Beliau menyarankan kepada kita agar memanfaatkan waktu-waktu tersebut, karena di waktu-waktu tersebut akan mempermudah kita di dalam beramal, mempermudah kita di dalam mengapai tujuan kita.

Maka hadīts ini merupakan hadīts yang sangat mulia yang menunjukkan tentang dua prinsip utama di dalam syar'iat ini, yaitu:

⑴ Bahwasanya agama ini mudah dan telah Allāh mudahkan untuk dijalani oleh manusia.

⑵ Bahwasanya kita diperintahkan untuk menjalankan perintah-perintah Allāh sesuai dengan kemampuan kita, sesuai dengan kondisi yang kita bisa.

⑶ Bahwasanya waktu yang dianjurkan untuk dimanfaatkan di dalam beribadah di antaranya adalah waktu pagi, sore dan tengah malam.

Dimana waktu tersebut biasanya dimanfaatkan oleh orang yang safar untuk melakukan perjalanan mereka. Karena di waktu-waktu tersebut lebih mudah dan lebih nyaman.

Demikian yang bisa kita kaji pada halaqah kali ini, dan in syā Allāh akan kita lanjutkan dengan hadīts berikutnya pada pertemuan yang akan datang.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
___________________

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 14 Jumādā Ats-Tsānī 1440 H / 19 Februari 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 032 | Hadits 32 (bagian 1)
〰〰〰〰〰〰〰

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR HADĪTS 32 (BAGIAN 1)

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم باحسان الى يوم الدين، اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-32 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'Uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Kita sudah sampai pada hadīts yang ke-32, yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla 'anhu, bahwa beliau mengatakan:

قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم "حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ " . قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ " إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ

"Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada enam hal."

Kemudian beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) ditanya:

"Apa saja itu, wahai Rasūlullāh?"

Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) bersabda:

"Hak seorang muslim terhadap sesama muslim itu ada enam, yaitu:

⑴ Jika kamu bertemu dengannya maka ucapkanlah salam,
⑵ Jika ia mengundangmu maka penuhilah undangannya,
⑶ Jika ia meminta nasihat kepadamu maka berilah ia nasihat,
⑷ Jika ia bersin dan mengucapkan: 'Alhamdulillāh' maka do’akan lah ia dengan Yarhamukallāh (mudah-mudahan Allāh memberikan rahmat kepadamu),
⑸ Jika ia sakit maka jenguklah dan;
⑹ Jika ia meninggal dunia maka iringilah jenazahnya. (Hadīts riwayat Muslim nomor 2162)

Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menyebutkan bahwa barangsiapa memenuhi enam hak ini, maka dia bisa dipastikan akan memenuhi hak-hak lainnya yang ada pada seorang muslim.

Jika enam hak ini dipenuhi maka hak-hak yang lain besar kemungkinan akan dia penuhi dan tentunya hal itu akan mendatangkan kebaikan yang besar dan pahala yang besar di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla baginya.

Enam hal tersebut, adalah:

⑴ Jika kamu bertemu dengannya maka ucapkanlah salam kepadanya.

Mengucapkan salam merupakan sebab akan adanya rasa cinta di antara sesama yang tentunya ini merupakan realisasi dari iman yang menjadi sebab dia masuk ke dalam surga.

Sebagaimana sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam hadīts yang lain. 

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَىْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ

"Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman dan tidaklah kalian beriman hingga kalian saling menyayangi. Maukah kalian aku tunjukkan atas sesuatu yang mana apabila kalian mengerjakannya niscaya kalian akan saling menyayangi ? Sebarkanlah salam di antara kalian."

Ucapan salam merupakan bentuk dari keindahan Islām, dimana setiap muslim yang bertemu maka dia akan mendo'akan bagi saudaranya keselamatan dari segala kejelekan.

Juga mendo'akan baginya rahmat serta keberkahan ketika dia mengucapkan:

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

Yang itu semua akan mendatangkan (menumbuhkan) rasa cinta dan kasih sayang di antara sesama mereka.

Begitu juga orang yang dia mendapatkan ucapan salam dari saudaranya maka wajib baginya untuk membalas ucapan salam tersebut dengan ucapan salam yang lebih baik (lebih sempurna) dari ucapan salam tadi. Jika tidak minimal dia mengucapkan sama dengan apa yang diucapkan saudaranya tadi.

Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang memulai salam terlebih dahulu.

Hadīts di atas merupakan anjuran dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam kepada kita untuk memulai salam apabila bertemu dengan seorang muslim dan salam tersebut merupakan do'a bagi saudara kita yang nantinya akan kembali dia mendo'akan kita dengan mengucapkan salam yang serupa atau lebih baik.

⑵ Jika ia mengundangmu maka penuhilah undangannya.

Jika seseorang mengundangmu (jamuan makan atau minum), maka penuhilah undangan tersebut dengan tujuan agar tidak mengecewakan yang mengundang.

Karena dia (yang mengundang) sudah bermaksud baik ingin mengundang dengan harapan temannya ini bisa mengabulkan niat baiknya. Dan biasanya yang mengundang telah menyiapkan yang terbaik buat tamunya dan si pengundang ingin memdapatkan do'a juga dari orang-orang yang dia undang.

⑶ Jika ia meminta nasihat kepadamu maka berilah ia nasihat.

Maksudnya (misalkan) seseorang meminta saran akan suatu perbuatan, apakah harus dilakukan atau tidak?

Maka sebaiknya seorang yang dimintai saran, dia berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan saran  sebagaimana dia senang untuk melakukan hal tersebut.

Jika dia senang untuk melakukan pekerjaan tersebut maka sarankan temannya untuk melakulan hal tersebut.

Tetapi jika dia tidak senang untuk melakukan pekerjaan tersebut karena ada sesuatu kekurangan atau kesulitan, maka jelaskan kepada yang meminta saran bahwasanya anda akan mengalami demikian, demikian, maka sebaiknya tidak perlu dikerjakan.

Atau jika perkara tersebut perlu dirinci atau perlu ditimbangkan mana yang baik dan mana yang buruk maka sampaikan kepada orang yang meminta nasehat tersebut, jelaskan ini sisi baiknya ini sisi buruknya. Lalu berikan saran apa yang terbaik bagi orang yang meminta saran tersebut.

Atau pada permasalahan lain ketika seorang diminta pendapatnya dalam hal pernikahan misalkan atau dalam hal muamalah suatu usaha, maka sebaiknya dia berusaha untuk menyampaikan yang paling bermanfaat bagi orang yang meminta saran tadi.

√ Apakah harus dilakukan atau tidak.
√ Apakah harus dipilih atau tidak.

Dan tidak boleh dia menyarankan sesuatu dengan tujuan menipunya atau tidak memperdulikan dampak (akibat) yang buruk dari saran yang telah dia berikan.

Yang demikian justru haram karena akan menjerumuskan saudaranya kepada suatu kesulitan.

Hak ini merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang muslim apabila dia meminta saran atau nasehat kebaikan kepada saudaranya.

Sebagaimana sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

الدين النصيحة
"Agama adalah nasehat."

Demikian yang bisa kita bahas pada halaqah kali ini, in syā Allāh kita lanjutkan pada halaqah yang akan datang.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
___________________

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 15 Jumādā Ats-Tsānī 1440 H / 20 Februari 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 033 | Hadits 33 (bagian 2)
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR HADĪTS 33 (BAGIAN 2)

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم باحسان الى يوم الدين، اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-33 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'Uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Kita lanjutkan pembahasan hadīts yang ke-33, yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla 'anhu, bahwa beliau mengatakan:

قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم "حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ " . قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ " إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ

Hak seorang muslim terhadap sesama muslim itu ada enam, yaitu:

⑴ Jika kamu bertemu dengannya maka ucapkanlah salam,
⑵ Jika ia mengundangmu maka penuhilah undangannya,
⑶ Jika ia meminta nasihat kepadamu maka berilah ia nasihat,
⑷ Jika ia bersin dan mengucapkan: 'Alhamdulillāh' maka do’akan lah ia dengan: Yarhamukallāh (mudah-mudahan Allāh memberikan rahmat kepadamu),
⑸ Jika ia sakit maka jenguklah dan
⑹ Jika ia meninggal dunia maka iringilah jenazahnya.
(Hadīts riwayat Muslim nomor 2162)

Kita lanjutkan hak yang berikutnya, yaitu:

⑷ Jika ia bersin dan mengucapkan: 'Alhamdulillāh' maka do’akanlah ia dengan: Yarhamukallāh (mudah-mudahan Allāh memberikan rahmat kepadamu).

Ketika seorang muslim bersin kemudian dia memuji Allāh Subhānahu wa Ta'āla dengan mengucapkan "Alhamdulillāh", (berarti) dia telah bersyukur (mengucapkan rasa syukur) kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla atas nikmat bersin.

Karena bersin itu merupakan nikmat, dimana dia bisa mengeluarkan sesuatu yang menganjal di dalam rongga tubuhnya sehingga dia memuji Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Maka orang yang bersin tadi selain dia mendapatkan pahala memuji Allāh, dia juga mendapatkan do'a dari orang yang mendengarnya.

Apabila ada orang yang mendengar seseorang bersin kemudian dia mengucapkan: "Yarhamukallāh (mudah-mudahan Allāh memberikan rahmat kepadamu)."

Maka dia (orang yang bersin) akan membalas dengan do'a yang lain (yaitu): "Yahdikumullāhu wa yushlihu bālakum" (semoga Allah senantiasa menunjukimu dan memperbaiki kondisimu).

Dan ini merupakan hak bagi seorang muslim.

⑸ Jika ia sakit maka jenguklah.

Apabila ada seorang muslim yang sakit maka hak bagi muslim yang lain (kewajiban) bagi muslim yang lain adalah menjenguk orang yang sakit tersebut.

Dengan tujuan untuk meringankan penderitaan yang sedang orang sakit tersebut hadapi dan untuk mengobati rasa berat atau kesulitan yang sedang orang sakit tersebut hadapi.

Dan tentunya ketika sedang menjenguk seseorang dianjurkan untuk mendo'akan kesembuhan bagi orang yang dijengguk serta memberikan hiburan dan membangkitkan semangat bagi orang yang sakit.

Dan menghibur orang sakit tersebut dengan pahala yang akan dia dapatkan apabila dia bersabar atas ujian yang Allāh berikan kepadanya.

Ini merupakan satu hak yang harus dipenuhi oleh seorang muslim. Terlebih apabila orang yang sakit ini bisa senang hatinya dengan  dijenguk oleh orang tadi (saudaranya).

Terlebih bila yang menjenguk adalah orang yang sangat dicintai, orang yang sangat dia hormati. Ketika dia dijenguk dia akan merasa diperhatikan, dan hal ini sangat dianjurkan.

⑹ Jika ia meninggal dunia maka iringilah jenazahnya.

Ini juga merupakan hak dimana seorang muslim yang meninggal maka saudara muslim yang lain wajib untuk mengurus jenazahnya dan mereka dianjurkan untuk mengikuti (mengiringi) jenazahnya hingga dia dishalātkan atau hingga dia dimakamkan.

Yang demikian itu merupakan penunaian hak bagi keluarganya karena keluargapun akan terbantu atau teringankan duka yang sedang mereka hadapi ketika orang-orang ikut untuk menyolatkan atau memakamkan jenazah keluarga mereka.

Hal ini sangatlah dianjurkan.

Enam hal ini merupakan hak bagi seorang muslim yang sepantasnya dipenuhi oleh kaum muslimin dan mereka jaga diantara sesama mereka.

Demikian yang bisa kita bahas pada halaqah kali ini (in syā Allāh) kita lanjutkan hadīts  berikutnya di halaqah yang akan datang.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
___________________

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 25 Rajab 1440 H / 01 April 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 034 | Hadits 34
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR HADĪTS 34
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-34 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Kita lanjutkan pembahasan hadīts yang ke-34, yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla 'anhu.

Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ :  أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ، فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّ مُونَهَا إِلَيْهِ، وَإِنْ يَكُ غير ذَلِكَ فشر تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ. متفق عليه

"Bersegeralah di dalam mengurus jenazah, jikalau jenazah itu adalah jenazah orang yang shālih maka kalian akan segera mendekatkannya kepada kebaikan. Namun jika tidak demikian (bukan orang shālih) maka kalian segera meletakkan kejelekan dari pundak-pundak kalian" (Hadīts ini riwayat Imām Bukhāri dan Muslim).

Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menjelaskan:

Hadīts ini mencakup beberapa permasalah-permasalah penting, di antaranya:

⑴ Perintah untuk bersegera di dalam mengurus jenazah, termasuk di dalamya;

√ Bersegera memandikannya.
√ Bersegera mengkafankannya.
√ Bersegera membawanya ke pemakaman dan menguburkannya
√ Bersegera mengurus sesuatu yang berkaitan dengan jenazah.

⇒ Yang semua itu sifatnya adalah fardhu kifayyah.

Penyegeraan ini diperintahkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam secara umum (kecuali) pada beberapa kondisi dimana di situ ada maslahat yang lebih penting yang mengharuskan penundaan pengurusan jenazah tersebut.

Maka pada kondisi seperti itu, boleh untuk ditunda sampai selesai tercapainya maslahat  tersebut.

Dan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan alasan, mengapa beliau memerintahkan untuk bersegera mengurus jenazah itu.

Alasannya adalah:

Apabila jenazah itu adalah jenazah orang baik maka itu merupakan kebaikan yang kita berikan kepada jenazah tersebut, karena jenazah tersebut akan segera mendapatkan kenikmatan (yaitu) dia akan mendapat maslahat dengan disegerakan.

Namun jika tidak demikian, maka maslahat yang kita berikan adalah maslahat untuk orang yang hidup yaitu bersegera untuk dijauhkan dari kejelekan yang sedang mereka bawa.

Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh, juga menyebutkan bahwasanya kalau dalam mengurus jenazah saja kita diperintahkan untuk bersegera, maka tentunya yang lebih utama lagi kita diperintahkan untuk bersegera membebaskan jenazah ini dari hutang-hutangnya.

Untuk menyelesaikan masalah hutang-hutangnya dan untuk menyelesaikan masalah hak-hak yang berkaitan dengan jenazah karena jenazah lebih membutuhkan agar jenazah terbebas dari tanggungan yang dia pikul.

⑵ Anjuran untuk memperhatikan keadaan seorang muslim baik ketika dia hidup maupun setelah dia meninggal (yaitu) dengan cara kita bersegera memberikan kebaikan kepadanya, baik kebaikan dalam urusan agamanya maupun dalam urusan dunianya.

Serta dengan cara menjauhkan dari sebab-sebab kejelekan serta anjuran untuk menjauhi orang-orang yang jahat atau orang-orang yang jelek perilakunya.

⑶ Penetapan tentang adanya nikmat barzakh dan juga adzab barzakh atau adzab kubur sebagaimana hal itu telah disebutkan di dalam hadīts-hadīts Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam secara muttawatir dan sangat banyak.

Nikmat serta adzab kubur tersebut dimulai sejak jenazah di letakkan di dalam kuburnya (yaitu) apabila telah selesai proses pemakaman.

⇒ Bisa jadi jenazah tersebut akan mendapatkan nikmat atau adzab.

Oleh karena itu kita diperintahkan untuk berdiam sesaat setelah memakamkan jenazah (yaitu) untuk:

√ Mendo'akannya jenazah tersebut.

√ Memintakan istighfār.

√ Memintakan kepada Allāh ketetapan bagi jenazah tersebut. (ketetapan di atas ucapan keimanan).

⑷ Adanya peringatan tentang sebab-sebab nikmat kubur dan juga adzab kubur.

Sebab-sebab nikmat kubur tersebut adalah dengan sifat keshālihan yang dimiliki oleh seseorang ketika hidupnya.

Dimana Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam hadīts di atas menyebutkan فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً (Jika jenazah tersebut adalah jenazah orang yang shālih di masa hidupnya) yang melakukan amal-amal shālih semasa hidupnya yang mencakup iman kepada Allāh dan Rasūl, taat kepada perintah Allāh dan Rasūl dan membenarkan kabar yang datang dari Rasūl Nya dan menjalankan perintah-perintah Nya serta menjauhi larangan-laranganNya.

Apabila itu menjadi sifatnya maka dia akan mendapatkan nikmat (mendapatkan kebaikan) dikuburkan di alam barzakhnya.

Adapun sebab-sebab adzab maka sebaliknya (yaitu) tidak ada sifat keshālihan di dalam dirinya dan dia ragu terhadap agama yang mulia ini atau karena dia berani untuk melakukan hal-hal yang Allāh haramkan atau dia meninggalkan hal-hal yang Allāh wajibkan.

Apabila dia lakukan hal tersebut maka dia terancam dengan adanya adzab kubur dan juga sebab-sebab lain yang disebutkan di dalam hadīts-hadīts Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yang semuanya itu kembali kepada permasalahan tidak shālihnya dia atau tidak ada keshālihan yang dia miliki semasa hidupnya.

Maka ini merupakan sebab yang bisa mendatangkan nikmat atau bisa sebaliknya sebab-sebab yang bisa mendatangkan adzab ketika di alam barzakh atau alam kubur.

Demikian yang bisa kita kaji pada halaqah kali ini, (in syā Allāh) kita lanjutkan hadīts berikutnya di halaqah mendatang.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
__________________

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 26 Rajab 1440 H / 02 April 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 035 | Hadits 35
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR HADĪTS 35
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-35 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'Uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Kita sudah sampai pada hadīts yang ke-35, yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Abū Saīd Al Khudriy radhiyallāhu ta'āla 'anhu.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ ـ رضى الله عنه ـ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ  " لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ مِنَ التَّمْرِ صَدَقَةٌ، وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ مِنَ الْوَرِقِ صَدَقَةٌ، وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ مِنَ الإِبِلِ صَدَقَةٌ (متفق عليه)

Beliau mengatakan:

"Tidak ada kewajiban zakāt pada kurma yang kurang dari lima ausuq (wasaq) dan tidak ada kewajiban zakāt pada perak yang kurang dari lima uqiyah (awaqīn) dan tidak ada kewajiban zakāt pada unta yang kurang dari lima ekor."
(Hadīts shahīh riwayat Imām Bukhāri dan Muslim)

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan tentang nishāb pada beberapa jenis harta yang wajib untuk dizakāti.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwasanya zakāt merupakan ibadah yang mulia yang termasuk salah satu dari rukun Islām.

Oleh karena itu Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan kepada umat ini tentang hukum berkenaan dalam masalah zakāt (masalah harta yang wajib untuk mereka zakāti) karena zakāt ini hanya diwajibkan pada beberapa jenis harta tidak pada semua harta.

Di antara jenis harta yang wajib untuk dizakāti, adalah:

⑴ Kurma
Kurma merupakan hasil dari biji-bijian dan buah-buahan.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan nishāb kurma yaitu sebanyak 5 (lima) wasaq.

Istilah wasaq merupakan satuan takaran volume, jika diukur maka 5 (lima) wasaq sama dengan 300 shā' yang ada pada zaman Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Apabila saat panen, kurma telah sampai pada jumlah 300 shā' maka kurma tersebut telah wajib untuk dizakāti.

Adapun bila 300 shā' ini di konversi ke dalam timbangan berat, para ulamā berbeda pendapat.

Para ulamā berbeda pendapat dalam menentukan jumlah dari timbangan berat tersebut, dikarenakan hal tersebut dipengaruhi oleh jenis barang yang ditimbang dan tentunya setiap barang berbeda-beda.

Maka sebagian ulama menyebutkan 300 shā' dari jenis kurma setara dengan 612 Kg. Sebagian yang lain menyebutkan 300 shā' setara dengan 653 kg.

Dan ada pendapat yang lain menyebutkan tentang jumlah yang lain tatkala takaran tersebut dikonversikan menjadi berat.

Namun intinya, bila hasil pertanian atau hasil buah-buahan yang telah terpenuhi kriteria wajib dizakāti telah mencapai jumlah 5 (lima) wasaq atau 300 shā' maka di situ wajib untuk dibayarkan zakātnya.

Berapa besar zakātnya?
Besar zakātnya adalah 10%, apabila selama penanaman atau pengairannya tidak membutuhkan biaya.

Apabila mengeluarkan biaya pada mayoritas waktu untuk pengairannya maka di situ zakātnya sebanyak 5%.

⇒ Ini berkenaan dengan kurma dan yang semisalnya dari hasil-hasil pertanian.

⑵ Hewan ternak
Berupa unta, sapi dan kambing, adapun selain dari tiga jenis hewan itu maka tidak wajib untuk dizakāti.

Di dalam hadīts ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan tentang nishāb unta, nishāb unta adalah 5 (lima) ekor.

▪ Unta
Apabila seseorang telah memiliki unta sebanyak 5 (lima) ekor dan telah terpenuhi kriteria zakāt padanya, maka dia wajib untuk membayarkan zakātnya (yaitu) satu ekor kambing.

Dan apabila bertambah atau lebih banyak jumlahnya (misalnya) :

√ Jika jumlahnya 10 ekor unta maka dia wajib  menzakāti 2 ekor kambing.
√ Jika jumlahnya 15 ekor unta maka dia wajib menzakāti 3 ekor kambing.

Begitu pula seterusnya, sebagaimana telah dijelaskan oleh para fuqahā' di dalam kitāb-kitāb fiqih mereka.

▪ Sapi
Nishāb sapi adalah 30 ekor, apabila seseorang telah memiliki 30 ekor sapi, maka di wajib membayar zakāt.

▪ Kambing
Adapun nishābnya adalah 40 ekor.

Dan tentunya hewan-hewan ternak ini tidak wajib dizakāti (kecuali) apabila telah terpenuhi syarat-syarat yang lain, selain dari nishāb

Seperti:

⑴ Hewan ternak tersebut sa-imah yaitu hewan tersebut mencari pangannya sulit atau digembalakan di padang rumput yang tumbuh dengan sendirinya bukan dari hasil usaha manusia.

⑵ Hewan tersebut telah memenuhi syarat haul artinya telah dimiliki selama satu haul (satu tahun).

Dan syarat-syarat lain. yang itu telah disebutkan oleh para fuqahā' di dalam pembahasan-pembahasan masalah zakāt.

⑶ Perak
Nishāb perak sebagaimana disebutkan didalam hadīts ini adalah sebanyak 5 uqiyah atau setara dengan 200 Dirham (uang perak) yang dipakai pada zaman Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Dan apabila dikonversi menjadi berat, sebagaimana disebutkan oleh para ulamā setara dengan 595 gram perak murni.

Apabila seseorang telah memiliki perak murni sebanyak 595 gram atau lebih, maka dia wajib untuk menzakātinya sebanyak 2.5%.

⑷ Emas
Nishāb emas adalah 20 mitsqāl (20 Dinnar) setara dengan 85 gram emas dan besar zakātnya sama dengan perak yaitu 2.5%.

Kemudian ada lagi jenis harta lain yang wajib untuk dizakāti sebagaimana disebutkan para ulamā yaitu:

⑸ Barang dagangan
Barang dagangan atau barang yang sudah dipersiapkan untuk didagangkan, apabila telah terpenuhi syarat-syaratnya, telah mencapai nishāb dan telah mencapai haul, maka itu juga wajib untuk dizakāti.

Sebagaimana juga pada zaman sekarang, alat tukar ini dilakukan dengan uang kertas (uang) maka uang pun wajib dizakāti dengan diqiyāskan kepada emas ataupun perak.

Sebagaimana hal itu telah disebutkan secara rinci oleh para ulamā di dalam penjelasan masalah zakāt.

Di dalam hadīts yang mulia ini, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan secara ringkas tentang beberapa harta yang wajib untuk dizakāti beserta nishāb-nishābnya yang semua ini menunjukkan kepada kita bahwasanya syar'iat Islām itu benar-benar memperhatikan tentang masalah zakāt.

Akan tetapi syar'iat ini tidak secara mutlaq mewajibkan zakāt pada setiap orang.

Karena ada batasan kapan seseorang sudah dikenakan kewajiban wajib zakāt dan kapan seorang belum dikenakan kewajiban zakāt.

Dan juga pada harta-harta yang dikenakan zakāt dan harta-harta yang tidak ada kewajiban zakāt

Yang semua itu bisa kita ketahui dari penjelasan para fuqahā' di dalam bab zakāt pada kitāb-kitāb fiqih.

Kita cukupkan dulu sampai di sini, halaqah kita kali ini (in syā Allāh) kita lanjutkan pada hadīts berikutnya pada halaqah yang akan datang.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
__________________

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 27 Rajab 1440 H / 03 April 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 036 | Hadits 36
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR HADĪTS 36
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-36 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'Uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Kita lanjutkan pembahasan hadīts yang ke-36, yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Abū Saīd radhiyallāhu ta'āla 'anhu.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ ـ رضى الله عنه ـ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ, وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ, وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ -متفق عليه-

Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya maka Allāh akan memberikan kehormatan kepadanya. Dan barangsiapa mencukupi dirinya dengan Allāh, maka Allāh akan mengkaruniakan kekayaan diri kepadanya. Dan barangsiapa bersabar maka Allāh akan mengkaruniakan kesabaran kepadanya. Dan tidaklah seseeorang diberikan pemberian yang lebih baik dan lebih luas, lebih melapangkan dadanya dibandingkan orang yang diberikan kesabaran."
(Hadīts shahīh riwayat Imām Bukhāri dan Muslim)

Di dalam menjelaskan hadīts ini, Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh mengatakan bahwasanya kesempurnaan seorang hamba ada pada keikhlāsan dia kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, Dia merasa cemas dan merasa harap di dalam ketergantungannya kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Maka untuk mengapai kesempurnaan tersebut tentunya ada upaya yang harus dia lakukan, ada upaya yang harus dia jalani agar menjadi seorang yang benar-benar menghambakan diri kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Menjadi seorang yang benar-benar merdeka dari penghambaan kepada para makhluk, dari ketergantungan hati kepada para makhluk.

Upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan dua hal yang dikabarkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam hadīts ini.

• Yang Pertama adalah memiliki sifat menjaga kehormatan dirinya dari meminta-minta apa yang ada ditangan manusia.

⑴ Menjaga kehormatan dirinya dari meminta dengan lisannya (ucapannya). 

⑵ Menjaga kehormatan dirinya dari meminta apa yang ada pada manusia dengan bahasa tubuhnya.

Karena ada kalanya seseorang, dia tidak meminta dengan lisannya tetapi dia meminta dengan bahasa tubuhnya atau perilakunya dia sebenarnya meminta dan mengharapkan apa yang ada pada manusia.

Maka orang yang seperti ini bukanlah orang yang menjaga kehormatan dirinya, karena dia menggantungkan dirinya pada apa yang ada ditangan manusia.

Maka Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan:

وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ

"Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya dari meminta apa yang ada ditangan manusia maka Allāh akan mengkaruniakan kepadanya kehormatan diri."

Ini hal pertama yang merupakan upaya yang harus dilakukan untuk bisa merealisasikan kesempurnaan penghambaan kepada Allāh (yaitu) menjaga kehormatan diri agar tidak mengharapkan apa yang ada pada manusia.

• Yang Kedua adalah dengan cara merasa cukup dengan adanya Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

√ Dia merasa dirinya telah kaya dengan adanya Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

√ Dia merasa yakin dan benar-benar yakin bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta'āla yang akan mencukupinya.

√ Dia bertawakal hanya kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla (bukan kepada selain Allāh Subhānahu wa Ta'āla).

Lalu upaya yang kedua setelah dia melepaskan harapan dia kepada manusia, kemudian dia gantungkan harapannya hanya kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla dan dia hanya mengharapkan pemberian dari Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Oleh karena itu Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mengabarkan:

وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ

"Barangsiapa merasa cukup dengan adanya Allāh, maka Allāh akan mengkaruniakan kepadanya kekayaan yang haqiqi yaitu kekayaan diri (kecukupan pada dirinya)."

Dua hal ini (sifat iffah dan al istighnaubillāh) adalah dua hal yang akan memberikan kepada dirinya kekuatan di dalam ketergantungan kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Yang akan memberikan pada dirinya ketergantungan hati kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla dan menumbuhkan rasa harap akan karunia Allāh Subhānahu wa Ta'āla dan husnudzān atas apa yang akan Allāh berikan kepadanya.

Dan dua sifat ini merupakan dua sifat yang diminta oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam do'a Beliau.

Di antara do'a Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, adalah:

اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

"Yā Allāh, aku meminta padaMu hidayah (petunjuk), ketakwaan, diberikan sifat ‘afāf (sifat kehormatan diri) dan ghinā (kekayaan diri)."

Maka barangsiapa dikaruniai sifat-sifat ini, maka dia akan mendapatkan kemenangan di dalam hatinya, dia tidak akan bergantung kepada orang lain di dalam hal apapun.

Kemudian di dalam hadīts ini juga Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan tentang satu sifat agung yang lain yang juga harus dimiliki oleh seseorang di dalam menjalankan kehidupan di dunia ini yaitu sifat kesabaran.

Karena kesabaran ini merupakan pemberian yang begitu besar dan yang terbaik dan sesuatu yang Allāh perintahkan untuk senantiasa dijadikan pegangan di dalam menghadapi semua urusan.

Oleh karena itu Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

وَٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ

"Dan mintalah pertolongan kepada Allāh dengan kesabaran dan shalāt." (QS. Al Baqarah: 45)

Maka kesabaranlah yang digunakan untuk menjalani dan menghadapi kehidupan di dunia ini, kesabaranlah yang akan menjadi penolong kita.

Suatu hal yang bisa membantu kita dalam menghadapi urusan-urusan dunia dan juga menghadapi urusan-urusan akhirat.

Dan yang namanya kesabaran butuh kepada upaya untuk dilatih dan memaksa diri, oleh karena itu Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mengabarkan:

  وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ

"Barangsiapa berupaya untuk bersabar, maka Allāh akan mengkaruniakan kepadanya kesabaran dan Allāh akan membantu dalam urusan-urusannya dengan kesabaran tersebut."

Kesabaran ini butuh untuk diupayakan.

Kesabaran ini harus ada pada semua keadaan, semua urusan seorang hamba, karena itu merupakan sebab ditolongnya dia, sebab berhasilnya dia

Kesabaran diperlukan dalam menjalankan ketaatan, agar dia bisa menjalankan ketaatan dan perintah-perintah Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kesabaran diperlukan di dalam menjauhi perbuatan-perbuatan kemaksiatan sehingga dia mampu untuk menjauhi perbuatan-perbuatan yang Allāh larang.

Kesabaran juga dibutuhkan di dalam menjalani taqdir yang Allāh tetapkan untuknya, dia tidak menunjukkan rasa marah atau benci ketika menghadapi taqdir yang kurang dia senangi (ketika menghadapi hal-hal yang tidak dia inginkan).

Sebagaimana kesabaran juga dibutuhkan tatkala dia menghadapi nikmat (diberikan nikmat), menghadapinya juga dengan kesabaran agar nikmat tersebut tidak dia gunakan untuk hal yang justru mendatangkan murka Allāh.

Dan agar nikmat tersebut digunakan untuk bersyukur atas nikmat yang sudah dia dapatkan.

Semua itu butuh pada kesabaran.

Karena pentingnya sifat sabar itu, Allāh Subhānahu wa Ta'āla mengabarkan kepada kita tentang hakikat apa yang telah dilakukan para penduduk Surga sehingga mereka bisa mendapatkan kenikmatan di Surga.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

أُو۟لَـٰٓئِكَ يُجْزَوْنَ ٱلْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا۟

"Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam Surga) karena kesabaran mereka." (QS. Al Furqān: 75)

Mereka mendapatkan surga dan kenikmatan-kenikmatannya dan mereka mendapatkan derajat yang tinggi di surga di sebabkan dahulu (tatkala di dunia) mereka bersabar.

√ Mereka bersabar dalam ketaatan.
√ Mereka bersabar dalam menjauhi kemaksiatan.
√ Mereka bersabar di dalam menyikapi taqdir yang telah Allāh tetapkan.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla menjadikan kita termasuk orang-orang yang memiliki sifat kesabaran di dalam menghadapi segala urusan dan di dalam menghadapi atau menjalankan semua ketaatan.

Dan semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla juga mengkaruniakan kepada kita sifat 'ifah (kehormatan diri) tidak berharap dengan apa yang ada pada manusia.

Dan juga memiliki sifat al ghinā (kekayaan diri)  yaitu merasa cukup, merasa kaya dengan adanya Allāh Subhānahu wa Ta'āla sehingga kita hanya bertawakal kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla dan hanya mengharapkan pemberian dari Allāh Subhānahu wa Ta'āla bukan pemberian dari makhluk.

Demikian penjelasan yang bisa kita kaji pada halaqah kali ini (in syā Allāh) akan kita lanjutkan hadīts berikutnya pada halaqah mendatang.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
__________________

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 13 Syawwal 1440 H / 17 Juni 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 037 | Hadits 37
〰〰〰〰〰〰〰

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 37

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-37 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Kita sudah sampai pada pembahasan hadīts yang ke-37, yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla 'anhu.

Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

"Tidaklah sedekah itu mengurangi harta dan tidak pula Allāh akan menambahkan kepada seorang hamba dikarenakan sifat memaafkan melainkan sebuah kemuliaan. Dan tidaklah seorang bertawādhu' karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla, melainkan Allāh akan mengangkat derajatnya." (Hadīts shahīh riwayat Imam Muslim nomor 2588)

Di dalam hadīts ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan tentang keutamaan tiga hal yaitu:

⑴ Sedekah
⑵ Sifat Afuw (memaafkan)
⑶ Sifat Tawādhu' (rendah hati)

Dimana kebanyakan orang menganggap bahwasanya sedekah akan mengurangi harta, memaafkan akan menghilangkan kemuliaan, bertawādhu' justru akan merendahkan martabat.

Semua anggapan ini pada hakikatnya adalah anggapan yang keliru, maka Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan (menegaskan) tentang hakikat sebenarnya manfaat yang akan didapatkan orang yang memiliki tiga sifat tadi.

⑴ Sedekah
Beliau mengatakan, "Tidaklah sedekah itu akan mengurangi harta."

Karena sebenarnya jika kita melihat kembali sedekah ini justru akan menambah harta dari sisi yang lain.

Meskipun dari satu sisi kita anggap mengurangi harta yang saat itu ada, akan tetapi dari sisi yang lain pada hakikatnya sedekah akan memberikan keberkahan pada harta yang dimiliki, bahkan sedekah justru akan menjadi sebab terbukanya pintu-pintu rejeki yang lain, bagi orang yang bersedekah tersebut.

Dan ini merupakan keuntungan duniawi yang bisa dia dapatkan, disamping adanya keuntungan ukhrawi yaitu pahala di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Akan tercatat baginya (akan diganjar baginya) dikarenakan sedekah yang dia lakukan, karena sedekah itu merupakan amalan ibadah yang mulia.

Maka pada hakikatnya sedekah itu akan menambah hartanya, bukan mengurangi hartanya.

⑵ Memaafkan orang lain akan memberikan kemuliaan.
Allāh akan memberikan kemuliaan kepada orang yang memiliki sifat memaafkan. Ketika dia sanggup untuk melawan (mengalahkan musuhnya) dia justru memaafkan, maka yang seperti ini akan membuahkan kemuliaan untuk dirinya sendiri.

Maka Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) bersabda:

وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا

"Tidaklah menambah pada seorang hamba sesuatu disebabkan maaf yang dia lakukan melainkan sebuah kemuliaan."

Karena hakikat kemuliaan itu sebenarnya adalah martabat di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla. 

Dia memiliki martabat yang tinggi, ketika dia memaafkan maka Allāh akan memuliakan dia, Allāh akan memaafkan dia.

Maka dia akan mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Allāh dan dia akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Di samping dengan memaafkan dia pun akan mendapatan kemuliaan di hadapan para makhluk. Yang tadinya lawan bisa menjadi kawan, yang tadinya benci bisa menjadi mencintai, yang tadinya mengabaikan (tidak memperdulikan) justru akan membantu ketika dia membutuhkan bantuan. Semua itu disebabkan karena sifat memaafkan yang pernah dia lakukan.

Dikarenakan Allāh Subhānahu wa Ta'āla telah menetapkan bahwasanya:

 الجزاء من جنس العمل

"Ganjaran dari suatu perbuatan akan sesuai dengan perbuatan tersebut."

Maka seorang yang dia memaafkan maka diapun akan mendapatkan pemaafan dari Allāh dan maaf dari makhluk, kemuliaan dari Allāh juga kemuliaan dari makhluk.

⑶ Sifat Tawādhu'
Seorang yang bertawadhu (orang yang merendahkan hati karena Allāh) merendahkan hatinya kepada sesama makhluk maka Allāh akan mengangkat derajatnya.

Seorang yang bertawādhu' (merendahkan hati dan menjalankan perintah-perintah Allāh dan menjauhi larangan-larangan Allāh), maka Allāh akan mengangkat derajatnya.

Sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَـٰتٍۢ ۚ

"Allāh akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al Mujadilah: 11)

Dikarenakan iman yang mereka miliki, ilmu yang mereka miliki akan menjadikan mereka memiliki sifat tawadhu.

Menjadikan mereka memiliki ketawādhu'an terhadap perintah-perintah Allāh, dengan ketundukan kepada perintah-perintah Allāh.

Menjadikan mereka memiliki ketawadhuan kepada sesama makhluk, mereka memperhatikan yang muda dan yang lebih tua dan mereka memperhatikan hak-hak orang yang memiliki kedudukan yang tinggi dan menperhatikan hak-hak orang yang memiliki kedudukan yang biasa-biasa saja.

Semua itu dikarenakan ketawādhu'an yang merupakan buah dari ilmu dan iman.

Beda halnya dengan orang yang dia memiliki kesombongan, dia akan memandang rendah orang lain dan dia akan menutup diri dari kebenaran, maka dia akan diharamkan dari berbagai macam kebaikan, dan dia akan menjadi rendah dihadapan Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Ketawadhuan adalah suatu sifat yang justru akan memberikan martabat yang tinggi pada orang yang tawadhu tersebut dihadapan Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Dan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan bahwasanya ketawadhuan yang bisa mendatangkan atau bisa mengangkat derajat seseorang di sisi Allāh adalah ketawadhuan yang didasari di atas keikhlāsan.

Maka Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

مَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ

"Tidaklah seseorang bertawadhu melainkan karena Allāh."

Hadīts ini menunjukkan barangsiapa tawadhu bukan karena Allāh, maka dia tidak akan mendapatkan kemuliaan dan derajat tinggi yang dijanjikan. Karena ada kalanya orang bertawadhu, dia merendahkan hati, tapi karena ingin mendapatkan tujuan yang ingin dia capai di hadapan manusia.

Dia mengharapkan apa yang ada dihadapan orang lain, untuk mendapatkannya maka dia berpura-pura tawādhu', karena kalau dia sombong dia tidak akan bisa mendapatkanya (tidak diberikan).

Atau ada kalanya dia tawādhu', karena riyā' karena ingin dipuji, ingin didengar orang bahwasanya dia memiliki ketawādhu'an (kerendahan hati). Maka yang seperti ini bukanlah sifat tawādhu' yang akan memberikan manfaat bagi dirinya.

Maka tiga sifat ini, merupakan tiga sifat yang dimiliki oleh orang-orang yang memiliki ihsān. Karena seorang yang berbuat ihsān berarti dia berbuat ihsān dengan hartanya dengan cara memberikan sedekah.

Dia berbuat ihsān ketika dia mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dengan cara memaafkan.

Dia berbuat ihsān pada orang lain dengan tidak menyombongkan dirinya di hadapan orang lain.

Yang semua itu merupakan akhlaq yang mulia yang diajarkan dan diperintahkan di dalam syar'iat yang mulia ini.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla menjadikan kita termasuk orang-orang yang memiliki tiga hal tersebut, yaitu:

⑴ Orang yang mudah untuk bersedekah.
⑵ Orang yang memiliki sifat memaafkan.
⑶ Orang yang memiliki ketawādhu'an di hadapan Allāh dan di hadapan makhluknya.

Demikian yang bisa kita kaji pada halaqah kita kali ini, insyā Allāh  akan kita lanjutkan lagi hadīts berikutnya di halaqah mendatang.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
_________________________

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 14 Syawwal 1440 H / 18 Juni 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 038 | Hadits 38
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 38
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Kaum muslimin dan muslimāt rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-38 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Kita sudah sampai pada pembahasan hadīts yang ke-38, yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla ‘anhu, beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

كل عمل ابن آدم يضاعف: الحسنة بعشر أمثالها إلى سبعمائة ضعف. قال الله تعالى: (إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به: يدع شهوته وطعامه من أجلي. للصائم فرحتان: فرحة عند فطره، وفرحة عند لقاء ربه. ولخلوف فيه أطيب عند الله من ريح المسك)

"Setiap amalan banī Ādam akan dilipatgandakan, sebuah kebaikan akan dilipatgandakan dengan sepuluh kali yang semisalnya hingga tujuh ratus kali lipatnya.”

Allāh Ta'āla berfirman:
"Kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa tersebut adalah milik-Ku dan Akulah yang akan mengganjarnya.”

Dimana orang yang berpuasa meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku. Bagi orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka puasa dan ketika dia berjumpa dengan Rabb-nya.

Dan sungguh bau mulut orang yang sedang berpuasa itu lebih harus daripada bau misk.

Dan hakikat puasa adalah perisai, maka apabila salah seorang dari kalian berpuasa maka janganlah dia mengucapkan ucapan yang keji dan ucapan-ucapan yang akan kenimbulkan keributan dan jika ada seorang yang mencelanya atau mengajak dia bertengkar maka hendaknya dia mengatakan, "Aku sedang berpuasa."
(Hadīts riwayat Bukhāri dan Muslim)

Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menjelaskan bahwa hadīts ini merupakan hadīts yang agung, dimana di dalam hadīts ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan tentang pelipat gandaan amalan secara umum dan menjelaskan tentang keutamaan ibadah puasa secara khusus dan pahala yang didapatkan dari orang yang berpuasa.

Jikalau kita perhatikan dalam hadīts ini, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengabarkan semua amalan manusia baik yang sifatnya ucapan ataupun perbuatan. Baik amalan ibadah (ibadah yang zhahir maupun yang bathin). Baik amalan ibadah tersebut berkenaan dengan hak Allāh ataupun hak-hak para hamba-Nya.

Semua itu akan dilipat gandakan menjadi sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat, ini menunjukkan besarnya karunia Allāh Subhānahu wa Ta'āla kepada hamba-Nya.

Dimana Allāh Subhānahu wa Ta'āla melipat gandakan pahala kebaikan yang mereka lakukan. Sedangkan perbuatan keburukan, dosa yang mereka lakukan maka tidak Allāh ganjar kecuali dengan yang semisalnya. Dengan satu kali yang semisal dengan keburukan tersebut.

Adapun kebaikan maka Allāh lipat gandakan, minimal sepuluh kali lipat dan bisa terus meningkat menjadi tujuh ratus kali lipat tergantung dari sebab-sebab yang menjadikan pahala tersebut berlipat ganda.

Disebutkan di antara sebab-sebab yang bisa melipat gandakan pahala tersebut, adalah:

⑴ Dengan kuatnya iman dan kesempurnaan keikhlāsan.

Apabila imannya kuat disertai dengan keikhlāsan yang sempurna ketika mengamalkan sesuatu amalan, maka amalan atau pahala amalan tersebut akan dilipatgandakan seiring dengan besarnya kekuatan iman dan kesempurnaan keikhlāsan yang dilakukan oleh orang yang mengamalkannya.

⑵ Jikalau amal tersebut memiliki peran yang sangat besar atau di situasi yang sangat penting (contohnya) berinfāq ketika sedang jihād atau dalam rangka thālibul 'ilmi.

Maka itu menjadi sebab akan dilipatgandakan dengan pelipatgandaan yang lebih dari sepuluh kali lipat.

Atau ketika dengan amalan tersebut bisa membuahkan amalan yang lain atau bisa diikuti oleh orang lain atau bisa untuk menutupi atau membantu kesusahan-kesusahan yang ada pada orang lain maka semua amalan-amalan tersebut akan dilipatgandakan seiring besarnya peran amalan itu.

Juga bergantung dari keutamaan waktu dan tempat dimana amalan tersebut dilakukan.

Ini di antara sebab-sebab yang menjadikan sebuah amalan dilipatgandakan dengan lebih hingga menjadi tujuh ratus kali lipat.

Kemudian di dalam hadīts yang mulia ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengabarkan bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta'āla mengecualikan sebuah amalan dari pelipat gandaan yang Beliau sebutkan tadi yaitu ibadah puasa.

Dimana Allāh Subhānahu wa Ta'āla menisbatkan puasa tersebut kepada diri-Nya. "Karena puasa itu adalah milik-Ku, dan Aku yang akan membalasnya."

Di sini menunjukkan bahwa pahala puasa begitu besar, pelipat gandaannya begitu besar, sehingga Allāh tidak menyebutkan pelipat gandaan ini dengan angka.

Pahalanya tidak disebutkan dengan dilipatgandakan sepuluh atau tujuh ratus kali lipat, tetapi Allāh menyebutkan, "Akulah yang akan membalasnya."

Ini menunjukkan sangat besarnya pahala yang didapatkan orang yang berpuasa, hal itu karena orang yang sedang berpuasa, dia meninggalkan syahwatnya, dia meninggalkan hal-hal yang dicintai oleh jiwanya dan dicintai oleh nalurinya. Dan meninggalkan kebutuhan-kebutuhan yang penting bagi dirinya dalam sehari-hari berupa makanan dan minuman karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Maka Allāh sebutkan sebab kenapa dia mendapatkan pahala yang begitu besar yaitu karena orang yang berpuasa, dia meninggalkan syahwatnya, meninggalkan makananannya, karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Maka dari sini kita mengetahui bahwasanya hakikat orang yang berpuasa adalah orang yang meninggalkan dua hal, yaitu:

⑴ Dia meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasanya (yang kita kenal dengan pembatal-pembatal puasa)

⑵ Dia meninggalkan perkara-perkara amalan, baik ucapan maupun perbuatan yang merusak pahala puasanya.

Dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang haram, yang merupakan bentuk kemaksiatan kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Semua itu dia tinggalkan maka itulah hakikat orang yang berpuasa.

Jikalau dia benar-benar merealisasikan puasa tersebut maka di sini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengabarkan tentang beberapa manfaat dan keuntungan yang akan didapatkan bagi orang yang berpuasa.

Maka Beliau mengatakan: ”Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan, yang pertama adalah kegembiraan yang akan segera dia dapatkan yaitu kegembiraan ketika dia akan berbuka dan kegembiraan kedua adalah kegembiraan yang nanti akan dia dapatkan di ākhirat yaitu kegembiraan ketika dia berjumpa dengan Rabb-nya, dengan keridhāan Allāh kepada dirinya dan dengan pahala yang besar yang Allāh janjikan kepada dirinya.”

Ini keuntungan pertama yang didapatkan orang yang berpuasa.

Kemudian keuntungan kedua yang beliau sebutkan dalam hadīts ini,

"Bau mulut orang yang berpuasa (timbul karena dia mengosongkan perutnya dari makanan sehingga menimbulkan bau yang tidak sedap) yang dirasakan oleh orang lain, ini justru lebih harum di sisi Allāh daripada bau minyak misk karena hal ini merupakan hal yang timbul dan terjadi karena dia melakukan ketaatan kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla."

Sesuatu yang timbul atau sesuatu hal yang tidak menyenangkan (tidak disenangi orang) tapi harus terjadi karena orangnya melakukan ketaatan, maka itu lebih dicintai oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla dan lebih mulia di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kemudian di dalam hadīts ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengabarkan bahwasanya puasa adalah perisai, (maksudnya) puasa adalah ibarat perisai yang akan menjaga dirinya dari perbuatan dosa dan menjaga dirinya dari adzab Allāh, kelak di ākhirat kalau dia benar-benar merealisasikan puasa dengan seharusnya.

Ibarat perisai akan menjaga orang yang memakainya dari hal-hal yang akan melukainya, begitu pula puasa. Puasa adalah perisai yang akan menjadikan orang yang berpuasa selamat dari perbuatan dosa.

Dia meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa ketika dia berpuasa dan dia selamat dari adzab Allāh karena dia meninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut karena dia berpuasa.

Oleh karena itu Allāh Subhānahu wa Ta'āla menyebutkan bahwasanya hikmah atau tujuan diwajibkannya berpuasa adalah agar kalian bertaqwa yaitu hakikat puasa yang diwajibkan agar kita menjadikan diri kita orang yang bertaqwa dengan puasa tersebut, sehingga kita selamat dari adzab Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan, "Dan apabila salah seorang di antara kalian sedang berpuasa, maka janganlah dia mengucapkan ucapan yang keji dan ucapan-ucapan yang akan menimbulkan keributan"

Ini menunjukkan bahwasanya hakikat puasa itu dilakukan dengan meninggalkan hal-hal yang haram.

Dan jika ada orang yang mengajak dia untuk bertengkar atau mencela dia, maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkan orang yang berpuasa untuk mengucapkan, "Sesungguhnya aku sedang berpuasa."

Maka, dari hadīts mulia ini kita mengetahui betapa besar pahala yang didapatkan oleh orang yang berpuasa dan bagaimana hakikat orang yang berpuasa dan apa yang dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa jika dia dihadapkan pada orang yang mencela dia atau mengajak dia bertengkar.

Demikian beberapa faedah yang bisa kita ambil dari hadīts yang mulia ini, in syā Allāh akan dilanjutkan hadīts berikutnya pada halaqah mendatang.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_________________________
🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 15 Syawwal 1440 H / 19 Juni 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 039 | Hadits 39
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 39
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-39 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Kita sudah sampai pada pembahasan hadīts yang ke-39, yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla 'anhu.

Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

إنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: "مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقْد آذَنْتهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَلَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْت سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ". وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَىْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ، يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ ".

Sesungguhnya Allāh berfirman:

"Barangsiapa memusuhi seorang wali-Ku maka sungguh aku telah menyatakan perang dengannya. Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu apapun daripada sesuatu yang lebih Aku cintai dari perkara-perkara yang telah aku wajibkan kepadanya dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan nāfilah hingga Aku mencintainya".

Apabila Aku telah mencintainya maka Aku akan menjadi pendengerannya yang dengannya dia mendengar dan pandangannya yang dia pandang dan tangannya yang dengannya dia melakukan sesuatu dan kakinya yang dengannya dia berjalan.

Seandainya dia meminta kepada-Ku, Aku akan memberinya, dan seandainya dia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku akan melindunginya. Dan tidaklah Aku merasa ragu dari sesuatu hal yang Aku lakukan seperti keraguan-Ku dari mencabut nyawa seorang mukmin, dia tidak senang terhadap kematian dan Akupun tidak senang untuk menyusahkanya, akan tetapi kematian itu adalah sesuatu ketetapan yang telah tetap baginya.” (Hadīts shahīh riwayat Bukhāri)

Di dalam hadīts yang mulia ini, terdapat faedah yang besar dimana di dalam hadīts ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan tentang keutamaan wali-wali-Nya serta sifat wali-wali-Nya tersebut.

Allāh mengabarkan bahwasanya barangsiapa memusuhi wali-wali Allāh maka berarti Allāh menyatakan permusuhan juga dengan meraka. Dan tentunya barangsiapa telah dinyatakan bermusuhan dengan Rabbul Ālamīn maka dia akan menjadi orang yang terlantar dan rugi. Dan Rabbnya (penciptanya) telah menyatakan permusuhan dan berperang dengannya.

Maka tidak ada lagi yang bisa melindunginya dan menaunginya. Dia termasuk orang yang merugi, suatu ancaman yang besar.

Sebaliknya barangsiapa yang Allāh telah menjamin untuk membelanya, niscaya  dia termasuk orang yang menang dan akan selalu ditolong. Yang demikian itu dikarenakan para wali-wali Allāh, mereka mencintai Allāh dengan sempurna. Dan mereka mencintai sesuatu karena Allāh.

Sehingga Allāh mencintai mereka dan Allāh menjaga serta mencukupi mereka.

Kemudian Allāh Subhānahu wa Ta'āla menyebutkan tentang sifat wali-wali-Nya tadi setelah mengabarkan pembelaannya tentang wali-wali Allāh.

Kemudian Allāh Subhānahu wa Ta'āla mensifatkan siapa wali-wali tersebut, agar seorang tahu siapa dari kalangan para hamba-Nya yang menjadi wali-Nya sehingga tidak dimusuhi, karena itu akan berdampak permusuhan dari Allāh Subhānahu wa Ta'āla terhadap orang yang memusuhi wali tersebut.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla sebutkan sifat wali itu adalah:

✔Orang-orang yang bertaqarrub kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla dengan melaksanakan hal-hal yang telah Allāh wajibkan.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

وَمَا تَقَرَّبَ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَـيَّ مِمَّـا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ

"Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya.”

Yang pertama kali yang paling Allāh cintai dari amalan taqarrub yang dia lakukan adalah jikalau dia mengerjakan perkara-perkara yang wajib.

Yang Allāh telah wajibkan ia tunaikan semua. Baik shalāt, puasa, zakāt, haji, amal ma'ruf nahi munkar dan hak-hak lainnya yang berkenaan dengan hak-hak manusia dia tunaikan yang merupakan kewajiban yang telah ditetapkan kepadanya.

✔Kemudian tidak cukup sampai disitu, dia terus melakukan taqarrub kepada Allāh dengan menambah hal-hal yang wajib itu dengan hal-hal yang nāfilah (hal-hal yang bersifat dianjurkan/disunnahkan) meskipun tidak sampai wajib untuk menambah dan menyempurnakan amalan-amalan ibadah yang wajib, maka dia senantiasa menambahnya.

Seperti dalam ibadah shalāt dia menambah ibadah shalāt-shalāt sunnah, pada puasa dia menambah dengan puasa-puasa sunnah demikian seterusnya.

Maka hakikat wali Allāh adalah mereka yang menjalankan perintah Allāh (kewajiban-kewajiban dari Allāh) dan menambahnya dengan hal-hal yang sunnah yang dengan itu maka Allāh akan mencintai mereka dan Allāh menjadi wali mereka. Dan Allāh menanggung dan menjaga mereka serta memudahkan segala urusan mereka, serta Allāh memberikan taufīq dan petunjuk kepada anggota-anggota tubuh dan perilaku mereka.

Allāh menunjukkannya kepada perkara-perkara yang mendatangkan kebaikan dan Allāh mengarahkan dan menuntunnya kepada perkara-perkara kebaikan.

Oleh karena itu Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا

"Jikalau aku mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang dengannya aku mendengar, penglihatan yang dengannya dia melihat, dan tangannya yang dengannya dia melakukan sesuatu dan kakinya dengannya dia melangkah.”

Ini menunjukkan bahwasanya Allāh mengarahkan dan memberikan petunjuk kepada anggota-anggota tubuhnya untuk menjalankan sesuatu yang baik.

Allāh menuntunnya kepada perkara-perkara yang baik, Allāh senantiasa bersama anggota tubuhnya ketika ia akan melakukan suatu perbuatan sehingga perbuatannya bukanlah perbuatan yang dimurkai dan mendatangkan kebencian Allāh.

Ini merupakan suatu bentuk keutamaan yang didapatkan oleh wali-wali Allāh dikarenakan mereka mengedepankan kecintaan kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Selain itu Allāh juga sebutkan:

وَلَئِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ

Jikalau dia meminta maka niscaya Allāh akan memberikannya.

Jikalau dia meminta pertolongan niscaya Allāh akan melindunginya.

Inilah sifat dan keutamaan yang didapatkan oleh seorang wali Allāh yang disebutkan di dalam hadīts qudsi ini.

Ini sejalan dengan apa yang Allāh firmankan tentang sifat wali-wali Allāh, dimana Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman di dalam surat Yūnus 62 dan 63.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

أَلَآ إِنَّ أَوۡلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ۞ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ

"Ingatlah wali-wali Allāh itu tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertaqwa.”

Maka barangsiapa dia beriman dan bertaqwa, maka dia adalah wali Allāh.

Dan dari hadīts ini pula kita bisa mengambil suatu faedah bahwasanya al faraidh atau amalan-amalan yang wajib, ini harus didahulukan daripada amalan-amalan yang sifatnya nāfilah.

Karena amalan yang wajib lebih dicintai oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, maka dia memprioritaskan terlebih dahulu untuk menunaikan yang wajib dibandingkan dia memperbanyak amalan yang sunnah.

Karena meninggalkan amalan yang wajib akan menjadikannya berdosa.

Demikian hadīts qudsi yang begitu mulia ini yang menjadi pokok di antara hadīts-hadīts pokok yang lain yang menyebutkan sifat-sifat para wali Allāh serta keutamaan yang didapatkan oleh para wali tersebut.

Demikian yang bisa kita kaji pada halaqah kita kali ini, in syā Allāh  akan kita lanjutkan kembali pada halaqah yang akan datang.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_________________________

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 12 Dzulqa’dah 1440 H / 15 Juli 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 040 | Hadits 40
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 40

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-40 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Kita sudah sampai pada pembahasan hadīts yang ke-40, yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Hakim bin Hazām radhiyallāhu ta'āla 'anhu.

Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا {متفق عليه}

"Dua orang yang melakukan jual beli mereka masih memiliki khiyār selama mereka belum berpisah, jika keduanya jujur di dalam jual beli tersebut dan menjelaskan hal-hal yang berkenaan dengan apa yang patut untuk dijelaskan, maka jual beli mereka akan mendapatkan keberkahan. Akan tetapi jika keduanya berbohong dan menyembunyikan sesuatu yang seharusnya disampaikan, maka keberkahan akan dihapuskan dari transaksi jual belinya." (Hadīts riwayat Al Bukhāri dan Muslim)

Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menjelaskan bahwa hadīts ini termasuk salah satu hadīts pokok yang menjelaskan tentang jual beli yang bermanfaat dan mudharat.

Karena jika seseorang bermuamalah (transaksi jual beli),

√ Ada kalanya transaksi yang dia lakukan merupakan transaksi yang bermanfaat dan mendatangkan keuntungan duniawi dan ukhrawi.

√ Ada kalanya muamalah yang dia lakukan memudharati dirinya sendiri, baik di dunia maupun di akhiratnya.

Apa yang menentukan muamalah itu bermanfaat atau tidak?

⇒ Disebutkan dalam hadīts yang mulia ini adalah sifat jujur dalam melakukan muamalah tersebut.

Sebagaimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam sebutkan:

"Jika dia jujur maka dia akan mendapatkan keberkahan, jika dia berbohong maka akan dihapuskan keberkahan darinya"

Barangsiapa jujur di dalam bermuamalah (misalnya) ketika sedang bermuamalah dia menjelaskan semua hal-hal yang harus dan perlu dijelaskan kepada pihak lawannya (pembeli) baik itu aib, kekurangan dan lainnnya dengan tujuan pembeli ridhā dengan apa yang dia beli maka ini merupakan bentuk jual beli yang bermanfaat di dunia dan di akhirat.

√ Bermanfaat di dunia karena dengan jujur dia telah menjalankan perintah Allah dan Rasūl Nya (yaitu) untuk jujur dalam bermuamalah, dengan jujur dia akan selamat dari dosa dan akan turun keberkahan didalam muamalahnya.

√ Bermanfaat di ākhirat, karena dengan jujur dia akan mendapatkan pahala dan selamat dari iqab kelak yang mengancam orang yang tidak jujur dalam muamalah.

Sebaliknya barangsiapa dia berdusta dan menyembunyikan aib di dalam transaksi jual beli (tidak transparan) tidak menjelaskan apa yang perlu diketahui pembeli, padahal itu sesuatu yang penting untuk dijelaskan, maka muamalah seperti ini akan menjadi mudharat baginya.

Di dunia dia mendapatkan dosa dari muamalah tersebut dan akan dihapuskan keberkahan padanya, jikalau keberkahan telah dihapus dan diangkat dari suatu muamalah maka orang yang melakukan muamalah tersebut akan rugi dunia akhirat.

Kemudian beliau rahimahullāh juga menjelaskan bahwasanya dari hadīts ini kita mengetahui;

⑴ Haramnya Tadlis

Haramnya melakukan penipuan di dalam bermuamalah, baik dengan cara menyembunyikan aib barang atau dengan cara penipuan dengan metode yang bermacam-macam (seperti) mengurangi timbangan atau takaran maupun dengan berbohong terhadap barang yang akan dijual.

⑵ An Najsy (tanajusy)

An nasjsy yaitu tawar menawar palsu (merekayasa penawaran) dengan tujuan untuk menaikan harga ketika ada pembeli.

⑶ Talaqqil Jalab

Talaqqil jalab yaitu orang yang membeli barang atau menjual barang sebelum sampai di tempat pemasaran secara umum, sehingga dia mendapat harga yang lebih murah dengan menipu pembeli atau penjualnya.

Karena pembeli dan penjual tidak tahu harga pasaran, maka yang seperti ini termasuk jual beli yang haram (mudharat bagi pelakunya)

Kemudian beliau rahimahullāh menjelaskan dhabitnya yaitu yang menjadi tolak ukur kapan jual beli itu dikatakan jual beli yang bohong atau menyembunyikan sesuatu dari pembeli adalah jikalau dia melakukan sesuatu dalam muamalah yang dia sendiri tidak senang diperlakukan dengan cara tersebut, maka itu berarti dia pun tidak boleh melakukan dengan cara tersebut.

Kemudian di dalam hadīts ini juga kita bisa mengambil satu faedah yaitu tentang hukum khiyār majlis yaitu bolehnya penjual dan pembeli untuk memilih apakah ingin melanjutkan akad atau membatalkan akad selama keduanya masih berada di tempat transaksi.

Sebagaimana sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam,

البيعان بالخيار ما لم يتفرقا

"Dua orang yang melakukan jual beli mereka masih memiliki khiyār selama mereka belum meninggalkan tempat transaksi.”

Maksudnya adalah seorang melakukan transaksi jual beli ternyata dia berubah pikiran dan ingin membatalkan akadnya. Selama mereka masih di tempat transaksi, maka masing-masing boleh membatalkan baik penjual maupun pembeli.

Demikian beberapa faedah yang bisa kita ambil dari hadīts ini dan hadīts ini termasuk di antara hadīts-hadīts pokok yang berkenaan dengan masalah jual beli.

Cukup sampai disini halaqah kita kali ini.

In syā Allāh akan kita lanjutkan pembahasan hadīts berikutnya pada halaqah yang akan datang.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_________________________

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 13 Dzulqa’dah 1440 H / 16 Juli 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 041 | Hadits 41
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 41
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-41 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Kita sudah sampai pada pembahasan hadīts yang ke-41, yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla 'anhu.

Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ .

"Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melarang jual beli hashāt dan jual beli gharar.” (Hadīts shahīh riwayat Muslim nomor 1513)

Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menjelaskan bahwa hadīts ini merupakan ungkapan yang jami', (yaitu) satu ungkapan yang maknanya menyeluruh bagi semua gharar.

Di dalam hadīts ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melarang semua jual beli yang di dalamnya terdapat unsur gharar.

Gharar adalah:  المخاطرة و جهله , ketidakjelasan dan adanya kondisi untung rugi yang tidak bisa diprediksi.

Contoh:

√ Seseorang menjual barang dan barang tersebut tidak bisa diketahui, apakah bisa diperoleh oleh pembeli atau tidak.

Misalnya:

Membeli seorang budak yang telah kabur dari penjualnya, sehingga pembeli tidak tahu apakah bisa menangkapnya (mendapatkan budak tersebut) atau tidak. 

√ Menjual barang yang telah diambil (dibeli) oleh orang lain. Jadi dijual lagi barang tersebut.

Pembeli tidak mengetahui apakah barang yang sudah dia beli bisa diperoleh kembali atau tidak. Disini ada ketidakjelasan dalam untung atau rugi.

Kalau barang tersebut bisa pembeli dapatkan maka pembeli beruntung, tetapi jika barang tersebut tidak bisa didapatkan maka pembeli rugi karena dia telah membayar (menyerahkan uang) untuk barang yang dia tidak dapatkan.

Maka ini diistilahkan sebagai: بَيْعِ الْغَرَرِ , yaitu jual beli yang di dalamnya terdapat unsur ketidakjelasan dalam untung atau rugi. 

Jual beli gharar ini banyak bentuknya. Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mencontohkan di dalam hadīts ini dengan; بَيْعِ الْحَصَاةِ , yang diartikan kerikil.

Namun maknanya adalah seseorang menjual barang dengan mengatakan kepada pembeli;

√ Silahkan kamu melempar dengan kerikil ini kearah barang mana saja, nanti barang yang terkena lemparan, barang itu akan menjadi milikmu (pembeli).

√ Dia menjual tanah dengan mengatakan kepada pembelinya, "Silahkan melempar dengan kerikil ini." dan tanah yang akan diserahkan kepada pembeli tersebut sejauh lemparan kerikilnya (pembeli).

Tidak peduli apakah dibayarkan dengan harga yang tinggi atau harga yang rendah yang jelas akan diserahkan sesuai dengan sejauh mana kerikil itu jatuh, maka ini ada unsur gharar (ketidakjelasan).

Dimana pembeli bisa mendapatkan barang lebih banyak dari harga yang dia bayarkan atau barang yang dia dapatkan lebih sedikit dari uang yang dia serahkan. Dia berada dalam kondisi untung atau rugi dan ini serupa dengan maysir (perjudian).

Oleh karena itu Syaikh di sini mengatakan:

"Bahwasanya gharar masuk dalam kategori maysir (perjudian).”

Kenapa?

Karena di dalam gharar tersebut ada unsur ketidakjelasan dalam jual beli, dalam untung atau rugi. Ibarat orang yang berjudi, dia tidak tahu apakah dia akan menang atau kalah.

Di antara hikmah yang diberikan oleh syariat ini ketika melarang jual beli gharar adalah agar tidak menimbulkan permusuhan di antara penjual dan pembeli, karena seandainya salah satu dari mereka merasa dirugikan tentunya mereka akan menuntut kepada pihak lain, karena salah satu dari mereka merasa dirugikan sehingga akan terjadi perdebatan, persengketaan di antara keduanya. Oleh karena itu jual beli gharar dilarang.

Dan para ulamā telah mensyaratkan beberapa hal di dalam transaksi jual beli, di antaranya:

⑴ Jual beli harus jelas bentuk, sifat dan harga barang yang akan dijual, karena jika tidak jelas maka termasuk gharar.

⑵ Orang yang melakukan transaksi jual beli harus memiliki kriteria cakap dalam bertransaksi, diizinkan dalam bertransaksi secara syar'iat. Yaitu terpenuhi usia (bāligh, berakal) serta memiliki kecakapan dalam mengelola keuangan.

⑶ Harus jelas batas waktu pembayaran harga dan penyerahan barang yang akan dijualbelikan.

Seandainya barang dijanjikan untuk diserahkan dikemudian hari atau dibayar kemudian hari, maka jatuh temponya harus jelas. Harus disepakati di awal akad, agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

Kesimpulannya:

Jual beli gharar termasuk jual beli yang dilarang dan bentuk-bentuknya beraneka ragam di antaranya adalah:

⑴ Menjual barang yang belum ada atau barang yang tidak ada dan tidak disifatkan barangnya.

⑵ Menjual barang yang sebenarnya ada tetapi tidak bisa diperoleh (seperti) budak yang telah kabur sehingga pembeli harus menangkap (mencari) sendiri budak tersebut.

⑶ Menjual barang yang tidak diketahui sifat, jenis dan dzatnya.

Syar'iat telah menetapkan ketentuan-ketentuan agar jual beli yang dilakukan merupakan jual beli yang didasari atas keridhāan dan tidak menimbulkan kemudharatan.

Demikian yang bisa kita bahas pada halaqah  kali ini.

In syā Allāh akan kita lanjutkan pembahasan hadīts berikutnya pada halaqah yang akan datang.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_________________________