▪ Sabtu, 28 Sya’ban 1440 H | 04 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-1 | Mukadimmah
Perlu untuk kita fahami bersama bahwa kwalitas ibadah kita di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan sangat tergantung dengan dekat dan jauhnya kita dari sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang telah diisyaratkan sendiri oleh penghulu anak turun Adam ‘alaihissalam dalam haditsnya yang mulia :
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan dari puasanya kecuali hanya lapar, dan betapa banyak orang yang shalat malam tidak mendapatkan dari shalatnya kecuali lelahnya begadang”. (HR. Ibnu Majah: 1690 dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih At-Targhib Wat-Tarhib: 1/453).
Syaikh Majdi Al-Hilali berkata ketika menjelaskan makna hadits ini :
ولو قمنا بإظهار معاني العبودية لله عز وجل ولكن بشكل مبتدع مخالف للذي ارتضاه لنا فلن يُقبل منا، وسيُرَد علينا
“Seandainya kita menampakkan hakikat makna ibadah kepada Allah azza wa jalla, akan tetapi dalam bentuk yang baru yang menyelisihi syariat yang telah Allah ridhai maka ibadah kita tidak akan diterima dan akan ditolak.” (Haqiqatul ‘Ubudiyyah: 15).
🌏 cintasedekah.org
📱 FB | IG | YT | Telegram | Twitter @CSPeduli
📜 Layanan CS :
▪cintasedekah.org/kalkulator-zakat/
▪bit.ly/jadwalkajianapp
____
▪ Ahad, 29 Sya’ban 1440 H | 05 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-2 | Bab 1 - Keutamaan Puasa
Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang meng-khususkan menyebut puasa serta menjelaskan keutamaannya. Diantaranya Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab : 35).
Al-Imam Ibnu Katsir -semoga Allah senantiasa merahmati beliau- ketika menerangkan tafsir ayat ini dan mengetengahkan keutamaan puasa, beliau berkata:
في الحديث الذي رواه ابن ماجه : ” والصوم زكاة البدن ” أي : تزكيه وتطهره وتنقيه من الأخلاط الرديئة طبعا وشرعا قال سعيد بن جبير : من صام رمضان وثلاثة أيام من كل شهر ، دخل في قوله : ( والصائمين والصائمات ) ولما كان الصوم من أكبر العون على كسر الشهوة – كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” يا معشر الشباب ، من استطاع منكم الباء فليتزوج ، فإنه أغض للبصر ، وأحصن للفرج ، ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء “
“Disebutkan di dalam hadits riwayat Ibnu Majah ‘Puasa adalah zakatnya badan’ maksudnya puasa ini mensucikan badan, membersihkan dan memurnikan-nya dari berbagai kotoran yang buruk baik, dari sudut pandang tabiat maupun sudut pandang syariat. Sa’id bin Jubair berkata ;
Barangsiapa puasa di bulan Ramadhan dan puasa tiga hari setiap bulannya maka ia termasuk kelompok yang difirmankan oleh Allah ‘Wash-Ash-Soimin wash-Sho’imat’/para lelaki dan wanita yang gemar berpuasa.
Dan puasa ini diantara faktor terbesar yang bisa mengendalikan syahwat sebagaimana sabda nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ; ‘Wahai para pemuda barangsiapa diantara kalian telah mampu, hendaknya menikah, karena itu lebih menjaga pandangan dan kemaluan. Barangsiapa tidak mampu hendaknya ia berpuasa karena puasa akan menjadi perisai baginya”.
Dan ketika menjelaskan firman Allah yang menerangkan balasan bagi orang-orang yang berpuasa, beliau (Imam Ibnu Katsir) kembali berkata :
وقوله : ( أعد الله لهم مغفرة وأجرا عظيما ) أي : هيأ لهم منه لذنوبهم مغفرة وأجرا عظيما وهو الجنة
“Dan firman Allah ta’ala (Allah menyiapkan bagi mereka pengampunan dan pahala yang besar) maksudnya ialah : Dengan sebab puasa Allah menyiapkan bagi mereka atas dosa mereka pengampunan serta pahala yang besar yaitu syurga”. (Tafsir Ibnu Katsir : 1501)
__
▪ Senin, 1 Ramadhan 1440 H | 06 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-3 | Bab 2 - Keutamaan Bulan Ramadhan
Ramadhan itu adalah bulan kebaikan, bulan mulia, Allah memberikan banyak sekali kebaikan serta keberkahan di dalam nya sebagaimana yang tampak pada point-point sebagai berikut :
a). Allah Ta’ala menurunkan kitab suci Al-Qur’an di bulan Ramadhan.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنْ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Bulan Ramadhan, bulan yang padanya diturunkan (permulaan) Al-qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS. Al-Baqarah : 185).
b). Setan dibelenggu, pintu neraka ditutup, dan dibukanya pintu syurga.
Hal ini terjadi dan dimulai dari sejak awal kali permulaan bulan ramadhan, nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ ، وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِينُ
“Jika telah masuk bulan ramadhan pintu-pintu syurga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup, dan syaithan-syaithan dibelenggu”. (HR Bukhari : 3277, Muslim : 1079).
c). Di bulan Ramadhan terdapat malam Lailatul Qadar
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ;
أَتَاكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ ، تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ ، وَتُغَلُّ فِيهِ مِرَدَةُ الشَّيَاطِينِ ، لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ
“Datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah ta’ala mewajibkan puasa di dalamnya, pintu-pintu langit dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup, dedengkot-dedengkot setan dibelengu. Di dalamnya Allah memiliki sebuah malam yang lebih utama dari seribu bulan, barangsiapa diharamkan dari mendapatkan kebaikannya maka sungguha ia orang yang rugi”. (HR Ahmad : 9213, An-Nasa’i : 2106, dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa’i : 1992).
Wallahu a’lam
__
◼ Selasa, 2 Ramadhan 1440 H | 07 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-4 | Bab 3 - Sejarah Kewajiban Puasa
Ketika hati-hati para sahabat sudah mulai kokoh berpegang dengan ajaran tauhid dan mengagungkan syi’ar-syiar Allah. Lantas Allah ta’ala mensyariatkan puasa dengan Takhyir/Optional, maknanya kaum muslimin boleh memilih untuk puasa atau tidak puasa namun menggantinya dengan Fidyah. Dan Allah menjelaskan bahwa yang paling utama dari keduanya adalah berpuasa. Allah berfirman :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) ; memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 184).
Setelah itu baru kemudian Opsi/Kesempatan memilih antara puasa dan tidak ini dihapus oleh Allah dengan turunnya surat Al-Baqarah ayat ; 185 ;
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185).
__
◼ Rabu, 3 Ramadhan 1440 H | 08 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-5 | Bab 4 - Motivasi Berpuasa
Dengan puasa Ramadhan ini seseorang bisa meraih derajatnya para syuhada’ yang wafat di jalan Allah, serta meraih derajatnya para shiddiqin. Suatu ketika datang seorang lelaki kepada nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ، وَأَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ ، وَصَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ ، وَأَدَّيْتُ الزَّكَاةَ ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ ، وَقُمْتُهُ ، فَمِمَّنْ أَنَا ؟
“Wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam apa pendapatmu jika aku bersyahadat tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhhamad adalah utusan Allah, dan aku shalat lima waktu, aku membayar zakat berpuasa ramadhan dan shalat malam di dalamnya, maka aku termasuk golongan manusia yang mana?
قَالَ-صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : ” مِنَ الصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ “
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Kamu termasuk golongan para shiddiqin dan para syuhada’”. (HR. Ibnu Hibban : 19 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shahihut Targhib Wat Tarhib : 1003).
Wallahu a’lam
__
◼ Kamis, 4 Ramadhan 1440 H | 09 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-6 | Bab 5 - Ancaman Bagi Orang Yang Tidak Puasa
Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu mendengar Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
بينا أنا نائم إذ أتاني رجلان ، فأخذا بضبعي، فأتيا بي جبلا وعرا ، فقالا : اصعد ، فقلت : إني لا أطيقه ، فقالا : إنا سنسهله لك ، فصعدت حتى إذا كنت في سواء الجبل إذا بأصوات شديدة ، قلت : ما هذه الأصوات ؟ قالوا : هذا عواء أهل النار ، ثم انطلق بي ، فإذا أنا بقوم معلقين بعراقيبهم ، مشققة أشداقهم ، تسيل أشداقهم دما قال : قلت : من هؤلاء ؟ قال : هؤلاء الذين يفطرون قبل تحلة صومهم
”Ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata, ‘Naiklah’. Lalu kukatakan, ‘Sesungguhnya aku tidak mampu.’
Kemudian keduanya berkata, ‘Kami akan memudahkanmu’. Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu aku bertanya, ‘Suara apa itu?’ Mereka menjawab,’Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka.’
Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan aku melihat orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah darah.
Kemudian aku (Abu Umamah) bertanya,’Siapakah mereka itu?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya.’ (HR. Ibnu Hibban : 1800 dinyatakan shahih oleh Imam Al-Albani dalam Shahihut Targhib Wat Tarhib : 1005).
__
◼ Jum'at, 5 Ramadhan 1440 H | 10 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-7 | Bab 6 - Metode Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan
Hukum asal penetapan awal bulan di dalam syariat islam adalah dengan ru’yatul hilal (melihat hilal) sebagaimana firman Allah ta’ala :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu.” (QS. Al-Baqarah : 185).
Imam Ibnu Katsir berkata menafsirkan firman Allah ini :
هذا إيجاب حتم على من شهد استهلال الشهر
“Ini adalah kewajiban yang harus bagi orang yang telah berhasil melihat hilal bulan itu”. (Tafsir Ibnu Katsir : 239).
Ketika Cuaca Mendung
Kemudian ketika terjadi mendung, sehingga kita tidak mungkin melakukan ru’yatul hilal (melihat hilal), syariat sudah memberikan solusi/jalan keluar dari sisi Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Atau dengan kata lain kita berpindah kepada metode yang kedua yang dikatakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut :
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ، فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
“Puasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah bulan Sya’ban tiga puluh hari.” (HR. Bukhari : 1910, Muslim : 1081).
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma, (bahwasanya) Rasulullah ahallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَتَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوُا الْهلاَلَ، وَلاَ تُفطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ، فَاَقْدِرُوْالَهُ
“Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya (hilal). Jika kalian terhalangi awan, hitunglah bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari : 4/106 dan Muslim : 1080).
__
◼ Sabtu, 6 Ramadhan 1440 H | 11 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-8 | Bab 7 - Metode Penetapan Awal Dan Akhir Ramadhan
Sebenarnya jika kita mengikuti dalil-dalil di atas yang berujung pada satu kesimpulan bahwa permulaan Ramadhan dan hari raya itu dengan mengikuti keputusan penguasa, justru akan semakin ringan, mudah dan persatuan kaum muslimin dapat terwujud.
Seandainya ternyata keputusan penguasa tersebut salah maka kesalahannya akan ditanggung oleh penguasa. Adapun kita sebagai rakyat tidak ikut menanggung dosa dan kesalahannya, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يُصَلُّوْنَ لَكُمْ، فَإِنْ أَصَابُوْا فَلَكُمْ وَلَهُمْ، وَإِنْ أَخْطَأُوْا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Mereka shalat mengimami kalian. Apabila mereka benar, kalian dan mereka mendapatkan pahala. Apabila mereka keliru, kalian mendapat pahala sedangkan mereka mendapat dosa.” (HR. Bukhari : 694).
Di samping itu kita tidak diperkenankan untuk berpuasa pada hari syak/hari yang meragukan (ragu apakah hari itu hari terakhir bulan sya’ban atau hari pertama bulan ramadhan) dengan cara berpuasa sebelum ramadhan satu atau dua hari sebelumnya berdasarkan hadis :
لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ
“Janganlah salah seorang dari kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya. Keculai bagi lelaki yang terbiasa puasa maka hendaknya ia berpuasa pada hari tersebut”. (HR. Muslim : 573).
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يَشُكُّ فِيهِ النَّاسُ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barangsiapa berpuasa pada hari yang manusia ragu di dalamnya, maka ia telah bermaksiat kepada Abul Qasim shalallahu ‘alaihi wa sallam”. (HR Tirmidzi dishahihkan oleh Imam Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan At-Tirmidzi : 553).
Namun jika hari tersebut telah ditetapkan oleh penguasa akan status kejelasannya, seperti penguasa menetapkan hari ini adalah awal Ramadhan misalnya, maka kita mengikuti ketetapan penguasa, Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan :
وأصح هذه الأقوال هو التحريم ، ولكن إذا ثبت عند الإمام وجوب صوم هذا اليوم وأمر الناس بصومه فإنه لا ينابذ وتحصل عدم منابذته بألا يُظهر الإنسان فطره ، وإنما يُفطر سراً
“Pendapat yang paling benar dari sekian banyak pendapat ini ialah puasa di hari Syak/meragukan itu haram hukumnya. Tapi apabila telah jelas keputusan penguasa wajibnya puasa di hari tersebut dan penguasa memerintahkan manusia untuk berpuasa di hari itu, maka hal ini tidak boleh ditentang” (Asy-Syarhul Mumti’ : 6/318).
Keputusan ini pulalah yang ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia dalam fatwa yang mereka rilis. Diantara point keputusan fatwa yang disebutkan di sana adalah :
“MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH
Pertama : Fatwa
Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.
Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.”
Fatwa ini ditanda tangani oleh ketua komisi fatwa MUI KH Ma’ruf Amin, dan juga sekretaris komisi fatwa MUI Bapak Hasanudin.
(Sumber : Fatwa MUI nomor ; 2 Tahun 2004 tentang penetapan awal Ramadhan, Syawaal dan Dzulhijjah).
Wallahu a’lam
__
◼ Ahad, 7 Ramadhan 1440 H | 12 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-9 | Bab 8 - Syarat wajibnya puasa
Syarat Puasa
Syarat puasa itu ada tiga macam
a). Syarat wajibnya puasa :
- Baligh/telah mencapai usia dewasa.
- Mampu
- Mukim atau tidak sedang bersafar.
b). Syarat sahnya puasa
- Niat
- Tamyiz/Mumayyiz
- Waktu Puasa
c). Syarat Wajib Dan Sahnya Puasa Sekaligus
- Islam
- Berakal
- Suci dari haidh dan nifas
__
◼ Senin, 8 Ramadhan 1440 H | 13 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-10 | Bab 9 - Syarat sahnya puasa
• Niat
Apabila telah jelas status suatu hari bahwa ia adalah awal Ramadhan baik dengan ru’yatul hilal, atau dengan persaksian atau dengan menggenapkan jumlah hari bulan sya’ban, maka seorang muslim wajib memulai niatnya pada malam hari pertama di bulan ramadhan sebagaimana sabda nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ مِنْ اللَّيْلِ فَلا صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa tidak melakukan niat sejak dari malam, maka tidak ada puasa baginya”. (HR Tirmidzi : 730, Nasa’i : 2334, dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi : 583).
Niat ini letaknya di hati, tidak perlu diucapkan dengan lisan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
ومن خطر بقلبه أنه صائم غداً فقد نوى
“Barangsiapa terbetik di dalam hatinya keinginan untuk berpuasa di esok hari, maka ia telah berniat”. (Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah : 1/191).
Syaikh DR. Musthafa Al-Khin berkata :
وهي قصد الصيام، ومحلها القلب، ولا تكفي باللسان، ولا يشترط التلفظ بها، ودليل وجوب النية قوله - صلى الله عليه وسلم - " إنما الأعمال بالنيات "
“Dan niat itu maknanya bermaksud untuk melaksanakan puasa, niat letaknya di hati, tidak cukup diucapkan lisan dan tidak disyaratkan untuk diucapkan. Dalil kewajibannya ialah sabda nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ;
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya”. (HR Bukhari : 1, Muslim : 1907). (Lihat Al-Fiqhul Manhaji ‘Ala Madzhab Imam Asy-Syafi’i : 2/282).
Kumpulan ulama’ besar di kerajaan Saudi Arabia yang tergabung dalam Lajnah Da’imah berfatwa :
تكون النية بالعزم على الصيام ، ولا بد من تبييت نية صيام رمضان ليلاً كل ليلة
“Niat puasa itu dengan berazam kuat untuk melakukan puasa dan niat puasa ramadhan harus di lakukan pada malam di setiap harinya”. (Fatawa Lajnah Da’imah : 10/246).
Hukum ini (keharusan niat di malam hari) berkaitan dengan puasa wajib atau puasa Ramadhan. Adapun puasa sunnah maka tidak disyaratkan niat di malam hari sebelum subuh. Maknanya jika seseorang pada suatu hari tidak memiliki niat puasa sama sekali, dan ia sejak subuh hingga siang belum makan, belum minum, belum melakukan pembatal puasa. Kemudian ia berniat puasa di siang hari maka sah puasanya. Dan hukum ini khusus berlaku untuk puasa sunnah, dalinya riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha berikut ini :
دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ، فَقَالَ : هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ ، فَقُلْنَا : لَا ، قَالَ : فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ ، ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ ، فَقُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ ، فَقَالَ : أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ، فَأَكَلَ
“Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahku pada suatu hari, beliau bertanya ; ‘Apakah engkau memiliki makanan?’. Kami mengatakan ; ‘Tidak’.
Beliau lantas bersabda ; ‘Jika demikian aku akan berpuasa saja’. Kemudian beliau mendatangi kami pada hari yang lain, kamipun mengatakan ; ‘Wahai rasulullah kami diberi hadiah berupa Hais (roti campuran dari kurma, gandum, susu, keju, minyak samin)’. Beliau berkata ; ‘Berikan kepadaku sejak tadi pagi aku puasa’, lantas beliau makan”. (HR. Muslim : 1958).
Namun ada hal yang perlu diperhatikan dalam masalah memulai niat puasa di siang hari ini. Sebagian ulama mengatakan bebas memulai niat kapan saja selama belum melakukan pembatal puasa di hari tersebut. Sebagian ulama yang lain mensyaratkan mulai niat puasa ini hendaknya dilakukan maximal beberapa saat sebelum waktu zawal/tergelincirnya matahari/beberapa saat sebelum dzuhur. Pendapat yang kedua inilah yang benar, wallahu a’lam.
• Tamyiz/Mumayyiz
Tidak sah puasa anak-anak yang belum mumayyiz/belum bisa membedakan mana aurat mana bukan. Imam Mahmud bin Abdillah Al-Husaini Al-Alusi berkata menuturkan penjelasan tentang kriteria anak yang belum mumayyiz :
الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلى عَوْراتِ النِّساءِ أي الأطفال الذين لم يعرفوا ما العورة ولم يميزوا بينها وبين غيرها
“Yaitu anak yang belum tampak pada mereka aurat wanita. Maknanya ialah anak-anak yang belum mengetahui apa itu aurat dan belum mampu membedakan mana aurat mana bukan”. (Tafsir Ruhul Ma’ani : 9/339).
• Waktu Puasa
Tidak sah puasa yang dilakukan pada hari-hari yang terlarang seperti orang berpuasa pada hari raya Idul Fitri misalnya berdasarkan riwayat dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu beliau berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَّحْرِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada dua hari yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Muslim : 1138).
__
◼ Selasa, 9 Ramadhan 1440 H | 14 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-11 | Bab 10 - Syarat Wajib Dan Sahnya Puasa Sekaligus
• Islam
Maka orang kafir tidak wajib melaksanakan puasa, karena khitab (lawan bicara) yang Allah tujukan kepada mereka perintah puasa adalah orang-orang yang beriman, sebagaimana yang tersebut dengan jelas di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat : 183 yang terkenal itu.
Seandainya mereka puasa, tidak sah puasa mereka dan tidak diterima oleh Allah ta’ala.
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Seandainya engkau berbuat syirik maka akan terhapus semua amalmu dan kelak engkau termasuk golongan orang-orang yang merugi”.
(QS.Az-Zumar : 65).
Dan jika mereka masuk islam maka tidak ada kewajiban untuk mengqadha’/mengganti puasa Ramadhan yang selama ini mereka tinggalkan, hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala :
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّتُ الْأَوَّلِينَ
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu.” (QS. Al-Anfal : 38).
• Berakal
Orang yang tidak berakal karena faktor apapun, tidak wajib puasa berdasarkan hadits yang sudah kita sebutkan di atas :
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ ، عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ
“Pena diangkat dari tiga golongan manusia ; dari orang gila yang hilang akal, dari orang yang tidur hingga ia bangun dan dari anak kecil hingga ia baligh/dewasa”. (HR Abu Dawud : 4399 dan Ibnu Hibban : 1497 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil : 2/5).
Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair berkata :
وفرق بين النوم وبين الجنون والإغماء، الجنون يرفع التكليف بخلاف النوم، الإغماء هل يلحق بالجنون أو بالنوم؟ أهل العلم فصلوا فقالوا: إن كان الإغماء أكثر من ثلاثة أيام فهو في حكم الجنون، بمعنى أنه لا يؤمر بقضاء، الإغماء يعني لو نفترض أن شخصاً أدخل العناية المركزة ولا يحس بشيء لمدة خمسة أيام أسبوع شهر أو أكثر، ما يقال: إذا أفاق لا يلزمه شيء، لا يلزمه قضاء شيء، لكن لو أغمي عليه يوم أو يومين يقضي ما فاته؛ لأن مثل هذا الإغماء لأنهم جعلوا الثلاثة حد للكثرة والقلة، فالقليل من الإغماء حكمه حكم النوم، والنائم يلزمه أن يقضي ما فاته، ومثله من أغمي عليه أقل من ثلاثة أيام، وأما من أغمي عليه أكثر من ثلاثة أيام وطال به الإغماء فحكمه حكم المجنون يرتفع عنه التكليف.
“Para ulama membedakan antara tidur dengan gila dan juga pingsan. Orang yang gila diangkat darinya kewajiban agama berbeda dengan orang yang tidur. Apakah pingsan disamakan hukumnya dengan tidur?
Para ahli ilmu merinci, apabila durasi pingsan lebih dari tiga hari, maka ia dihukumi sama dengan kasus orang gila. Maknanya ia tidak diperintahkan untuk mengqadha’ puasa. Orang yang pingsan taruhlan ada orang yang opaname di ruang UGD, ia tidak merasakan apa-apa (koma) selama lima hari atau sepekan atau sebulan dikatakan ; ia tidak memiliki kewajiban apa-apa, ia tidak harus meangqadha’ apapaun.
Akan tetapi jika ia pingsan selama sehari atau dua hari, maka ia mengqadha’ puasa yang terlewat. Karena jenis pingsan seperti ini para ulama menjadikan jumlah tiga hari ini sebagai standard banyak dan sedikitnya pingsan seseorang. Maka pingsan yang sedikit hukumnya sama dengan tidur. Dan orang yang tidur itu memiliki kewajiban untuk mengqadha’ puasa yang terlewat. Demikian pula sama hukumnya orang yang pingsan kurang dari tiga hari.
Adapun yang pingsan lebih dari tiga hari dan berkelanjutan maka hukumnya disamakan dengan hukum orang yang gila, kewajiban agama terangkat dari dia”. (Syarah Zadil Mustaqni’ Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair : 3/5).
• Suci dari haidh dan nifas
Dalil bahwasanya wanita haidh dan nifas tidak boleh melaksanakan puasa ialah riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha sebagai berikut :
كُنَّا نَحِيضُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ , وَلا نُؤْمَرُ بِقَضَاء الصَّلاةِ
“Kami mengalami haidh di masa rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat”. (HR. Muslim : 335).
Hadits ini menunjukkan puasa haram bagi wanita yang sedang haidh maupun nifas, dan mereka memiliki kewajiban untuk mengganti puasa di hari yang lain. Imam Nawawi menyatakan :
أَجْمَعَتْ الأُمَّةُ عَلَى تَحْرِيمِ الصَّوْمِ عَلَى الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ , وَعَلَى أَنَّهُ لا يَصِحُّ صَوْمُهَا...وَأَجْمَعَتْ الأُمَّةُ أَيْضًا عَلَى وُجُوبِ قَضَاءِ صَوْمِ رَمَضَانَ عَلَيْهَا , نَقَلَ الإِجْمَاعَ فِيهِ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ جَرِيرٍ وَأَصْحَابُنَا وَغَيْرُهُمْ
“Ulama umat Islam telah bersepakat akan haramnya puasa bagi wanita haidh dan nifas dan bahwasanya tidak sah puasa keduanya dan mereka bersepakat pula bahwa keduanya wajib mengqadha’ puasa Ramadahan di hari yang lain. Kesepakatan ini dinukil pula oleh Tirmidzi, Ibnul Mundzir, Ibnu Jarir, para sahabat kami dan yang lainnya ”. (Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab : 2/386).
Wallahu a’lam
__
◼ Rabu, 10 Ramadhan 1440 H | 15 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-12 | Bab 11 - Rukun Puasa
Para ulama berselisih pendapat tentang apakah niat itu menjadi syarat puasa ataukah rukun puasa. Dan jika kita letakkan niat sebagai syarat puasa (sudah berlalu pembahasan niat) maka tidak tersisa rukun puasa kecuali satu, yaitu Imsak.
Imsak ialah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dimulai dari terbitnya fajar shadiq hingga terbenamnya matahari. Allah ta’ala berfirman ketika menjelaskan durasi puasa :
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالْئَانَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَاكَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu.
Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 187).
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ;
“Fajar itu ada dua, adapun yang pertama ia tidak mengharamkan makan (sahur-pent) dan tidak membolehkan shalat (shalat subuh-pent). Adapun fajar yang kedua ia mengharamkan makan dan menghalalkan shalat”. (HR Ibnu Khuzaimah : 3/210, Al-Hakim : 1/191 dinyatakan shahih oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halaby di dalam kitab Shifatush Shaumin Nabi : 37).
Fajar yang pertama ini disebut fajar kadzib, sedang yang kedua di sebut fajar shadiq.
Kemudian syaikh Ali Hasan Al-Halabi berkata menerangkan perbedaan antara keduanya :
اعلم أيها الموفق إلى طاعة ربه أن أوصاف الفجر الصادق هي التي تتفق والآية الكريمة حتى يتبين لنا الخخيط الأبيض من الأسود من الفجر فإن ضوء الفجر إذا اعترض في الأفق على الشعاب ورؤوس الجبال ظهر كأنه خيط أبيض وظهر من فوقه خيط أسود وهو بقايا ظلام الذي ولى مدبرا
“Ketahuilah wahai hamba Allah yang diberikan taufik untuk mentaati Rabb-nya, bahwa sifat fajar itu adalah yang sesuai dengan firman Allah ‘Hingga menjadi jelas benang putih dari benang hitam berupa fajar’. Karena sesungguhnya cahaya fajar itu apabila mulai muncul di ufuk timur, di puncak gunung ia akan tampak seperti benang putih dan tampak pula di atasnya benang hitam berupa sisa-sisa gelapnya malam yang masih mendominasi”. (Shifatush Shaumin Nabi : 38).
Dan sebagaimana kita baca dari ayat di atas bahwa batas akhir puasa ialah hingga malam menjelang. Menjelangnya malam ini dimulai dari tenggelamnya bulatan matahari di sisi barat.
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata :
إذا أقبل الليل من هاهنا وأدبر النهار من هاهنا وغربت الشمس فقد أفطر الصائم
“Apabila malam telah menjelang dari sini, dan siang telah berlalu dari sini dan matahari telah tenggelam maka orang yang berpuasa sudah boleh berbuka”. (HR. Muslim : 1100).
Syaikh Ali Hasan Al-Halabi berkata :
وقد يظن بعض الناس أن الليل لا يتحقق بعد غروب الشمس فورا وإنما يدخل بعد انتشار الظلام شرقا وغربا وقد حدث ذلك لبعض أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فأفهم أنه ييكفي أول الظلام من جهة المشرق بعد اختفاء قرص الشمس
“Sebagian manusia menyangka bahwa waktu malam belum benar-benar terwujud setelah tenggelamnya matahari langsung. Akan tetapi malam baru masuk setelah kegelapan menyebar luas di timur dan barat. Hal ini juga terjadi pada sebagian para sahabat nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memahamkan mereka bahwa malam tandanya cukup dengan awal kali gelap di sisi timur, sesaat setelah bulatan matahari sudah tenggelam”. (Shifatush Shaumin Nabi : 40).
Dari nukilan ayat serta sedikit uraian di atas kita memahami bahwa durasi puasa adalah dimulai dari terbitnya fajar shadiq hingga malam menjelang ditandai dengan tenggelamnya bulatan matahari di sisi barat.
Wallahu a’lam
__
◼ Kamis, 11 Ramadhan 1440 H | 16 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-13 | Bab 12 - Sahur
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
“Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahli kitab adalah makan sahur”. (HR. Muslim : 1096).
Makanan sahur yang terbaik ialah dengan kurma, berdasarkan sabda nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Sebaik-baik sahurnya seorang yang beriman adalah kurma”. (HR. Abu Dawud : 2345, Ibnu Hiban : 3475, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah : 562).
Sahur ini sunnah hukumnya tidak wajib, semua perintah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan sahur dibawa kepada pengertian mustahab/anjuran. Imam Ibnu Khuzaimah menuliskan salah satu judul bab di dalam kitab beliau : “Bab tentang perintah sahur itu adalah perintah yang sifatnya anjuran dan bukan kewajiban yang mana orang yang meninggalkannya menanggung dosa”. (Shahih Ibnu Khuzaimah : 3/213).
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
بكّروا بالإفطار، وأخّروا السُّحور
“Segerakanlah berbuka dan akhirkanlah sahur”. (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah : 1773).
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Apabila salah seorang dari kalian mendengar suara adzan sedangkan bejana (piring-pent) masih ada di tangannya maka janganlah ia meletakkannya hingga ia menuntaskan makannya”. (HR Abu Dawud : 2350, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud : 2060).
Wallahu a’lam
__
◼ Jum'at, 12 Ramadhan 1440 H | 17 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-14 | Bab 13 - Hal - Hal Yang Harus Ditinggalkan Ketika Puasa
1. Berkata dusta
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh kepada perbuatan dia didalam meninggalkan makan dan minum.” (HR. Bukhari : 1903).
2. Perbuatan yang sia-sia dan porno.
Imam Muhammad bin Al-Fadhl bertutur :
جوارحك كلها أمانات عندك أمرت فى كل واحدة منها بامر فامانة العين الغض عن المحارم والنظر بالاعتبار وامانة السمع صيانتها عن اللغو والرفث وإحضارها مجالس الذكر وامانة اللسان اجتناب الغيبة والبهتان ومداومة الذكر وامانة الرجل المشي الى الطاعات والتباعد عن المعاصي وامانة الفم ان لا يتناول به الا حلالا وامانة اليد ان لا يمدها الى حرام ولا يمسكها عن المعروف وامانة القلب مراعاة الحق على دوام الأوقات حتى لا يطالع سواه ولا يشهد غيره ولا يسكن الا اليه
“Anggota badanmu semuanya adalah amanah, setiap satu dari masing-masing anggota badan kalian, diperintahkan dengannya suatu perintah. Amanahnya mata dengan menundukkan pandangan dari melihat hal-hal yang haram. Amanahnya pendengaran adalah dengan menjaganya dari mendengar perkataan yang sia-sia dan porno, dan menggunakannya untuk mendengarkan majelis dzikir.
3. Berteriak-teriak/bertengkar
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ
“Puasa itu bukanlah sekedar menahan diri dari makan dan minum, akan tetapi puasa itu dengan menahan diri dari perbuatan yang sia-sia, perkataan porno. Dan jika ada seseorang mencacimu atau berbuat jahiliyah kepadamu maka katakanlah ; ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’.” (HR. Ibnu Khuzaimah : 7/282 dan Hakim : 4/111. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib Wat Tarhib : 1082).
4. Ghibah
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ؟ قَالُوا : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?. Para sahabat berkata ; ‘Allah dan rasul-Nya yang lebih tahu’. Nabi bersabda : ‘Engkau menyebutkan hal yang dibenci oleh saudaramu’. Dikatakan ; ‘Apa pendapatmu ucapanku pada saudaraku itu benar?’.
Kata nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ; ‘Jika apa yang engkau katakan benar, maka engkau telah mengghibahnya, dan jika tidak benar engkau telah memfitnahnya’.” (HR. Muslim : 2589).
5. Namimah/mengadu domba.
Imam Ibnu Katsir berkata :
قُلْتُ: النَّمِيمَةُ عَلَى قِسْمَيْنِ: تَارَةً تَكُونُ عَلَى وَجْهِ التَّحْرِيشِ بَيْنَ النَّاسِ، وَتَفْرِيقِ قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ. فَهَذَا حَرَامٌ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. فَأَمَّا إِنْ كَانَتْ عَلَى وَجْهِ الْإِصْلَاحِ بَيْنَ النَّاسِ، وَائْتِلَافِ كَلِمَةِ الْمُسْلِمِينَ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ لَيْسَ الْكَذَّابُ مَنْ يُنَمِّ خَيْرًا أَوْ يَكُونُ عَلَى وَجْهِ التَّخْذِيلِ وَالتَّفْرِيقِ بَيْنَ جُمُوعِ الْكَفَرَةِ، فَهَذَا أَمْرٌ مَطْلُوبٌ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الْحَرْبُ خدعة
“Aku katakan ; Namimah itu ada dua macam ; terkadang dilakukan untuk mengadu domba diantara manusia serta mencerai-beraikan hati-hati kaum mukminin, maka ini disepakati keharamannya.
Terkadang pula namimah dilakukan dalam rangka untuk mendamaikan di antara manusia, mengokohkan persatuan kaum muslimin sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits ; ‘Bukan pendusta orang yang melakukan namimah untuk kebaikan’ (HR Bukhari : 2546) atau tujuannya untuk memporak-porandakan persatuan orang-orang kafir, maka ini semua boleh sebagaimana disebut dalam hadits ; ‘Perang itu adalah tipu muslihat’ (HR Bukhari 2866) (Tafsir Adh-Wa’ul Bayan : 4/563, Al-Jumu’ Al-Bahiyyah Lil ‘Aqidatis-Salafiyyah : 1/29
〰〰〰〰〰〰〰
◼ Sabtu, 13 Ramadhan 1440 H | 18 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-15 | Bab 14 - Hal-Hal yang Dibolehkan Ketika Puasa
1. Berpagi hari dalam keadaan junub.
2. Memakai siwak/gosok gigi.
3. Madhmadhah/berkumur dan Istinsyaq/memasukkan air ke hidung ketika wudhu.
4. Bercumbu dan mencium istri.
5. Ambil sample darah, bekam, donor darah, Al-Fashdu/totok darah dan tindakan medis lain yang mengandung unsur mengambil darah.
6. Suntik, obat tetes mata, celak, minyak rambut.
7. Mencicipi makanan.
8. Mengguyur air dingin di atas kepala dan mandi.
9. Menelan benda kecil yang susah dihindari.
Wallahu a’lam
_
◼ Ahad, 14 Ramadhan 1440 H | 19 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-16 | Bab 15 - Pembatal Puasa
Pembatal Puasa
Para ulama telah bersepakat bahwa orang yang berpuasa wajib menahan diri dari makan, minum dan jima’ selama durasi puasa yang ditetapkan. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah : 2/103 oleh Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim).
a). Pembatal puasa yang mengakibatkan batal serta mengharuskan qadha’ (mengganti puasa di hari yang lain).
1. Makan minum dengan sengaja.
2. Sengaja muntah.
3. Haidh dan nifas.
4. Berniat untuk memutus puasanya.
5. Murtad dari agama Islam.
b). Pembatal puasa yang menyebabkan qadha’ dan kifarah/tebusan.
pembatal jenis ini hanya ada satu saja yaitu jima’ (berhubungan suami istri) pada siang hari di bulan Ramadhan.
Tebusan seperti apa yang harus dibayarkan ? kita simak sejenak riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut ini, beliau berkata :
بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ فَقَالَ أَنَا قَالَ خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
“Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seorang lelaki sambil berkata: “Wahai, Rasulullah, celaka aku !”. Beliau menjawab, ”Ada apa denganmu?”. Dia berkata, ”Aku bersenggama dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ”Apakah kamu memiliki budak untuk dimerdekakan?” Dia menjawab,”Tidak!”. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, ”Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia menjawab,”Tidak.”.
Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?”. Dia menjawab,”Tidak.” Lalu Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi satu ‘Araq/wadah berisi kurma.
Beliau berkata : “Mana orang yang bertanya tadi?” Dia menjawab, ”Saya wahai rasulullah.” Beliau berkata lagi : “Ambillah ini dan sedekahkanlah ia!”. Kemudian orang tersebut berkata : “Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah?
Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku”. Maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian berkata: “Berikanlah kepada keluargamu!”. (HR. Bukhari : 1936, Muslim : 1111).
Wallahu a’lam
__
◼ Senin, 15 Ramadhan 1440 H | 20 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-17 | Bab 16 - Pembatal puasa yang menyebabkan qadha’ dan kifarah/tebusan.
pembatal jenis ini hanya ada satu saja yaitu jima’ (berhubungan suami istri) pada siang hari di bulan Ramadhan.
Tebusan seperti apa yang harus dibayarkan ? kita simak sejenak riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut ini, beliau berkata :
بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ فَقَالَ أَنَا قَالَ خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
“Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seorang lelaki sambil berkata: “Wahai, Rasulullah, celaka aku !”. Beliau menjawab, ”Ada apa denganmu?”. Dia berkata, ”Aku bersenggama dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ”Apakah kamu memiliki budak untuk dimerdekakan?” Dia menjawab,”Tidak!”. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, ”Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia menjawab,”Tidak.”.
Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?”. Dia menjawab,”Tidak.” Lalu Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi satu ‘Araq/wadah berisi kurma.
Beliau berkata : “Mana orang yang bertanya tadi?” Dia menjawab, ”Saya wahai rasulullah.” Beliau berkata lagi : “Ambillah ini dan sedekahkanlah ia!”. Kemudian orang tersebut berkata : “Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah?
Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku”. Maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian berkata: “Berikanlah kepada keluargamu!”. (HR. Bukhari : 1936, Muslim : 1111).
Wallahu a’lam
__
◼ Selasa, 16 Ramadhan 1440 H | 21 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-18 | Bab 17 - Kemudahan Dalam Puasa
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menginginkan bagi kalian kemudahan, dan Dia tidak menginginkan bagi kalian kesulitan”. (QS Al-Baqarah : 185).
Diantara sekian banyak bentuk kemudahan di dalam puasa ialah :
1). Orang yang boleh meninggalkan puasa dan menggantinya dengan fidyah.
a. Lelaki tua yang sudah tidak mampu
b. melaksanakan puasa.
c. Wanita tua yang sudah tidak mampu
d. melaksanakan puasa.
e. Wanita hamil yang khawatir atas dirinya.
f. Wanita menyusui yang khawatir jika berpuasa maka anaknya akan termadharati.
g. Orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya.
2). Orang yang boleh tinggalkan puasa dan wajib mengqadha’.
a. Musafir/orang yang sedang melakukan perjalanan jauh.
b. Orang yang sakit
c. Wanita haidh dan Nifas
Wallahu a’lam
__
◼ Rabu, 17 Ramadhan 1440 H | 22 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-19 | Bab 18 - Berbuka Puasa
Ada beberapa hal yang selayaknya kita perhatikan berkaitan dengan syariat berbuka ini diantaranya :
a). Waktu berbuka.
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah :187).
b). Menyegerakan Berbuka
Bila kita telah yakin akan tenggelamnya matahari maka disunnahkan untuk bersegera berbuka. Bahkan muadzin yang akan mengumandangkan adzan lebih baik berbuka terlebih dahulu sebelum adzan.
c). Berbuka dengan kurma
Urutan terbaik untuk sesuatu yang kita konsumsi ketika pertama kali berbuka ialah ; Kurma basah, jika tidak ada kurma kering, jika tidak ada menenguk beberapa teguk air putih
d). Doa berbuka puasa.
terdapat riwayat shahih tentang doa berbuka puasa.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، كَانَ رَسُوْ لُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا اَفْطَرَ قَالَ : ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ اِنْشَاءَاللَّهُ
“Dari Ibnu Umar, adalah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : DZAHABAZH ZHAMA-U WABTALLATIL ‘URUQU WA TSABATAL AJRU INSYA’ALLAH (artinya : Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan/urat-urat, dan pahala telah ditetapkan inysa’Allah). (HR : Abu Dawud : 2357, Nasa’i : 1/66 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud : 2357).
e). Kapan doa berbuka puasa dibaca
fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr, beliau menyatakan:
الذي يبدو أنه يقال مطلقاً لأن الظمأ يوجد ولكنه يتفاوت. وهذا الذكر يقال قبل الإفطار أو بعده، والأمر في هذا واسع
“Yang tampak kebenarannya dalam hal ini bahwa doa berbuka puasa tersebut diucapkan secara mutlak/bebas. Karena rasa haus didapatkan akan tetapi ia bertingkat-tingkat. Sehingga dzikir ini dibaca sebelum berbuka, atau setelahnya, permasalahannya luas”. (Rekaman pengajian Syarah Sunan Abu Dawud).
f). Keutamaan memberikan buka puasa
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Barangsiapa memberi makanan berbuka puasa untuk orang yang puasa, ia mendapatkan seperti pahala orang yang berpuasa. Dengan tanpa mengurangi pahala pelaku puasa sedikitpun”. (HR. Tirmidzi : 807 dishahihkan oleh Imam Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ : 6415).
g). Do’a untuk orang yang memberikan kepada kita makanan berbuka puasa.
Apabila kita mendapatkan undangan makan berbuka hendaknya kita menghadirinya melainkan jika kita memiliki udzur. Dan hendaknya kita meyakini bahwa pahala kita tidak akan berkurang sama sekali ketika kita menghadiri undangan tersebut sebagaimana hadis yang telah berlalu. Dan kita diajarkan untuk mendoakan orang yang memberikan kepada kita makan buka puasa dengan doa-doa yang ma’tsur yang ada asalnya dari nabi kita yang mulia shalallahu ‘alaihi wa sallam. Diantara doa-doa tersebut ialah :
أَكَلَ طَعَامَكُمُ الأَبْرَارُ ، وَصَلَّتْ عَلَيكُمُ الْمَلاَئِكَةُ الأَخْيارُ ، وأفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ
“Semoga yang memakan makananmu adalah orang-orang yang baik, dan semoga para malaikat yang mulia bershalawat kepada engkau, dan semoga yang berbuka di sisi engkau adalah orang-orang yang berpuasa”. (HR. Ibnu Abi Syaibah : 3/100, Ahmad : 3/118, An-Nasa’i dalam ‘Amalul Yaum : 268, Ibnu Sunni : 129, Abdurrazaq : 4/311 hadis ini shahih sebagaimana keterangan Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam Shifatus Shaumin Nabi : 69).
Wallahu a’lam
__
◼ Jum'at, 19 Ramadhan 1440 H | 24 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-21 | Bab 20 - Shalat Tarawih
Shalat tarawih ialah shalat malam yang dikerjakan di malam-malam bulan Ramadhan. Ia dinamakan tarawih/istirahat karena pelaksanaanya di selingi waktu untuk beristirahat sejanak sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Ia disyariatkan untuk dilaksanakan secara berjamaah di masjid.
Karena khawatir disangka sebagai kewajiban, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberhentikan sementara shalat tarawih berjamaah di masjid. Ketika beliau sudah wafat, maka kekhawatiran ini sudah tidak ada lagi. Sehingga Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menghidupkan kembali shalat tarawih berjamaah di masjid sebagaimana tersebut dalam riwayat sebagai berikut,
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ فَقَالَ عُمَرُ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي تَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي تَقُومُونَ يَعْنِي آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
“Dari Abdurrahman bin Abdul Qari ia berkata ; aku keluar bersama Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu di bulan ramadhan menuju masjid. Manusia kala itu berpencar-pencar, ada lelaki shalat sendirian, ada lagi lelaki shalat lalu shalat dibelakangnya beberapa kelompok. Umar lantas berkata ; 'Aku berpendapat kalau mereka dikumpulkan dalam satu imam, niscaya akan lebih baik'.
Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jama'ah dengan imam Ubay bin Ka'ab, setelah itu aku keluar bersama imam mereka, Umarpun berkata, 'Sebaik-baik bid'ah adalah ini, orang yang tidur lebih baik dari yang bangun, ketika itu manusia shalat di awal malam”. (HR Bukhari : 4/218).
Kaum muslimin berbeda pendapat tentang batasan jumlah raka'at shalat tarawih. Pendapat yang paling mencocoki sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah delapan raka'at tanpa witir atau 11 rakaat dengan tiga raka’at witir berdasarkan hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anha:
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at pada shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari : 1147و Muslim : 738).
Adapun riwayat Umar bin Khathab radhiyallahu anhu yang memerintahkan shalat tarawih lebih dari 11 rakaat adalah riwayat-riwayat yang tidak lepas dari kritikan. Dan justru Umar radhiyallahu ‘anhu pun dalam riwayat yang shahih ketika menghidupkan kembali sunnahnya shalat tarawih berjamaah, beliau memerintahkan agar salat tarawih dikerjakan dengan 11 raka’at, jumlah yang paling cocok dengan sunnah yang shahih.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Malik dengan sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata :
أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلَّا فِي فُرُوعِ الْفَجْرِ
‘Umar bin Khaththab pernah memerintahkan Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Dari radhiyallahu ‘anhum mengimami orang-orang (shalat tarawih) dengan sebelas rakaat.
As-Saaib berkata : ‘Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar’. " (HR Malik dalam Al Muwatha’ : 1/478 no. 271, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shalat Tarawih : 45 dishahihkan pula oleh Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarah Jami’ Tirmidzi : 3/528).
Imam Al-Ajurri berkata :
من أصحابنا عن مالك أنه قال : الذي جمع عليه الناس عمر بن الخطاب أحب إلي وهو إحدى عشرة ركعة وهي صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم.
“Dari shahabat kami, dari Malik, ia berkata : “Shalat tarawih yang mana Umar mengumpulkan manusia di atasnya lebih aku senangi, yaitu sebanyak sebelas raka’at. Ia adalah shalat yang pernah dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. (Lihat Al-Mashabih Fi Shalatit Tarawih Oleh As-Suyuthi : 32).
Namun demikian seperti yang sudah-sudah kita tetap mengatakan bahwa masalah ini ialah masalah khilafiyyah ijtihadiyah yang kita diperbolehkan untuk berbeda di dalamnya. Tidak boleh saling mencaci, menyesatkan dan lain-lain. Imam Ibnu Utsaimin berkata :
ويؤسفنا كثيراً أن نجد في الأمة الإسلامية المتفتحة فئة تختلف في أمور يسوغ فيها الخلاف ، فتجعل الخلاف فيها سبباً لاختلاف القلوب ، فالخلاف في الأمة موجود في عهد الصحابة ، ومع ذلك بقيت قلوبهم متفقة. فالواجب على الشباب خاصة ، وعلى كل الملتزمين أن يكونوا يداً واحدةً ومظهراً واحداً ؛ لأن لهم أعداءً يتربصون بهم الدوائر.
“Sangat kita sayangkan kita mendapati di dalam tubuh umat Islam keberadaan beberapa kelompok yang berpecah belah di dalam masalah yang kita diperbolehkan untuk berbeda di dalamnya. Hingga mereka menjadikan perbedaan ini sebagai sebab berpecahnya hati. Sesungguhnya perbedaan di tubuh umat sudah ada sejak zaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Namun demikian hati-hati mereka tetap bersatu. Maka menjadi kewajiban pemuda umat ini secara khusus dan bagi setiap orang yang punya semangat mengamalkan ajaran agama untuk bersatu padu menampakkan perpaduan karena mereka menghadapi musuh-musuh yang senantiasa mencari kelengahan”. (Asy-Syarhul Mumti’ : 4/225).
Wallahu a’lam
__
Sabtu, 20 Ramadhan 1440 H | 25 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-22 | Bab 21 - Malam Seribu Bulan
Semua kita mendengar, mengenal dan sangat familiar dengan malam Lailatul Qadar atau malam yang keutamaannya melebihi seribu bulan. Keutamaan malam ini sangat agung, karena ia merupakan malam turunnya Al-Qur’an yang kelak akan menuntun setiap orang yang berpegang teguh dengannya menuju jalan kemuliaan dan kejayaan. Demikian pula ia akan mengangkat seseorang menuju kepada puncak kemuliaan serta keabadian. Dan kaum muslimin saling berlomba-lomba di malam ini unuk mendapatkan kebaikan, keberkahan, kemuliaan serta limpahan pahala yang tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apapun di dunia ini.
a). Keutamaan Malam Seribu Bulan.
Allah ta’ala berfirman :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5(
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada Lailatul Qadr. Dan tahukah kamu apakah Lailatul Qadr itu? Lailatul Qadr itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ar-Ruh dengan izin Tuhannya untuk mengatur urusan. Malam itu (penuh) Salaam sampai terbit fajar”. (QS. Al-Qadr : 1-5).
b). Apakah Lailatul Qadar masih ada.
Imam Ibnu Utsaimin berkata :
الصحيح بلا شك أنها باقية، وما ورد في الحديث أنها رفعت، فالمراد رفع علم عينها في تلك السنة؛ لأن النبي صلّى الله عليه وسلّم رآها ثم خرج ليخبر بها أصحابه فتلاحى رجلان فرفعت، هكذا جاء الحديث.
“Yang benar dengan tanpa ada keraguan sama sekali bahwa lailatul qadar itu masih ada (masih berlangsung). Dan apa yang disebutkan di dalam hadits bahwa ia telah diangkat, maka maksudnya adalah diangkatnya pengetahuan tentang keberadaan lailatul qadar di tahun tersebut.
Karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya kemudian beliau keluar untuk memberitahukannya kepada para sahabatnya, lantas dua orang lelaki merengek-rengek maka diangkatlah lailatul qadar (tidak ada yang tahu lagi setelahnya) seperti inilah maksud haditsnya”. (Asy Syarhul Mumti’ : 6/490)
c). Kapan malam lailatul qadar
Imam At-Tirmidzi menuturkan :
وَرُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَنَّهَا لَيْلَةُ إِحْدَى وَعِشْرِينَ وَلَيْلَةُ ثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ وَخَمْسٍ وَعِشْرِينَ وَسَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَتِسْعٍ وَعِشْرِينَ وَآخِرُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ
“Dan diriwayatkan dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang lailatul qadar bahwasanya ia adalah malam yang ke 21, dan malam 23, 25, 27, 29 dan malam terakhir di bulan ramadhan”.(Shahih Sunan At-Tirmidzi : 1/416 di bawah hadis no. 792).
Pendapat yang rajih/yang benar bahwa malam lailatul qadar ini ada di malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, dan ia berpindah-pindah setiap tahunnya dan sangat sulit untuk bisa dipastikan keberadaanya. Imam Ibnu Utsaimin merajihkan pendapat ini, beliau berujar :
والصحيح أنها تتنقّل فتكون عاماً ليلة إحدى وعشرين، وعاماً ليلة تسع وعشرين، وعاماً ليلة خمس وعشرين، وعاماً ليلة أربع وعشرين، وهكذا؛ لأنه لا يمكن جمع الأحاديث الواردة إلا على هذا القول، لكن أرجى الليالي ليلة سبع وعشرين، ولا تتعين فيها كما يظنه بعض الناس، فيبني على ظنه هذا، أن يجتهد فيها كثيراً ويفتر فيما سواها من الليالي.
“Yang benar bahwa Lailatul Qadar itu berpindah-pindah, ia ada dimalam ke-21 di sebuah tahun, lalu ada di malam ke 23 di tahun yang lain, lalu ada di malam ke-25 di tahun yang lain, dan ada di malam ke-24 di tahun yang lain, demikian kondisinya. Karena tidak mungkin menggabungkan banyak hadits tentang lailatul qadar ini melainkan dengan pendapat ini.
Akan tetapi yang paling kuat kemungkinannya adalah malam ke-27. Dan tidak bisa dipastikan sebagaimana yang disangka oleh sebagian manusia, lantas berdasarkan persangkaannya ini ia kemudian bersungguh-sungguh di malam ke-27 dan bermalas-malasan di malam-malam lainnya” (Asy-Syarhul Mumti’ : 6/492).
c). Banyaknya malaikat di malam Lailatul Qadar.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata dari nabi shalallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda :
إِنَّهَا لَيْلَةُ سَابِعَةٍ أَوْ تَاسِعَةٍ وَعِشْرِينَ ، إِنَّ الْمَلائِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِي الأَرْضِ أَكْثَرُ مِنْ عَدَدِ الْحَصَى
“Sesungguhnya lailatul qadar itu malam ke-27 dan ke-29, sesungguhnya malaikat pada malam itu jumlahnya lebih banyak dari jumlah kerikil”. (HR Ahmad : 10316 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shahihul Jami’ : 5472).
d). Memperbanyak doa di malam lailatul qadar.
Saking banyaknya malaikat, keberkahan, kebaikan dan rahmat yang melimpah di malam tersebut, maka kita disunnahkan untuk banyak beribadah dan banyak berdoa. Utamanya doa khusus yang diajarkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu ia berkata ;
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا ؟ قَالَ : قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ )كَرِيمٌ( تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Aku bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Apa pendapat engkau jika aku melihat Lailatul Qadar, apa yang harus aku ucapkan di dalamnya?’. Beliau menjawab : ‘Ucapkanlah olehmu ;
ALLOHUMMA INNAKA ‘AFUWWUN TUHIBBUL ‘AFWA FA’FU ‘ANNII (Setelah “Afuwwun” tidak menggunakan “Kariim”-pen).
Artinya ; Ya Allah sesungguhnya Engkkau adalah maha pengampun, Engkau mencintai kemaafan maka maafkanlah aku”. (HR Tirmidzi : 3513 dishahihkan oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Adzkar : 247 dan Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam I’lamul Muwaqqi’un : 4/249).
Hanya saja tambahan ‘Kariim’ pada doa tersebut tidak sah dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan dalam kitab Taraju’at Imam Al-Albani peringatan sbb :
تنبيه: وقع في سنن الترمذي بعد قوله: (عفو) زيادة (كريم) ! ولا أصل لها في شيء من المصادر المتقدمة، ولا في غيرها ممن نقل عنها
“Peringatan ; ada tersebut di dalam Sunan Tirmidzi setelah sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ‘Afuwwun’ ada tambahan ‘Kariim’ ! Tambahan ini tidak ada asalnya sama sekali dalam referensi-referensi yang valid tidak pula ada di lokasi lain dari para ulama yang manukilnya.” (Taroju’at Imam Al-Albani : 1/31 oleh Syaikh Abul Hasan Asy-Syaikh).
e). Ciri Lailatul Qadar.
Imam Ibnu Utsaimin berkata menerangkan tanda serta ciri lailatul qadar :
1. Terangnya cahaya di malam itu, tanda ini di zaman ini tidak bisa dirasakan kecuali orang yang berada di daratan yang jauh dari cahaya lampu.
2. Malam itu terasa tenang, maksudnya ketenangan hati dan kelapangan dada orang-orang yang beriman. Karena mereka merasakan ketenangan dan ketentraman dan kelapangan dada itu durasakan lebih dibanding malam-malam lainnya.
3. Sebagian ahli ilmu berkata ; angin di malam itu berhembus tenang, tidak ada badai dan cuaca terasa cerah.
4. Bahwa Allah terkadang memperlihatkan lailatul qadar dalam mimpi sebagaimana yang pernah dialami oleh sebagian para sahabat.
5. Manusia di malam tersebut merasakan kelezatan shalat dan semangat yang lebih di bandingkan malam-malam lainnya. (Asy-Syarhul Mumti’ : 6/496-497).
Wallahu a’lam
__
◼ Ahad, 21 Ramadhan 1440 H | 26 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-23 | Bab 22 - I’tikaf
1). Makna i’tikaf.
Syaikh Muhammad bin Ali bin Adam Al-Etsyubi berkata :
الاعتكاف في اللغة : هو الحبس، واللزوم، والمكث، والاستقامة، والاستدارة. وفي الشرع: هو المكث في المسجد من شخص مخصوص بصفة مخصوصة
“I’tikaf secara bahasa maknanya menahan diri, melazimi, berdiam diri, istiqamah, berkutat.
Sedangkan menurut istilah syariat i’tikaf bermakna berdiam diri di mesjid dari seorang yang khusus dengan tata cara khusus”. (Dzakhiratul ‘Uqba Fi Syarhil Mujtaba : 8/680).
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi berkata :
اعلم أن للاعتكاف معنين لغويا وشرعيا أما اللغوي فهو الإقامة عكف بالمكان إذا أقام فيها والمعكوف المحبوس والشرعي فهو المكث في المسجد على سبيل القربة من شخص مخصوص بصفة مخصوصة
“Ketahuilah bahwasanya I’tikaf itu memiliki dua makna, secara bahasa dan secara istilah syariat. Adapun I’tikaf secara bahasa artinya tinggal, seseorang disebut beri’tikaf di lokasi tertentu jika ia tinggal di situ, yang dii’tikafi artinya yang didiami. Adapun secara istilah syariat I’tikaf artinya tinggal di masjid demi untuk mendekatkan diri kepada Allah yang dilakukan orang tertentu dengan tata cara khusus”. (Al-Inshaf Li Ahkamil I’tikaf : 5).
Adapaun maksud dan tujuan utama dari iktikaf adalah sebagaimana yang telah dituliskan oleh Imam Al-Laknuwi Al-Hindi sebagai berikut :
وشرع لهم الاعتكاف الذي مقصوده وروحه عكوف القلب على الله تعالى وجمعيته عليه، والخلوة به عن الاشتغال بالخلق، والاشتغال به وحده -سبحانه-؛ بحيث يصير ذكره، وحبه، والإقبال عليه في محل هموم القلب وخطراته؛ فيستولي عليه بدلها، ويصير الهم كله به، والخطرات كلها بذكره، والتفكر في تحصيل مراضيه، وما يقرب منه؛ فيصير أنسه بالله بدلا عن أنسه بالخلق؛ فيعده بذلك لأنسه به يوم الوحشة في القبور حين لا أنيس له، ولا ما يفرح به سواه؛ فهذا مقصود الاعتكاف الأعظم
“Disyariatkan I’tikaf bagi mereka yang mana maksud dan ruh dari I’tikaf ini adalah menenangkan hati untuk Allah, membersamai-Nya, menyendiri dengan-Nya dan memutus hubungan dengan makhluk untuk kemudian menyibukkan diri dengan Allah semata.
Hingga aktifitas menyebut asma Allah, mencintai Allah dan menerima Allah menjadi obat bagi kesedihan hati. Sampai kecintaan terhadap Allah ini menggantikan posisi kesedihan di dalam hati.
Kesedihan hati hilang dengan Allah, dan kegundahan hati hilang dengan mengingat Allah. Serta bertafakur untuk meraih keridhaan Allah, dan meraih segala hal yang mendekatkan diri kepada Allah.
Sampai pada taraf seseorang lebih merasa senang dan nyaman dengan Allah dari pada nyaman dengan makhluk.
Hingga kelak ia akan merasa nyaman dengan Allah di alam kubur ketika tak ada kawan serta tak ada yang membuatnya nyaman melainkan Allah. Ini adalah maksud agung dari disyariatkannya I’tikaf” (Zadul Ma’ad : 2/86-87, lihat pula Al-Inshaf Fi Hukmil I’tikaf : 7 oleh Imam Al-Laknuwi Al-Hindi).
2). Hukum I’tikaf.
I’tikaf ini sunnah hukumnya dan dianjurkan di hari apa saja, namun lebih ditekankan untuk dilakukan pada hari-hari di bulan Ramadhan. Dan yang paling utama adalah i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Allah ta’ala berfirman :
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid”. (QS Al-Baqarah : 187).
Disebutkan pula dalam riwayat yang shahih
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
“Adalah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Dan ketika berada di tahun beliau wafat, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”. (HR Bukhari : 2044, Muslim : 1172).
Imam An-Nawawi berkata menerangkan hukum dari i’tikaf ini dan menegaskan akan kesepakatan para ulama tentangnya :
الاعتكاف سنة بالإجماع، ولا يجب إلا بالنذر بالإجماع، ويستحب الإكثار منه، ويستحب ويتأكد استحبابه في العشر الأواخر من شهر رمضان
“I’tikaf itu sunnah hukumnya secara ijma’. Dan tidak wajib melainkan jika diniatkan karena nadzar. Dan disunnahkan untuk memperbanyak i’tikaf dan ditekankan lagi kesunnahan I’tikaf ini untuk dilakukan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan”. (Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab : 6/475).
Sehingga jika seseorang bernadzar ingin melaksanakan i’tikaf di masjid, ketika itulah I’tikaf menjadi wajib atasnya sebagaimana riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berikut ini :
يَا رَسُولَ اللَّهِ , إِنِّي نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " أَوْفِ بِنَذْرِكَ "
“Wahai Rasulullah sesungguhnya aku memiliki nadzar di zaman jahiliyah untuk beri’tikaf semalam di masjidil Haram. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, ‘Tepatilah nadzarmu”. (HR Bukhari : 4/237, Muslim : 1656).
3). Hikmah I’tikaf.
Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali menuturkan hikmah di balik pensyariatan I’tikaf ini :
معنى الاعتكاف وحقيقته: قطع العلائق عن الخلائق للاتصال بخدمة الخالق، وكلمَّا قويت المعرفة بالله، والمحبَّة له، والأنس به أورثتْ صاحبَها الانقطاعَ إلى الله - تعالى - بالكلية على كلِّ حال
“Makna I’tikaf dan hakikatnya ialah memutus hubungan dengan makhluk demi untuk berkhidmat kepada sang Khaliq. Setiap kali menguat ma’rifatullah serta kecintaan kepada Allah, dan juga rasa nyaman dengan Allah, itu semua akan memberikan efek kepada pelakunya berupa ketergantungan/keterkaitan dengan Allah dalam segala situasi”. (Latha’iful Ma’arif : 203).
Wallahu a’lam
__
◼ Senin, 22 Ramadhan 1440 H | 27 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-24 | Bab 23 - Syarat I’tikaf.
a). Islam
Sehinga tidak sah I’tikaf yang dilakukan oleh orag kafir, Allah ta’ala berfirman :
وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورً
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”. (QS Al-Furqan : 23).
Syaikh Shalih bin Abdillah bin Fauzan Al-Fauzan berkata menafsirkan ayat ini :
فالمشركون لهم عبادات، كانوا يحجون، وكانوا يتصدقون، وكانوا يطعمون الأضياف، وكانوا يُكرمون الجيران، ولهم أعمال لكنها ليست مبنيّة على التّوحيد، فهي هباء منثور، لا تنفعهم شيئاً يوم القيامة
“Orang-orang musyrik kafir mereka melakukan ibadah, mereka berhaji, mereka bersedekah, mereka memberi makan para tamu, dan mereka juga memuliakan tetangga. Mereka melakukan amalan-amalan namun tidak dibangun berdasarkan tauhid. Maka amal-amal tersebut menjadi sirna menjadi debu yang beterbangan dan tidak memberi mereka manfaat sedikitpun kelak pada hari kiamat”. [ (I’anatul Mustafid Syarah Kita Tauhid : 1/59).]
b). Berakal
Syaikh Khalid bin Ali Al-Musyaiqih menerangkan sebab tidak sahnya I’tikaf yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki akal :
فلا يصح الاعتكاف من مجنون ولا سكران، ولا مغمى عليه؛ لحديث عمر رضي الله عنه مرفوعاً : (( إنما الأعمال بالنيات )) متفق عليه . وهؤلاء لا قصد لهم معتبر ولأنهم ليسوا من أهل العبادة وهذا الشرط بالتفاق الأئمة
“Maka tidak sah I’tikaf yang dilakukan oleh orang gila, demikian pula orang mabuk, juga orang yang pingsan berdasarkan hadits Umar radhiyallahu ‘anhu secara marfu’ ; ‘Sesungguhnya amal-amal itu bergantung kepada niatnya’. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Dan karena orang-orang yang tidak memiliki akal ini mereka tidak memiliki Qasdun/keinginan yang dianggap sah. Dan karena mereka ini bukan termasuk kelompok orang yang dibebani dengan ibadah”. [ (Fiqhul I’tikaf : 69 oleh Syaikh Khalid Al-Musyaiqih).]
c). Niat
Karena orang yang berdiam diri di masjid bisa berniat untuk I’tikaf bisa pula berniat untuk tujuan lainnya. Maka dibutuhkan niat untuk menentukan dan membedakan jenis amal mana yang dimaksudkan.
Imam Ibnu Rusyd berkata menghikayatkan ijma’/kesepakatan disyaratkannya niat dalam I’tikaf, beliau berkata :
أما النية فلا أعلم فيها خلافا
“Adapun niat, maka aku tidak pernah mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentangnya”. [ (Bidayatul Mujtahid : 1/430).]
d). Berpuasa
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata :
ولم يذكر الله سبحانه وتعالى الاعتكاف إلا مع الصوم ، ولا فعله رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا مع الصوم . فالقول الراجح في الدليل الذي عليه جمهور السلف : أن الصوم شرط في الاعتكاف ، وهو الذي كان يرجحه شيخ الإسلام أبو العباس ابن تيمية
“Allah ta’ala tidak menyebutkan I’tikaf melainkan bersama puasa. Dan Rasulullah shalallahu ‘aaihi wa sallam tidak melaksanakan I’tikaf kecuali bersamaan dengan puasa. Maka pendapat yang rajih/kuat di dalam memahami dalil, yang dipilih oleh mayoritas kaum salaf ialah bahwa puasa itu merupakan syarat di dalam I’tikaf. Dan pendapat inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah”. [ (Zadul Ma’ad : 2/83).]
5). Aktivitas yang dianjurkan
Syaikh Wahbah Az-Zuhaili berkata adab-adab I’tikaf yang seharusnya dilakukan oleh orang yang beri’tikaf di masjid :
وعلى المعتكف آداب ينبغي أن يتحلى بها قدر استطاعته ليلا نهارا وذلك بأن يقضي وقته بالصلاة وقراءة القرآن وذكر الله تعالى والصلاة على النبي وطلب العلم من تقسير أة حديث أو نحو ذلك من العلوم الشرعية و غير ذلك من الطاعات المحضة.
“Dan bagi orang yang beri’tikaf ada adab-adab yang selayaknya untuk dilakukan sesuai kadar kemampuan sepanjang siang dan malam. Itu dilakukan dengan cara menghabiskan waktunya untuk shalat, membaca Al-Qur’an, berdzikir menyebut asma Allah. Demikian pula bershalawat kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam serta menuntut ilmu berupa mengkaji tafsir, hadits maupun ilmu syariat lainnya dan juga ketaatan-ketaatan yang lain”. [ (Al-Fiqhul Islami : 2/715).]
Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi juga berkata memperingatkan pelaku I’tikaf dari berbagai perbuatan yang selayaknya dihindari :
يُستحب للمعتكف التشاغل بالطاعات المحضة وتجنب مالا يعنيه من الأقوال والأفعال، ويجتنب الجدال والمراء والسباب والفحش فإن ذلك مكروه في غير الاعتكاف ففيه أولى، ولا يبطل الاعتكاف بشيء من ذلك
“Selayaknya orang yang beri’tikaf untuk menyibukkan diri dengan murni ketaatan,serta menjauhi hal-hal yang tidak penting baginya berupa perkataan, perbuatan, dan pertengkaran, debat kusir, mencaci serta berkata kotor. Karena hal-hal ini dibenci di luar waktu i’tikaf, maka lebih dibenci lagi ketika i’tikaf. Dan i’tikaf tidak batal dengan ini semua”. [ (Al-Mughni : 2/164).]
Wallahu a’lam
__
◼ Rabu, 24 Ramadhan 1440 H | 29 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-25 | Bab 24 - Zakat Fitri
1). Penamaan Zakat Fitri.
Nama yang disematkan kepadanya oleh dalil adalah Zakat Fitri sebagaimana riwayat sebagai berikut :
أنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِإِخْرَاجِ زَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menunaikan Zakat Fitri sebelum berangkatnya kaum muslimin menuju lapangan untuk shalat hari raya.” (HR. Muslim : 986).
Hadis dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu juga menyatakan demikian, beliau mengatakan,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan Zakat Fitri sebagai bentuk penyucian tehadap pelaku puasa dari kesia-siaan dan kekejian, dan sebagai bentuk memberi makan kepada orang-orang miskin”. (HR Abu Daud : 1609, Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak : 1488 dishahihkan pula oleh Imam Al-Albani dalam Shahihul Jami’ : 3570).
Nama Zakat Fitri inilah yang lebih tepat karena memang demikianlah yang disebutkan oleh dalil.
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata :
أُضِيفَت الصَّدَقَةُ للفِطْرِ؛ لِكَونِهَا تَجِبُ بِالفِطْرِ مِن رَمَضَانَ
“Sedekah ini disambungkan dengan Fitri/berbuka, karena ia menjadi tanda wajibnya Fitri/berbuka dari puasa ramadhan”. (Fathul Bari : 3/367).
Dan kita mendahulukan penamaan yang disebutkan dalil dari pada penamaan yang lainnya. Sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Utsaimin berikut ini tentang keutamaan menggunakan lafadz Tamtsil dari pada Tasybih, beliau bertutur :
أنه الموافق للفظ القرآن في قوله تعالى: {ليس كمثله شيء}، {فلا تضربوا لله الأمثال}، ولم يقل: ليس كشبهه شيء ولا قال: فلا تضربوا لله الأشباه.
“Bahwasanya lafadz Tamtsil ini mencocoki lafadz Al-Qur’an seperti firman Allah ta’ala (Tiada yang semisal dengan Allah sesuatupun) dan firman Allah (Dan janganlah kalian membuat Tamtsil/permisalan terhadap Allah).
Allah tidak mengatakan “Tasybih/penyerupaan” tidak pula “Dan jangan kalian membuat tasybih /penyerupaan terhadap Allah”. (Majmu’ Fatawa War Rasail : 1/180-181).
Meski sah-sah saja kita menyebutnya sebagai Zakat Fitrah karena ada sebagian ulama’ yang membolehkannya, wallahu a’lam.
2). Hukum Zakat Fitri
Zakat Fitri hukumnya wajib berdasarkan dua riwayat tersebut di atas, bahkan imam Ibnul Mundzir menghikayatkan ijma’/kesepakatan para ulama akan wajibnya zakat fitri beliau berkata :
أجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم على أن صدقة الفطر فرض
“Para ahli ilmu yang pernah kami ketahui semuanya bersepakat bahwa zakat fitri itu hukumnya wajib”. (Al-Ijma’ : 49).
3). Fungsi Zakat
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam :
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitri sebagai bentuk penyucian tehadap pelaku puasa dari kesia-siaan dan kekejian, dan sebagai bentuk memberi makan kepada orang-orang miskin”. (HR Abu Daud : 1609 Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak : 1488 dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ : 3570, Shahih Sunan Abi Dawud : 1420).
Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan hikmah disyariatkannya zakat fitri ini :
شكر لله عز وجل على إتمام الشهر وطعمة للمساكين في هذا اليوم الذي هو يوم عيد وفرح وسرور فكان من الحكمة أن يعطوا هذه الزكاة من أجل أن يشاركوا الأغنياء في الفرح والسرور
“Dalam rangka bersyukur kepada Allah azza wa jalla karena telah menyempurnakan puasa sebulan penuh. Dan sebagai bentuk memberi makan kepada orang-orang miskin di hari raya, hari kegembiraan dan kebahagiaan. Maka merupakan sebuah kebijaksanaan jika zakat fitri ini diberikan kepada orang-orang miskin supaya mereka ikut serta bersama orang-orang kaya dalam merasakan kebahagiaan dan kegembiraan”. (Asy-Syarhul Mumti’ : 6/160).
4). Atas siapa kewajiban zakat fitri berlaku
Ia berlaku bagi setiap orang islam baik laki, wanita, tua, muda maupun anak-anak berdasarkan riwayat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma sebagai berikut :
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri sebanyak satu sho’ berupa kurma atau satu sho’ berupa gandum, wajib bagi setiap budak, orang merdeka, lelaki, wanita, anak kecil maupun orang tua dari kalangan kaum muslimin. Dan nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menunaikannya sebelum keluarnya manusia menuju tanah lapang untuk shalat”. (HR. Bukhari : 1503, Muslim : 984).
5). Jenis zakat fitri
Zakat fitri dibayarkan berupa makanan pokok di masing-masing negri sebesar satu Sho’. Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi berkata :
وقد اختلف في تفسير لفظ الطعام الوارد في حديث أبي سعيد الخدري -رضي الله عنه- فقيل: الحنطة، قيل: غير ذلك، والذي تطمئن إليه النفس أنه عام يشمل كل ما كيل من الطعام
"Para ulama berselisih akan tafsir kata ‘makanan’ yang tersebut di dalam hadis Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. Lantas dikatakan bahwa maksud makanan di situ ialah gandum, dikatakan lagi bukan itu maksudnya. Pendapat yang menenangkan jiwa bahwasanya kata ‘makanan’ tersebut mencakup semua jenis makanan yang bisa ditimbang.”(Shifatus Shaumin Nabi : 103).
Wallahu a’lam
__
◼ Kamis, 25 Ramadhan 1440 H | 30 Mei 2019 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al Bayaty hafizhahullah
📗 Tematik | Pembahasan Buku Fiqih Ramadhan - Meniti Hari Di Bulan Suci
🔊 Sesi Ke-26 | Bab 25 - Zakat Fitri bagian ke 2
6). Sho’ dalam ukuran modern
Satu Sho’ setara dengan empat Mud. Dan satu Mud setara dengan apa yang ada di tangan seorang lelaki dengan postur tubuh sedang. Para ulama’ berbeda pendapat di dalam menetapkan ukuran Sho’ ini jika diukur dengan ukuran modern.
Perbedaan taksiran tersebut berkisar antara 2,4 kilo sampai 3,5 kilo. Adapun yang difatwakan oleh para ulama yang terkumpul dalam Hai’ah Kibar Ulama’ adalah 2,6 kilogram sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Abdullah bin Sulaiman Al-Mani’ :
وقد بحثت هيئة كبار العلماء في المملكة العربية السعودية مقدار الصاع بالكيلو جرام وكان بحثها معتمداً على أن صاع رسول الله صلى الله عليه وسلم أربعة أمداد ، وأن المد ملء كفي الرجل المعتدل ، وكان منها تحقيق عن مقدار ملء كفي الرجل المعتدل ، وتوصل هذا التحقيق إلى أن مقدار ذلك قرابة 650 جراما للمد ، فيكون مقدار الصاع 2600 جرام .
“Dan Hai’ah Kibar Ulama’/persatuan para ulama’ besar di kerajaan Saudi Arabia telah meneliti ukuran Sho’ dengan Kilogram. Dan penelitiannya bersandar kepada aturan bahwa Sho’ nya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam itu setara dengan empat Mud.
Dan bahwa satu Mud itu setara dengan volume yang ada di telapak tangan seorang lelaki dengan postur sedang. Dan penelitian itu tentang ukuran yang setara dengan volume yang ada di telapak tangan lelaki dengan postur sedang. Hasil akhir dari penelitian ini ialah satu Mud setara dengan kira-kira 650 gr. Maka satu sho’ setara dengan 2600 gr”. (Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah : 59/178).
7). Yang berhak menerima zakat fitri
Zakat Fitri ini tidak dibagikan melainkan kepada orang yang berhak dari kalangan orang-orang miskin. Para ulama berselisih pendapat akan golongan orang yang berhak menerima zakat fitri, sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa zakat fitri ini dibagikan kepada delapan golongan sebagaimana zakat mal pada umumnya. Namun pendapat ini tidak dibangun di atas dalil yang kuat. Justru riwayat shahih yang telah lalu menyatakan bahwa zakat fitri diberikan khusus kepada orang-orang miskin :
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitri sebagai bentuk penyucian terhadap pelaku puasa dari kesia-siaan dan kekejian, dan sebagai bentuk memberi makan kepada orang-orang miskin”. (HR Abu Daud : 1609, Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak : 1488 dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Shahihul Jami’ : 3570, Shahih Sunan Abi Dawud : 1420).).
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan ketika menguatkan pendapat ini beliau bertutur :
وَكَانَ مِنْ هَدْيِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَخْصِيصُ الْمَسَاكِينِ بِهَذِهِ الصَّدَقَةِ ، وَلَمْ يَكُنْ يَقْسِمُهَا عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ قَبْضَةً قَبْضَةً ، وَلَا أَمَرَ بِذَلِكَ ، وَلَا فَعَلَهُ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِهِ ، وَلَا مَنْ بَعْدَهُمْ ، بَلْ أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ عِنْدَنَا : إِنَّهُ لَا يَجُوزُ إِخْرَاجُهَا إِلَّا عَلَى الْمَسَاكِينِ خَاصَّةً ، وَهَذَا الْقَوْلُ أَرْجَحُ مِنَ الْقَوْلِ بِوُجُوبِ قِسْمَتِهَا عَلَى الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ.
“Dan petunjuk Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengkhususkan orang-orang miskin untuk menerima sedekah ini (zakat fitri). Beliau tidak membagikannya kepada delapan golongan penerima zakat jatah per jatah. Tidak pula beliau memerintahkan untuk melakukan hal tersebut.
Dan para sahabatpun tidak ada yang melakukannya, tidak pula generasi setelahnya. Bahkan salah satu pendapat di sisi kami bahwasanya tidak boleh zakat fitri dikeluarkan melainkan kepada orang-orang miskin secara khusus. Dan pendapat inilah yang paling rajih/paling kuat jika dibandingkan dengan pendapat yang menyatakan harus dibagikan kepada delapan golongan penerima zakat”. (Zadul Ma’ad : 2/21).
8). Waktu pembayaran Zakat Fitri
Ia dibayarkan sebelum manusia keluar menuju shalat ‘Id atau boleh dimajukan sehari atau dua hari sebelumnya :
زَكَاةُ الْفِطْرِ طُهْرَةٌ لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، وَطُعْمَةٌ لِلْمَسَاكِينِ ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
“Zakat fitri itu sebagai bentuk penyucian bagi pelaku puasa dan sebagai bentuk memberi makan kepada orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat maka ia adalah zakat fitri yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat maka ia hanya sedekah sebagaimana sedekah-sedekah biasa yang ada”. (HR Abu Dawud : 1609, Ibnu Majah : 1827, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud : 1427).
Dari sini sebagian para ulama membagi waktu dikeluarkannya zakat fitri ini menjadi dua :
a). Waktu yang diperbolehkan
Yaitu sehari atau dua hari sebelum hari raya, berdasarkan riwayat sebagai berikut :
عَنِ ابنِ عُمَرَ - رضي الله عنهما -: «أنَّهُمْ كَانُوا يُعطُونَ قَبلَ الفِطرِ بِيَومٍ أوْ يَومَينِ
“Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma ; bahwasanya para sahabat itu mereka mengeluarkan zakat sebelum hari raya sehari atau dua har sebelumnyai”. (HR Bukhari : 1511).
b). Waktu yang dianjurkan
Yaitu pada waktu pagi setelah shalat subuh sebelum keluar menuju shalat ‘id, ini berdasarkan riwayat sebagai berikut :
عَنِ ابنِ عُمَرَ - رضي الله عنهما -: «أنَّ رَسُولَ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - أمَرَ بِزَكَاةِ الفِطْرِ أنْ تُؤَدَّى قَبلَ خُرُوجِ النَّاسِ إلَى الصَّلَاةِ
“Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menunaikan zakat fitri sebelum manusia keluar menuju shalat ‘Id.” (HR Bukhari : 1503, Muslim : 984).
9). Batasan minimal harta orang yang wajib berzakat fitri
Apabila seseorang, setelah dikurangi zakat fitri untuk diri dan keluarganya, ia masih memiliki sisa makanan yang cukup untuk diri dan keluarganya di hari itu, maka ia sudah wajib mengeluarkan zakat fitri. Imam Shiddiq Hasan Khan berkata :
فَإِذَا مَلَكَ زِيَادَةً عَلَى قُوتِ يَوْمِهِ أَخْرَجَ الفِطْرَةَ إِن بَلَغَ الزَّائِدُ قَدْرَهَا
“Apabila seseorang memiliki kelebihan atas jatah makan hariannya, maka ia harus mengeluarkan zakat fitri jika kelebihan ini sudah mencapai ukuran zakat fitri yang harus ditunaikan”. (Ar-Radhatun Nadiyah : 1/519).
Wallahu a’lam
__
Tidak ada komentar:
Posting Komentar