🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 14 Dzulqa’dah 1440 H / 17 Juli 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 042 | Hadits 42
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 42
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين، اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-42 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.
Kita sudah sampai pada pembahasan hadīts yang ke-42, yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Amr bin 'Auf Al Muzaniy radhiyallāhu ta'āla 'anhu. Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ، إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا وأَحَلَّ حَرَامًا، وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا وَأَحَلَّ حَرَامًا.
"Melakukan shulh (perdamaian) boleh dilakukan di antara sesama kaum muslimin, kecuali berdamai yang di dalamnya terkandung mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram. Dan kaum muslimin wajib untuk diberikan sesuai dengan apa yang mereka syaratkan kecuali apabila syarat tersebut mengharamkan apa yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram." (Hadīts shahīh riwayat At Tirmidzī)
Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menjelaskan bahwa hadīts ini berisi tentang dua perkara penting di dalam bermuamalah.
Hadīts ini mencakup:
√ Perkara shulh (perdamaian) dan syarat melakukan perdamaian antara kedua belah pihak tatkala mereka bersengketa.
√ Perkara mengajukan syarat di dalam melakukan suatu akad.
⑴ Perkara shulh (perdamaian)
Shulh adalah perdamaian atau menempuh jalan damai tatkala berselisih atau bermusuhan.
Shulh merupakan sesuatu yang baik dan dianjurkan oleh syar'iat.
Apabila perdamaian tersebut mengharuskan salah satu atau kedua belah pihak merelakan haknya maka ini boleh dilakukan.
Selama hal itu tidak berupa mengharamkan apa yang halal seperti mengambil hak orang lain dengan tanpa izin, dan tidak pula menghalalkan sesuatu yang diharamkan seperti terjerumus ke dalam perbuatan riba (misalnya) merelakan haknya untuk menbayarkan riba.
Maka hal ini tidak diperbolehkan karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam hadīts ini mensyaratkan, "Bolehnya melakukan perdamaian selama tidak mengharamkan apa yang halal atau menghalalkan yang haram."
Dibawakan beberapa contoh dalam permasalahan ini.
Contoh:
• Permasalahan shulh (berdamai) yang boleh.
Si A meminjamkan uang pada si B dan si B (peminjam) mengakui memiliki hutang kepada si A, maka boleh si A (pemilik uang) merelakan sebagian uangnya atau merelakan semua uangnya tidak dibayar oleh si B (ini termasuk shulh)
Atau seandainya si B (yang berhutang) dia mengingkari bahwasanya dia memiliki hutang kepada si A, maka tidak mengapa si A (yang meminjamkan uang) merelakan hutangnya tidak dibayar oleh si B, daripada harus bertengkar dan bermusuhan gara-gara si B (yang berhutang) mengingkari kalau dia memiliki hutang kepada si A.
• Permasalahan dalam rumah tangga
Begitu juga di dalam kehidupan rumah tangga, boleh bagi suami istri untuk melakukan shulh (berdamai) tatkala mereka bersengketa dalam suatu hak, boleh merelakan beberapa hak dari masing-masing.
Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:
فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ وَٱلصُّلۡحُ خَيرٌ
"Maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (QS. An Nissā': 128)
• Perdamian dalam hukum had
Melakukan shulh dalam permasalah hak yang harus ditunaikan dalam hukuman had.
Misalkan:
Pihak korban menggantinya dengan diyat pembayaran atas qishāsh (ganti qishāsh) atau atas luka yang ditimbulkan karena perbuatan tersebut maka ini termasuk hal yang boleh dilakukan oleh kedua belah pihak.
Dan ini masuk dalam sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa salaam:
الصُّلْحُ جَائِزٌ
"Melakukan perdamaian itu boleh. "
⑵ Mengajukan syarat di dalam melakukan suatu akad.
Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا وَأَحَلَّ حَرَامًا
"Dan kaum muslimin wajib untuk diberikan sesuai dengan apa yang mereka syaratkan kecuali apabila syarat tersebut mengharamkan apa yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram."
Contoh:
Misalkan dalam syarat akad terdapat kelebihan riba, maka itu tidak diperbolehkan.
Syarat tersebut merupakan syarat yang bathil karena di dalam syarat tersebut, "menghalalkan apa yang haram".
Namun jika terlepas dari hal tersebut, (mengharamkan apa yang halal atau menghalalkan apa yang haram) maka pada asalnya syarat tersebut boleh dan wajib untuk ditunaikan.
Contoh:
Misalkan pada transaksi jual beli, si pembeli mensyaratkan adanya sifat-sifat tertentu yang telah disebutkan di dalam akad, maka penjual wajib memenuhi syarat yang telah diajukan tersebut.
Misalkan sang pembeli mensyaratkan penundaan pembayaran setelah beberapa waktu dengan tempo yang telah ditentukan, maka syarat ini boleh untuk disepakati dan penjual wajib untuk memberikan tenggang hingga batas waktu yang telah disepakati.
Atau sebaliknya,
Misalnya penjual dia mensyaratkan untuk memakai barangnya terlebih dahulu selang beberapa waktu setelah terjadinya akad (dengan ditentukan waktunya) maka ini juga boleh dilakukan.
Contoh:
Penjual akan menjual rumahnya namun mensyaratkan rumah tersebut baru akan diserahkan kepada pembeli setelah satu bulan terjadinya akad, maka ini juga boleh dilakukan.
Dari hadīts ini, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberikan kepada kita faedah yang penting di dalam melakukan perdamaian dan di dalam mengajukan syarat di dalam bermuamalah sesama manusia.
Demikian beberapa faedah yang bisa kita ambil dari hadīts yang mulia ini.
Semoga ini bisa memberikan kepada kita pencerahan tentang bagaimana mengajukan atau melakukan perdamaian di dalam bersengketa dengan orang lain dan juga mengajukan syarat di dalam bermuamalah dengan orang lain.
Demikian yang bisa kita bahas pada halaqah kali ini.
In syā Allāh akan kita lanjutkan pembahasan hadīts berikutnya pada halaqah yang akan datang.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_________________________
🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 09 Muharam 1441 H / 09 September 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 043 | Hadits 43
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 43
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-43 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.
Kita sudah sampai pada pembahasan hadīts yang ke-40, yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla 'anhu. Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ، وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَعْ
"Penundaan pembayaran yang dilakukan oleh orang yang mampu membayar merupakan sebuah kezhāliman, apabila salah seorang dari kalian dialihkan pembayaran hutangnya kepada orang yang mampu membayar maka hendaknya dia kabulkan permohonan tersebut." (Hadīts riwayat Imām Bukhāri dan Muslim)
Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menyebutkan bahwa hadīts ini mengandung perintah untuk berbuat baik di dalam membayar dan juga menagih hutang.
Adapun yang pertama di dalam pembayaran hutang, adalah sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
"Penundaan pembayaran yang dilakukan oleh orang yang mampu membayar merupakan sebuah kezhāliman.”
Yaitu apabila hutang tersebut telah tiba waktunya untuk dibayarkan dan orang yang berhutang telah memiliki uang untuk membayar hutangnya, namun dia tangguhkan pembayarannya, maka ini disebutkan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam sebagai bentuk kezhāliman. Karena dia telah meninggalkan salah satu perkara yang wajib untuk dia tunaikan.
Kewajiban orang yang telah mampu untuk membayar adalah:
⑴ Segera membayar hutangnya.
⑵ Jangan sampai orang yang memberikan hutang harus bersusah payah menagih atau menanyakan kembali hutang yang dulu pernah dipinjamkan.
Karena pada asalnya seorang yang berhutang, dia wajib membayar apabila telah jatuh tempo dan dia mampu untuk membayarnya ketika itu.
Dari hadīts ini kita pahami bahwasanya seorang yang berhutang dan dia belum mampu untuk membayar sehingga dia harus meminta tambahan waktu pembayaran, maka tidak mengapa baginya melakukan hal tersebut.
Dan dia tidak dihukumi sebagai orang yang zhālim pada orang yang menghutanginya, karena memang dia belum mampu.
Bahkan Allāh Subhānahu wa Ta'āla memerintahkan kepada orang yang memberikan hutang agar memberikan penambahan waktu bagi orang yang sedang dalam kesusahan, apabila mereka belum mampu membayarnya.
Sebagaimana dari hadīts ini pula kita kemahami bahwasanya kezhāliman dalam bentuk harta itu, tidak terbatas dalam bentuk memgambil harta orang lain dengan cara merampas saja.
Dan masuk dalam kategori kezhāliman adalah seorang yang tidak menunaikan hak atau kewajiban yang harus dia tunaikan kepada orang lain, seperti contohnya pembayaran hutang. Maka itu dinyatakan sebagai kezhāliman terhadap orang lain, karena dia menahan harta orang tersebut yang ada padanya.
Sehingga apabila penundaan pembayaran tersebut berdampak pada kerugian yang dialami oleh orang lain (yang memberikan hutang), maka orang yang berhutang ini wajib untuk menanggung kerugian tersebut.
Dia harus mengganti kerugian yang terjadi karena sebab penundaan pembayaran yang dia lakukan karena dia lah yang menyebabkan terjadinya hal tersebut.
Maka Syaikh menyebutkan bahwa orang ini dhamin (harus menggantinya), karena disebabkan penundaan pembayaran yang dia lakukan. Dia juga boleh untuk diberikan peringatan dan hukuman hingga dia mau untuk bersegera membayar hutangnya.
Kemudian di dalam hadīts ini juga Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan kewajiban yang harus dilakukan oleh orang yang menagih hutang, yaitu apabila orang yang berhutang ternyata mengalihkan hutangnya kepada orang lain yang punya hutang ke orang tersebut, dan orang lain itu mampu untuk membayarnya.
Maka orang yang memberikan hutang ini, dia harus menerima permohonan pengalihan tersebut dengan syarat apabila orang atau pihak ketiga yang dialihkan kepadanya pembayaran hutang tersebut adalah orang yang mampu untuk membayar hutangnya. Akan tetapi apabila ternyata hutangnya dialihkan ke orang yang tidak mampu membayarnya, maka orang yang memberi hutang ini boleh untuk tidak menerima hal tersebut.
Ini diistilahkan oleh para ulamā sebagai hawarah yaitu dialihkan pembayaran hutangnya kepihak lain yang juga memiliki hutang kepada si penghutang pertama.
Dan dua hal ini merupakan bentuk perbuatan baik di dalam masalah hutang piutang, yaitu ketika orang membayar hutangnya dan ketika orang menagih hutangnya.
Sebagaimana Allāh Subhānahu wa Ta'āla, memerintahkan kita berbuat kebaikan dalam hal tersebut dan juga Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menegaskan dalam sebuah hadīts yang Beliau memuji orang yang memiliki kemudarahan hati di dalam setiap muamalah yang dia lakukan.
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
رَحِمَ اللَّهُ عَبْدًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ سَمْحًا إِذَا اشْتَرَى سَمْحًا إِذَا اقْتَضَى
"Semoga Allāh merahmati seorang hamba yang dia bermurah hati ketika dia menjual barang, dia memiliki sifat murah hati ketika dia membayar hutang dia memiliki kemurahan hati ketika dia menagih hutang."
Sifat ini adalah sifat yang dido'akan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam agar mendapat rahmat dari Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Demikian, pembahasan dari hadīts yang mulia ini, semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla mengkaruniakan kepada kita sifat kemurahan hati di dalam masalah hutang piutang maupun di dalam masalah muamalah-muamalah yang lain, agar kita termasuk orang-orang yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_________
🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 10 Muharam 1441 H / 10 September 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 044 | Hadits 44 (Bagian 01)
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 44 (BAGIAN 01)
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-44 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.
Kita sudah sampai pada pembahasan hadīts yang ke-44, yaitu hadīts yang diriwayatkan dari Samurah bin Jundub radhiyallāhu ta'āla 'anhu, beliau mengatakan:
قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم: عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: "Seorang bertanggung jawab atas apa yang dia ambil hingga dia mengembalikan kepada pemiliknya.” (Hadīts riwayat ahlus sunnan kecuali An Nassā'i)
Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh ta'āla, menjelaskan bahwa hadīts ini berbicara tentang tanggung jawab yang harus ditunaikan kepada orang yang mengambil harta orang lain baik, dengan cara yang benar maupun cara yang bathil (tidak dibenarkan secara syari’).
Adapun bentuk dengan cara yang bathil, (seperti) orang yang mengambil harta orang lain tanpa izin (tanpa keridhāannya), maka hal ini tentunya merupakan sebuah kezhāliman dan perkara yang haram.
Sebagaimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah bersabda:
من غصب قيد شِبْرٍ مِنْ الأَرْضِ طوقه يوم القيامة من سبع أرضين
"Barangsiapa mengambil sejengkal tanah dengan cara ghashab (tanpa seizin pemiliknya) maka akan dibebankan kepadanya 7 bumi pada hari kiamat.”
Perbuatan ghashab (mengambil harta tanpa izin pemiliknya) merupakan perkara yang haram dan merupakan sebuah kezhāliman dan orang yang mengambilnya, dia bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi pada harta yang diambil tersebut, sehingga dia benar-benar memberikan harta tersebut kepada pemiliknya.
Dia wajib untuk mengembalikannya dan seandainya barang tersebut rusak maka dia wajib menggantinya, kalau berkurang nilainya maka dia wajib membayarkan nilai yang kurang dari harta tersebut.
Dan apabila barang tersebut merupakan barang yang biasa disewakan, dia wajib mengganti harga sewa selama dia ambil, karena semua kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan nya (mengambil harta itu dari pemiliknya), maka dia harus menggantinya.
Dia bertanggung jawab terhadap harta yang dia ambil dengan cara yang bathil dan dia wajib untuk mengembalikan barang itu dan kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya tersebut.
Ini bentuk yang pertama yaitu mengambil barang dengan cara yang bathil.
Bentuk kedua, dia mengambil harta (barang) orang lain, namun dengan cara yang haq yaitu dengan ridhai pemiliknya.
Seperti:
Misalnya dia mengambil harta orang lain karena akad rohan (jaminan), barang itu sebagai jaminan atas hutang yang dia berikan atau barang itu merupakan barang yang dia sewa sehingga dia pakai atau akad-akad lain yang intinya harta orang lain ada padanya, yang tetap harus dia kembalikan.
Maka orang ini, dia bertindak sebagai pemegang amanah. Dalam artian apabila barang yang dia pegang ini rusak karena keteledorannya atau karena ulah perbuatan dia sendiri yang tidak wajar di dalam menggunakannya, maka dia wajib untuk menggantinya (wajib untuk menanggung kerugian ataupun kekurangan dari nilai harta tersebut).
Adapun seandainya barang tersebut rusak ketika berada ditangannya, tanpa sebab keteledoran dari dirinya dan tanpa ulah dari perbuatannya dengan pemakaian yang tidak wajar, maka dia tidak harus menggantinya, karena dia bertindak sebagai pemegang amanah.
Dan apabila barang itu telah selesai waktu akad maka dia harus mengembalikan barang-barang tersebut.
Begitu juga termasuk dalam bentuk ini adalah peminjaman barang. Barang yang dia pinjam dari orang lain, maka dia wajib untuk. mengembalikannya apabila telah habis batas waktu peminjaman atau yang punya meminta barang itu sebelum batas waktunya.
Karena akad dan pinjam meminjam ini merupakan akad yang jaiz, sehingga salah satu dari kedua belah pihak boleh untuk membatalkannya kapan saja.
Dan kalau barang yang dipinjam tersebut rusak maka dilihat, kalau karena keteledoran yang dia lakukan atau ulah yang dia lakukan dengan tindakan yang tidak wajar, maka dia wajib untuk menggantinya, tetapi kalau barang tersebut rusak bukan karena keteledorannya dan bukan karena ulahnya sendiri, maka di antara para ulamā ada yang mewajibkannya untuk tetap menggantinya. Pendapat yang lain menyebutkan bahwasanya dia tidak harus menggantinya selama bukan karena ulah dia.
Namun Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh, memilih pendapat ketiga yaitu, jika di awal akad peminjaman tersebut disyaratkan si peminjam harus mengganti kerusakan barang, maka dia wajib menggantinya bagimanapun sebab yang dilakukannya
Kalau tidak disyaratkan di awal maka dia tidak harus memgganti kerusakan tersebut.
Demikian yang bisa kita bahas pada halaqah kali ini.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_________
🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 11 Muharam 1441 H / 11 September 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 044 | Hadits 44 (Bagian 02)
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS (BAGIAN 02)
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Kemudian Syaikh juga menyebutkan tentang permasalahan:
Kalau seandainya ada orang gila atau anak kecil atau orang yang dia tidak pandai mengurus hartanya, dia memegang harta, kemudian harta ini diambil oleh orang lain untuk disimpankan (dijaga agar tidak dibuang sia-sia oleh pemiliknya tersebut), kemudian ternyata barang ini rusak ketika disimpan oleh orang tadi, maka kalau kerusakannya tanpa atau bukan karena sebab keteledoran orang tadi atau bukan karena sebab ulah orang tadi di dalam memperlakukan barang itu dengan cara tidak wajar, maka dia tidak harus menggantinya karena tujuan dia untuk menjaga harta itu agar tidak dibuang sia-sia.
Dia termasuk orang yang muhsin tujuannya adalah berbuat kebaikan.
Permasalah lain yang beliau sampaikan di sini:
Kalau seandainya ada barang yang hilang dari pemiliknya kemudian ditemukan oleh orang lain, maka orang yang menemukan dan mengambilnya ini wajib untuk menginformasikan, mencari pemilik barang tersebut selama 1 tahun.
Kalau ternyata tidak ada yang mengakui barangnya (pemiliknya tidak datang) maka barang tersebut menjadi milik orang yang menemukannya.
√ Jikalau sewaktu-waktu dan telah berlalu 1 tahun, tiba-tiba pemiliknya datang, maka dia wajib mengembalikan barang itu kepada pemiliknya (jika masih ada).
√ Jika barang itu sudah tidak ada karena dia pakai atau dia gunakan maka dia wajib untuk menggantinya.
√ Jika barang tersebut rusak tatkala selama masa satu tahun ketika dia mencari pemiliknya maka beliau sebutkan bahwasanya orang yang menemukan barang itu tidak harus menggantinya selama kerusakan itu bukan karena keteledoran dia dalam menjaganya ataupun karena ulah berbuatan dirinya sendiri.
Demikian beberapa permasalahan yang berkaitan dengan hadīts ini, yaitu:
"Barangsiapa dia mengambil harta orang lain, maka dia bertanggung jawab atas harta tersebut hingga dia benar-benar mengembalikan harta itu kepada pemiliknya.”
Demikian yang bisa kita bahas pada halaqah kali ini.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_________
🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 15 Shafar 1441 H / 14 Oktober 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 045 | Hadits 45
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 45
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نبينا محمد، وَعَلَى أله وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ:
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-45 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.
Kita sudah sampai pada pembahasan hadīts yang ke-45, yaitu hadīts dari Jābir radhiyallāhu ta'āla 'anhu.
Beliau mengatakan:
قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَا لَمْ يُقْسَمْ فَإِذَا وَقَعَتْ الْحُدُودُ وَصُرِّفَتْ الطُّرُقُ فَلَا شُفْعَةَ
"Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menetapkan tentang adanya hak syuf'ah pada setiap yang belum dibagi, tetapi jika sudah diletakkan garis batas atau diberikan jalan di antara batas-batas kepemilikan maka sudah tidak ada lagi hak syuf'ah." (Hārits riwayat Al Bukhāri)
Hadīts ini menjelaskan tentang hukum syuf'ah dan barang-barang yang berlaku padanya hak syuf'ah.
Hak syuf'ah maksudnya adalah hak untuk membeli saham atau bagian dari pemilik saham lain pada barang-barang yang dimiliki bersama.
Contoh:
Jika ada dua orang, keduanya memiliki bagian kepemilikan saham pada suatu barang, maka salah satu dari keduanya lebih berhak untuk membeli saham yang lain, dibandingkan jika barang tersebut dijual kepada pihak ketiga yang tidak memiliki bagian tersebut.
⇒ Teman kepemilikannya lebih berhak untuk membelinya jika dia mau membelinya.
⇒ Syuf'ah ini berlaku pada barang-barang yang dimiliki bersama.
Barang yang dimiliki bersama ini ada dua macam, yaitu:
⑴ 'Aqara ( عقار ) , barang yang tidak berpindah. Yang seperti ini berlaku padanya syuf'ah apabila dipenuhi ketentuannya.
⑵ Ghairul 'Aqara ( غيرة عقار ), barang-barang yang berpindah atau tidak tetap. Maka yang seperti ini tidak berlaku padanya hukum syuf'ah.
Seperti memiliki hewan ternak bersama atau perabotan secara bersama, uang atau hal lain yang sifatnya bisa berpindah-pindah (tidak tetap), maka tidak ada hak syuf'ah.
Masing-masing pemilik saham boleh menjual saham kepemilikannya terhadap barang-barang tersebut tanpa seizin dari pemilik saham yang satunya lagi, tanpa harus menawarkan kepada pemilik saham yang satu lagi. Ini berlaku untuk barang-barang yang berpindah.
Adapun pada 'aqara atau barang-barang tidak berpindah, maka yang seperti ini berlaku padanya hukum syuf'ah, apabila belum diletakkan batas-batas kepemilikan.
Sehingga jika salah satu dari pemiliknya menjual bagiannya kepada orang lain, maka temannya (yang tadinya memiliki hak pemilikan setengahnya), berhak untuk membatalkan akad dan membeli bagiannya dengan harga yang semisal.
Karena dia lebih berhak untuk mendapatkan hak beli pada bagian saham tersebut.
Ini apabila barang tadi atau tanah tadi belum diletakkan padanya batasan-batasan kepemilikan.
Namun jika sudah ada batas-batas kepemilikan, sudah ada jalan sebagai pembatas dari masing-masing bagian pemiliknya (sehingga setiap orang sudah tahu mana bagiannya) maka tidak ada hak syuf'ah lagi.
Sebagaimana disebutkan dalam hadīts ini bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menetapkan hak syuf'ah hanya pada setiap yang belum dibagi.
Apabila telah diletakkan batasan-batasan dan telah dibuatkan jalan, maka tidak ada syuf'ah kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Kemudian dari hadīts ini juga kita mengetahui bahwasanya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam membolehkan bagi si pemilik (salah satu dari pemilik saham) pada barang tersebut hak syuf'ah (menetapkan baginya hak syuf’ah).
Apabila dia ingin membeli saham temannya maka dia lebih berhak dibandingkan orang lain. Tetapi kalau dia tidak ingin membelinya maka hak tersebut boleh dijual kepada orang lain, karena berarti dia telah merelakan hak priotitas yang dia miliki sebagaimana hak-hak lain. Dan apabila sudah direlakan maka tidak berhak lagi untuk diminta.
Demikian pembahasan yang berkenaan dengan hadīts yang mulia ini, dimana hadīts ini menunjukkan tentang hukum syuf'ah.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_________
🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 16 Shafar 1441 H / 15 Oktober 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 046 | Hadits 46 (Bagian 01)
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 46 BAGIAN PERTAMA
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، نبينا محمد وَعَلَى أله وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ:
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-46 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.
Kita sudah sampai pada pembahasan hadīts yang ke-46, yaitu hadīts yang diriwayatkan dari Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla 'anhu.
Beliau mengatakan:
قال رسول االله: يقول االله تعالى: أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman, "Aku adalah pihak ketiga dari kedua pihak yang mengadakan syarikat, selama salah satu dari mereka tidak berkhianat kepada yang lain, (apabila salah satunya berkhianat) maka aku akan berlepas diri dari tengah-tengah mereka." (Hadīts riwayat Abū Dāwūd)
Hadīts ini termasuk hadīts yang disyarahkan oleh para ulamā sebagai hadīts qudsi, karena di dalamnya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menceritakan tentang firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Hadīts ini, menunjukkan bolehnya semua jenis akad persyarikatan, baik itu syarikat yang yang diistilahkan sebagai;
√ Syarikat 'inān (العنان)
√ Syarikat abdān (الأبدان)
√ Syarikat wujūh (الوجوه)
√ Syarikat mudhārabah (المضاربة)
√ Syarikat mufāwadhah (المفاوضة) dan yang lainnya.
Yang itu dibangun di atas kesepakatan antara kedua belah pihak yang sama-sama bersyarikat di dalam usahanya.
Maka hukum asalnya adalah boleh, kecuali apabila ada dalīl khusus yang menunjukkan tentang diharamkannya atau adanya sesuatu yang menjadikan hukumnya haram karena sebab tertentu.
Dan di dalam hadīts ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengabarkan bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta'āla menyatakan dirinya sebagai pihak ketiga dari kedua pihak yang melakukan syarikat.
Di sini menunjukkan bahwa melakukan persyarikatan atau akad bersyarikat memiliki keutamaan dan mendatangkan keberkahan apabila dibangun di atas kejujuran dan amanah.
⇒ Karena dalam hadīts ini menunjukkan kebersamaan Allāh bersama mereka.
Dan barangsiapa yang Allāh Subhānahu wa Ta’āla bersekutu bersamanya, berarti akan diberikan keberkahan di dalam rizkinya, akan dimudahkan sebab-sebab yang bisa mendatangkan rizki dan pasti Allāh akan tolong dan kuatkan.
Oleh karena itu Syaikh Abdurrahmān As Sa'di rahimahullāh menjelaskan di sini, bahwasanya hadīts ini menunjukkan tentang keutamaan akad syarikat dan tentang adanya keberkahan di dalam akad perserikatan.
Demikian.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_______
🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 17 Shafar 1441 H / 16 Oktober 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 046 | Hadits 46 (Bagian 02)
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 46 BAGIAN KEDUA
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، نبينا محمد وَعَلَى أله وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ:
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Dan manfaat lain yang didapatkan dari bersyarikat di dalam usaha adalah adanya ta'awun, saling tolong menolong. Baik dalam bentuk tukar pendapat ataupun tolong menolong di dalam berusaha untuk menjalankan usaha, dimana terkadang suatu pekerjaan tidak bisa dikerjakan seluruhnya oleh satu orang.
Tapi apabila ada dua orang yang mereka saling membantu (bekerja sama) maka akan mungkin bisa dikerjakan hal-hal yang tidak mungkin bisa dikerjakan sendiri.
Selain itu dengan adanya berserikat atau bekerja sama akan bisa memperluas area dan memperbanyak pekerjaan yang bisa dilakukan. Selain itu juga akan menimbulkan atau membuahkan sifat ketenangan, tidak terlalu letih di dalam menjalankan pekerjaannya, karena ada yang membantunya (ada yang bisa memberikan bantuan) dengan adanya akad kerjasama tersebut.
Dan keberkahan ini (kebaikan-kebaikan ini) hanya bisa didapatkan apabila kedua belah pihak sama-sama jujur dan menjaga amanah, tidak berkhianat satu dengan yang lain.
Apabila berkhianat salah satunya atau bahkan keduanya atau ada niat untuk mengkhianati satu dengan yang lain, maka Allāh Subhānahu wa Ta'āla nyatakan di dalam hadīts ini:
فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
"Kalau salah satu berkhianat maka aku akan keluar dari tengah-tengah mereka.”
Maksudnya Allāh akan berlepas diri, sehingga hilang keberkahan (kebaikan) di dalamnya.
Dan bisa kita saksikan di dalam kehidupan sehari-hari kita akan kebenaran hadīts ini. Dimana apabila akad kerjasamanya dibangun di atas kejujuran dan amanah, maka kerja sama itu akan membuahkan banyak kebaikan, namun apabila dibangun di atas pengkhianatan (ketidakjujuran) maka yang terjadi adalah kehilangan berkah, bahkan menimbulkan permusuhan atau permasalahan-permasalahan yang lain.
Demikian pembahasan hadīts yang mulia ini, semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla menjadikan kita termasuk orang-orang yang bisa menunaikan amanah dan bersikap jujur terlebih dalam kerjasama yang kita lakukan bersama orang-orang.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_______
🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 14 Rabi’ul Awwal 1441 H / 11 November 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 047 | Hadits 47 (Bagian 01)
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 47 BAGIAN PERTAMA
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الانبياء المرسلين نبينا محمد وعلى آله وأصحابه و كل من تبعهم بإحسان إلى يوم الدين اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-47 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.
Kita lanjutkan pembahasan hadīts yang ke-47 yaitu hadīts yang diriwayatkan dari Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla 'anhu.
قال رسول االله ﷺ : إذا مات العبد انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له. {رواه مسلم}
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: "Apabila seorang hamba telah meninggal maka amalannya terputus, kecuali tiga perkara yaitu:
⑴ Sedekah Jāriyyah;
⑵ Ilmu yang bermanfaat;
⑶ Anak shālih yang mendo'akan baginya." (Hadīts shahīh riwayat Imam Muslim)
Di dalam hadīts yang mulia ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengabarkan tentang tiga amalan yang pahalanya akan terus mengalir, meskipun orang yang mengamalkannya sudah meninggal.
Dan telah kita ketahui, bahwasanya dunia adalah: دار عمل (dārul amal), tempat untuk beramal, yaitu tempat kita mengumpulkan pahala-pahala dan bekal untuk kehidupan akhirat.
Apabila seseorang sudah meninggalkan dunia, maka sudah tidak ada lagi kesempatan beramal, karena dia telah berpindah kepada: دار الجزاء (dārul jazā'), yaitu tempat mendapatkan balasan atas amalan yang dahulu dia lakukan di dunia.
√ Jika itu suatu kebaikan, maka dia akan dapatkan balasan kebaikan.
√ Jika itu keburukan, maka dia akan dapatkan balasan yang setimpal dengan apa yang dahulu dia lakukan di dunia.
Di dalam hadīts ini, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengabarkan bahwasanya ada beberapa amalan yang apabila hal itu dilakukan semasa hidup di dunia, maka pahalanya akan terus bisa dirasakan meskipun orang yang mengamalkannya telah meninggal.
Pahalanya terus mengalir, manfaatnya terus menerus ada, meskipun dia sudah tidak mengamalkannya lagi (dia sudah meninggal).
Di antara amalan tersebut adalah:
⑴ Shadaqah Jāriyyah (صدقة جارية)
Yaitu sedekah yang bermanfaat bagi orang lain dan manfaatnya terus menerus bisa dirasakan dan digunakan oleh orang lain.
Contohnya (seperti):
√ Orang yang mewakafkan bangunan-bangunan yang bisa digunakan oleh orang lain untuk kebaikan atau perabotan yang dia sedekahkan dan digunakan oleh orang lain untuk kebaikan, baik hewan maupun kendaraan yang bisa dimanfaatkan oleh orang lain.
Orang yang mensedekahkan hal-hal tadi bisa mendapatkan pahala, meskipun dia sudah meninggal, selama barang-barang yang dahulu dia sedekahkan tetap bisa diambil manfaatnya oleh orang lain.
Terlebih apabila barang-barang yang disedekahkan tadi dalam rangka membantu perkara-perkara diniyyah (agama), seperti misalkan:
√ Membantu dalam hal thālabul 'ilmi syari' (belajar ilmu syari'). Dengan bersedekah (misalnya) memberi mushaf-mushaf atau buku-buku atau fasilitas-fasilitas lain untuk thālabul 'ilmi syari'.
√ Membantu jihād (misalnya) seseorang memberikan bekal kepada orang-orang yang akan berjihād.
√ Membantu dalam perkara ibadah lainnya seperti (misalnya) membangun masjid, sekolah atau rumah-rumah yang bisa digunakan untuk beribadah kaum muslimin
Semua ini termasuk di dalam kategori shadaqah jāriyyah dan yang paling penting, apa yang disedekahkan tersebut digunakan untuk ketaatan dan amal shālih.
Wallāhu A'lam
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_______
🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 15 Rabi’ul Awwal 1441 H / 12 November 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 047b | Hadits 47 (Bagian 02)
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 47 BAGIAN KEDUA
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الانبياء المرسلين نبينا محمد وعلى آله وأصحابه و كل من تبعهم بإحسان إلى يوم الدين اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-47 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.
Kita lanjutkan pembahasan kedua hadīts yang ke-47 yaitu hadīts yang diriwayatkan dari Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla 'anhu.
Di dalam hadīts yang mulia ini, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengabarkan tentang tiga amalan yang pahalanya akan terus mengalir meskipun orang yang mengamalkannya sudah meninggal.
Di antara amalan tersebut adalah:
⑵ Ilmu Yang Bermanfaat ( علم ينتفع به)
Ilmu yang terus menerus dimanfaatkan setelah dia meninggal.
Seperti (misalnya)
√ Ilmu yang pernah dia ajarkan kepada murid-murid yang mereka memahami ilmu tersebut dan mengamalkannya serta menyebarkan ilmu tersebut di tengah-tengah manusia.
√ Buku-buku tentang ilmu yang bermanfaat yang pernah dia tulis.
Semua itu akan tetap dia dapatkan pahalanya, meskipun pemanfaatannya dilakukan secara langsung atau tidak langsung.
Intinya termasuk amalan yang pahalanya terus mengalir, meskipun dia sudah meninggal.
⑶ Anak Shālih Yang Mendo'akan Orang Tuanya (ولد صالح يدعو له)
Do'a anak shālih yang memberikan manfaat untuk kedua orang tuanya yang telah meninggal.
Apabila dahulu mereka (orang tua) mendidik anak-anaknya sehingga mereka menjadi anak yang shālih, berbakti kepada orang tua dan senantiasa mendo'akan orang tua.
Maka ini merupakan amal kebaikan yang akan terus menerus dia dapatkan meskipun dia sudah meninggal.
Tiga hal ini sejalan dengan firman Allāh Subhānallāhu wa Ta'āla:
إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا۟ وَءَاثَـٰرَهُمْ ۚ......
"Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang telah meninggal dan Kami menuliskan amalan-amalan yang telah mereka kerjakan dan buah dari amalan yang mereka tinggalkan." (QS Yāsīn: 12)
√ Amalan-amalan yang telah mereka lakukan maksudnya adalah amalan-amalan yang mereka sendiri langsung lakukan dengan tangan mereka.
√ Buah dari amalan mereka maksudnya adalah efek dari amalan yang pernah mereka lakukan dan dilakukan oleh orang lain atau dimanfaatkan oleh orang lain, sehingga orang ini mendapatkan pahala atas manfaat yang bisa dirasakan oleh orang lain.
Syaikh Abdurrahmān As Sa'dī rahimahullāh menyembutkan 3 (tiga) bentuk buah amalan seseorang yang tetap atau yang bisa sampai kepada dirinya meskipun dia sudah meninggal.
Yaitu:
⑴ Amal shālih yang dilakukan oleh orang lain disebabkan oleh arahan orang tersebut.
Orang itu yang mengajaknya, orang itu yang mengarahkan kepada amal shālih, sehingga orang itu mendapatkan pahalanya.
⑵ Perkara-perkara yang bisa diambil manfaatnya oleh orang lain, maka orang itu (orang yang memberi manfaat) akan mendapatkan manfaat sebesar manfaat yang dirasakan atau diambil oleh orang lain.
⑶ Perkara-perkara atau amal shālih yang dilakukan oleh orang lain dan dihadiahkan kepada orang tersebut.
Misalnya:
Seseorang mengamalkan suatu amal shālih dan pahalanya dihadiahkan kepada orang tadi, sehingga orang tadi bisa merasakan pahala yang dihadiahkan orang lain kepadanya.
Orang-orang menghadiahkan pahala yang merupakan buah dari perbuatan baik yang dahulu dilakukan orang itu semasa hidupnya.
Karena perbuatan baik seseorang menjadikan orang lain senang, merasa dekat dan mencintai orang itu, sehingga mereka menghadiahkan pahala-pahala dari amalan-amalan kebaikan yang telah orang itu lakukan semasa hidup di dunia.
Hadīts ini juga menunjukkan anjuran untuk menikah dan memilih pasangan yang shālih untuk membangun rumah tangga dengan tujuan agar memiliki keturunan yang shālih yang bisa mendo'akannya setelah dia meninggal.
Demikian pembahasan hadīts yang mulia ini, semoga Allāh Subhānallāhu wa Ta'āla menjadikan amalan-amalan kita terus kita rasakan manfaat dan pahalanya kelak di hari kiamat.
Semoga Allāh Subhānallāhu wa Ta'āla menjadikan keturunan-keturunan kita, keturunan-keturunan yang shālih yang senantiasa mendo'akan kita setelah kita meninggal.
Wallāhu A'lam
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_______
🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 16 Rabi’ul Awwal 1441 H / 13 November 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 048 | Hadits 48
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 48
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه و كل من تبعهم بإحسان إلى يوم الدين اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-48 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.
Pembahasan kita sudah sampai pada hadīts yang ke-48, yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Asmar bin Mudharis radhiyallāhu ta'āla 'anhu, beliau berkata, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
من سبق إلى ما لم يسبق إليه مسلم فهو له { رواه أبو داود}
"Barangsiapa terlebih dahulu mengelola atau mengerjakan sesuatu yang belum dimiliki (didahului) oleh seorang (muslim), maka orang tersebut berhak untuk memilikinya." (Hadīts riwayat Abū Dāwūd)
Hadīts mulia ini menjelaskan kepada kita tentang kapan suatu barang atau tempat menjadi hak atau menjadi milik orang yang (pertama kali) menemukan.
Syaikh Abdurrahmān As Sa'dī rahimahullāh menjelaskan bahwa konteks hadīts ini mencakup segala perkara mubah yang belum dimiliki oleh seorangpun atau tidak dikhususkan bagi siapapun.
Barangsiapa terlebih dahulu melakukan hal tersebut atau mengambil dan mengelola hal tersebut maka dialah orang yang paling berhak atas barang tersebut.
Termasuk di dalamnya seorang yang terlebih dahulu mengelola: الأرض الموات (tanah mati) atau tanah yang tidak berpenghuni dengan cara mengali tanah tersebut, kemudian dia keluarkan airnya atau dia alirkan air ke tanah tersebut atau dengan cara dia mendirikan bangunan di atasnya atau memagarinya maka orang tersebut menjadi pemilik tanah tersebut.
Akan tetapi jika tanah yang tidak berpenghuni itu sudah dibatasi atau ditentukan oleh imam, maka imam lebih berhak untuk mengelola tanah tadi. Tidak ada orang yang menjadi pemilik tanah itu.
Termasuk di dalam kontek hadīts ini adalah orang yang terlebih dahulu menangkap hewan buruan atau menggali barang tambang atau menemukan kayu bakar atau barang yang memang sengaja diterlantarkan oleh pemiliknya (sudah tidak terpakai) maka orang yang pertama kali menemukan maka dialah yang paling berhak untuk memilikinya.
Termasuk orang yang terlebih dahulu duduk di masjid atau duduk di suatu tempat, maka dialah orang yang paling berhak atas tempat tersebut, kecuali kalau tempat tersebut telah diwakafkan untuk orang-orang terentu, maka merekalah yang lebih berhak, karena telah ditentukan atau dikhususkan bagi mereka.
Hadīts ini menunjukkan, "Barangsiapa telah terlebih dahulu melakukan atau mengambil sesuatu yang mubah yang belum dimiliki siapapun, maka orang yang mengambilnya yang paling berhak atas barang tersebut."
Beliau juga menyebutkan di sini, orang yang terlebih dahulu menyelesaikan pekerjaan yang ditawarkan (disayembarakan) misalnya seseorang mengatakan, "Barangsiapa bisa melakukan hal begini dan begitu, maka akan saya berikan imbalan," maka orang yang berhak mendapatkan imbalan tersebut adalah orang yang pertama kali menyelesaikan pekerjaan yang ditawarkan.
Termasuk di sini orang yang pertama kali menemukan barang yang hilang atau anak yang hilang yang tidak diketahui nasabnya, maka orang yang pertama menemukannya, dialah yang berhak atas barang temuan tersebut.
Demikianlah penjelasan singkat hadīts ini, semoga bermanfaat.
Wallāhu A'lam
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_______
🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 12 Rabi’ul Akhir 1441 H / 09 Desember 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 049 | Hadits 49-50
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 49-50
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه و كل من تبعهم بإحسان إلى يوم الدين اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-49 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār, yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.
Kita lanjutkan pembahasan hadīts yang ke-46 dan 47.
• Hadīts Ke-49
Hadīts yang diriwayatkan dari Abdullāh bin Abbās radhiyallāhu ‘anhu. Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda :
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا، فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ {مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ}
"Berikanlah hak waris kepada pemiliknya, apa yang tersisa dari warisan itu, maka itu adalah milik ahli waris yang paling diprioritaskan"
• Hadīts Ke-50
Hadīts yang diriwayatkan dari Abū Umāmah radhiyallāhu ‘anhu. Beliau mengatakan, aku mendengar Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
"Sesungguhnya Allāh telah memberikan kepada masing-masing pemilik hak apa yang menjadi haknya. Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (Hadīts riwayat Abū Dāwūd dan At-Tirmidzī dan Ibnu Mājah)
Di dalam dua hadīts yang mulia ini, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan tentang hukum-hukum yang berkenaan dengan warisan dan wasiat.
Hadīts yang pertama :
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا
"Berikanlah harta waris kepada pemiliknya.”
Hadīts ini memberikan kepada kita beberapa hukum yang berkenaan dengan waris.
⑴ Ashabul furudh (ahli waris) yang sudah ditentukan bagiannya (nominalnya) lebih didahulukan dalam pembagian waris dibandingkan ashabah (ahli waris yang jatah warisannya belum ditentukan besarnya).
Apabila jatah waris sudah habis dibagikan kepada ashabul furudh, maka para ashabah tidak mendapatkan bagian dari harta waris tersebut.
⑵ Masing-masing dari ashabul furudh akan mengalami pengurangan bagiannya apabila jumlah warisan tersebut tidak mencukupi untuk diberikan kepada ahli warisnya sesuai dengan jatah bagian yang telah ditentukan.
Semua ini di istilahkan sebagai tazahum al furudh atau karena banyaknya bagian melebihi dari total harta warisan.
⑶ Apabila tidak ada ashabul furudh maka semua harta waris menjadi milik ashabah sesuai dengan urutan yang ma'ruf dikalangan para ahli waris.
⑷ Apabila tidak ada ashabah, maka sisa harta waris akan ditambahkan kepada ashabul furudh sesuai dengan jatah masing-masing bagian.
Hadīts Kedua :
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
"Sesungguhnya Allāh telah memberikan kepada masing-masing pemilik hak apa yang menjadi haknya. Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
Hadīts ini memberikan kepada kita hukum yang berkenaan dengan wasiat. Bahwasanya wasiat tidak sah apabila diberikan kepada ahli waris karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda dalam hadīts ini :
فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
"Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
Adapun jika diberikan kepada selain ahli waris maka wasiat tersebut sah dengan ketentuan apabila ahli waris sudah menjadi orang-orang yang cukup dan tidak memerlukan harta waris dan wasiat kepada selain ahli waris termasuk perkara yang disukai.
Tetapi apabila ahli warisnya faqir dan memerlukan harta waris tersebut maka sebaiknya tidak memberikan wasiat kepada selain ahli waris. Cukup harta tersebut dibagikan kepada ahli waris sebagai bentuk warisan.
Adapun apabila wasiat diberikan kepada ahli waris, maka hadīts ini menunjukkan tentang larangan dan tidak bolehnya hal tersebut dilakukan.
Perlu kita ketahui bahwa wasiat yang diberikan kepada selain ahli waris tentunya tidak boleh lebih dari 1/3 harta yang akan dibagikan. Jika lebih dari 1/3, maka ini memerlukan izin dan persetujuan dari para ahli waris .
Demikian beberapa hukum yang bisa kita ambil dari dua hadīts mulia ini yang berkenaan dengan waris dan wasiat yang semua itu dibahas lebih detail lagi pada pembahasan tentang Ilmu Faraidh atau Ilmu Waris.
Demikian pembahasan kita pada kesempatan kali ini.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
___
🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 13 Rabi’ul Akhir 1441 H / 10 Desember 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 050 | Hadits 51
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 51
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه و كل من تبعهم بإحسان إلى يوم الدين اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-50 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.
Pembahasan kita sudah sampai pada hadīts yang ke-48 yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah radhiyallāhu ‘anhu. Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
ثَلاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمْ: الْمُكَاتَبُ يُرِيدُ الْأَدَاءَ، المتزويج يُرِيدُ العفاف و المجاهد فِي سَبِيلِ اللَّهِ
"Ada 3 orang yang berhak mendapatkan pertolongan dari Allāh Subhānahu wa Ta'āla; (1) Seorang budak mukātabah yang dia ingin melunasi pembayarannya, (2) Seorang menikah dengan tujuan menjaga kehormatannya dan (3) Seorang yang berjihād di jalan Allāh."
Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menjelaskan tentang hadīts ini, bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta'āla telah menjanjikan adanya penggantian atas apa yang diinfaqkan di dalam perkara-perkara yang dicintai oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Termasuk di antaranya adalah 3 hal yang disebutkan di dalam hadīts yang mulia ini.
Yaitu:
⑴ Harta yang diinfaqkan untuk berjihād di jalan Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Dimana jihād ini merupakan suatu amalan yang memiliki kedudukan yang mulia di dalam Islām, baik berupa jihād dengan senjata maupun jihād dengan ilmu dan hujjah.
Maka berinfaq atau menginfaqkan harta di dalam bentuk jihād (jalan kebaikan), merupakan sesuatu yang akan Allāh ganti. Dan orang yang melakukannya termasuk orang yang dijanjikan untuk ditolong dan dimudahkan perkaranya oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Amalan jihād, harta yang diinfaqkan dalam berjihād dan orang yang melakukan jihād merupakan orang yang dijanjikan dibantu oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla dan akan dimudahkan jalannya oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla
⑵ Al Mukātab yaitu seorang budak atau hamba sahaya yang dia ingin untuk memerdekakan dirinya (menebus kemerdekaan dirinya) dengan melakukan pembayaran kepada tuannya.
Dan Allāh Subhānahu wa Ta'āla memerintahkan orang-orang yang memiliki budak agar mereka melakukan mukātabah (pembebasan bagi budak-biasanya yang mereka ingin membebaskan diri dengan melakukan pembayaran atas dirinya)
Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:
فَكَاتِبُوهُمۡ إِنۡ عَلِمۡتُمۡ فِيهِمۡ خَيۡرٗا
"Maka lakukanlah mukātabah terhadap mereka jika kalian mengetahui adanya kebaikan pada diri-diri mereka.” (QS An Nur: 33)
Yang dimaksud dengan adanya kebaikan pada diri-diri mereka adalah adanya keshālihan dalam perkara agama dan dunia mereka.
Apabila mereka mampu untuk mengurus urusan agama dan dunia mereka, hendaknya mereka diterima permintaan untuk melakukan mukātabah.
Seorang budak yang dia melakukan mukātabah untuk menebus dirinya dengan tujuan ingin melunasi pembayaran dirinya agar mendapatkan kemerdekaan atas dirinya dan lebih memfokuskan dirinya untuk agama dan urusan dunia yang baik baginya, maka Allāh akan membantunya.
Allāh akan mudahkan baginya urusannya dan Allāh akan memberinya rezeki dari sisi yang tidak dia sangka.
Demikian pembahasan kita pada kesempatan kali ini.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
____________________
🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 14 Rabi’ul Akhir 1441 H / 11 Desember 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 050a | Hadits 51 (lanjutan)
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 51 (LANJUTAN)
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الانبياء المرسلين نبينا محمد وعلى آله وأصحابه و كل من تبعهم بإحسان إلى يوم الدين اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Kita lanjutkan pembahasan hadīts yang ke-48 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullah.
Seorang sayid atau tuan dari budak, hendaknya memberikan kebaikan dan kemurahan hati bagi budaknya dalam melunasi pembayaran-pembayaran mukātabahnya.
Karena yang demikian itu merupakan hal yang masuk dalam ta’awun di atas kebaikan, bahkan Allāh Subhānahu wa Ta'āla telah menjadikan seorang mukātabah termasuk salah satu dari golongan orang-orang yang berhak menerima zakat.
Mereka masuk dalam kategori (fii riqāb) budak yang ingin memerdekakan dirinya dengan melakukan pembayaran atas penebusan dirinya.
Dan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam telah mengabarkan dalam sebuah hadīts tentang adanya ganti yang akan Allāh berikan bagi orang yang membelanjakan dirinya untuk satu hal yang tujuannya baik.
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
"Barangsiapa mengambil harta orang lain lantas ia bertekad untuk mengembalikannya, maka Allāh akan menolongnya. Barangsiapa yang mengambil harta orang lain lantas ia bertekad untuk tidak mengembalikannya, maka Allāh akan menghancurkan dirinya.” (Hadīts riwayat Bukhāri nomor 2387)
Kemudian orang yang ketiga yang disebutkan dalam hadīts in, adalah:
⑶ Orang yang menikah dengan tujuan untuk menjaga kehormatannya.
Pernikahan merupakan suatu yang diperintahkan oleh Allāh dan Rasūl-Nya.
Dan terdapat banyak faedah dari pernikahan tersebut di antaranya adalah Allāh janjikan pertolongan bagi orang yang melakukannya.
Pernikahan merupakan bentuk menjalankan perintah Allāh dan Rasūl-Nya serta termasuk Sunnah para rasūl, di samping itu dengan menikah bisa menjaga kemaluannya menundukkan pandangannya dan bisa menghasilkan keturunan.
Menginfaqkan harta untuk istri dan anak mereka apabila diniatkan karena menjalankan perintah Allāh, maka itu akan mendapatkan pahala dan mendapatkan kebaikan di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Baik yang diinfaqkan berupa makanan, minuman, pakaian atau dalam hal-hal lainnya yang merupakan kebutuhan mereka, maka itu merupakan kebaikan bagi seorang hamba.
Seorang yang dia membelanjakan hartanya (menginfaqkan) dengan tujuan yang baik tersebut, maka Allāh menjanjikan ganti atas harta yang telah mereka infaqkan.
Dan sebaliknya, apabila harta yang dikeluarkan, dibelanjakan dalam perkara yang tidak Allāh cintai (misalnya), dalam kemaksiatan atau dalam berbuat ishraf dalam kemudahan atau berlebih-lebihan dalam perkara yang mubah, maka Allāh tidak menjanjikan atau tidak menanggung adanya ganti atas harta tersebut.
Bisa jadi hal itu mendatangkan kerugian apabila dibelanjakan pada perkara perkara yang tidak dicintai Allāh.
Demikianlah pembahasan dari hadīts yang mulia ini, dimana di dalam hadīts mulia ini menyebutkan 3 bentuk amalan yang apabila seorang menginfaqkan hartanya di dalam amalan-amalan tersebut, maka mereka termasuk orang-orang yang berhak dibantu atau berhak mendapatkan janji berupa pertolongan dari Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
____________________
🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 11 Jumada Al-Ula 1441 H / 06 Januari 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 052 | Hadits 52
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 52
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Kita lanjutkan pembahasan hadīts yang ke-49 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.
Hadīts yang diriwayatkan oleh Āisyah radhiyallāhu 'anhā. Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلاَدَةِ
"Menjadikan mahram dikarenakan adanya hubungan persusuan (terhadap) orang-orang yang menjadi mahram dikarenakan adanya hubungan kelahiran." (Hadits riwayat Imam Al Bukhāri dan Muslim)
Di dalam hadīts mulia ini, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan tentang kaidah di dalam mengetahui mahram yang disebabkan karena adanya persusuan yang dilakukan oleh seorang anak bayi yang belum melebihi umur dua tahun. Yang dia menyusu kepada selain ibunya dengan batasan bayi itu telah menyusu sebanyak minimal 5 kali susuan.
Di dalam hadīts ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan bahwa orang-orang yang menjadi mahramnya dikarenakan adanya sebab persusuan adalah sama sebagaimana orang-orang yang menjadi mahram di dalam kekerabatan atau di dalam sebab melahirkan.
Kalau di dalam kekerabatan atau nasab, orang-orang atau golongan yang merupakan mahram ada 7 (tujuh) yaitu :
⑴ Al Ummahāt (الأمهات), ibu
Termasuk dalam kategori ibu adalah nenek-neneknya, baik nenek dari pihak bapak ataupun dari pihak ibu.
⑵ Al Banat (البنات), anak perempuan
Termasuk dalam kategori ini adalah cucu-cucu perempuannya.
⑶ Al Akhawāt (الأخوات), saudari-saudarinya
Baik saudari kandung, saudari sebapak maupun saudari seibu, semua merupakan mahram.
⑷ Banatul Ikhwāh (بنات الإخوة)
Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan perempuan) mereka adalah mahram.
⑸ Banātul Akhawāt (بنات الأخوات)
Anak perempuan dari saudari-saudarinya (keponakan) mereka adalah mahram. Termasuk dalam kategori ini adalah cucu-cucu perempuan dari saudarinya tersebut.
⑹ Al 'Amāt (العمات)
Saudari dari pihak bapak atau kakeknya.
⑺ Khālāt (الخالات)
Saudari dari pihak ibu atau nenek.
Tujuh golongan ini merupakan mahram bagi seorang anak laki-laki yang disebabkan adanya wilādah (ولادة) atau sebab hubungan darah atau kerabat. Selain dari 7 golongan ini bukan merupakan mahram.
Siapa saja mereka ?
Yaitu :
Anak perempuan paman atau bibi (sepupu), meskipun mereka memiliki hubungan kerabat atau memiliki hubungan darah (sepupu bukanlah mahram).
Dari 7 golongan yang disebutkan di atas, apabila hal itu ditempatkan atau dimisalkan sebagai anak dari persusuan, maka 7 golongan itu menjadi mahram bagi anak yang menyusu kepada mereka.
Contoh :
Anak bayi ketika dia berumur belum lebih dari 2 tahun, yang dia menyusu kepada selain ibunya sebanyak 5 kali atau lebih, maka anak ini diistilahkan sebagai anak susuan.
Anak bayi ini diposisikan sebagai anak yang lahir dari rahim ibunya, sehingga kerabat-kerabat ibunya. Apabila di lihat dari sisi anak merupakan saudara. Sehingga paman atau bibinya menjadi mahram bagi dirinya.
Berarti dari sini kita tahu bahwasanya,
√ Ibu susuannya itu merupakan mahram.
√ Nenek yang merupakan orang tua dari ibu susuannya adalah mahram.
√ Saudara-saudara sepersusuan atau anak-anak yang pernah menyusu kepada ibu tersebut, meskipun tidak ada hubungan kerabat dengan bayi tadi semua itu menjadi mahramnya.
√ Begitu juga suami ibu tersebut, ketika menyusui bayi tersebut merupakan suaminya dan diistilahkan sebagai shahihul laban, maka suami ibu tersebut merupakan mahram bagi anak bayi itu.
√ Saudara-saudara atau saudari-saudari dari ibu susunya (bibi sepersusuannya).
√ Saudari dari bapak sepersusuannya dan bibi sepersusuannya.
√ Begitu juga anak-anak dari saudara maupun saudari sepersusuanya, itupun menjadi mahram bagi bayi tadi.
Wallāhu Ta'āla A'lam.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
________
🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 12 Jumada Al-Ula 1441 H / 07 Januari 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 052-a | Hadits 52 (lanjutan)
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 52 BAGIAN KE-2
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Kita lanjutkan pembahasan hadīts yang ke-52 dalam kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.
Maksud dari hadīts Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam ini (يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلاَدَةِ) adalah orang-orang yang menjadi mahram yang disebabkan adanya sebab melahirkan, hubungan kekerabatan atau nasab, maka orang-orang tersebut apabila diposisikan dalam persusuan, maka orang-orang itupun menjadi mahram bagi anak yang disusuinya.
Adapun kerabat dari anak susuan tadi, dia tidak menjadi mahram bagi ibu susuannya karena persusuan ini hanya dari sisi ibu susuan. Adapun dari sisi anak yang menyusu dari ibu susuan tadi hukum hanya berlaku bagi dia dan keturunannya saja.
Sedangkan bapak bayi tadi tidak menjadi mahram bagi ibu susuannya, begitu pula saudara anak tadi tidak menjadi mahram bagi ibu susuannya. Karena mereka tidak berkaitan dengan ibu susuan dalam hal persusuan.
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberikan suatu kaidah di dalam menghukumi siapa yang menjadi mahram yang disebabkan adanya hubungan persusuan ketika bayi menyusu minimal 5 kali susuan dan di umur yang belum melebihi 2 tahun.
▪ Mahram Karena Hubungan Pernikahan
Selain dari hal-hal tersebut (dari orang-orang tadi) ada juga orang-orang yang menjadi mahram disebabkan sesuatu yang lain yaitu disebabkan adanya hubungan pernikahan.
Siapa saja mereka?
⑴ Ibunya istri, termasuk nenek-neneknya.
⑵ Anak-anaknya istri, dengan syarat istri yang sudah dinikahi tadi sudah terjadi hubungan suami istri, sehingga anak dari si istri bisa menjadi mahram bagi laki-laki tersebut.
⑶ Istri dari bapak-bapaknya, maksudnya apabila bapaknya menikah lagi maka istri bapaknya menjadi mahramnya. Termasuk juga Istri dari kakek-kakeknya, karena istilah aba atau bapak dalam bahasa Arab mencakup bapak yang lebih tinggi secara garis keturunan yaitu kakek.
⑷ Istri dari anak-anak, termasuk juga di dalamnya cucu.
⇒ Semua itu menjadi mahram karena pernikahan.
Apabila anak atau istri yang dia nikahi merupakan anak susuannya maka ibu susuannya menjadi mahramnya begitu pula anak susuannya menjadi mahramnya.
Misalkan :
Dia mempunyai bapak sepersusuan maka istri-istri dari bapak sepersusuan itu pun menjadi mahramnya.
Seorang wanita yang memiliki anak susuan atau laki-laki dia memiliki anak sepersusuan dari istrinya, maka istri dan anak-anaknya pun menjadi mahram baginya.
Berdasarkan kaidah ini, seandainya berdasarkan kerabat menjadi mahram, maka begitu pula orang yang menjadi anak dari sisi sepersusuan akan menjadi mahram pada hubungan yang lainnya.
Begitu pula di dalam masalah menjamak atau menggabungkan dua orang yang tidak boleh digabung dalam satu pernikahan. Apabila ada seorang perempuan dia memiliki saudari maka tidak boleh dinikahi bersama-sama.
Contoh :
Seseorang menikahi dua wanita yang mereka merupakan saudara, atau seseorang menikahi seorang wanita dengan bibinya, maka hal itu tidak boleh.
Begitu juga di dalam persusuan.
Misalnya :
Seorang menikah dengan seorang wanita dan wanita ini memiliki seorang saudari sepersusuan, meskipun bukan saudari senasab maka laki-laki ini tidak boleh menikahi saudari sepersusuan dari istrinya selama dia berstatus sebagai suami wanita tersebut.
Begitu juga dengan bibi sepersusuannya.
Semua itu berlaku sebagaimana berlaku pada hubungan nasab.
Demikian permasalahan yang bisa kita simpulkan dari hadīts yang mulia ini, dimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberikan kepada kita suatu kaidah yang penting di dalam mengetahui siapa yang menjadi mahram dikarenakan adanya hubungan persusuan.
Demikian penjelasan hadīts ini.
Wallāhu Ta'āla A'lam
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
________
🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 13 Jumada Al-Ula 1441 H / 08 Januari 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 053 | Hadits 53
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 53
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-52, dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.
Kita membahas hadīts yang ke-53 yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah radhiyallāhu 'anhu, beliau mengatakan: Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
لا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
"Janganlah seorang mukmin membenci wanita mukminah, jikalau dia membenci dari wanita tersebut sebuah akhlak niscaya dia juga ridhā akhlak lain dari wanita tersebut."(Hadīts shahīh riwayat Muslim)
Di dalam hadīts mulia ini, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberi kita petunjuk, lebih khusus memberikan petunjuk kepada seorang suami dalam mempergauli istrinya.
Yang mana petunjuk Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) ini merupakan sebab terbesar dan faktor yang sangat kuat untuk bisa membawa seorang suami dalam mempergauli istrinya dengan cara yang baik (husnil 'isyrah).
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melarang seorang mukmin berperilaku buruk kepada istrinya (suil 'isyrah).
Sesuatu yang dilarang oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menuntut kita untuk melakukan hal sebaliknya, yaitu kita diperintahkan untuk berperilaku yang baik (husnil 'isyrah) kepada para istrinya.
Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkan agar para suami memandang kepada akhlak-akhlak indah yang ada pada istrinya dan perkara-perkara yang dia sukai dari istrinya. Serta dia jadikan hal-hal tersebut sebagai pembanding atas hal-hal yang dia tidak sukai dari istrinya.
Karena seorang suami apabila dia perhatikan sesuatu yang ada pada istrinya yang berupa akhlak yang indah dan kebaikan-kebaikan yang dia sukai, kemudian dia melihat kepada sebab yang selama ini menjadikan dia bersikap tidak suka kepada istrinya, tentunya dia akan melihat satu atau dua hal saja dari hal-hal yang tidak dia sukai dari istrinya. Karena dia akan melihat kepada akhlak dan kebaikan istrinya yang tentunya lebih banyak.
Apabila seorang suami bersikap adil, dia akan menutup matanya dari keburukan-keburukan yang ada pada istrinya.
Karena keburukan tersebut sudah tenggelam di dalam kebaikan-kebaikan yang begitu banyak yang ada pada istrinya. Sehingga kebersamaan di antara mereka berdua tetap langgeng dan hak-hak pun bisa digunakan dengan baik.
Baik hak-hak yang wajib maupun hak-hak yang mustahab. Bahkan bisa jadi sang istri akan berusaha untuk merubah sesuatu yang tidak disenangi oleh suaminya tersebut.
Adapun orang yang menutup mata dari kebaikan-kebaikan yang ada pada istrinya dan hanya melihat kepada keburukan-keburukan dari istrinya, maka orang seperti ini adalah orang yang tidak adil dan hampir-hampir dia tidak akan bahagia bersama istrinya.
Maka orang dalam hal ini terbagi menjadi 3 (tiga) kategori :
⑴ Orang yang paling mulia dalam hal ini.
Yaitu orang yang memperhatikan atau memandang kepada akhlak yang baik dan kebaikan-kebaikan yang ada pada istrinya dan dia menutup mata dari kejelekan-kejelekan yang ada pada istrinya secara total, sehingga dia melupakan kejelekan-kejelekan yang ada pada istrinya.
⑵ Orang yang paling sedikit diberikan taufīq dan sedikit akhlak yang mulia yang ada pada dirinya.
Yaitu orang yang merupakan kebalikan dari orang yang pertama yang dia menyia-nyiakan kebaikan yang ada pada istrinya meskipun kebaikan sang istri begitu banyak. Dan dia senantiasa menjadikan kejelekan-kejelekan atau keburukan-keburukan itu terus ada di hadapan matanya bahkan diperpanjang dan diperlebar. Serta dia tafsirkan dengan prasangka-prasangka dan takwilan-takwilan yang tentunya prasangka-prasangka dan takwilan-takwilan itu akan menjadikan kejelekan yang sedikit berubah menjadi banyak.
⑶ Orang yang memandang kepada dua hal tadi, kebaikan dan keburukan.
Dia melihat kebaikan dan keburukan, kemudian dia menimbang di antara keduanya dan dia perlakukan istrinya sesuai dengan takaran dari masing-masingnya. Seperti orang yang adil namun tidak sesempurna dari orang yang pertama.
Demikianlah adab yang diajarkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam kepada seorang suami dan tentunya hal ini patut untuk dia amalkan dan bukan hanya kepada seorang istri namun hal ini berlaku kepada semua orang yang kita diperintahkan untuk muasyarah bil ma'ruf, bergaul dengan mereka dengan cara yang baik. Sehingga hal bisa menjadikan dia menunaikan hak-hak yang wajib dan mustahab.
Demikian penjelasan hadīts yang mulia ini.
Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla menjadikan kita termasuk orang-orang yang bisa berlaku adil (inshaf) dalam bermuamalah, di dalam menggauli orang-orang yang kita diperintahkan untuk bergaul dengan cara yang baik kepada mereka sehingga tercipta keharmonisan, tercipta kebaikan dan pergaulan yang baik di tengah-tengah kehidupan kita.
Wallāhu Ta'āla A'lam
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
________
🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 09 Jumada Al-Akhir 1441 H / 03 Februari 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 054 | Hadits 54
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 54, BAGIAN PERTAMA*
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على عبده ورسوله محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh jami'an.
Ini adalah halaqah kita yang ke-54, dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.
Pembahasan kita sudah sampai pada pembahasan hadīts ke-54, hadīts dari Abdurrahman bin Samurah radhiyallāhu ‘anhu. Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda kepadaku :
يا عبدَ الرحمن بنَ سمرة، لا تسأل الإمارة؛ فإنكَ إنْ أُوتِيتَهَا عن مسألة وُكِلْتَ إليها، وإنْ أوتيتَها من غير مسألة أُعِنْتَ عليها. وإذا حلفت على يمين فرأيت غيرها خيرا منها فائت الذي هو خير وكفر عن يمينك
"Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kekuasaan, karena sesungguhnya jika engkau meminta kekuasaan berdasarkan permintaanmu maka engkau layak untuk tidak ditolong oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla (akan diserahkan urusannya kepada dirimu).
Namun, jikalau engkau diserahi kekuasaan tanpa ada permintaan darimu, niscaya engkau layak untuk mendapatkan pertolongan dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Jikalau engkau bersumpah untuk suatu perkara yang dimana engkau memandang ada perkara lain yang lebih baik dari hal itu, maka kerjakanlah perkara yang lebih baik itu dan engkau langgar (tidak perlu memenuhi sumpahmu) namun bayarlah (tunaikan) kafarahnya". (Hadīts shahīh diriwayatkan oleh Imam Al Bukhāri dan Muslim)
⇒ "Janganlah engkau meminta kekuasaan," maksudnya:
"Janganlah engkau meminta suatu posisi (amanah) yang berkaitan dengan hak-hak kaum muslimin baik dalam permasalahan pemerintahan, masalah qadha (peradilan) maupun hal-hal lain yang di situ merupakan perkara wilayah (perkara kekuasaan)."
Di dalam hadīts yang mulia ini terdapat dua permasalahan yang disampaikan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dan diajarkan kepada kita, yaitu:
▪ Pertama | Selayaknya seorang hamba tidak meminta jabatan atau kekuasaan atau kepemimpinan.
Karena yang demikian berarti dia telah menjadikan dirinya dihadapkan kepada suatu tanggung jawab yang besar, yang mana dia tidak tahu apakah itu suatu kebaikan bagi dirinya atau justru sebuah keburukan untuk dirinya dikemudian hari.
Dan dia tidak tahu apakah dia mampu untuk menunaikan tanggung-jawab yang diserahkan kepada dia atau tidak, jikalau dia memintanya.
Sehingga dalam hadīts ini, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengabarkan bahwasanya, "Apabila seorang hamba, dia meminta imaarah (jabatan atau kekuasaan) dan dia berhasrat untuk mendapatkannya maka urusannya akan diserahkan (disandarkan) kepada dirinya".
Dan tentunya apabila suatu urusan telah disandarkan kepada seorang hamba, berarti Allāh tidak memberikan taufīq kepadanya dan dia bertawakal (ditawakalkan) kepada dirinya sendiri.
Allāh menelantarkannya, Allāh tidak akan memberikan petunjuk kepada perkara-perkara yang baik bagi dirinya dan tidak akan memberikan pertolongan kepadanya.
Hal itu dikarenakan ketika dia meminta jabatan tersebut menandakan adanya dua perkara yang ada dalam dirinya
الحرص على الدنيا والرئاسة
⑴ Menunjukkan adanya hasrat (keinginan) untuk mendapatkan kepentingan duniawi dan kepemimpinan kekuasaan.
Dimana hasrat tersebut akan membawa dia kepada keraguan atau diragukan di dalam menunaikan amanah dan juga akan membawa dia kepada perasaan lebih baik dibandingkan orang lain. Karena dia merasa bahwasanya jabatan itu adalah layak buat dia.
Demikian. Wallāhu Ta'āla A'lam
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
____
🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 11 Jumada Al-Akhir 1441 H / 05 Februari 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 055b | Hadits 55 (Bagian 03)
〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 55, BAGIAN KETIGA
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh jami'an.
Kita lanjutkan pembahasan hadīts ke-55, bagian ketiga, dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.
Perkara kedua yang diperintahkan kepada Abdurrahman bin Samurah di dalam hadīts ini adalah:
▪ Kedua | Apabila seseorang sudah terlanjur bersumpah untuk melakukan suatu hal dan ternyata setelah itu dia melihat ada perkara lain yang lebih baik. Maka tidak mengapa baginya (bahkan dianjurkan) untuk tidak menunaikan sumpahnya tadi dan dia melakukan perkara yang lebih baik dari apa yang dia sumpahkan.
Namun dia diperintahkan untuk menunaikan kafarah.
Contoh:
Apabila dia bersumpah untuk melakukan suatu perkara yang makruh atau meninggalkan perkara yang mustahab maka tentunya hal yang lebih baik adalah dia melakukan hal yang mustahab dan meninggalkan yang makruh. Itu kebalikan dari apa yang dia bersumpah.
Maka dia dianjurkan untuk tetap melakukan perkara yang mustahab tersebut dan meninggalkan hal yang yang makruh kemudian dia menunaikan kafarah sumpah yang tidak jadi dia lakukan.
Kalau seseorang bersumpah untuk melakukan perkara yang wajib atau seseorang bersumpah untuk melakukan perkara yang haram maka dia tidak boleh menunaikan sumpahnya tadi. Dia wajib untuk menggagalkan sumpahnya dan membayar kafarah atau menunaikan kafarahnya.
Kafarah sumpah tersebut dia diberikan pilihan antara memerdekakan seorang budak atau memberikan makan 10 orang miskin atau memberikan pakaian kepada 10 orang miskin.
Jika tidak ada satupun yang dia mampu untuk tiga hal tadi maka dia menunaikan kafarahnya dengan cara berpuasa selama 3 hari atau dikenal dengan kafaratul yamin yaitu kafarah atas suatu sumpah yang tidak jadi dia lakukan.
Demikian pembahasan kita terhadap hadīts yang mulia ini.
Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla senantiasa memberikan kepada kita taufīq kepada kebaikan dan menghindarkan kita dari perkara-perkara yang buruk bagi kita.
Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla senantiasa menjadikan kita orang yang bisa untuk menunaikan amanah atau tanggung jawab yang telah Allāh berikan kepada kita.
Demikian
Wallāhu Ta'āla A'lam
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
____
🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 07 Rajab 1441 H / 02 Maret 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 054 | Hadits 54 (Bagian 03)
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 52
بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-54 dalam mengkaji kitāb:
بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار
(Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.
Kita sudah sampai pada hadīts yang ke-54 yaitu hadīts dari Aisyah radhiyallāhu 'anhă, beliau mengatakan: Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
"Barangsiapa bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla, maka hendaknya dia lakukan ketaatan tersebut. Dan barangsiapa bernadzar untuk bermaksiat kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla, maka janganlah dia melakukan perbuatan maksiat tersebut.” (Hadīts riwayat Imam Al Bukhāri)
Di dalam hadīts yang mulia ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan hukum menunaikan nadzar. Yang dimaksud dengan nadzar itu sendiri adalah seseorang mengharuskan atau mewajibkan kepada dirinya untuk melakukan suatu perbuatan.
Adakalanya perbuatan tersebut adalah sebuah ketaatan, adakalanya sebuah kemaksiatan. Dan adakalanya nadzar yang dia ucapkan ini dilakukan tanpa adanya sebab seperti kalau dia mengatakan, "Saya bernadzar untuk berpuasa,” diucapkan hal tersebut tanpa adanya sebab terlebih dahulu. Ini adalah nadzar tanpa sebab.
Namun ada kalanya nadzar itu diucapkan atau dilakukan karena ada sebab tertentu, seperti keinginan yang dia inginkan atau keberhasilan yang dia raih, seperti misalkan dia katakan, "Jika saya sembuh atau jika saya berhasil maka saya bernadzar untuk melakukan ini dan itu," ini namanya nadzar yang dikaitkan dengan adanya sebab.
Maka nadzar apapun itu, baik dengan sebab atau tanpa sebab, apabila nadzar tersebut berupa ketaatan seperti puasa atau shalāt atau sedekah atau ibadah-ibadah lain, maka hukumnya wajib untuk ditunaikan.
Sebagaimana sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam hadīts ini.
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ
"Barangsiapa bernadzar untuk berbuat ketaatan kepada Allāh, maka hendaknya dia taati.”
Hendaknya dia lakukan ketaatan tersebut, wajib baginya untuk menunaikan nadzar yang sudah dia ucapkan.
Namun apabila nadzar yang dia ucapkan ini adalah melakukan perbuatan maksiat, maka haram baginya untuk melakukan perbuatan maksiat tersebut meskipun sudah dia nadzarkan, karena bagaimanapun keadaannya maksiat kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla merupakan perkara yang diharamkan dan tidak boleh dilakukan.
Oleh karena itu Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
"Dan barangsiapa bernadzar untuk bermaksiat kepada Allāh, maka janganlah dia lakukan maksiat.”
Jangan dia tunaikan nadzarnya dan wajib baginya untuk mengganti apa yang dia nadzarkan dengan kafarah.
Dimana kafarah nadzar ini sama dengan kafarah sumpah, yaitu dengan memberikan makan kepada 10 orang miskin atau memberikan pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
Jikalau tidak ada salah satu dari tiga hal tadi yang mampu dia lakukan maka dia berpuasa sebanyak 3 hari. Dengan demikian dia telah mengkafarahkan nadzar yang dia ucapkan tadi, yang apabila nadzar tersebut dalam bentuk kemaksiatan.
Demikian pembahasan singkat tentang hadīts yang mulia ini, In syā Allāh akan kita lanjutkan hadīts berikutnya pada pembahasan mendatang.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
________
🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 08 Rajab 1441 H / 03 Maret 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 055 | Hadits 55
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 55
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على عبد الله ورسوله محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-55 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.
Kita sudah sampai pada hadīts yang ke-55 yaitu hadīts dari Āli bin Abī Thālib radhiyallāhu ‘anhu, beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ وَيَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ وَيرد عَلَيْهِمْ أَقْصَاهُمْ وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ ألا لا يُقْتَلُ مسلم بِكَافِرٍ وَلاَ ذُو عَهْدٍ فِي عَهْدِهِ
"Orang-orang Muslim, darah mereķa itu sepadan yaitu sederajat, orang yang paling rendah di antara mereka berjalan dengan jaminan keamanan dari mereka, orang yang terjauh dari mereka memberikan perlindungan kepada mereka".
Dan mereka semua merupakan atau ibarat satu tangan dalam melawan orang-orang selain dari mereka. Ketahuilah, bahwasanya tidak boleh seorang muslim dibunuh sebagai qishash lantaran orang kafir dan tidak boleh pula orang kafir yang berada dalam perjanjian itu dibunuh selama dia masih berada di dalam waktu perjanjiannya.” (Hadīts riwayat Abū Dāwūd dan An Nassai dari Āli bin Abī Thālib Radhiyallahu ‘anhu dan diriwayatkan oleh Ibnu Mājah dari Abdullāh bin Abbas radhiyallāhu 'anhumā)
Hadīts yang mulia ini merupakan penjelasan atau rincian atas firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla dalam surat Al Hujurat ayat 10. Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ
"Sesungguhnya orang-orang beriman bersaudara.”
Dan juga sebagaimana disebutkan di dalam hadīts Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, dimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
كونوا عباد الله إخوانا
"Dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allāh yang saling bersaudara.”
Maka hadīts dan ayat tersebut menjelaskan kewajiban seorang mukmin, kewajiban bagi orang-orang yang beriman agar mereka menjadi orang yang saling mencintai dan berada dalam satu barisan dan tidak saling membenci dan memusuhi.
Mereka semua harus berusaha untuk merealisasikan maslahat bersama (kepentingan bersama) yang dengannyalah agama mereka bisa tegak dan dunia mereka bisa tertata.
Tidak boleh ada orang yang merasa mulia menyombongkan diri atas orang yang tidak sepadan dengannya, sebagaimana tidak boleh pula seorang pun dari kaum muslimin meremehkan kaum muslimin yang lain.
Oleh karena itu Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan di dalam hadīts ini, bahwa darah mereka itu setara, sehingga pada permasalahan qishash disyaratkan adanya mukaffah fīdīn (kesetaraan di dalam agama). Seorang muslim tidak boleh dia dibunuh sebagai qishash atas pembunuhan terhadap orang kafir, sebagaimana seorang yang merdeka tidak boleh dibunuh sebagai qishash atas pembunuhan terhadap seorang budak.
Itu merupakan syarat yang harus dipenuhi di dalam penegakkan hukum qishash.
Adapun hukum-hukum yang lain, sifat-sifat yang lain, maka orang-orang yang beriman semuanya berada di atas kesamaan.
Barangsiapa dia melukai atau memutuskan anggota tubuh saudaranya dengan sengaja, maka mereka diqishash dengan syarat adanya mumatsal (kesamaan) pada anggota tubuh yang akan diqishash tersebut, baik pada anak kecil maupun orang besar, baik laki-laki maupun wanita.
Apabila hal tersebut dilakukan dengan kesengajaan dan adanya aduan permusuhan maka ditegakkan padanya qishash pada ayat yang serupa.
Dan tidak ada bedanya antara seorang yang alim maupun orang yang jahil, orang yang terhormat maupun orang biasa-biasa saja, semuanya sama di dalam permasalahan tersebut.
Kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam hadīts ini menyebutkan:
وَيَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ
"Orang yang paling rendah (yaitu orang yang biasa-biasa saja dari kaum muslimin), diapun berjalan dengan jaminan keamanan dari seluruh kaum muslimin.”
Maksudnya dijelaskan oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh di sini, bahwasanya perlindungan kaum muslimin yang merupakan suatu hal yang sama. Maka apabila ada salah seorang dari orang kafir meminta perlindungan kepada salah seorang dari kaum muslimin, wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk memberikan perlindungan sebagaimana perlindungan janji yang diberikan oleh salah seorang dari kaum muslimin tersebut.
Hal ini sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla di dalam surat At Tawbah: 6.
وَإِنْ أَحَدٌۭ مِّنَ ٱلْمُشْرِكِينَ ٱسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَـٰمَ ٱللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُۥ ۚ
"Dan apabila salah seorang dari orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah hingga dia bisa mendengar firman Allāh (Al Quran)."
Maka tidak ada bedanya antara orang yang mulia maupun orang biasa-biasa saja di dalam hak untuk memberikan perlindungan.
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam juga bersabda :
وَيرد عَلَيْهِمْ أَقْصَاهُمْ
"Orang yang jauh pun berusaha untuk memberikan perlindungan kepada mereka.”
Ini pun termasuk apabila para pasukan itu mereka bersama-sama di dalam memerangi musuh, sebagian ada yang tugasnya menyerang, sebagian yang lain adalah menjaga. Maka apabila pasukan tersebut mendapatkan ghanimah maka semuanya memiliki hak untuk mendapatkan ghanimah tersebut.
Sehingga ghanimah tidak khusus bagi orang yang menyerang saja, sedangkan orang-orang yang dia diberikan tugas untuk menjaga mereka pun punya hak, karena mereka merupakan satu tangan yang saling tolong menolong.
Oleh karena itu Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan dalam lafazh yang berikutnya:
وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ
"Mereka ibarat satu tangan di dalam menghadapi selain dari kaum muslimin.”
Kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan tentang tidak bolehnya seorang muslim dibunuh lantaran dia membunuh orang kafir, sehingga seorang muslim tidaklah boleh ditegakkan qishash apabila disebabkan membunuh orang kafir. Namun bukan berarti kemudian bebas untuk membunuh orang kafir yang berada di dalam perjanjian atau perlindungan.
Oleh karena itu Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam sebutkan setelah itu,
وَلاَ ذُو عَهْدٍ فِي عَهْدِهِ
"Dan tidak boleh orang yang berada di dalam perjanjian atau dalam perlindungan dibunuh selama dia masih di dalam waktu perlindungannya (perjanjiannya).”
Demikian beberapa permasalahan yang Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam sebutkan di dalam hadīts yang mulia ini yang semuanya menyebutkan bahwasanya orang-orang yang beriman merupakan saudara satu dengan yang lainnya. Dimana mereka memiliki hak-hak yang sama dan mereka berkewajiban untuk saling tolong menolong dan membantu di antara sesama mereka.
Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla menjadikan kita termasuk orang-orang yang bersaudara dalam keimanan dan kita senantiasa berta'awwun ala al birri wat taqwa.
Demikian pembahasan hadīts yang mulia ini.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
____
🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 09 Rajab 1441 H / 04 Maret 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 056 | Hadits 56
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 56
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-56 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.
Kita sudah sampai pada hadīts yang ke-56, yaitu hadīts dari Amr bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ فَهُوَ ضَامِنٌ
"Barangsiapa membuka praktek pengobatan padahal dia tidak memiliki ilmu tentang pengobatan, maka dia sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kesalahan atau kerugian.”
Di dalam hadīts yang mulia ini, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melarang seseorang dari melakukan suatu pekerjaan yang dimana dia tidak memiliki keahlian tentangnya, baik dalam hal pengobatan maupun dalam jenis pekerjaan yang lain.
Dan dari hadīts ini pula kita mengetahui bahwasanya barangsiapa sengaja untuk mendudukan dirinya di dalam suatu pekerjaan yang dimana dia tidak memiliki kemampuan dan keahlian sama sekali di dalam melakukan pekerjaan tersebut, sehingga nanti bisa mengakibatkan adanya kerugian pada orang lain, maka orang tersebut berdosa.
Dan segala bentuk kerugian atau dampak yang timbul dari pekerjaan yang dia lakukan berupa hilangnya nyawa atau hilangnya anggota tubuh orang lain atau kerugian lain yang semisal, maka orang tersebut sebagai pihak yang bertanggung jawab atas hal itu. Dia harus mengganti rugi atas apa yang dia perbuat, atas dampak yang timbul dari perbuatan yang dia lakukan.
Selain itu harta yang dia dapatkan sebagai upah atas pekerjaan yang dimana dia tidak memiliki kemampuan dan keahlian untuk melakukannya maka harta yang dia dapatkan tersebut selayaknya dikembalikan kepada orangnya karena orang yang membayar sebenarnya mengeluarkan harta dikarenakan telah ditipu.
Sehingga dia menyangka orang yang melakukan pekerjaan adalah orang yang mampu untuk melakukannya. Namun ternyata sebaliknya orang itu tidak memiliki kemampuan, tidak memiliki keahliannya, dan ini termasuk dalam bentuk penipuan yang dimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
من غشنا فليس منا
"Barangsiapa menipu kami, maka dia bukan termasuk dari golongan kami.”
Hal ini berlaku pula bagi para pekerja lain, seperti pekerja bangunan atau pengrajin kayu, pengrajin besi atau yang semisal dari mereka, yang dimana dia memposisikan dirinya pada suatu pekerjaan dan dia menjadikan orang menyangka dia mampu untuk melakukan perbuatannya padahal dia tidak mampu, dia berdusta atas hal tersebut.
Maka dia termasuk orang yang zhalim, orang yang bertanggung jawab untuk mengganti rugi atas kerugian yang dialami.
Dari hadīts yang mulia ini pula kita bisa memahami bahwasanya seorang dokter yang memiliki keahlian, apabila dia melakukan suatu pengobatan namun ternyata tidak membuahkan kesembuhan atau bahkan berdampak pada hilangnya nyawa pasien ketika dia melakukan pengobatan, selama dia tidak melakukan jinayah atau kekeliruan yang menyalahi aturan, maka dia bukan sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang terjadi. Karena dia sebagai orang yang mendapatkan izin (diperbolehkan) untuk membuka praktek kedokteran tersebut.
Dari hadīts yang mulia ini pula kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa ilmu kedokteran termasuk ilmu yang bermanfaat dan dianjurkan oleh syari'at. Sehingga harus ada ditengah-tengah kaum muslimin orang-orang yang mereka mahir dan memiliki kemampuan di dalam bidang pengobatan.
Demikian penjelasan tentang hadīts yang mulia ini dan In syā Allāh akan kita lanjutkan hadīts berikutnya pada halaqah mendatang.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
____
🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 16 Syawwal 1441 H / 08 Juni 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 057 | Hadits 57
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 57
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على عبد الله و رسوله محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-57 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.
Kita sudah sampai pada hadīts yang ke-57 yaitu hadīts dari Āisyah radhiyallāhu 'anhā.
عن عائشة :قالت: قال رسول الله ﷺ: ادأوالحدود عن المسلمين ما ستطعتم، فإن كان له مخرخ فخلوا سبيله، فآن الإمام أن يخطىء في العفو خير من أن يخطىء في العقوبة
Dari Āisyah radhiyallāhu 'anhā ia berkata: Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda, "Hindarilah menetapkan had terhadap kaum muslimin semampu kalian. Apabila ada celah untuk bisa tidak memberlakukan hukuman had tersebut, maka biarkanlah dia bebas (terbebas dari hukuman), dikarenakan kesalahan seorang imam dalam bentuk memaafkan terhadap pelaku kejahatan yang berhak mendapatkan had ini lebih baik dibandingkan kesalahan dia (imam) di dalam menghukum, yaitu menghukum orang yang tidak berhak (tidak boleh) dijatuhkan padanya hukuman had." (Hadīts riwayat At Tirmidzī dengan jalur marfu' dan mauquf)
Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh menjelaskan, bahwasanya hadīts ini menunjukkan adanya perintah agar kita atau seorang hakim menghindari penetapan hukuman had apabila ada syubhat, (yaitu) adanya kesamaran di dalam perkara yang sedang dihukumi.
Apabila keadaan seseorang ini samar (terdapat keraguan), apakah kondisi dia sebagai seorang yang berhak untuk mendapatkan hukuman had karena perbuatan yang dia lakukan atau dia termasuk orang yang tidak diperlakukan padanya hukuman had dikarenakan keliru atau hal lain, apabila ada syubhat yang seperti ini maka sebaiknya dihindarkan dari dirinya penetapan hukuman had.
Yang demikian ini dikarenakan apabila seorang hakim salah, seorang khadi salah dan kesalahan yang dilakukan adalah dalam bentuk memaafkan pelaku kejahatan dikarenakan adanya kesamaran di dalam perkara, maka kesalahan yang seperti ini lebih ringan dibandingkan kalau dia salah di dalam menetapkan suatu hukuman terhadap orang yang tidak melakukan kejahatan, yaitu dia sebenarnya tidak melakukan perkara yang menjadikan dia seharusnya dihukum tetapi dijatuhi hukuman.
Kesalahan dalam hal menjatuhkan hukuman lebih berat lebih buruk dibandingkan kesalahan apabila seorang hakim itu keliru di dalam memaafkan karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla adalah Rabb yang Maha Penyayang yang rahmatnya mendahului murkanya.
Dan syari'atnya dibangun di atas kemudahan yang diberikan kepada umat manusia sehingga kesalahan di dalam memaafkan ini lebih ringan dibandingkan kesalahan dalam menjatuhi hukuman.
Maka dari hadīts yang mulia ini kita mengetahui, bahwasanya hukum asalnya di dalam menjaga hak-hak manusia yaitu darah orang-orang yang ma'shum yang tidak boleh ditumpahkan darahnya. Begitu juga menjaga harta-harta mereka, hukum asalnya adalah wajib dan haram untuk mengambil hak-hak mereka tersebut sampai kita benar-benar yakin ada perkara yang membolehkan untuk mengambil hak itu.
Dan contoh-contoh yang diberikan para ulama di dalam masalah ini yaitu adanya syubhat di dalam menetapkan suatu perkara sehingga tidak ditetapkan hukuman had bentuk-bentuk persyaratan itu banyak disebutkan oleh para ulama di dalam bab-bab tentang hukuman had.
Kemudian Syaikh rahimahullāh juga menjelaskan bahwa dari hadīts ini terdapat dalīl tentang suatu kaidah yaitu kaidah:
تعارض مفسدتان
Yaitu apabila bertabrakan antara dua mafsadah, kita dihadapkan kepada dua hal yang kita memilih salah satunya dan ternyata keduanya adalah mafsadah, mengandung mafsadah, mengandung kerusakan keburukan, baik keburukan itu merupakan suatu yang benar-benar terjadi atau sesuatu yang sifatnya ihtimar Yaitu (kemungkinan), kemungkinan akan terjadi keburukan, maka kita wajib menempuh upaya untuk bisa menghilangkan mafsadah yang lebih besar, demi meringankan keburukan yang akan terjadi.
Ini namanya adalah kaidah di dalam mempertimbangkan atau di dalam situasi:
تعارض مفسدتين بدفع أكبرهما.
Yaitu, apabila terjadi dua mafsadah yang saling berhadapan dan tidak mungkin kita menghilangkan keduanya, maka kita berusaha untuk menghilangkan mana yang paling besar mafsadahnya di antara dua perkara tersebut demi mewujudkan atau demi meminimalisir kerusakan atau mafsadah yang ada.
Demikian penjelasan singkat tentang hadīts yang mulia ini dan semoga ini bermanfaat.
وصلى الله على نبينا محمد و على اله وصحبه و سلم
____________________
🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 17 Syawwal 1441 H / 09 Juni 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 058 | Hadits 58
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 58
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على عبد الله و رسوله محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-58 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.
Kita sudah sampai pada hadīts yang ke-58 yaitu hadīts dari Āli bin Abī Thalib radhiyallāhu 'anhu.
Beliau mengatakan:
قال رسول الله ﷺ: لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda, "Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan, sesungguhnya ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf."
(Hadīts shahīh riwayat Imam Al Bukhāri nomor 7257 dan Muslim)
Di dalam hadīts yang mulia ini, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan kepada kita kaidah di dalam menjalankan sebuah ketaatan atau di dalam mentaati perintah dari mànusia. Baik perintah tersebut dari waliyul amr (pemimpin) ataupun dari walidain (kedua orang tua) maupun perintah seorang suami kepada istrinya. Karena syari'at memerintahkan kita untuk mentaati orang-orang tersebut.
√ Seorang rakyat (bawahan) diperintahkan untuk taat kepada pemimpin mereka.
√ Seorang anak diperintahkan untuk taat kepada kedua orang tuanya.
√ Seorang istri diperintahkan untuk taat kepada suaminya,
dan yang lainnya.
Di dalam menjalankan ketaatan terhadap perintah orang-orang tersebut, tentunya harus memiliki suatu batasan. Dimana di dalam hadīts ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan batasan-batasannya, (yaitu) ketaatan kepada manusia hanya boleh dilakukan apabila perbuatan tersebut bukan perkara maksiat.
Karena ketaatan kepada manusia mengikuti ketaatan kepada Allāh, sehingga ketaatan kepada Allāh lebih didahulukan dibandingkan ketaatan kepada manusia.
Oleh karena itu apabila seseorang diperintahkan untuk melakukan suatu perbuatan yang ternyata perbuatan tersebut merupakan perbuatan maksiat, baik bentuknya berupa melakukan perbuatan yang haram atau meninggalkan perbuatan perkara yang wajib, karena keduanya adalah maksiat kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, maka dia tidak boleh taat (tidak boleh menjalankan ketaatan tersebut).
Ketaatan kepada Allāh harus didahulukan dibandingkan ketaatan kepada manusia.
Misalkan seseorang diperintahkan untuk:
√ Membunuh seorang jiwa yang diharamkan oleh syari'at untuk dibunuh, maka tidak boleh dia menjalankan perintah tersebut.
√ Atau dia diperintahkan untuk memukul orang yang diharamkan oleh syari'at untuk memukulnya.
√ Atau mengambil hartanya.
√ Atau dia diperintahkan untuk meninggalkan perkara yang wajib seperti shalāt, puasa atau haji atau ibadah lain yang hukumnya wajib.
Maka seorang tidak boleh taat (tidak boleh menjalankan perintah tersebut) dan dia tetap menjalankan ketaatan kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla dengan melakukan hal yang wajib meskipun harus menyelisihi perintah manusia.
Ini makna dari:
لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ
Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan.
Seseorang tidak boleh taat kepada perintah manusia apabila perintah tersebut mengandung maksiat kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Dan dari hadīts yang mulia ini, kita bisa memahami bahwasanya apabila seseorang dihadapkan kepada dua pilihan yaitu antara menjalankan ketaatan atau perintah orang-orang yang diperintahkan untuk taat kepada mereka dengan meninggalkan perkara yang nafilah (mustahab) maka yang lebih dia prioritaskan adalah menjalankan ketaatan kepada perintah manusia tersebut, meskipun dia meninggalkan perkara yang mustahab. Dikarenakan meninggalkan perkara yang mustahab bukanlah perbuatan maksiat dan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam hanya melarang ketaatan di dalam kemaksiatan.
Contoh :
Apabila seorang suami melarang istrinya untuk melakukan puasa sunnah atau mengerjakan haji yang sunnah, maka seorang istri harus mentaati perintah suaminya karena mentaati perintah adalah perkara wajib yang Allāh wajibkan (seorang istri taat kepada suaminya).
Sedangkan menjalankan puasa sunnah atau haji yang sunnah hukumnya adalah mustahab (sunnah), bukan hal yang wajib, sehingga apabila ditinggalkan dia tidak bermaksiat.
Contoh lain:
Apabila seorang waliyul amr (seorang pemimpin) memerintahkan kepada suatu urusan yang berkaitan dengan siasah yang ternyata apabila menjalankan perintah tersebut akan menjadikan dia tidak bisa menjalankan perkara yang mustahab, maka dalam kondisi demikian dia wajib mendahulukan taat kepada perintah yang diperintahkan kepadanya meskipun dia tidak bisa mengerjakan perkara yang mustahab.
Karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ
"Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan.”
⇒ Maksiat adalah melakukan hal yang haram atau meninggalkan hal yang wajib.
Adapun meninggalkan hal yang mustahab bukan termasuk perbuatan maksiat.
Kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam juga menyebutkan di akhir hadīts tersebut.
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
"Sesungguhnya ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf."
Yaitu ketaatan kepada manusia hanya boleh dilakukan dalam perkara yang ma'ruf (perkara yang baik bukan perkara maksiat).
Termasuk dalam makna ini pula yang disebutkan oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh adalah menjalankan ketaatan kepada manusia, ini pun berkaitan atau didasarkan (harus sesuai) dengan kemampuan, sebagaimana kewajiban-kewajiban yang diperintahkan oleh syari'at pun tentunya dilakukan sesuai dengan: قدرة و استطاعه - (kemampuan).
Begitu juga perintah-perintah manusia tentunya dijalankan sesuai dengan kemampuan oleh karena itu Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
عليكم السمع وطاعة فيما استطعتم
"Hendaklah kalian mendengar dan taat dalam perkara yang kalian mampu.”
Demikian pembahasan yang bisa kita bahas pada kesempatan kali ini.
وصلى الله على نبينا محمد و على اله وصحبه و سلم
________
🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 18 Syawwal 1441 H / 10 Juni 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 059 | Hadits 59
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 59
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على عبد الله و رسوله محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-59 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.
Kita sudah sampai pada hadīts yang ke-59 yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Abdullāh bin Amr dan Abū Hurairah radhiyallāhu 'anhum, keduanya berkata: Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
"Apabila seorang hakim membuat keputusan suatu perkara setelah berijtihad dan benar ijtihadnya maka baginya dua pahala, dan apabila dia memutuskan suatu perkara setelah berijtihad namun dia keliru, maka baginya satu pahala."
(Hadīts riwayat Imam Al Bukhāri dan Muslim).
Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh menjelaskan yang dimaksud hakim dalam hadīts ini adalah seseorang yang memiliki ilmu yang menjadikannya layak memberikan qadha atau memberikan peradilan.
Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus terpenuhi bagi seorang qadhi (seorang yang memberikan keputusan perkara di pengadilan), yang syarat tersebut harus dipenuhi agar apa yang dia lakukan termasuk perbuatan yang diizinkan oleh syari'at. Sehingga apabila dia keliru dia tetap mendapatkan pahala dari ijtihad yang dilakukan.
Dari hal tersebut kita bisa mengetahui, bahwasanya orang yang jahil (yang tidak memiliki ilmu), apabila menetapkan keputusan dan hukumnya (hasilnya) benar, maka ia telah berbuat zhālim dan berdosa karena keputusan perkara yang diambil bukan berdasarkan ilmu. Dan dia tidak boleh (tidak halal) baginya untuk memberikan keputusan di dalam perkara kalau dia tidak memiliki ilmu.
Sehingga Syaikh menyebutkan, jika orang yang jahil (tidak memiliki ilmu) maju dalam permasalahan qadha, memutuskan perkara peradilan, meskipun dia benar (dalam keputusannya) maka dia termasuk orang yang zhālim dan berdosa.
Adapun bagi seorang yang dia memiliki ilmu, memiliki kecakapan di dalam peradilan maka dialah orang yang berlaku padanya apa yang disebutkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam hadīts ini yaitu, "Apabila dia berijtihad dan benar maka baginya dua pahala, namun apabila ijtihadnya keliru maka baginya satu pahala."
Dalam hadīts ini, Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh menjelaskan bahwa menjadi seorang hakim dalam memutuskan sebuah perkara, terdiri dari dua bentuk:
⑴ Ijtihad dalam memberikan hukum syar'i yang tepat dalam perkara yang diadili.
Dia berijtihad untuk bisa menempatkan hukum syar'i yang seharusnya pada perkara tersebut.
⑵ Ijtihad dalam rangka menerapkan kebenaran yang telah diputuskan kepada siapapun baik itu orang terdekat, temannya maupun sebaliknya (misalnya) kepada orang yang dia tidak kenal atau bahkan orang yang tidak dia senangi. Apabila kebenaran (hak) ada pada mereka maka mereka harus diberikan haknya.
Ijtihad kedua ini dia berijtihad untuk bisa menempatkan kebenaran bagaimanapun keadaan dan siapapun yang akan dia dihadapi. Sehingga dia tidak membedakan antara satu dengan yang lain. Tidak lebih memprioritaskan satu dengan yang lain. Dan dia tidak cenderung kepada hawa nafsunya.
Apabila dua hal ini dia lakukan, yaitu ijtihad untuk bisa menempatkan hukum syar'i yang tepat dan ijtihad untuk bisa bersikap adil, tidak memihak, maka dia mendapatkan apa yang dijanjikan dalam hadīts ini, yaitu dia akan mendapatkan pahala bagaimanapun putusan yang dia berikan.
Apabila putusannya benar maka dia mendapatkan dua pahala, apabila keputusannya salah maka dia tetap mendapatkan satu pahala, karena kekeliruan yang dia lakukan adalah kekeliruan yang dilakukan di luar batas kemampuannya untuk bisa memutuskan dengan benar.
Maka kita mengetahui perbedaan antara seorang hakim yang benar-benar berijtihad untuk kebenaran dan seorang hakim yang dia adalah shahibul hawa (pengikut hawa nafsu).
Perbedaannya adalah seorang hakim yang berijtihad untuk kebenaran dia melakukan apa yang diperintahkan kepadanya disertai dengan adanya niat yang baik dan ijtihad yang benar. Adapun shahibul hawa (pengikut hawa nafsu) dia akan berbicara tanpa ilmu (memberikan keputusan) tanpa ilmu atau memberikan putusan dengan ilmu namum disertai niat yang bertentangan dengan kebenaran. Tidak ingin memberikan hak pada orang yang berhak.
Dari hadīts yang mulia ini kita mengetahui tentang keutamaan seorang hakim yang memiliki sifat niat yang baik dan ijtihad yang benar, telah berusaha semaksimal mungkin untuk berijtihad dan memberikan hak kepada pemilik hak yang seharusnya.
Maka selayaknya seorang yang diberikan tugas atau peran sebagai seorang qadhi (hakim) hendaknya dia memperhatikan hal tersebut sehingga apa yang dia lakukan membuahkan pahala baginya bagaimanapun hasil keputusan yang dia berikan.
Demikian penjelas tentang hadīts mulia ini.
وصلى الله على نبينا محمد و على اله وصحبه و سلم
وَآخِرُ دَعْوانا أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ
ولسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
________
🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 15 Dzulqa’dah 1441 H / 06 Juli 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 060 | Hadits 60
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 60
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على عبد الله ورسوله نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-60 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.
Kita sudah sampai pada hadīts yang ke-60 yaitu hadīts dari Abdullāh bin Abbās radhiyallāhu 'anhumā. Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى رِجَالٌ دماء قوم و أَمْوَالَهُمْ ولَكِنَّ الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعِي عليه (رواه مسلم)
"Seandainya manusia diberikan sesuai dengan sebab dakwaan (tuntutan) mereka, niscaya orang-orang akan menuntut darah dan harta orang lain. Namun semestinya seorang yang tertuntut dia diminta untuk bersumpah.” (Hadīts riwayat Imam Muslim)
وفى لفظ عند البيهقي : البينة على المدعي و اليمين على من أنكر
Dalam lafazh hadīts yang diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi disebutkan: "Semestinya orang yang mendakwa (pendakwa) dia mendatangkan bukti, adapun orang yang mengingkari dakwaan maka seharusnya dia bersumpah."
Hadīts yang mulia ini merupakan hadīts yang menjadi azas utama dalam pemutusan perkara peradilan.
Sebagaimana kita ketahui bahwasanya peradilan yang ada ditengah-tengah manusia biasanya dilakukan ketika ada sengketa di antara sesama manusia.
Adanya perselisihan hak, yang satu mengklaim atau mendakwa hak yang harus diberikan oleh orang lain kepada dirinya dan yang satunya lagi mengingkari bahwasanya dia harus memberikan hak tersebut kepada si pendakwa.
Bahkan ada kalanya dakwaan itu berupa dakwaan bahwasanya dia telah mengembalikan hak orang lain, namun diingkari oleh orang yang memiliki hak tersebut (mengingkari bahwasanya telah dikembalikan haknya).
Dan di dalam permasalahan sengketa tersebut tentunya seorang hakim haruslah memiliki acuan di dalam memutuskan perkara. Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan di dalam hadīts mulia ini suatu azas (kaedah) yang bisa menyelesaikan sengketa tersebut dan menjadi jelas siapa orang yang berhak untuk diberikan kepadanya hak yang dituntut.
Dalam hadīts ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan bahwasanya barangsiapa mendakwa (mengklaim) hak yang ada pada orang lain, baik itu berupa barang, hutang atau hak-hak yang lain, apabila dakwaan (klaim) tersebut diingkari oleh terdakwa maka hukum asalnya yang didengar adalah ucapan orang yang mengingkari (orang yang terdakwa). Sehingga apabila orang yang mendakwa ingin mengajukan dakwaan, dia dituntut untuk bisa mendatangkan bayyinah. Bayyinah yang bisa menyatakan kebenaran apa yang dia dakwakan. Sehingga apabila bayyinah tersebut bisa dia hadirkan, maka hakim akan memutuskan bagi dirinya berdasarkan bayyinah yang dia bawa.
Namun jikalau dia tidak bisa membawa bayyinah (pembuktian), maka dia tidak bisa memaksa si terdakwa untuk memberikan apa yang dia dakwa. Dia hanya bisa meminta si terdakwa untuk bersumpah atas kebenaran yang dia ucapkan, atas kebenaran pengingkaran yang dilakukan si terdakwa.
Kalau sudah bersumpah maka tidak berhak lagi bagi si pendakwa untuk memaksa menuntut hak tersebut dihadapan peradilan.
Begitu juga apabila perkara ini berkaitan dengan masalah mengembalikan hak (misalkan) pengembalian hutang.
Apabila si pendakwa (yang mengklaim) menyatakan bahwasanya dia telah mengembalikan hak kepada shahibul hak, misalkan telah mengembalikan hutang (membayarkan hutang), sedangkan shahibul hak (orang yang pernah menghutangi) mengingkari hal tersebut, maka yang diminta untuk mendatangkan bayyinah (pembuktian) adalah orang yang mendakwa bahwasanya dia telah membayar hutangnya.
Jikalau dia tidak bisa membawakan bayyinah maka dihukumi: "Bahwasanya hak (hutang tersebut) masih melekat pada diri dipendakwa yang harus dia bayarkan." Karena al ashl (hukum asalnya) yang didengar (ucapan yang didengarkan pertama kali) diberatkan dan dipilih adalah ucapan orang yang didakwa (si terdakwa).
Namun tentunya si terdakwah harus bersumpah bahwasanya apa yang dia katakan itu benar.
Itulah makna dari sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:
ولَكِنَّ الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعِي عليه
"Semestinya sumpah dilakukan oleh orang yang terdakwa.”
Yaitu orang yang terdakwa apabila dia mengingkari dakwaan, dia diperintahkan untuk bersumpah atas pengingkaran hal tersebut.
Adapun si pendakwa maka kewajiban dia adalah mendatangkan bayyinah dan itu berlaku pada dakwaan dalam bentuk apa saja.
Dakwaan berupa barang atau berupa hutang atau hak, bahkan berupa hak aib pada barang yang diperjual belikan atau pada hal-hal lain.
Maka hadīts mulia ini merupakan hadīts yang azhim (mulia, agung) dalam permasalahan qadha atau permasalahan peradilan. Dimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mewajibkan kepada seorang pendakwa untuk mendatangkan al bayyinah (pembuktian).
Dan pembuktian itu tentunya beraneka ragam bentuknya dan bertingkat-tingkat berdasarkan dakwaan yang dilakukan dalam peradilan yang semua itu telah dijelaskan oleh para ulama dalam bab "Al Qadha".
Dan dalam hadīts yang mulia ini juga Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam telah menjelaskan hikmah dari hal tersebut (yaitu) hikmah diwajibkannya bayyinah bagi si pendakwa dan sumpah bagi orang yang terdakwa.
Hikmahnya adalah:
Agar manusia tidak semena-mena di dalam menuntut darah dan harta orang lain, karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan dalam hadīts ini:
لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى رِجَالٌ دماء قوم و أَمْوَالَهُمْ
"Seandainya manusia diberikan sesuai dengan tuntutan mereka (yaitu) tanpa diminta adanya bayyinah (sumpah), niscaya orang-orang akan menuntut darah dan harta orang lain secara semena-mena.”
Dari sini kita bisa mengetahui bahwasanya syari'at Islām merupakan syari'at yang memberikan kebaikan kepada manusia sehingga memberikan adanya keadilan bagi setiap orang.
Dan tentunya dari hal ini juga tujuan diadakannya qadha (peradilan) dalam Islām adalah untuk bisa mengembalikan hak kepada si pemilik hak dan juga menghalangi perbuatan zhālim yang dilakukan oleh orang yang berusaha mengambil hak orang lain.
Demikian penjelasan dalam hadīts yang mulia ini.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
________
🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 16 Dzulqa’dah 1441 H / 07 Juli 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 061 | Hadits 61
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 61
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-61 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.
Kita sudah sampai pada hadīts yang ke-61 yaitu hadīts dari Āisyah radhiyallāhu 'anhā secara marfu', beliau berkata:
لاَ تَجُوزُ شَهَادَةُ خَائِنٍ, وَلاَ خَائِنَةٍ وَلاَ مَجْلُودٍ حَدًّا, ولا ذِي غِمْرٍ عَلَى أَخِيهِ, وَلاَ ظَنِينٍ فِي وَلاَءٍ وَلاَ قَرَابَةٍ, وَلاَ الْقَانِعِ أَهْلَ الْبَيْتِ
"Tidak dibolehkan (diterima) persaksian laki-laki khianat dan wanita khianat dan tidak pula orang yang telah dikenakan hukuman hadd, tidak pula orang yang membenci terhadap saudaranya, tidak pula seorang yang diragukan tentang kewala'an ataupun kekerabatannya, tidak pula diterima persaksian seorang pelayan pada anggota keluarga (yaitu) seorang pelayan yang melayani sebuah keluarga, maka tidak diterima persaksiannya terhadap mereka.” (Hadīts riwayat Imam At Tirmidzī)
Dalam hadīts mulia ini disebutkan beberapa sifat yang dapat mempengaruhi keabsahan persaksian seorang saksi. Hal itu dikarenakan Allāh Subhānahu wa Ta'āla memerintahkan kita untuk mendatangkan saksi yang ‘udul (adil), yang memiliki: عدالة , dan diridhāi oleh manusia.
Sehingga ucapan yang disampaikan dalam persaksian adalah ucapan yang menjadikan manusia percaya dengan ucapannya, manusia ridha dengan persaksiannya. Hal ini berdasarkan firman Allāh Subhānahu wa Ta‘āla:
مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ
"Di antara mereka yang kalian ridhāi di antara para saksi (yaitu) yang kalian ridha dan kalian percaya terhadap ucapan dan persaksian mereka." (QS Al Baqarah: 282)
Oleh karena itu disebutkan dalam hadīts ini beberapa sifat yang dapat mempengaruhi keabsahan persaksian seorang saksi di pengadilan.
شَهَادَةُ خَائِنٍ, وَلاَ خَائِنَةٍ
⑴ Persaksian yang dilakukan oleh seorang yang biasa mengingkari amanah (menyelisihi amanah) yang diberikan kepadanya. Maka persaksiannya tidak dapat diterima karena dia telah kehilangan kepercayaan manusia.
Sehingga apa yang dia ucapkan tidak dapat diterima sebagai sebuah persaksian.
وَلاَ مَجْلُودٍ حَدًّا
⑵ Tidak pula seorang yang dia dicambuk karena hukuman hadd (yaitu) dia dijatuhi hukuman hadd, karena melakukan perbuatan maksiat besar dan dia belum bertaubat sehingga dia dijatuhi hukuman hadd.
Maka persaksiannya tidak diterima karena kefasikan yang ada pada dirinya.
ولا ذِي غِمْرٍ عَلَى أَخِيهِ
⑶ Tidak pula persaksian seseorang yang dia memiliki kebencian atau kedengkian terhadap saudaranya.
Maka orang yang seperti ini tidak dapat diterima persaksiannya apabila persaksian tersebut berkenaan dengan kerugian yang akan menimpa orang yang dia benci, karena dikhawatirkan kebenciannya akan menjadikan dia menyelisihi kebenaran di dalam bersaksi. Dia berusaha untuk memberikan kemudharatan kepada orang yang dia dengki atau benci.
Namun apabila persaksiannya ini adalah persaksian yang memberikan keuntungan (kebaikan) kepada orang yang dia persaksikan maka persaksiannya dapat diterima.
وَلاَ ظَنِينٍ فِي وَلاَءٍ وَلاَ قَرَابَةٍ
⑷ Tidak pula diterima persaksian orang yang dicurigai dalam hal kewala'an maupun kekerabatannya.
Disebutkan oleh para ulama maksudnya adalah seorang yang dia menisbatkan dirinya kepada orang lain dalam hal wala' atau kerabat kepada orang-orang yang sebenarnya bukanlah kerabatnya. Sehingga manusia ragu tentang kebenaran nasab yang dia ucapkan.
Orang ini hilang kepercayaan manusia dari dirinya maka apa yang dia ucapkan dalam persaksian tidak dapat diterima.
وَلاَ الْقَانِعِ أَهْلَ الْبَيْتِ
⑸ Tidak pula diterima seorang yang dia bertindak sebagai pelayan di dalam sebuah keluarga.
Maka dia tidak dapat diterima persaksiannya dikarenakan adanya kecurigaan dia akan memihak kepada orang-orang yang biasa dekat dengan dirinya.
Maka dalam hadīts ini disebutkan orang-orang yang memiliki sifat-sifat seperti ini tidak diterima persaksiannya.
Adakalanya itu karena hilang sifat 'adālah (عدالة) yang ada pada diri mereka atau ada kalanya dia memang seorang yang memiliki 'adālah hanya saja ada hal (kondisi) lain yang menjadikan manusia curiga kalau dia akan memihak kepada salah satu orang. Sehingga tidak mengatakan sesuai dengan kebenaran.
Demikian penjelasan hadīts yang mulia ini yang dalam hal ini disebutkan beberapa sifat yang dapat mempengaruhi keabsahan sebuah persaksian di dalam pengadilan.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
________
🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 17 Dzulqa’dah 1441 H / 08 Juli 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 062 | Hadits 62
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 62
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-62 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.
Kita sudah sampai pada hadīts yang ke-60 yaitu hadīts yang diriwayatkan dari Rāfi' bin Khadīj radhiyallāhu 'anhu, ia berkata :
قُلْت: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا لاَقُوا الْعَدُوِّ غَدًا وَلَيْسَ مَعَنَا مُدًى أفنذبح بالقصب؟
Aku berkata, "Wahai Rasūlullāh, sesungguhnya kita akan bertemu musuh besok dan saat ini kami tidak memiliki pisau untuk menyembelih, apakah boleh kita menyembelih menggunakan rotan (bambu)".
قال: ما أنهر الدّم وذكر اسم الله عليه فكل، ليس السّنّ والظّفر
Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) menjawab, "Apa-apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan Nama Allāh padanya (hewan sembelihan) selain (menggunakan) gigi dan kuku, maka makanlah"
وسأحدّثك عنه: أما السّنّ فعظم، وأما الظّفر فمدى الحبشة
Aku akan ceritakan alasannya kepadamu tentang ini. "Adapun gigi adalah tulang sedangkan kuku adalah pisaunya orang Habasyah".
وأصبنا نهب إبل وغنم فندّ منها بعير، فرماه رجل بسهم فحبسه
Kami pun mendapat rampasan berupa unta dan kambing. Lalu seekor unta lari dari kumpulannya dan dipanah oleh seorang laki-laki sehingga menghentikan langkahnya.
فقال رسول الله : إن لهذه أوابد كأوابد الوحش، فإذا غلبكم منها شيء فافعلوا به هكذا
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya hewan ini memiliki sifat seperti sifat binatang liar. Apabila sesuatu dari hewan-hewan tersebut menjadikan kalian tidak mampu untuk menangkapnya, kemudian disembelih maka cukup perlakukan saja seperti apa yang dilakukan orang tersebut (yaitu) dengan melukai hewan tersebut dibagian mana saja" (Muttafaq'alaih)
(Hadīts riwayat Al-Bukhāri dan Muslim)
Ikhwātal Kiram A'ādzaniyallāh wa Iyyakum.
Didalam hadīts yang mulia ini, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan suatu kaidah di dalam menentukan alat apa saja yang boleh digunakan untuk menyembelih, dan bagaimana cara menyembelih hewan yang apabila hewan tersebut lari yaitu tidak mampu untuk disembelih secara normal.
⑴ Alat yang digunakan untuk menyembelih
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan di dalam hadīts ini ما أنهر الدّم alat apapun yang bisa mengalirkan darah.
Ini merupakan suatu ungkapan yang singkat namun memiliki makna dan cakupan yang luas. Sehingga para ulama menjelaskan bahwasanya alat yang boleh digunakan untuk menyembelih hewan adalah segala sesuatu yang bisa mengalirkan darah, baik itu terbuat dari besi, tembaga, kayu, atau bahkan rotan selama dia bisa untuk melukai dan mengalirkan darah maka alat itu boleh digunakan untuk menyembelih (kecuali) alat yang terbuat dari tulang atau kuku.
Karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan dalam hadīts ini ليس السّنّ والظّفر (selama bukan menggunakan gigi dan kuku).
Dan alasan bukan menggunakan gigi, beliau sebutkan أما السّنّ فعظم (karena gigi adalah tulang). Sehingga jika alat tersebut terbuat dari tulang maka ini tidak boleh, meskipun alat tersebut bisa digunakan untuk melukai hewan.
Begitu pula apabila alat tersebut terbuat dari kulit atau cakar maka itu pun tidak diperbolehkan. Adapun selain dari keduanya (gigi dan kuku) selama bisa untuk melukai hewan tersebut maka diperbolehkan untuk menyembelih.
⑵ Kemudian beliau sebutkan syarat kedua dalam dalam hadīts ini وذكر اسم الله عليه (ketika menyembelih menyebut nama Allāh), barulah hewan tersebut halal untuk dimakan.
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan فكل - ini merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh syari'at dalam tata cara menyembelih.
⑶ Adakalanya hewan yang ingin disembelih tidak bisa ditangkap (hewan liar, misalnya) sehingga sulit untuk ditangkap.
Kemudian disembelih dengan memotong bagian lehernya, maka syari'at memberikan kemudahan yaitu apabila hewan-hewan yang demikian tidak mampu untuk disembelih, maka cukup dengan melukai bagian mana saja dengan alat yang bisa digunakan untuk mengalirkan darah.
Dan hewan tersebut halal untuk dimakan apabila ketika kita jumpai hewan tersebut sudah mati.
Oleh karena itu Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan disini إن لهذه أوابد كأوابد الوحش (pada hewan-hewan tersebut terdapat sifat liar sebagaimana sifat pada hewan liar)
Apabila kita tidak mampu untuk menangkapnya, maka lakukanlah seperti yang dilakukan orang tadi yaitu seperti apa yang dilakukan orang yang disebutkan dalam hadīts diatas, dia melemparkan panah kemudian melukai unta yang berlari dari kelompoknya sehingga unta tersebut terhenti. Dan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menghukuminya sebagai hewan yang halal untuk dimakan.
Demikian penjelasan singkat tentang hadīts yang mulia ini, dari hadīts tersebut kita mengetahui bahwasanya di dalam syari'at Islām ada dua cara yang digunakan dalam menyembelih hewan atau yang digunakan agar hewan yang disembelih tersebut halal untuk dimakan.
⑴ Disembelih secara normal apabila hewan tersebut mampu untuk dijinakkan untuk disembelih dibagian lehernya.
⑵ Apabila hewan tersebut tidak bisa ditangkap mungkin karena hewan tersebut mengamuk (misalnya).
Apabila tidak mampu untuk disembelih dengan cara yang normal maka cukup hewan tersebut dilukai di bagian mana saja dan apabila hewan tersebut mati karena luka tersebut maka hewan tersebut halal untuk dimakan.
Demikian penjelasan hadīts ini, semoga bermanfaat.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
____________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar