Rabu, 06 Maret 2019

(2) Matan Abū Syujā

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 29 Jumādā atsTsānī 1440 H / 06 Maret 2019 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 18 | Bab Wudhū - Perkara Perkara Yang Dapat Membatalkan Wudhu (Bag.1)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
PERKARA-PERKARA YANG DAPAT MEMBATALKAN WUDHU (BAGIAN 1)

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Para Sahabat Bimbingan Islam yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu Wa Ta'āla, pada halaqah yang ke-18 ini kita akan membahas tentang "Nawāqidhul Wudhū' (perkara-perkara yang dapat membatalkan wudhū')".

قال المصنف:
((والذي ينقض الوضوء ستة أشياء))

((Dan perkara-perkara yang dapat membatalkan wudhū' ada 6 macam))

Pada hakikatnya para ulama membahas lebih dari 6 perkara tentang pembatal wudhū'.

● PEMBATAL PERTAMA ●

قال المصنف:
((ما خرج من السبيلين))

((Apa-apa yang keluar dari 2 jalan))

⇒ Yaitu maksudnya adalah qubūl maupun dubur.

Yang keluar dari qubūl maupun dubur ada 2 kategori;

◆ ⑴ Hal-hal yang keluar dengan wajar

Misalnya: buang air kecil, buang air besar, cairan mani, cairan madzi, cairan wadhi, darah haidh, darah nifas dan buang angin.

Dalil:
• ⑴ Firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُوا۟ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟

"Dan jika kalian dalam keadaan junub maka bersucilah dan jika kalian dalam keadaan sakit atau buang air atau menyentuh wanita dan kalian tidak mendapatkan air maka bertayammumlah." (Al-Maidah 6)

• ⑵ Hadīts riwayat Bukhāri

سئل ابو هريرة رضي الله عنه عن الحدث قال رضي الله عنه ( فساء أو ضراط )

Ketika Abū Hurairah ditanya tentang (makna) hadats, maka beliau menjawab, "Dia adalah fusāun (buang angin yang tidak bersuara) atau dhurāthun (buang air yang bersuara)."

• ⑶ Hadīts 'Ali radhiyallāhu Ta'āla 'anhu

Tatkala 'Ali radhiyallāhu 'anhu bertanya dengan mengutus seseorang bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tentang cairan madzi maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjawab,

يغسل ذكره ويتوضأ

"Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhū'." (HR. Abū Dawūd, An-Nasāi dan Bayhaqi)

• ⑷ Ijmā' para ulama bahwasanya air mani membatalkan wudhū'.

Dan dalil-dalil lain yang menjelaskan tentang batalnya wudhū' seseorang dari hal-hal yang keluar dari qubūl maupun dubur secara wajar.

◆ ⑵ Hal-hal yang keluar dengan tidak wajar (jarang terjadi)

Misal: keluarnya batu, ulat, belatung, darah wasir (ambeien)

Jumhūr (mayoritas) fuqaha dari kalangan Syāfi'iyyah, Hanāfiyyah dan Hanābilah berpendapat bahwa hal itu semua membatalkan wudhū'.

Kenapa? Karena sesuatu tadi itu keluar dari tempat keluarnya hadats/kotoran sehingga tidak terlepas dia akan keluar bersama kotoran walaupun sedikit.

■ Ada beberapa catatan tambahan yang perlu ditambahkan;

CATATAN TAMBAHAN ⑴
Bagaimana apabila buang angin keluar bukan dari dubur melainkan keluar dari qubūl? Dan ini banyak terjadi di kalangan wanita.

Jawaban:
Hal itu membatalkan wudhū'.

Dalil:
Ijmā', sebagaimana yang dinukil oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd dan Ibnu Qudāmah.

Berdasarkan keumuman hadits, bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda,

لا تقبل صلاة من أحدث حتى يتوضأ قال رجل من حضرموت : ما الحدث يا ابا هريرة ؟ قال : فساء أوضراط

"Tidak diterima shalat seseorang yang hadats sampai dia berwudhū'."

Kemudian seseorang dari Hadramaut bertanya kepada Abū Hurairah: "Apa yang dimaksud dengan hadats, wahai Abū Hurairah?".

Maka beliaupun mengatakan: "Fusāun (buang angin yang tidak bersuara) atau dhurāthun (buang air yang bersuara)."
(HR Bukhari dari shahābat Abū Hurairah)

CATATAN TAMBAHAN ⑵
Buang air besar dan buang air kecil jika keluar tidak melalui qubūl maupun dubur, maka hukumnya juga termasuk hal yang membatalkan wudhū'.

Dalil:
Berdasarkan keumuman hadits, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda,

وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ

"... Akan tetapi dari buang air besar, kencing maupun tidur." (HR Tirmidzi dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)

⇒ Maksudnya dalam hadits ini adalah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberikan rukhshah (keringanan) untuk tidak melepaskan khauf saat bersuci kecuali apabila terjadi 3 perkara yaitu buang air besar, kencing maupun tidur.

Dan disini keumuman hadīts, apabila seseorang keluar kencingnya atau buang air besarnya walaupun bukan dari dubur maupun qubūl maka batal wudhū'nya.

Adapun selain itu seperti darah atau nanah, jika keluar bukan dari qubūl maupun dubur maka dia tidak membatalkan wudhū' nya.

CATATAN TAMBAHAN ⑶
Tentang kelembaban yang terjadi di kemaluan wanita (ruthūbah farjil mar'ah)

Kelembaban ini banyak terjadi di kalangan wanita dan kelembaban tersebut berbeda-beda antara satu wanita dengan yang lain, ada yang sedikit dan ada yang banyak atau bahkan keluar menjadi cairan atau lendir.

Oleh karena itu, hal ini dijelaskan oleh Imām An-Nawawi di dalam Al-Majmū' Syarh Muhadzdzab tentang ruthūbah farjil mar'ah. Kata beliau,

"Ruthūbah farjil mar'ah adalah cairan putih yang wujudnya antara madzi dan keringat."

Dan disini hukumnya para ulama berbeda pendapat, diantara salah satu pendapatnya bahwasanya hukumnya sama dengan cairan yang keluar dari tubuh manusia yang wajar seperti keringat, maka hal itu tidaklah membatalkan wudhū'.

Pendapat ini dipilih oleh Imam Syāfi'i, Ibnu Hazm dan dikuatkan (dirajihkan) oleh Syaikh 'Utsaimin rahimahumullāh.

Dalil:
⑴ Bahwasanya tidak ada dalil, hadits atau riwayat yang sharih yang menjelaskan tentang batalnya wudhū' seseorang disebabkan ruthūbah (kelembaban) tersebut.

⑵ Bahwasanya hal ini terjadi secara alami dan hampir terjadi di semua wanita. Dan merupakan kesulitan yang besar dan masyaqqah apabila seorang wanita harus senantiasa berwudhū' apabila terjadi kelembaban di dalam kemaluannya.

Para Sahabat Bimbingan Islam yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

● PEMBATAL KEDUA ●

قال المصنف:
((والنوم على غير هيئة المتمكن ))

((Tidur pada posisi yang tidak kokoh))

⇒ Maksudnya posisi selain posisi duduk, maka itu membatalkan wudhū'.

Dalil:
⑴ Sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam,

العينان وكاء السه ، فإذا نامت العينان استطلق الوكاء ، ومن نام فليتوضأ (رواه : ابو داود ر ابن ماجه)

"Kedua mata adalah pengikat dubur, apabila kedua mata itu tertidur maka pengikat itu akan lepas. Maka barangsiapa yang tertidur maka hendaknya dia berwudhū'."
(HR Abū Dāwud dan Ibnu Majah dari shahābat Mu'āwiyah radhiyallāhu Ta'āla 'anhu)

⑵ Namun disana ada riwayat yang lain yang menjelaskan bahwasanya para shahabat tertidur tatkala menunggu Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam untuk melaksanakan shalat berjama'ah namun mereka tidak berwudhū'.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, beliau mengatakan,

كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلاَ يَتَوَضَّؤُونَ

"Mereka para shahabat Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tertidur kemudian bangkit untuk melaksanakan shalat dan mereka tidak berwudhū'." (HR Muslim)

Disini menggabungkan 2 hadits tersebut diatas bahwasanya ini adalah dalam tidur yang ringan dan posisi yang duduk, maka seseorang tidak batal wudhū' nya.

Akan tetapi apabila tidur yang pulas & panjang dan juga tidur pada posisi selain posisi duduk maka dia membatalkan wudhū' (Dan ini adalah pendapat jumhur).

● PEMBATAL KETIGA ●

قال المصنف:
((وزوال العقل بسكر أو مرض))

((Hilangnya akal disebabkan karena mabuk atau karena penyakit))

Termasuk didalamnya adalah seorang yang pingsan yang kemudian hilang akalnya atau dibius maka hal-hal tersebut membatalkan wudhū' seseorang.

Kita akan lanjutkan pada halaqah berikutnya tentang pembatal-pembatal wudhū' yang lainnya dan in syā Allāh Ta'āla, Allāh Subhānahu wa Ta'āla memudahkan kita dalam menuntut ilmu.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
----------------------------------

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 02 Sya'ban 1440 H / 08 April 2019 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 19 | Bab Wudhū' - Perkara Perkara Yang Dapat Membatalkan Wudhu (Bag. 2)
~~~~~~~~
MATAN KITAB

(فصل) والذي ينقض الوضوء ستة أشياء ما خرج من السبيلين والنوم على غير هيئة المتمكن وزوال العقل بسكر أو مرض ولمس الرجل المرأة الأجنبية من غير حائل ومس فرج الآدمي بباطن الكف ومس حلقة دبره على الجديد.

Perkara yang membatalkan wudhu ada 6 (enam):
① Sesuatu yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur),
② Tidur pada posisi yang tidak kokoh,
③ Hilangnya akal disebabkan karena mabuk atau karena penyakit,
④ Sentuhan kulit seorang lelaki terhadap wanita ajnabi/asing (wanita yang bukan mahramnya) tanpa adanya pembatas,
⑤ Menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan,
⑥ Menyentuh lubang duburnya berdasarkan qaul jadīd.
〰〰〰〰〰〰〰

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد.

Para Sahabat Bimbingan Islam yang dirahmati Allāh Subhānahu Wa Ta'āla, pada halaqah yang ke-19 ini kita akan melanjutkan pembahasan tentang pembatal-pembatal wudhū' selanjutnya.

■ PEMBATAL KEEMPAT

قال المصنف:
((ولمس الرجل المرأة الأجنبية من غير حائل))

((Dan sentuhan kulit seorang lelaki terhadap wanita ajnabi/asing (wanita yang bukan mahramnya) tanpa adanya pembatas))

Di dalam madzhab Syāfi'iyyah, termasuk pembatal wudhū' adalah seorang lelaki dewasa yang menyentuh kulit seorang wanita dewasa tanpa penghalang (semisal kain) yang bukan mahramnya, baik mahram secara nashab maupun mahram karena susuan.

Dan termasuk wanita selain mahram adalah istrinya dan ini adalah termasuk ajnabi.

◆ Dalil pendapat ini, diantaranya firman Allāh Ta'āla:

(وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مِّنكُم مِّن الْغَآئِطِ...)

... أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا

"...Atau kalian menyentuh wanita dan tidak mendapatkan air maka bertayamumlah."
(An-Nisā 43)

Didalam ayat ini, Allāh Ta'āla menggandengkan kalimat :

أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ

"Menyentuh wanita"

Setelah kalimat:

أَوْ جَاء أَحَدٌ مِّنكُم مِّن الْغَآئِط

"Atau apabila salah seorang dari kalian datang dari tempat buang air"

⇒ Hal ini menunjukkan bahwa menyentuh wanita itu membatalkan wudhū' sebagaimana buang air membatalkan wudhū'.

Dan kata لامس maknanya secara zhāhir adalah menyentuh antara kulit dengan kulit.

Disana ada permasalahan yang perlu kita ketahui yaitu,

APAKAH MENYENTUH WANITA MEMBATALKAN WUDHŪ' ATAU TIDAK?

Para ulama ahli fiqh terbagi menjadi 3 pendapat;

● PENDAPAT ⑴

Menyentuh wanita selain mahram yang baligh & berakal membatalkan wudhū'.

Ini adalah madzhab Syāfi'iyyah sebagaimana yang sudah dijelaskan.

● PENDAPAT ⑵

Menyentuh wanita membatalkan wudhū' apabila disertai dengan syahwat atau rasa lezat.

Ini adalah pendapat Imam Mālik dan juga salah satu riwayat di dalam madzhab Hanbali.

● PENDAPAT ⑶

Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhū'.

Ini adalah pendapat Imam Abu Hanīfah dan juga salah satu riwayat dalam madzhab Hanbali.

Pendapat yang kuat, wallāhu a'lam, adalah pendapat yang ke ⑶, yaitu bahwasanya menyentuh wanita baik dengan adanya pembatas atau tanpa adanya pembatas tidak membatalkan wudhū', KECUALI jika keluar sesuatu dari kemaluannya.

Dan pendapat ini adalah pendapat sebagian para salaf dan dipilih juga oleh Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah, Imam Ash-Shan'āni, Syaikh Bin Bāz, Syaikh Al-Albāni, Syaikh Ibnu 'Utsaimin dan juga merupakan fatwa dari Lajnah Dāimah (Lembaga Fatwa) yang berada di Saudi Arabia.

Diantara dalilnya:

◆ Dalil ⑴

Makna kata "الامس" didalam ayat tersebut tidaklah dimaksud zhāhir secara maknanya dan (tidak) diartikan "menyentuh" antara kulit dengan kulit.

Karena kata "الامس" banyak digunakan di dalam ayat-ayat Al-Qurān dan yang dimaksudkan adalah jima' atau kinayah dari jima' (berhubungan antara suami & istri).

Sebagaimana dalam firman Allāh Subhānahu Wa Ta'āla :

وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ

"Dan jika kalian mencerai/menthalaq mereka (yaitu para istri) sebelum kalian menyentuh mereka."
(Al-Baqarah 237)

⇒ Menyentuh disini adalah jima'.

◆ Dalil ⑵

Ibnu 'Abbās yang dijuluki sebagai "Penterjemah Al-Qurān" mentafsirkan makna "الامس" yang terdapat surat An-Nisā 43 maknanya adalah jima'.

... أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا

"...Atau kalian menyentuh wanita dan tidak mendapatkan air maka bertayamumlah."
(An-Nisā 43)

⇒ Menyentuh wanita disini adalah jima', kata beliau.

◆ Dalil ⑶

Hadits shahīh riwayat Tirmidzi, Abū Dāwūd dan Ibnu Mājah.

عن عُروة، عن عائشةَ رضي الله عنها قالت: أنَّ النبيَّ صلَّى الله عليه وسلَّمَ قَبَّل امرأةً من نسائه، ثمَّ خرج إلى الصَّلاة ولم يتوضَّأ. قال عروة: فقلتُ لها: مَن هي إلَّا أنتِ؟! فضَحِكت

Dari 'Urwah dari 'Āisyah radhiyallāhu Ta'āla 'anhā, beliau berkata: "Sesungguhnya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah mencium salah seorang dari istri-istri Beliau kemudian Beliau keluar untuk melaksanakan shalat dan tidak berwudhū'."

'Urwahpun berkata kepada 'Āisyah radhiyallāhu Ta'āla 'anhā: 'Siapakah gerangan wanita ini kalau bukan anda?'. Maka 'Āisyahpun tertawa."

■ PEMBATAL KELIMA

قال المصنف:
(( و مس فرج الآدمي بباطن الكف))

((Menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan))

Ada 2 pendapat dikalangan ulama, yaitu:

• PENDAPAT PERTAMA

Merupakan pendapat Syāfi'iyyah dan juga mayoritas jumhūr para ulama bahwasanya:

"Menyentuh kemaluan baik kemaluan diri sendiri ataupun orang lain, orang dewasa maupun anak kecil, laki-laki maupun wanita dengan syahwat ataupun tanpa syahwat maka itu adalah membatalkan wudhū'."

◆ Dalil:

Keumuman hadits Busyra tatkala beliau meriwayatkan dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, beliau bersabda:

إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

"Apabila salah seorang dari kalian menyentuh kemaluannya maka berwudhū'lah."
(HR Abū Dāwūd, Tirmidzi dan Nasāi)

Dan hadits ini secara tarikh asbābul wurūdnya dia lebih akhir daripada hadits Thalaq bin 'Ali yang digunakan dalam pendapat kedua.

• PENDAPAT KEDUA

Merupakan pendapat Imām Abū Hanīfah bahwa:

"Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhū'."

◆ Dalil:

Hadits Thalaq bin 'Ali bahwasanya beliau mengatakan:

قدمنا على رسول الله صلى الله عليه وسلم وعنده رجل كأنه بدوي فقال: يا رسول الله! ما ترى في مس الرجل ذكره بعد ان يتوضأ؟ فقال صلى الله عليه وسلم: و هل هو إلا بضعة منك

"Manakala kami datang kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam ternyata di sisi Beliau ada seseorang laki-laki sepertinya dia adalah orang Baduwi.

Maka diapun bertanya: 'Wahai Rasūlullāh, bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang menyentuh kemaluannya setelah dia berwudhū'?'.

Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjawab: 'Bukankah itu adalah bagian dari anggota tubuhmu?'."
(HR Abū Dāwūd dan Tirmidzi)

⇒ Maksudnya, disini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak membedakan antara kemaluan dengan anggota tubuh yang lain dan bahwasanya hal itu tidak membatalkan wudhū'.

Kedua pendapat diatas masing-masing adalah pendapat yang diriwayatkan dari para shāhabat radhiyallāhu Ta'āla 'anhum.

Dan pendapat yang lebih hati-hati adalah pendapat yang pertama.

Dan sebagian para ulama ada yang menggabungkan antara kedua hadits tersebut, bahwasanya maksudnya adalah:

"Menyentuh yang disertai dengan syahwat adalah sentuhan yang bisa membatalkan wudhū', namun apabila tidak disertai dengan syahwat maka hal itu tidak membatalkan wudhū'."

Dan pendapat ini adalah salah satunya diantara pendapat Syaikh 'Utsaimin rahimahullāh.
■ PEMBATAL KEENAM

قال المصنف:
(( و مس خلقة دبره على الجديد))

((Dan menyentuh lubang duburnya berdasarkan qaul jadīd))

⇒ Qaul jadīd adalah pendapat Imām Syāfi'i yang terbaru ketika beliau ada di Mesir.

Ketahuilah, bahwasanya Imām Syāfi'i memiliki:

※ Qaul qadīm
Pendapat yang lama, sebelum beliau pindah ke Mesir.

※ Qaul jadīd
Pendapat yang baru, setelah beliau pindah ke Mesir.

Qaul jadīd berbeda dengan qaul qadīm, diantara perbedaanya adalah:

Imām Syāfi'i berpendapat menyentuh lubang dubur adalah membatalkan wudhū'.

Dan ini juga pendapat madzhab Hanbali dan dipilih oleh Imām Asy-Syaukāni dan dirajihkan oleh Syaikh Bin Bāz rahimahullāh.

◆ Dalil

Hadits 'Abdullāh bin 'Umar saat Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

أيُّما رجلٍ مسَّ فَرجَه فلْيَتوضَّأ، وأيُّما امرأةٍ مسَّت فرجَها فلْتتوضَّأْ

"Lelaki siapa saja yang menyentuh farji (lubang kemaluan)nya, maka hendaklah dia berwudhū'. Dan perempuan siapa saja yang menyentuh farjinya maka hendaklah dia berwudhū'."
(HR Ahmad dan Dāruquthni)

Dan makna farji adalah lubang. Dan dubur termasuk didalam makna farji dalam hadits tersebut.

Demikianlah pembatal-pembatal wudhū' yang disebutkan dalam matan Abū Syujā'.
Dan disana masih ada pembatal-pembatal lainnya yang tidak disebutkan di matan ini.

Dan kita cukupkan dengan nukilan hadits-hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Beliau bersabda:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

"Apabila seorang manusia meninggal dunia maka akan terputuslah amal perbuatannya kecuali dari 3 perkara:
⑴ Shadaqah jāriyah (sedekah yang senantiasa mengalir pahalanya kepada dirinya)
⑵ Ilmu yang bermanfaat
⑶ Anak shalih yang senantiasa mendo'akan kedua orangtuanya."
(HR Muslim No. 1631, dari Abū Hurairah radhiyallāhu 'anhu)

Para Sahabat sekalian,
Ilmu agama ataupun ilmu syari'at adalah ilmu yang sangat bermanfaat bagi pemiliknya.

Dan akan terus mengalir pahalanya apabila mengajarkannya dan menyebarkannya.

Demikian.
و صلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه وسلم
و آخر دعونا ان الحمد لله رب العلمين
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
____________

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 03 Sya'ban 1440 H / 09 April 2019 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 20 | Perkara-Perkara Yang Mengharuskan Mandi
~~~~~~~~

MATAN KITAB:

(فصل) والذي يوجب الغسل ستة أشياء ثلاثة تشترك فيها الرجال والنساء وهي التقاء الختانين وإنزال المني والموت وثلاثة يختص بها النساء وهي الحيض والنفاس والولادة.

Dan perkara-perkara yang membuat seseorang wajib untuk mandi junub (ghusl) ada 6 (enam) perkara:

Tiga perkara diantaranya berlaku untuk laki-laki maupun wanita yaitu: (1) senggama, (2) keluar sperma, (3) mati.

Tiga lainnya khusus untuk perempuan yaitu (4) haid, (5) nifas, (6) melahirkan (wiladah).
➖➖➖➖➖➖➖➖

PERKARA-PERKARA YANG MENGHARUSKAN MANDI

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله, و بعد.

Para Sahabat sekalian, para anggota Bimbingan Islam yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada halaqah yang ke-20 ini kita akan membahas pasal yang terbaru yaitu tentang thahārah yang ke-2 yaitu "Al-Ghusl (mandi)".

قال المصنف:
((والذي يوجب الغسل ستة أشياء: ثلاثة تشترك فيها الرجل والنساء))

((Dan perkara-perkara/sebab-sebab yang membuat seseorang wajib untuk mandi ada 6 perkara: yang mana 3 sebab/perkara berlaku baik untuk laki-laki maupun wanita))

Al-Ghusl (mandi) dengan mencuci seluruh badan hukumnya adalah wajib bagi orang-orang yang sudah mukallaf (orang-orang yang sudah berlaku wajib hukum shalat baginya), apabila terdapat sebab-sebabnya.

Dalil:
• Firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُواْ

"Dan apabila kalian junub maka bersucilah (mandilah)." (Al-Māidah 6)

Definisi beberapa istilah yang dipakai diantaranya:

⑴ AL-GHUSLU (الغسل)

لغة: إفاضة الماء على شيئ

Secara bahasa: menumpahkan air pada sesuatu

إصتلاحا: تعميم البدن بالماء بنية معتبرة

Secara istilah: meratakan air di seluruh permukaan badan dengan niat yang dianggap/diperbolehkan oleh syari'at.

⑵ AL-JANĀBAH (الجنابة)

لغة: البعد

Secara bahasa: jauh

إصتلاحا: إنزال المنى أو التقاء الختانين

Secara istilah: keluarnya air mani dan bertemunya 2 khitan (kemaluan laki-laki & kemaluan wanita)

Disebut sebagai al-janābah (junub) karena hal itu menyebabkan seseorang terjauh (menjauh) dari shalat, karena dilarang orang yang junub untuk melaksanakan shalat.

Pembahasan Penulis dalam masalah ini ada 2 bagian:

■ BAGIAN PERTAMA

Sebab-sebab yang berlaku baik untuk laki-laki maupun wanita.

قال المصنف:
((ثلاثة تشترك فيها الرجل و النساء))

((Tiga sebab/perkara yang berlaku baik untuk laki-laki maupun wanita))

● SEBAB PERTAMA

قال المصنف:
((التقاء الختانين))

((Bertemunya 2 khitān))

⇒ Yang dimaksud 2 khitan adalah kemaluan laki-laki & kemaluan wanita.

Maka apabila telah bertemu antara 2 khitan maka wajib hukumnya untuk mandi junub, yaitu apabila seseorang telah melakukan jima', baik dia keluar cairan mani atau tidak keluar cairan mani.

Maka apabila sudah bertemu, secara otomatis maka hukumnya adalah wajib.

Dan ini adalah kesepakatan (ittifāq) para Imam Madzhab yang 4 dan diriwayatkan bahwa hal itu adalah ijma' para ulama.

Dalil: Sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, Beliau berkata:

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ وَإنْ لَمْ يُنْزِلْ (رواه مسلم)

"Apabila seseorang telah duduk di antara cabang wanita yang 4* dan telah bertemu antara khitan dengan khitan** maka telah wajib hukum mandi, walaupun tidak keluar cairan mani." (HR Muslim)

*maksudnya adalah telah berhubungan dengan wanita tersebut

** 2 khitan yaitu kemaluan laki-laki & kemaluan wanita

Ada beberapa catatan tambahan dalam masalah ini;
⑴ Apabila hanya bersentuhan antara kemaluan wanita dengan kemaluan laki-laki tanpa masuk ke dalamnya dan tanpa keluar air mani maka tidak wajib mandi.

Ini dikatakan ijma' oleh Imam Nawawi, Ibnu Qudāmah dan Imam Asy-Syaukāni di dalam masalah ini.

⑵ Jika kemaluan laki-laki masuk ke dalam dubur wanita atau dubur laki-laki maka wajib mandi.

Hal ini merupakan kesepakatan Imam Madzhab yang 4 dan perbuatan ini termasuk perbuatan DOSA BESAR yang pelakunya wajib bertaubat.

Bahkan jikalaupun istrinya maka ini adalah perbuatan dosa besar karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melarang seorang suami mendatangi istri lewat duburnya.

⑶ Wajibkah seseorang yang dia itu junub kemudian dia langsung mandi?

Imam Nawawi menukilkan ijma' dalam masalah ini bahwa TIDAK WAJIB seseorang untuk bersegera mandi dari janabah.

Namun apabila seseorang bersegera untuk bersuci maka itu adalah lebih afdhal dan itu lebih baik bagi dia.

● SEBAB KEDUA

قال المصنف:
((و إنزال المني))

((Keluarnya air mani))

Dan ini berlaku baik laki-laki maupun wanita.

Apabila keluar cairan mani baik dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar, sengaja ataupun tidak sengaja, disertai rasa nikmat ataupun tidak, maka wajib hukumnya untuk mandi junub.

Seseorang yang tidak sadar kemudian dia mendapatkan cairan mani ada pada celananya dan telah kering, maka hal itu juga telah mewajibkan dia untuk mandi manakala dia mengetahui bahwasanya hal itu adalah cairan mani yang keluar dari dirinya.

Dan ini dikuatkan oleh jumhūr (mayoritas) ulama.

Dalil: Sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam manakala Beliau berkata:

إِنَّمَا الْمَاءُ بِاْلمَاءِ

"Sesungguhnya air itu disebabkan oleh air." (HR Muslim)

⇒ Maksudnya bahwa air mandi janabah itu disebabkan karena keluarnya air mani.

● SEBAB KETIGA

قال المصنف:
((الموت))

((Kematian))

Baik laki-laki maupun wanita.

Apabila seorang Muslim meninggal dunia maka wajib dimandikan.

Dan hukumnya menjadi fardhu kifāyah, yaitu wajib bagi kaum muslimin, apabila sudah dilaksanakan oleh sebagian kaum muslimin yang lain maka gugur kewajiban itu bagi kaum muslimin yang lainnya.

Dalil: Manakala Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda mengenai putri Beliau yang meninggal dunia, yaitu Zainab radhiyallāhu Ta'āla 'anhā: Beliau mengatakan:

اِغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ

"Mandikanlah dia (Zainab) sebanyak 3 kali atau 5 kali ataupun lebih." (HR Khamsah)

■ BAGIAN KEDUA

قال المصنف:
((و ثلاثة يختص بها النساء))

((Dan ada 3 perkara yang dia khusus untuk wanita/berlaku hanya untuk wanita))

((و هي: الحيض، والنفاس، و الولادة))

((Yaitu: darah haidh, darah nifas, darah karena melahirkan))
⑴ DARAH HAIDH
Maksudnya, apabila seseorang telah selesai dari hāidh maka wajib bagi dia untuk mandi.

Berdasarkan dalil yang diriwayatkan dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, Beliau bersabda kepada Fāthimah Binti Abi Jahsy:

إذا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وإذا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِيْ وَصَلِّي

"Apabila datang haidh maka tinggalkanlah shalat dan apabila haidh telah berhenti maka mandilah dan shalatlah." (HR Bukhari dan Muslim)

⑵ DARAH NIFĀS
Hukum darah nifas secara umum sama dengan hukum darah hāidh.

إصتلاحا: الدم خارج من المرأة بسبب الولادة

Secara istilah nifas adalah darah yang keluar dari seorang wanita disebabkan karena kelahiran.

Darah yang keluar yang berkaitan dengan nifas ini adalah darah yang keluar setelah kelahiran seorang wanita.

Dan ini disepakati oleh para ulama hukumnya adalah hukum darah nifas.

Adapun darah yang keluar 1 atau 2 hari sebelum melahirkan atau darah yang keluar pada saat melahirkan & sebelum keluar janin, maka para ulama berbeda pendapat; apakah darah tersebut termasuk darah nifas atau termasuk darah istihādhah.

√ Bagi yang mengatakan bahwasanya itu adalah darah nifas maka berlaku hukum nifas, diantaranya; gugur kewajiban shalat.

√ Dan bagi yang mengatakan bahwasanya itu bukan darah nifas, melainkan darah istihādhah atau darah yang fasād (rusak) maka tidak gugur kewajiban shalat.

Yang ketiga yang disebutkan oleh penulis yaitu,

⑶ DARAH PADA SAAT MELAHIRKAN

Dan ini adalah pendapat dalam Syāfi'iyyah sehingga disebutkan Penulis matan tersebut karena pendapat Syāfi'iyyah:

◆ Bahwa darah yang keluar pada saat melahirkan & sebelum keluarnya janin adalah darah istihādhah dan tidak termasuk darah nifas, artinya tidak gugur kewajiban shalat. Namun darah tersebut menyebabkan seorang wanita wajib untuk mandi.

Dan penjelasan darah wanita ini akan dibahas pada babnya, in syā Allāh Ta'āla.

Semoga kita tetap bersemangat untuk mempelajari perkara di dalam agama kita karena berkaitan dengan akhirat kita.

Karena diriwayatkan dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bahwasanya Beliau bersabda:

إِنَّ اللهَ يَبْغُضُ كُلَّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ صَخَّابٍ فِي الْأَسْوَاقِ جِيْفَةٍ بِاللَّيْلِ حِمَارٍ بِالنَّهَارِ عَالِمٍ بِأَمْرِ الدُّنْيَا جَاهِلٍ بِأَمْرِ الْآخِرَةِ

"Sesungguhnya Allāh membenci orang-orang yang sombong lagi kasar, suka bertengkar, berteriak di pasar bagaikan bangkai dimalam hari* dan bagaikan khimar di siang hari** yang dia hanya faham/pakar dalam urusan dunia & jahil serta bodoh dan tidak peduli dengan urusan-urusan di akhirat."
(HR Ibnu Hibbān dan Imam Ahmad dan diperselisihkan sanadnya namun shahih maknanya)

*maksudnya: tidak shalat malam
**maksudnya: sibuk dengan dunia

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla menyelamatkan kita dari sifat-sifat tersebut.

Demikian.

وَصَلَّى الله عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ أجمعين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
____________

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 04 Sya'ban 1440 H / 10 April 2019 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 21 | Kewajiban-Kewajiban Dan Sunnah Di Dalam Mandi
~~~~~~~~

KEWAJIBAN-KEWAJIBAN DAN SUNNAH DI DALAM MANDI JUNUB

(فصل) وفرائض الغسل ثلاثة أشياء النية وإزالة النجاسة إن كانت على بدنه وإيصال الماء إلى جميع الشعر والبشرة. وسننه خمسة أشياء التسمية والوضوء قبله وإمرار اليد على الجسد والمولاة وتقديم اليمنى على اليسرى.

Fardhu/rukun atau perkara yang harus dilakukan saat mandi junub ada 3 (tiga) yaitu (1) niat, (2) menghilangkan najis yang terdapat pada badan, (3) mengalirkan air ke seluruh rambut dan kulit badan.

Hal-hal yang disunnahkan saat mandi junub ada 5 (lima) yaitu: (1) Baca bismillāh, (2) Wudhū sebelum mandi, (3) Mengusapkan tangan pada badan, (4) Bersegera, (5) Mendahulukan anggota badan yang kanan dari yang kiri.

(Fiqh AtTaqrib Matan Abi Syuja')
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد

Para Sahabat yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada halaqah yang ke-21 ini kita akan membahas tentang "Kewajiban-kewajiban & Sunnah-sunnah Di Dalam Mandi".

■ BAGIAN PERTAMA | KEWAJIBAN-KEWAJIBAN MANDI

Pada bagian pertama kita akan menjelaskan tentang farāidh (kewajiban-kewajiban) di dalam mandi.

قال المصنف:
((وفرائض الغسل ثلاثة أشياء))

((Dan hal-hal yang termasuk di dalam kewajiban/rukun mandi ada 3 macam))

⇒Maksudnya disini adalah bahwasanya 3 perkara ini harus ada di dalam thāharah (mandi) seseorang agar mandinya termasuk mandi yang dianggap sah di dalam syari'at.

Jika tidak ada 3 hal ini maka thahārahnya tidak dianggap sah di dalam syari'at.

• SYARAT PERTAMA

((النية))

((Niat))

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

"Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung kepada niatnya."
(HR Bukhari & Muslim)

Dan mandi bisa merupakan kebiasaan belaka, namun juga dia bisa bernilai ibadah. Dan yang membedakan hal itu adalah niat seseorang.

Oleh karena itu, jumhur (mayoritas) para ulama dari kalangan Mālikiyyah, Syāfi'iyyah dan Hanābilah mereka mengatakan bahwa:

◆ Niat adalah syarat sahnya thahārah mandi seseorang.

Niat itu letaknya didalam hati, seseorang yang hendak mandi junub maka dia hendaknya meniatkan didalam dirinya untuk:

✓Melaksanakan thahārah mandi agar mengangkat hadats akbar yang ada pada dirinya, atau
✓Berniat melaksanakan mandi wajib, atau
✓Thahārah mandi untuk shalat.
✓Dan semisalnya.

Oleh karena itu tidak sah dan tidak cukup jika hanya berniat untuk mandi saja atau sekedar thahārah saja, tanpa ada niat untuk mengangkat hadats atau berniat agar bisa melaksanakan ibadah seperti shalat dan lainnya.

• SYARAT KEDUA

((و إزالة النجاسة إن كانت على بدنه))

((Dan menghilangkan najis yang ada pada dirinya))

Jika terdapat pada seseorang najis 'ayni (yaitu najis yang bisa dirasakan oleh panca indera) maka najis/kotoran tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu sebelum dia mandi.

✓Dan syarat kedua ini adalah ittifāq (kesepakatan) para imam madzhab.

• SYARAT KETIGA

((وإيصال الماء جميع الشعر والبشرة))

((Dan meratakan air ke seluruh rambut dan kulit))

Ini adalah wajib hukumnya baik mereka yang berambut tipis maupun berambut lebat harus diratakan semua.

Di sana ada pertanyaan;

● Pertanyaan:
Wajibkah di dalam mandi untuk menyela-nyela rambut ataukah cukup hanya mengguyur saja?"

● Jawaban:
Pendapat Syāfi'iyyah dan jumhur mayoritas para ulama, selain kalangan Mālikiyyah, bahwasanya menyela-nyela rambut adalah WAJIB.

◆ Dalil:
Hadits yang diriwayatkan oleh 'Ali radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, beliau berkata:

مَنْ تَرَكَ مَوْضِعَ شَعْرَةٍ مِنْ جَنَابَةٍ لَمْ يَغْسِلْهَا فُعِلَ بِهَا كَذَا وَكَذَا مِنْ النَّارِ

"Barangsiapa yang meninggalkan secuil dari rambutnya dari janābah dan tidak dicuci atau tidak dimandikan maka akan disiksa demikian demikian dari api neraka."
(HR Abū Dāwud dan Ibnu Mājah)

✓Namun yang benar, hadits di atas adalah hadits yang MAUQUF dan merupakan perkataan 'Ali dan bukan perkataan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

◆ Dalil yang lain yaitu:

⒜ Keumuman ayat

وَإِن كُنتُم ْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

Bahwasanya dalam ayat (surat Al-Maidah ayat 6) bermakna UMUM maka wajib meratakan ke seluruh badan termasuk kulit kepala.

⒝ Hadits 'Āisyah radhiyallāhu 'anhā yang menceritakan tentang tata cara wudhū' atau tata cara mandi Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Beliau mengatakan di dalam hadits tersebut:

يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِى الْمَاءِ ، فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ

"Beliau memasukkan jari-jarinya ke dalam air dan kemudian menyela-nyela rambutnya."
(HR Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316)

● Pertanyaan:
Seseorang wanita yang mengikat rambutnya dengan kepang, apakah wajib untuk melepas atau menguraikan rambutnya pada saat mandi wajib?

● Jawaban:
Untuk mandi, di sana ada 2 macam;

⑴ MANDI JANĀBAH

Untuk mandi janābah para ulama bersepakat bahwasanya tidak wajib mengurai rambut yang diikat karena disana ada masyaqqah (kesulitan) dan syari'at memberikan keringanan.

Dan juga disana ada dalil yang lain, berdasarkan hadits dari Ummu Salamah, beliau berkata kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:

إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِي فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ قَالَ : لَا إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِين

"Saya adalah wanita yang memiliki kepang yang sulit diurai, apakah harus saya urai untuk mandi junub?".

Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjawab:
"Tidak perlu, cukup engkau tuangkan diatas kepalamu 3 tuangan lalu guyurkan air pada badanmu maka engkau telah suci."
(HR Muslim No. 330)

⑵ MANDI WAJIB DISEBABKAN HĀIDH ATAU NIFĀS

Para ulama berselisih pendapat.

⒜ WAJIB

Bagi para ulama yang menyatakan wajib, hal itu disebabkan karena:
• Keumuman dalil-dalil yang ada.
• Haidh ataupun nifas terjadi tidak sesering seperti janābah.

⇒ Haidh 1 bulan sekali dan nifas bisa 1-3 tahun sekali.

Dan di dalam hadits Ummu Salamah hanya disebutkan perihal mandi junub dan tidak disebutkan tentang mandi hāidh.

⒝ TIDAK WAJIB

Adapun yang mengatakan bahwasanya tidak wajib untuk diurai, mereka berdalil juga dengan hadits Ummu Salamah dalam riwayat yang lain bahwasanya disana ada tambahan kalimat :

أَفَأَنْقُضُهُ لِلْحَيْضَةِ وَالْجَنَابَةِ؟ فَقَالَ لَا

"Apakah aku harus menguraikan rambut tersebut untuk mandi (yang disebabkan) haidh dan mandi (yang disebabkan) junub?".

Berkata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam: "Tidak"

⇒ Disana ada tambahan kata لِلْحَيْضَةِ.

Oleh karena itu, bagi yang mengatakan tidak wajib menyatakan bahwa:

◆ Baik pada mandi junub ataupun mandi karena haidh atau nifas adalah sama yaitu tidak wajib untuk mengurai rambutnya.

■ BAGIAN KEDUA | SUNNAH-SUNNAH MANDI

قال المصنف:
((وسننه خمسة أشياء))

((Dan sunnah-sunnah dalam mandi ada lima hal))

• PERTAMA

((التسمية))

((Membaca Basmalah/Bismillāh))

Membaca "Bismillāh" sebelum melakukan thahārah mandi sebagaimana yang sudah dijelaskan pada banyak tempat tentang masru'iyyahnya untuk membaca basmalah.

• KEDUA

((والوضوء قبله))

((Dan berwudhū' sebelum mandi))

Berdasarkan hadits 'Āisyah radhiyallāhu Ta'āla 'anhā yang menjelaskan tentang tata cara mandi Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam secara lengkap.

Beliau mengatakan:

كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه و سلم إِذَا اِغْتَسَلَ مِنْ اَلْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ, ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ, فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ, ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوْءَ هُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ يَأْخُذُ اَلْمَاءَ, فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ اَلشَّعْرِ, حَتَّى إِذَا رَأَى أنْ قَدْ إِسْتَبْرَأَ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ, ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ, ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ

"Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam apabila Beliau mandi junub (kata 'Āisyah radhiyallāhu 'anhā menceritakan), Beliau memulai dengan mencuci kedua tangannya.

Kemudian tangan kanannya menuangkan air kepada tangan kirinya.
Lalu Beliau mencuci kemaluan (yaitu dengan tangan kirinya tadi).
Kemudian Beliau berwudhū' seperti wudhū' untuk shalat. Lalu Beliau setelah itu mengambil air dan memasukkan jari-jari Beliau ke rambut bagian dalam.

Dan apabila Beliau merasa sudah merata maka Beliau tuangkan air ke kepalanya 3 kali tuangan.

Lalu Beliau mengguyur seluruh tubuhnya dan membasuh kakinya."
(HR Khamsah/Imam yang lima)

• KETIGA

((وإمرار اليد على الجسد))

((Mengusapkan tangan ke seluruh tubuh))
Tujuannya adalah memastikan bahwa air telah merata ke seluruh tubuhnya.

• KEEMPAT

((والموالاة))

((Berkesinambungan))
⇒ Yaitu antara satu kegiatan dengan kegiatan yang lain secara berkesinambungan.

• KELIMA

((و تقديم اليمنى على اليسرى))

((Mendahulukan bagian yang sebelah kanan dari bagian yang sebelah kiri))

Berdasarkan hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ التَّيَامُنَ فِي كُلِّ شَيْءٍ ، حَتَّى فِي وُضُوئِهِ وَانْتِعَالِهِ

"Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam suka mendahulukan bagian sebelah kanan dalam segala urusan sampai-sampai dalam urusan berwudhū' dan urusan memakai sandal."
(HR Bukhari dan Muslim)

Sampai disini halaqah kita yang ke-21 dan kita tutup dengan firman Allāh Ta'āla:

يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ

"Wahai manusia, sesungguhnya kalian itu sedang berjalan menuju Tuhanmu, niscaya kalian akan menemui Allāh Subhānahu wa Ta'āla."
(QS Al-Insyiqāq: 6)

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla memberikan kepada kita ats-tsabāt dan istiqāmah (keteguhan) di dalam beragama.

وصلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه أجمعين
و السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
____________

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 27 Syawwal 1440 H / 01 Juli 2019 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 22 | Mandi Yang Disunnahkan Di Dalam Syariat (Ghusl)
~~~~~~~~

(فصل) والاغتسالات المسنونة سبعة عشر غسلا غسل الجمعة والعيدين والاستسقاء والخسوف والكسوف والغسل من غسل الميت والكافر إذا أسلم والمجنون والمغمى عليه إذا أفاقا والغسل عند الإحرام ولدخول مكة وللوقوف بعرفة وللمبيت بمزدلفة ولرمي الجمار الثلاث وللطواف.

Mandi mandi yang disunnahkan ada 17 keadaan yaitu: mandi untuk Jum’at, 2 (dua) hari raya, shalat minta hujan (istisqa’), gerhana bulan, gerhana matahari, setelah memandikan mayit, orang kafir apabila masuk Islam, orang gila dan ayan (epilepsi) apabila sembuah, saat akan ihram, akan masuk Makkah, wukuf di Arafah, mabit (menginap) di Muzdalifah, melempar Jumrah yang tiga, tawaf. (Fiqh AtTaqrib Matan Abi Syuja')
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

MANDI YANG DISUNNAHKAN DI DALAM SYARI'AT (GHUSL)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد.

Para Sahabat penuntut ilmu yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada halaqah yang ke-22 ini kita akan memasuki pembahasan tentang "Mandi Yang Disunnahkan Di Dalam Syari'at"

قال المصنف رحمه الله :
((والاغتسالات المسنونة سبعة عشر غسلا))

((Dan mandi-mandi yang disyari'atkan (disunnahkan) ada 17 macam))

Namun yang disebutkan oleh Penulis disini hanya ada 16 saja, wallāhu a'lam.

● ⑴

((غسل الجمعة))

((Mandi untuk shalat Jum'at))

Bagi seseorang yang akan berangkat untuk shalat Jum'at maka disunnahkan untuk mandi. Dan ini adalah pendapat jumhur pendapat Syāfi'i yang mengatakan bahwa hukumnya adalah sunnah. Adapun pendapat ulama zhāhiriyyah mengatakan hukumnya adalah wajib berdasarkan hadits Riwayat Muslim.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

مَنْ أَتَى مِنْكُمْ الْجُمُعَة فَلْيَغْتَسِلْ

"Barangsiapa yang hendak datang untuk menunaikan shalat Jum'at maka mandilah." (HR Muslim)

Dan di dalam hadits tersebut ada kalimat perintah dan kalimat perintah menunjukkan bahwasanya hukumnya adalah wajib.

Namun pendapat jumhur adalah pendapat yang rajih (benar) karena di sana ada dalil-dalil yang lain yang memalingkan makna perintah tadi dari wajib menjadi sunnah. Diantaranya adalah sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:

مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَهُوَ أَفْضَلُ

"Barangsiapa yang berwudhū' di hari Jum'at, maka sudah cukup dan barang siapa yang mandi maka itu lebih baik." (HR. Ash-hābus Sunān dan dihasankan oleh Imam Tirmidzi)

● ⑵ & ⑶
((والعيدين))

((Mandi untuk shalat dua 'Īd: 'Īdul Fithri & 'Īdul Adha))

Berkata Imam Nawawi di dalam Majmū' Syarh Al-Muhadzdzab:

وقال الشافعيّ وأصحابه: يستحب الغسل في العيدين، وهذا لا خلاف فيه والمعتمد فيه أثر ابن عمر، والقياس على الجمعة

Berkata Imām Syāfi'i dan Ash-hāb: "Disunnahkan untuk mandi untuk kedua shalat 'id dan ini tidak ada perbedaan pendapat didalamnya dan yang menjadi sandaran dalam masalah itu adalah contoh perbuatan Ibnu 'Umar juga qiyās terhadap shalat Jum'at."

● ⑷

((والإستسقاء))

((Mandi untuk shalat istisqa/shalat untuk meminta hujan))

Dan ini dalilnya adalah qiyās atau disamakan dengan dalil shalat Jum'at (qiyās terhadap shalat Jum'at. Dan merupakan moment (saat-saat) berkumpulnya manusia disatu tempat, oleh karena itu disunnahkan untuk mandi.

● ⑸

((والخسوف))

((Mandi untuk melaksanakan shalat khusūf/gerhana bulan))

● ⑹

((والكسوف))

((Mandi untuk melaksanakan shalat kusūf/gerhana matahari))

Dalilnya pun sama yaitu qiyās terhadap shalat Jum'at dan juga tempat berkumpulnya manusia, oleh karena itu disunnahkan untuk mandi.

● ⑺

((والغسل من غسل الميت))

((Mandi karena memandikan mayyit))

Dalil: Sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:

مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

"Barangsiapa yang memandikan mayit, maka mandilah. Dan barangsiapa yang mengusung mayat, maka berwudhū'lah." (HR Abū Dāwud, Tirmidzi dan beliau menghasankan hadits ini)

⇒ Dan perintah disitu maksudnya adalah sunnah sebagaimana diterangkan (dijelaskan) atau ada qarāin dari hadits yang lain yang menunjukkan bahwasanya perintah disana bukan bermaksud wajib namun bermaksud sunnah.

● ⑻

((والكافر إذا أسلم))

((Orang kafir apabila masuk Islam))

Maka disunnahkan untuk mandi, berdasarkan hadits Qays bin 'Āshim, beliau berkata:

أَنَّهُ أَسْلَمَ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ

"Qays bin 'Āshim masuk Islam, kemudian Nabi Shallallāhu 'Alayhi wa Sallam menyuruhnya untuk mandi dengan air dan daun sidr (daun bidara)." (HR Ash-hābus Sunān dengan sanad yang hasan)

● ⑼

((والمجنون))

((Orang yang gila lalu kemudian tersadar))

● ⑽

((والمغمى عليه إذا أفاقا))

((Orang yang pingsan yang kemudian siuman))

Maka disunnahkan bagi keduanya untuk mandi. Dan keduanya disamakan hukumnya karena sama-sama hilang akalnya. Dan ini berdasarkan hadits 'Āisyah radhiyallāhu Ta'āla 'anhā didalam Riwayat Bukhāri dan Muslim yang menceritakan tentang manakala Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam sakit di akhir hayat Beliau. Kemudian Beliau pingsan dan manakala siuman Beliau meminta air untuk mandi.

● ⑾

((والغسل عند الإحرام))

((Mandi manakala akan mulai ihram))

Berdasarkan hadits dari Zayd bin Tsābit beliau berkata:

رَأَيْتُ رَسُوْلَ الله َّ-صلى الله عليه وسلم- تَجَرَّدَ لإِهْلاَلِهِ فَاغْتَسَلَ

"Saya melihat Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melepaskan pakaiannya untuk memulai ihram dan Beliau mandi." (HR Tirmidzi dan beliau menghasankan)

● ⑿

((و لدخول مكة))

((Mandi karena masuk ke dalam Mekkah))

Berdasarkan perbuatan Ibnu 'Umar dan beliau menyebutkan bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melakukan hal itu. (HR Al-Khamsah kecuali Imam Tirmidzi)

● ⒀

((وللوقوف بعرفة))

((Mandi karena wuqūf di 'Arafah))

Dan inipun berdasarkan perbuatan Ibnu 'Umar dan juga diqiyaskan bahwasanya hal ini adalah tempat berkumpulnya manusia, oleh karena itu disunnahkan untuk mandi.

● ⒁

((للمبيت بمزدلفة))

((Mandi karena mabit di Muzdalifah))

● ⒂

((ولرمى الجمار الثلاث))

((Mandi karena melempar jumrah yang tiga))

Dalilnya adalah qiyās bahwasanya ini adalah tempat berkumpulnya manusia di dalam ibadah.

● ⒃

((وللطواف))

((Mandi untuk melaksanakan thawāf))

Yang dimaksud disini oleh Penulis adalah seluruh thawāf (baik thawāf qudūm, thawāf ifādhah dan thawāf yang lainnya).

Ini adalah pendapat Imam Syāfi'i dalam Qawlul Qadīm (pendapat Beliau yang lama), yang mana mengatakan bahwasanya: "Mandi untuk thawāf adalah sunnah."

Namun pendapat beliau yang baru dalam Qawlul Jadīd bahwasanya: "Tidak disunnahkan mandi untuk thawāf." Berdasarkan hadits 'Āisyah radhiyallāhu Ta'āla 'anhā beliau mengatakan:

أن النَّبِيَّ صلى اله عليه وسلم أَوَّلَ شَيْءٍ بَدَأَ بِهِ حِينَ قَدِمَ مَكَّةَ أَنَّهُ تَوَضَّأَ ثُمَّ طَافَ بِالْبَيْتِ (رواه الشيخان)

"Bahwasanya hal pertama yang dilakukan oleh Nabi Shallallāhu 'Alayhi wa Sallam tatkala masuk ke dalam Mekkah adalah Beliau berwudhū' kemudian thawāf di Ka'bah."

Demikian yang bisa kita sampaikan dalam pasal ini.

Kita tutup dengan wasiat dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Dari Abī Sa'īd Al-Khudriy radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا, فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ؟ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا, وَاتَّقُوا النِّسَاءَ, فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ, كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

"Bahwasanya dunia adalah manis dan hijau (indah) dan sesungguhnya Allāh Subhānahu wa Ta'āla akan jadikan kalian untuk mewarisinya (menggantikan satu orang dari orang-orang sebelumnya), maka Allāh Subhānahu wa Ta'āla akan melihat apa yang akan kalian lakukan?

Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan berhati-hatilah kalian dari fitnah para wanita karena sesungguhnya awal terjadinya fitnah (musibah) dikalangan Bani Isrāil adalah pada wanita." (HR. Muslim)

Oleh karena itu, Para Sahabat sekalian, semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla menjadikan kita sebagai orang-orang yang tidak tertipu dengan gemerlapnya kehidupan dunia dan dengan tipuan dunia.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla menjadikan kita orang-orang yang senantiasa istiqamah untuk kemudian menghadap Allāh dalam keadaan yang selamat.

و صلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه و سلم
____________

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 28 Syawwal 1440 H / 02 Juli 2019 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 23 | Mengusap Kedua Khuf
~~~~~

(فصل) والمسح على الخفين جائز بثلاث شرائط أن يبتدئ لبسهما بعد كمال الطهارة وأن يكونا ساترين لمحل الفرض من القدمين وأن يكونا مما يمكن تتابع المشي عليهما ويمسح المقيم يوما وليلة والمسافر ثلاثة أيام بلياليهن وابتداء المدة من حين يحدث بعد لبس الخفين فإن مسح في الحضر ثم سافر أو مسح في السفر ثم أقام أتم مسح مقيم.ويبطل المسح بثلاثة أشياء بخلعهما وانقضاء المدة وما يوجب الغسل.

Mengusap khuf (kaus kaki khusus) itu boleh dengan 3 (tiga) syarat:
⑴ Memakai khuf setelah suci dari hadats kecil dan hadats besar.
⑵ Khuf (kaus kaki) menutupi mata kaki .
⑶ Dapat dipakai untuk berjalan.

Orang mukim dapat memakai khuf selama satu hari satu malam (24 jam). Sedangkan musafir selama 3 (tiga) hari 3 malam.

Masanya dihitung dari saat hadats (kecil) setelah memakai khuf. Apabila memakai khuf di rumah kemudian bepergian atau mengusap khuf di perjalanan kemudian mukim maka dianggap mengusap khuf untuk mukim.

Mengusap khuf batal oleh 3 (tiga) hal: ⑴ Melepasnya, ⑵ Habisnya masa, ⑶ Hadats besar.

(Fiqh AtTaqrib Matan Abū Syujā')
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

MENGUSAP KEDUA KHUF

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد.

Para Sahabat yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada halaqah yang ke-23 ini kita akan memasuki pembahasan tentang mengusap kedua khuf dan yang semakna dengan khuf (seperti kaus kaki maupun sepatu).

APA YANG DIMAKSUD DENGAN AL-KHUF?

Al-khuf adalah bentuknya seperti kaus kaki namun dia terbuat dari kulit yang tebal dan berfungsi sebagai penutup dan pelindung kaki. Dan terkadang sampai pertengahan betis ataupun dibawah itu.

Dan yang semakna dengan khuf tadi adalah al-jawrāb (kaus kaki) yang terbuat dari kain katun atau kaus atau semisalnya. Dan juga termasuk makna dari khuf adalah sepatu.

Dan kita akan membagi pembahasan ini menjadi beberapa pembahasan.

■ PEMBAHASAN PERTAMA | HUKUM MENGUSAP KHUF ATAU YANG SEMAKNA DENGANNYA

قال المصنف:
((والمسح على الخفين جائز))

((Dan mengusap kedua khuf (atau yang semakna) adalah boleh))

Mengusap kedua khuf ini adalah sebagai ganti dari mencuci kaki tatkala seseorang berwudhū'.

Dan ini adalah pendapat Asy-Syāfi'iyyah, para ulama madzhab dan juga keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jamā'ah, bahkan dikatakan ini adalah ijmā'.

Yang menyelisihi pendapat ini adalah kelompok yang sesat yang menyimpang dari agama yaitu kelompok Syi'ah dan kelompok Khawārij yang menyatakan bahwa mengusap khuf atau yang sejenisnya adalah mutlak dilarang.

Pendapat mereka ini bertentangan dengan petunjuk Nabi Shallallāhu 'Alayhi wa Sallam, diantaranya dalam hadits Jābir radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, beliau menceritakan:

أنَّه رأى النبيَّ صلَّى الله عليه وسلَّمَ يَمسحُ على الخُفَّينِ

"Bahwasanya beliau melihat Nabi Shallallāhu 'Alayhi wa Sallam mengusap kedua khufnya." (HR Muslim)

Begitu pula hadits 'Ali radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, beliau berkata:

لَوْ كان الدِّينُ بالرأي لكان أسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهِ...

"Seandainya agama ini adalah dengan akal saja maka bagian bawah dari khuf (sepatu) itu lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya..."

Kenapa? Karena bagian bawahlah bagian yang kotor, kenapa yang diusap bagian atasnya?

Akan tetapi agama ini adalah dengan dalil dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Oleh karena itu, kata beliau:

... وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ

"...Dan sungguh saya melihat Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, beliau mengusap bagian atas dari kedua khufnya."

(HR Abū Dāwūd dan Dāruquthni dan sanadnya dishahīhkan oleh Syaikh Al-Albāniy)

■ PEMBAHASAN KEDUA | SYARAT DIPERBOLEHKANNYA SESEORANG UNTUK MENGUSAP KEDUA KHUFNYA

قال المصنف:
((بثلاث شروط))

((Dengan memenuhi 3 syarat))

Disini Penulis menyebutkan 3 syarat dan disana ada syarat-syarat yang lainnya, diantaranya bahwasanya:

✓Khuf/kaus kaki/sepatu yang digunakan itu terbuat dari bahan yang suci.

Kita akan sebutkan syarat yang disebutkan oleh Mushannif.

● SYARAT ⑴

((أن يبتدئ لبسهما بعد كمال الطهارة))

((Memakai 2 khuf setelah sempurna dari thahārah/berwudhū'))

Seseorang setelah selesai berwudhū' kemudian memakai khufnya maka dia diperbolehkan untuk mengusap khufnya apabila nanti batal kemudian berwudhū', karena dia memakai khufnya dalam keadaan suci.

Dan ini sebagaimana yang disebutkan hadits Mughīrah bin Syu'bah, beliau mengatakan:

سكبت لرسول الله صلى الله عليه وسلم الوضوء فلما انتهيت إلى الخفين أهويت لأنزعهما فقال دعهما فإني أدخلتهما طاهرتان فمسح عليهما

"Saya menuangkan air dari bejana kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam untuk berwudhū'.

Manakala sampai pada bagian kedua khufnya, sayapun membungkuk hendak melepaskan keduanya.

Maka Beliaupun bersabda: "Tinggalkanlah keduanya (maksudnya jangan dilepas) karena saya memasukkan kedua kaki tersebut dalam keadaan suci." (HR Al-Khamsah)

● SYARAT ⑵

((وأن يكونا ساترين لمحل الفرض من القدمين))

((Dan harus menutup bagian kaki yang wajib dicuci))

⇒ Ini adalah pendapat Syāfi'iyyah dan kesepakatan dari pada aimmah madzhab bahwasanya khuf (atau yang semakna) yang dipakai maka dia harus menutupi sampai mata kaki, karena bagian yang wajib dicuci adalah sampai mata kaki.

Dan pendapat yang ke-2 mengatakan bahwasanya:

◆ Tidak harus sampai menutupi mata kaki, seperti sepatu yang dipakai tidak sampai menutupi mata kaki, minimal adalah sebagian besar menutupi kakinya.

⇒ Ini adalah pendapat Ibnu Hazm yang dipilih oleh Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahumallāh.

● SYARAT ⑶

((وأن يكونا مما يمكن تتابع المشي عليهما))

((Kedua khuf ini bisa dipakai berjalan diatasnya))

Yaitu dibuat dari bahan yang bisa dipakai untuk berjalan diatasnya seperti kulit, kain yang kuat atau yang semisalnya.

Apabila dibuat dari bahan yang akan tercabik-cabik (robek) tatkala diusap maka tidak diperkenankan untuk mengusap khuf tadi.

■ PEMBAHASAN KETIGA | WAKTU YANG DIPERBOLEHKAN UNTUK MENGUSAP KHUF (ATAU YANG SEMAKNA DENGAN KHUF)

قال المصنف:
((و يمسح المقيم يوما و ليلة و المسافر ثلاثة أيام بلياليهن))

((Orang yang muqim/tinggal/menetap dia diberi rukshah untuk mengusap selama 1 hari 1 malam. Sedangkan untuk musafir/orang yang bepergian dia diberi rukshah selama 3 hari 3 malam))

Ini pendapat Syāfi'iyyah dan jumhur mayoritas ulama kecuali Malikiyyah.

Dalil jumhur bahwasanya disana ada hadits 'Ali radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, beliau berkata:

جَعَلَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ ، وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ

"Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menetapkan waktu untuk mengusap bagi orang-orang yang safar (orang yang bepergian/musafir) selama 3 hari 3 malam. Dan untuk orang-orang yang tinggal (menetap) diberi rukshah 1 hari 1 malam." (HR Muslim)

■ PEMBAHASAN KEEMPAT | KAPAN MULAI DIHITUNG WAKTU UNTUK MENGUSAP KHUF TERSEBUT?

قال المصنف:
((وابتداء المدة من حين يحدث بعد لبس الخفين))

((Waktu untuk mengusap mulai terhitung yaitu pada saat hadats yang pertama kali setelah menggunakan kedua khuf tadi))

Jadi misalnya, seseorang berwudhū' dan memakai khuf/kaus kaki/sepatu pada jam 1 siang setelah dzuhur, kemudian dia berhadats pada jam 4 sore maka waktu rukshah terhitung dari jam 4 sore tadi.

Ini adalah pendapat Syāfi'iyyah, Hanafiyyah dan riwayat yang masuk dari Hanabilah.

◆ Dan disana ada pendapat ke-2 yang merupakan pendapat yang rajih dan kuat adalah terhitung sejak awal bersuci setelah hadats yang pertama.

Misal contoh diatas (contoh sebelumnya);

• Dia batal pada jam 4 sore.
⇒ Ini adalah hadats yang pertama setelah memakai khufnya

• Kemudian bersuci jam 6 sore.
⇒ Ini adalah dia berwudhū' yang pertama kali

Maka yang terhitung adalah yang jam 6 sore.

Pendapat ini dipilih oleh Ibnul Mundzir dan Imām Nawawi Asy-Syāfi'i, Syaikh Bin Bāz dan Syaikh 'Utsaimin.

Dalilnya adalah suatu riwayat dari Abi 'Utsman An-Nahdiy, beliau mengatakan:

حَضَرْتُ سَعْدًا , وَابْنَ عُمَرَ , يَخْتَصِمَانِ إِلَى عُمَرَ فِي الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ ، فَقَالَ عُمَرُ : يَمْسَحُ فَقَالَ عُمَرُ : " يَمْسَحُ عَلَيْهِمَا إِلَى مِثْلِ سَاعَتِهِ مِنْ يَوْمِهِ وَلَيْلَتِهِ"

"Saya menghadiri tatkala Sa'dan dan Ibnu 'Umar berselisih pada masalah mengusap kedua khuf (dan dan bertahqin kepada 'Umar).

Maka 'Umarpun mengatakan: "Hendaknya dia mengusap keduanya dihitung sehari semalam seperti waktu dia mengusapnya." (HR 'Abdurazzāq dalam Mushannaf dan dishahīhkan oleh Syaikh Al-Albani).

Kemudian Penulis mengatakan:

((فإن مسح في الحضر ثم سافر، أو مسح في السفر ثم أقام، أتم مسح مقيم))

((Didalam madzhab Syāfi'i, di dalam 2 keadaan: ⑴ Jika dia mengusap pada saat muqim/tinggal kemudian safar/bepergian, atau ⑵ Mengusap pada saat safar kemudian dia muqim/tinggal))

Maka (kata beliau) yang berlaku adalah rukshah mengusap bagi orang yang muqim atau hanya 1 hari 1 malam saja.

Ini adalah pendapat Syāfi'iyyah didalam 2 keadaan.

Namun untuk keadaan yang pertama, yang rājih dan dipilih oleh Syaikh 'Utsaimin adalah:

◆ Tetap berlaku rukshah mengusap untuk musafir karena predikat yang melekat pada dia adalah predikat seorang musafir, maka berlaku pada dia adalah semua yang berlaku pada orang-orang yang safar.

■ PEMBAHASAN KELIMA | PEMBATAL-PEMBATAL DARI RUKSHAH UNTUK MENGUSAP 2 KHUF

((و يبطل المسح بثلاثة أشياء))

((Dan hukum mengusap kedua khuf ini dia batal dengan 3 macam hal))

• Pembatal ⑴

((بخلعهما))

((Dengan melepas 2 khuf/kaus kaki/sepatunya))

Maka secara otomatis rukshah untuk mengusap 2 khuf tadi adalah batal.

• Pembatal ⑵

((وانقضاء المدة))

((Waktunya sudah habis))
⇒ Untuk yang muqim 1 hari 1 malam.
⇒ Untuk yang musafir 3 hari 3 malam.

• Pembatal ⑶

((وما يوجب الغسل))

((Dan hal-hal yang mewajibkan untuk mandi))

Jika terdapat halangan ini maka dia batal rukshah untuk mengusap kedua khufnya.

Berdasarkan sebuah hadits:

كَانَ رسول الله صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُنَا إذَا كُنّا مُسَافِرِيْنَ أَنْ نَمْسَحَ عَلَى خِفَافنَا وَلَا نَنْزِعَهَا ثَلاثةَ أَيّامٍ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ إِلِّا مِنْ جَنَابَةِ (رواه النساعي و ترمذي بسند صحيح)

"Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkan kami, apabila kami dalam keadaan safar (bepergian) untuk mengusap khuf-khuf kami dan tidak melepasnya selama 3 hari walaupun buang air besar, buang air kecil maupun dari tidur kecuali apabila junub*." (HR Nasā'i, Tirmidzi dengan sanad yang shahīh).

*Apabila junub maka seseorang melepaskannya dan kemudian dia bersuci.

Demikian yang bisa kita sampaikan.

و صلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه و سلم
وآخر دعونا عن الحمد لله رب العلمين
____________

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 29 Syawwal 1440 H / 03 Juli 2019 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 24 | Tayammum (Bagian 1)
➖➖➖➖➖➖➖
TAYAMMUM (BAGIAN 1)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد.

Para Sahabat penuntut ilmu yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada halaqah yang ke-24 ini, pada matan Abū Syujā' kita akan memasuki pembahasan tentang "Tayammum" dan kita akan jadikan beberapa point:

PERTAMA | APA YANG DIMAKSUD DENGAN TAYAMMUM?

Tayammum (التيمم) ;

• Secara bahasa maknanya adalah القصد (al-qashdu: maksud/yang dituju) dan الطلب (ath-thalab: mencari)

• Secara istilah adalah:

القصد إلى الصعيد ومسح الوجه واليدين به على صفة مخصوصة بشرائط مخصوصة بديلاً عن الوضوء أو الغسل

"Bermaksud atau menuju atau menggunakan ash-sha'īd dan mengusap wajah & kedua tangan dengannya (ash-sha'īd tersebut) dengan cara yang khusus dengan syarat-syarat yang khusus juga, yang dia adalah sebagai thaharah pengganti dari wudhū' maupun mandi.

⇒ Ash-sha'īd ditafsirkan oleh para ulama dengan makna التراب الطهور (at-turāb ath-thahūr: tanah yang suci). Atau sebagian ulama mengatakan ash-sha'īd adalah:

كل ما صعد على الارض

"Semua yang muncul ke permukaan bumi."

■ KEDUA | DALIL-DALIL DISYARI'ATKANNYA TAYAMMUM

⑴ AL-QURĀN

Allāh Ta'āla berfirman:

فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

"Apabila kalian tidak mendapati air maka bertayammumlah dengan tanah yang suci." (QS An-Nisā: 43)

⑵ HADITS RASŪLULLĀH SHALLALLĀHU 'ALAYHI WA SALLAM

Diriwayatkan oleh Hudzaifah radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

وَ جُعِلَتْ لَنَا الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدًا وَجُعِلَتْ لَنَاتُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ

"Dan dijadikan untuk kami bumi seluruhnya adalah masjid dan dijadikan untuk kami tanahnya suci & mensucikan jika kami tidak mendapatkan air." (HR Muslim)

⑶ IJMA' PARA ULAMA

⇒ Bahwasanya tayammum adalah disyari'atkan di dalam Islam.

■ KETIGA | HIKMAH DISYARI'ATKANNYA TAYAMMUM

Bahwasanya dia adalah rahmat (kasih sayang) dari Allāh Subhānahu wa Ta'āla terhadap kaum muslimin dengan memberikan kemudahan berupa disyari'atkannya tayammum.

Allāh Ta'āla berfirman:

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

"Dan Allāh tidak menghendaki kesulitan bagi kalian, justru Allāh Subhānahu wa Ta'āla menghendaki untuk kalian agar membersihkan kalian serta menyempurnakan nikmatnya agar kalian bersyukur." (QS Al-Māidah: 6)

■ KEEMPAT | SYARAT DIPERBOLEHKANNYA TAYAMMUM

قال المصنف:
((و شرائط التيمم خمسة أشيآء))

((Dan syarat-syarat tayammum ada 5 perkara))

• SYARAT ⑴

((وجود العذر بسفر أو مرض))

((Adanya udzur/alasan disebabkan Shafar/bepergian atau disebabkan penyakit))

⇒ Disini ada dhābith (ketentuan) bolehnya seseorang bertayammum, diantaranya:

❶ Al-'Ajz  (العجز)

Yaitu ketidakmampuan dalam menggunakan air, apakah karena tidak bisa menggunakan air atau dikhawatirkan dalam menggunakan air tersebut akan menyebabkan kemudharatan yang lebih besar.

❷ Al-Faqdu (الفقد)

فقدان الماء

"Tidak mendapatkan air sama sekali."

Diantara sebab al-'ajz (ketidakmampuan) tersebut diantaranya adalah Shafar (bepergian) dan sakit, sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مِّنكُم مِّن الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ...

"Dan apabila kalian dalam keadaan sakit atau dalam keadaaan Shafar dan kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah... "(QS An-Nisā: 43)

⇒ Ibnu 'Abbas radhiyallāhu Ta'āla 'anhu menafsirkan ayat ini bahwasanya: "Jika kalian sakit maka bertayammumlah dan jika kalian dalam keadaan Shafar dan tidak mendapatkan air maka bertayammumlah."

• SYARAT ⑵

((ودخول وقت الصلاة))

((Dan masuknya waktu shalat))

Firman Allāh Ta'āla:

إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ

"Apabila kalian akan mendirikan shalat maka cucilah wajah-wajah kalian." (QS Al-Māidah: 6)

Oleh karena itu diperintahkannya untuk thahārah pada saat masuk waktu shalat.

Adapun wudhū' maka disana terdapat dalil yang lain yang MENGECUALIKAN bahwasanya wudhū' diperbolehkan sebelum masuk waktu shalat. Sedangkan tayammum, maka dia tetap pada kaidah asal yaitu dilakukan pada saat masuk waktu shalat.

Oleh karena itu disyaratkan pada tayammum adalah masuknya waktu shalat.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

وجعلت لي الأرض مسجدا وطهورا أينما أدركتني الصلاة تيممت وصليت

"Dan dijadikan bumi ini sebagai masjid yang dia adalah suci, dimana saja shalat mendapati saya maka saya bertayammum dan saya shalat." (HR Ahmad)

⇒ Dan disini kita melihat bahwa Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bertayammum pada saat shalat mendapati Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Kemudian kata para ulama bahwasanya tayammum juga dia adalah thahārah yang disebabkan oleh sesuatu yang darurat dan darurat itu dimulai pada saat waktu shalat sudah masuk.

• SYARAT ⑶

((وطلب الماء))

((Mencari air))

⇒ Maksudnya pada saat tidak mendapatkan air dan setelah berusaha sungguh-sungguh untuk mencari air dan tidak mendapatkannya maka diperbolehkan untuk bertayammum.

• SYARAT ⑷

((و تعذر استعماله إعوازه بعد الطلب))

((Tidak bisa menggunakan air disebabkan kebutuhan akan air setelah mencari air tersebut))

Apabila seseorang mencari dan mendapatkan air tidak melebihi dari kebutuhan yang darurat seperti untuk minum, untuk menyelamatkan hidupnya dan lain sebagainya, maka diperbolehkan dia untuk tidak menggunakan air yang dia butuh padanya, untuk beralih kepada tayammum.

• SYARAT ⑸

((والتراب الطاهر الذي له غبار فإن خالطه جص أو رمل لم يجز))

((Tanah yang suci yang memiliki debu, apabila bercampur dengan semen/plester atau bercampur dengan kerikil maka tidak sah))

Ini adalah pendapat madzhab Syāfi'iyyah bahwasanya disyaratkan tanah suci yang memiliki debu.

Ada beberapa pembahasan yang akan kita tambahkan:

● PEMBAHASAN PERTAMA | HUKUM TAYAMMUM MENGGUNAKAN TANAH

Ini diperbolehkan secara umum oleh para ulama. Dalilnya adalah:

⑴ Firman Allāh Ta'āla:

فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

"Dan bertayammumlah dengan sha'īd yang baik." (QS An-Nisā: 43)

⇒ Makna ash-sha'īd disini lebih utama untuk ditafsirkan/diterjemahkan sebagai ath-thurāb (tanah).

⑵ Hadits Hudzaifah radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

فُضِّلْنا عَلَى النَّاسِ بِثَلاثٍ : جُعِلَتْ صُفُوفُنَا كَصُفُوفِ الْمَلائِكَةِ ، وَ جُعِلَتْ لَنَا الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدًا ، وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ

"Kami diutamakan atas manusia (umat yang lain) dengan 3 hal; dijadikan shaf-shaf kami seperti shaf malaikat, dijadikan untuk kami bahwa semua permukaan bumi adalah masjid, dijadikan untuk kami tanahnya suci dan mensucikan apabila tidak mendapatkan air." (HR Muslim)

● PEMBAHASAN KEDUA | HUKUM TAYAMMUM DENGAN MENGGUNAKAN SELAIN TANAH

Para ulama berbeda pendapat pada masalah tayammum dengan selain tanah.

✓PENDAPAT PERTAMA

Bahwasanya tayammum dengan selain tanah tidak boleh dan tidak sah.

Dan ini adalah madzhab Syāfi'iyyah dan Hanābilah dan salah satu riwayat dari Mālikiyyah.

Dalilnya adalah firman Allāh Ta'āla:

فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

(QS An-Nisā: 43)

⇒ Maknanya adalah bahwasanya ash-sha'īd adalah tanah yang memiliki debu dan dikuatkan dengan hadits Hudzaifah radhiyallāhu Ta'āla 'anhu bahwasanya disebutkan dalam hadits tersebut:

وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا

"Dan dijadikan tanahnya bagi kami adalah suci dan mensucikan."

⇒ Disebutkan dalam hadits tersebut makna kalimat "ath-thurāb" secara teks redaksinya. Oleh karena itu yang dimaksudkan ash-sha'īd adalah ath-thurāb.

✓PENDAPAT KEDUA

Diperbolehkan untuk bertayammum dengan seluruh bagian (unsur) bumi yang muncul ke permukaan seperti tanah, kerikil, keramik, batu, batu yang licin dan sebagainya.

Ini adalah madzhab Hanafiyyah, Mālikiyyah dan pendapat yang dipilih oleh Imām Ath-Thabariy, Imām Ibn Hazm, Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah, Syaikh Bin Bāz, Syaikh Al-Albaniy dan Syaikh 'Utsaimin.

Dalilnya adalah:

⑴ Firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

"Dan bertayammumlah dengan sha'īd yang baik." (QS An-Nisā: 43)

⇒ Makna ash-sha'īd disini diambil dari kalimat ash-shu'ūd dan maknanya adalah al-'uluw (tinggi/muncul).

Jadi seluruh unsur bumi yang muncul dipermukaan bumi maka bisa dikatakan sebagai ash-sha'īd yang diperbolehkan untuk tayammum.

⑵ Hadits dari Jābir radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

وجعلت لي الأرض مسجدا و طهورا

"Dan dijadikan bagi saya seluruh permukaan bumi adalah sebagai masjid dan sebagai sesuatu yang suci dan mensucikan." (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa setiap tempat yang diperbolehkan diatasnya shalat maka dia diperbolehkan untuk tayammum dengannya.

⑶ Hadits Abū Juhaym Al-Haritsi Ibn Shammah Al-Anshāriy.

أَبِي جُهَيْمِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ الصِّمَّةِ الْأَنْصَارِيِّ فَقَالَ أَبُو الْجُهَيْمِ الْأَنْصَارِيُّ أَقْبَلَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى الْجِدَارِ فَمَسَحَ بِوَجْهِهِ وَيَدَيْهِ ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ

Abu Juhaym Ibn Hārits Al-Anshāriy berkata: Nabi Shallallāhu 'Alayhi wa Sallam menghadap ke salah satu sisi dari sumur Jamal kemudian seorang laki-laki bertemu Beliau dan mengucapkan salam kepada Beliau namun Nabi Shallallāhu 'Alayhi wa Sallam tidak menjawab salam sampai beliau menghadap kepada tembok kemudian mengusap wajahnya dan kedua tangannya dengan tembok tersebut kemudian Beliau baru menjawab salam orang tadi." (HR Bukhari dan Muslim)

Ini menunjukkan bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bertayammum dengan selain tanah yaitu dengan tembok dan ini adalah pendapat yang lebih kuat.

و الله تعالى أعلم
وصلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه و سلم
و آخر دعونا أن الحمد لله رب العلمين
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
----------------------------------

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 18 Dzulhijjah 1440 H / 19 Agustus 2019 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.
📗 Matan Abū Syujā' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 25 | Tayammum (Bagian 2)
~~~~~~~~~~~~~
TAYAMMUM (BAGIAN 2)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Para Sahabat Bimbingan Islam yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada halaqah yang ke-25 ini kita akan lanjutkan pembahasan tentang Tayammum.

■ PEMBAHASAN PERTAMA | Tentang syarat-syarat diperbolehkannya untuk seseorang tayammum

Dan sudah dijelaskan pada halaqah sebelumnya.

■ PEMBAHASAN KEDUA | Tentang perkara yang wajib di dalam tayammum (Furūdhut Tayammum)

قال المصنف:
((وفرائضه أربعة أشياء))

((Dan kewajiban-kewajiban di dalam tayammum ada 4 macam))

● KEWAJIBAN KE ⑴

((النية))

((Niat))

Tidak sah tayammum tanpa niat.

⇒ Ini adalah kesepakatan para Imam Madzhab dan dikatakan bahwa ini adalah ijmā' berdasarkan hadits.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

"Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu tergantung pada niatnya." (Muttafaqun 'alayh, hadits Bukhari Muslim)

Dan tayammum adalah termasuk jenis ibadah yang membutuhkan untuk niat sehingga niat adalah salah satu kewajiban didalam tayammum.

Niat seorang yang bertayammum adalah agar diperbolehkan untuk melaksanakan shalat. Dan tayammum adalah badal (pengganti) dari wudhū'.

● KEWAJIBAN KE ⑵

((ومسح الوجه))

((Dan mengusap wajah))

Dengan debu dan tanah.

⇒ Ini adalah ijmā', sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnu Qudāmah dan Ibnu Rajab.

Mengusap wajah sebagaimana yang dilakukan pada saat berwudhū' yaitu pada area wajah, dan batas-batasannya sudah pernah kita jelaskan sebelumnya.

● KEWAJIBAN KE ⑶

((و مسح اليدين مع المرفقين))

((Dan mengusap kedua tangan sampai kedua siku))

Pada pembahasan ini ada 3 point;

• POINT PERTAMA | MENGUSAP KEDUA TANGAN

Dikatakan ini adalah ijmā' oleh Ibnu Qudāmah dan Ibnu Rajab.

• POINT KEDUA | APAKAH MENGUSAP TANGAN HARUS SAMPAI SIKU ATAUKAH CUKUP PADA PERGELANGAN TANGAN SAJA?

Pendapat Syāfi'īyyah dan Hanafiyyah bahwasanya adalah wajib sampai kedua siku.

Berdasarkan:

• ⑴ Perbuatan para shāhabat
• ⑵ Sisi pendalilan bahwasanya tayammum adalah pengganti wudhū', manakala seseorang berwudhū' sampai siku maka tayammum sebagai penggantinya pun sampai siku.

Dan pendapat yang lain adalah pendapat Hanabilah dan Malikiyyah bahwasanya mengusap tangan pada saat tayammum hanya sampai pada pergelangan tangan saja, berdasarkan hadits 'Ammar bin Yāsir radhiyallāhu 'anhu bahwasanya disana tidak disebutkan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak mengajarkan sampai siku (yaitu pada saat mengajarkan tata cara tayammum).

• POINT KETIGA | TATA CARA TAYAMMUM

• ⑴ Seseorang menepukkan telapak tangan ke tanah atau yang lainnya 1 kali saja.
• ⑵ Mengusap wajah.
• ⑶ Mengusap kedua tangan sampai pergelangan tangan atau sampai kedua siku.

● KEWAJIBAN KE ⑷

((والترتيب))

((Tertib))

Wajib melakukan secara berurutan.

■ PEMBAHASAN KETIGA | Tentang sunnah-sunnah di dalam tayammum.

قال المصنف:
((وسننه ثلاثة أشياء))

((Dan sunnah-sunnah di dalam tayammum ada 3 macam))

● SUNNAH PERTAMA 

((التسمية))

((Membaca basmalah-sebelum bertayammum))

Ini adalah pendapat Syāfi'īyyah dan jumhur (mayoritas) para ulama berdasarkan dalil-dalil yang sudah disebutkan sebelumnya.

● SUNNAH KEDUA

((وتقديم اليمنى على اليسرى))

((Mendahulukan bagian kanan atas bagian yang kiri))

Berdasarkan hadits 'Āisyah radhiyallāhu Ta'āla 'anhā, beliau mengatakan:

كانَ رَسُولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ في تَنَعُّلِهِ، وَتَرَجُّلِهِ، وَطُهُورِهِ، وَفي شَأْنِهِ كُلِّهِ (رواه البخاري)

"Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyukai untuk mendahulukan bagian kanan pada saat memakai sandal, pada saat bersisir dan pada saat berthaharah (bersuci) dan pada seluruh keadaan Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam." (HR Bukhari)

● SUNNAH KETIGA

((والمولات))

((Bersambung/sambung menyambung tidak berhenti))

Berdasarkan qiyas terhadap wudhū'.

Tambahan dari sunnah-sunnah yang disebutkan dalam matan di atas,

● SUNNAH KEEMPAT

((نفخ الأيدي بعد ضربهما))

((Meniup kedua tangan setelah memukulkan ke tanah))

Bertujuan untuk mempersedikit tanah-tanah yang masih menempel di tangan.

■ PEMBAHASAN KEEMPAT | Tentang pembatal-pembatal tayammum.

قال المصنف:
((والذين يبطل التيمم ثلاثة أشياء))

((Dan perkara-perkara yang membatalkan tayammum ada 3 macam))

● PEMBATAL ⑴

((ما يبطل الوضوء))

((Semua perkara yang membatalkan wudhū'))

Maka hal itu membatalkan tayammum, misalnya buang angin dan lain sebagainya.

● PEMBATAL ⑵

((ورؤية الماء في غير وقت الصلاة))

((Dan melihat/mendapatkan air sebelum melaksanakan shalat))

Hal itu membatalkan tayammum karena tayammum adalah pengganti dari wudlu disebabkan tidak ada air

Dalam masalah melihat air ini ada beberapa keadaan:

• ⑴ Apabila dia melihat/mendapatkan air SEBELUM melaksanakan shalat maka tayammum seseorang itu batal dan tidak sah shalat dengan tayammumnya.

Dan ini dikatakan oleh para ulama adalah ijmā'.

• ⑵ Apabila dia melihat air pada saat SEDANG shalat maka wajib membatalkan shalat kemudian berwudhū' dengan air dan mengulangi shalatnya.

Ini adalah pendapat Hanafiyyah dan Hanabilah dan dipilih oleh Imam Asy-Syāfi'ī dan juga oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin.

• ⑶ Apabila melihat air SETELAH melaksanakan shalat dan MASIH di dalam waktu shalat tersebut, maka tidak diulangi shalatnya.

Ini adalah kesepakatan para Imam madzhab.

• ⑷ Apabila dia melihat/mendapatkan air SETELAH selesai shalat dan telah KELUAR waktu maka dia tidak mengulangi shalatnya.

Dan ini berdasarkan ijmā' para ulama.

● PEMBATAL ⑶

((والردة))
((Murtad))

Keluar dari agama islam, sebagaimana murtad membatalkan thahārah lainnya, maka murtad pun membatalkan tayammum.

■ PEMBAHASAN KELIMA | Tentang orang-orang yang diperban atau digips atau yang semisalnya.

((وصاحب الجبائر يمسح عليها ويتيمم))

((Dan bagi orang-orang yang mengenakan jabāir, mereka mengusap diatasnya dan bertayammum))

Al-Jabāir (الجبائر) adalah jama' dari al-jabīrah (الجبيرة), dia adalah kayu atau benda yang keras yang digunakan untuk meluruskan dan mengencangkan bagian yang patah agar tersambung kembali (seperti gips untuk patah tulang, perban dan semisalnya) maka cukup diusap diatasnya dan bertayammum.

Berdasarkan hadits Jābir radhiyallāhu Ta'āla 'anhu tentang seorang shāhabat yang terluka kepalanya dan diperban kemudian junub dan bertanya kepada para shāhabat. Maka diperintahkan untuk mandi, maka airpun masuk ke dalam lukanya dan kemudian meninggal dunia.

Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pun bersabda:

إنما كان يكفيه أن يتيمم ويعصر أو يعصب شك موسى على جرحه خرقة ثم يمسح عليها ويغسل سائر جسده (رواه أبو داود)

"Cukup baginya untuk bertayammum dan membalut kain di atas lukanya dan mengusap di atas kain tersebut." (HR Abū Dāwud)

Disini perawi Mūsa ragu kalimat yang dipakai apakah ya'shira (يعصر) atau ya'shiba (يعصب)

Mushannif pun melanjutkan:

((و يصلي ولا إعادة عليه إن كان وضعها على طهر))

((Apabila demikian, maka dia kemudian melaksanakan shalat dan tidak perlu mengulangi shalat tersebut apabila memakai perban didalam keadaan demikian))

■ PEMBAHASAN KEENAM | Tentang tayammum di dalam shalat fardhu dan shalat sunnah.

قال المصنف:
((ويتيمم لكل فريضة و يصلي بتيمم واحد ماشاء من النوافل))

((Dan bertayammum untuk setiap akan melaksanakan shalat fardhu dan untuk shalat sunnah maka dapat dilakukan sekehendaknya dengan sekali tayammum saja))

Ini pendapat madzhab Syāfi'ī, bahwasanya:

• ⑴ 1 tayammum hanya untuk 1 shalat fardhu.
• ⑵ 1 tayammum boleh untuk shalat sunnah dalam beberapa shalat sunnah.

Demikian yang bisa disampaikan.

وصلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه و سلم
وآخر دعونا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

🖋 Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
----------------------------------

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 19 Dzulhijjah 1440 H / 20 Agustus 2019 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 26 | Macam-Macam Najis Dan Cara Menghilangkannya
~~~~~~~~~~~~~~
MACAM-MACAM NAJIS DAN CARA MENGHILANGKANNYA

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Para Sahabat bimbingan Islam yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada halaqah ke 26 ini, kita akan membahas seputar "Najis Dan Cara Menghilangkannya".

Sebagiannya pernah disinggung pada awal pembahasan kitab matan Abu Syuja'.

■ PEMBAHASAN PERTAMA | Tentang najis

قال المصنف:
((وكل مائع خرج من السبيلين نجس إلا المني))

((Dan setiap cairan yang keluar dari dua jalan (baik qubul dan dubur) hukumnya najis kecuali cairan mani))

Di dalam manuskrip yang lain disebutkan:

((وكل ما يخرج من السبيلين نجس))

((Dan apa saja yang keluar dari dalam qubul dan dubur adalah najis))

Pada teks yang kedua ini lebih umum meliputi cairan maupun kotoran, baik darah, air kencing, kotoran dan cairan lainnya seperti madzi dan wadi.

Dalil bahwasanya hal itu adalah najis, diantaranya adalah:

⑴ Hadits Anas radhiyallāhu 'anhu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhāri, beliau berkata:

كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا تبرز لحاجته، أتيته بماء فيغسل به

"Nabi Shallallāhu 'alyhi wa sallam apabila keluar untuk buang hajat atau buang air, maka saya pun membawakan air untuk beliau, kemudian beliau mencuci dengan air tersebut". (HR Bukhāri)

⑵ Hadits lain diriwayatkan Imam Bukhari dari 'Ali radhiyallāhu 'anhu, beliau berkata:

كنت رجلا مذاء فاستحييت أن أسأل رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأمرت المقداد بن الأسود فسأله فقال: «فيه الوضوء»

"Saya adalah seorang yang sering keluar air madzi, namun saya malu untuk bertanya kepada Rasūlullāh Shallallāhu 'alyhi wa sallam, maka saya perintahkan Miqdād bin Aswad untuk bertanya kepada beliau, maka beliaupun bersabda: 'Wajib berwudhū'."

Di dalam riwayat Muslim:

فقال: «يغسل ذكره ويتوضأ»

"Hendaknya dia mencuci kemaluannya, kemudian berwudhu."

قال المصنف:
((إلا المني))

((Kecuali air mani))

Disini diperkecualikan cairan mani, maka cairan mani itu tidak najis, baik cairan mani dari manusia maupun cairan mani dari hewan, kecuali anjing dan babi.

• Dalil:

⑴ Tatkala Rasūlullāh Shallallāhu 'alyhi wa sallam ditanya tentang cairan mani, maka beliau bersabda:

إنما هو  كالبصاق

"Bahwasanya cairan mani itu seperti ludah (yaitu tidak najis)." (HR Daruqutni, Baihaqi dengan sanad yang shahih)

Begitu pula di dalam hadits yang lain,

⑵ Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari 'Āisyah radhiyallāhu Ta'āla 'anhā tatkala beliau menceritakan bahwasanya 'Āisyah mengerik cairan mani yang menimpa baju Rasūlullāh Shallallāhu 'alyhi wa sallam yang telah mengering dan beliau tidak mencucinya dan pakaian itu digunakan oleh Rasūlullāh Shallallāhu 'alyhi wa sallam untuk shalat.

■ PEMBAHASAN KEDUA | Tentang cara membersihkan najis

قال المصنف:
((وغسل جميع الأبوال والأرواث واجب))

((Dan mencuci seluruh kencing dan kotoran adalah wajib))

Ini adalah hukum asal, berdasarkan dalil-dalil diantaranya:

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwasanya Rasūlullāh Shallallāhu 'alyhi wa sallam memerintahkan para shahābatnya untuk menyiramkan air diatas kencing seorang badui yang kencing di masjid.

⇒ Ini menunjukkan bahwasanya menghilangkan najis, itu adalah wajib.

قال المصنف:
((إلا بول الصبي الذي لم يأكل الطعام فإنه يطهر برش الماء عليه))

((Bahwasanya diperkecualikan kencing bayi laki-laki yang belum makan makanan, maka cara mensucikannya cukup dengan memercikkan air di atasnya))

⇒ Dan hal ini tidak berlaku bagi bayi perempuan.

Dan bayi, selama masih menyusui dan belum makan makanan selain susu, maka cara membersihkan atau mensucikan kain yang terkena kencing bayi tersebut cukup dengan dipercikkan air di atasnya.

Adapun bayi perempuan, maka tetap harus dicuci walaupun belum makan makanan.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh para pemilik kitab Sunan (Ash-hābus Sunan), mereka mengatakan:

"Di dalam hadits tersebut, Rasūlullāh Shallallāhu 'alyhi wa sallam bersabda:

«يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ، وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلَامِ»

"Bahwasanya najis kencing bayi perempuan dicuci dan najis kencing bayi laki-laki cukup dipercikkan air di atasnya".

Dan di dalam riwayat lain ditambahkan:

{مالم يطعم}

"Sebelum bayi tersebut makan makanan".

⇒ Yakni berlaku sebelum bayi tersebut makan makanan lain selain susu.

قال المصنف:
((ولا يعفى عن شيء من النجاسات إلا اليسير من الدم))

((Dan keberadaan najis tidak ditoleransi atau tidak dimaafkan, kecuali apabila hanya sedikit dari darah ataupun nanah))

Hal ini terkait dengan ibadah shalat, dimana ibadah shalat harus suci dari najis dan hadats.

Namun apabila terdapat sedikit darah ataupun nanah, baik di badan ataupun dalam pakaian maka dimaafkan dan diberikan toleransi serta tetap sah shalatnya.

Dan perkataan para ulama mengenai ini cukup banyak, tentang jenis dan kadar najis yang dimaafkan, apabila mengenai pakaian ataupun badan.

Namun secara umum yang menjadi acuan/dhābith/patokan adalah sesuatu yang darurat atau banyak terjadi serta sulit untuk dihindari serta sulit untuk dihilangkan.

قال المصنف:
((وما لا نفس له سائلة إذا وقع في الإناء ومات فيه فإنه لا ينجسه))

((Dan hewan yang tidak memiliki aliran darah, apabila terjatuh diatas bejana dan mati diatasnya, maka bangkai tersebut tidak membuat air dalam bejana menjadi najis))

Ini adalah lanjutan dari najis yang dimaafkan dalam Madzhab Syāfi'ī. Dan dianggap sebagai najis karena dianggap sebagai bangkai dan bangkai adalah najis.

Akan tetapi karena dia termasuk yang ma'fu (dimaafkan) maka dia tidak membuat najis air yang tercemar atau terjatuh ke dalamnya hewan-hewan tersebut.

Akan tetapi disini dikatakan oleh Ibnu Mundzir:

"Dan saya tidak mengetahui seorang pun yang berpendapat dengan pendapat ini, kecuali Imam Syāfi'ī."

Karena sudah dijelaskan pada pertemuan yang lampau bahwasanya hewan yang tidak memiliki aliran darah apabila mati, maka dia tidaklah najis dan bukan merupakan bangkai yang najis.

قال المصنف:
((والحيوان كله طاهر إلا الكلب والخنزير وما تولد منهما أو من أحدهما))

((Dan hewan-hewan seluruhnya adalah suci dalam keadaan hidupnya, kecuali anjing dan babi dan apa-apa yang keluar dari keduanya (yaitu peranakan dari keduanya) atau dari salah satunya))

⇒ Dan poin ini telah dibahas pada pertemuan sebelumnya.

قال المصنف:
((والميتة كلها نجسة إلا السمك والجراد والآدمي))

((Dan semua bangkai najis, kecuali bangkai ikan, bangkai belalang dan bangkai manusia))

⇒ Dan poin inipun pernah kita jelaskan pada halaqah yang telah lampau.

قال المصنف:
((ويغسل الإناء من ولوغ الكلب والخنزير سبع مرات إحداهن بالتراب))

((Dan bejana yang dijilat anjing dan babi dicuci sebanyak 7x, dan salah satunya adalah dengan tanah))

Hal ini berdasarkan hadits Bukhari dan Muslim tatkala Rasūlullāh Shallallāhu 'alyhi wa sallam bersabda:

"Cara membersihkan bejana kalian apabila dijilat oleh anjing adalah dengan mencucinya sebanyak 7x dan salah satunya adalah dengan tanah."

قال المصنف:
((ويغسل من سائر النجاسات مرة تأتي عليه))

((Dan untuk jenis najis-najis yang lain maka cukup dicuci sekali saja))

Hal ini berdasarkan pada hadits Ibnu Umar:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: «كَانَتِ الصَّلَاةُ خَمْسِينَ، وَالْغُسْلُ مِنَ الجَنَابَةِ سَبْعَ مِرَارٍ، وَغَسْلُ الْبَوْلِ مِنَ الثَّوْبِ سَبْعَ مِرَارٍ، فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُ حَتَّى جُعِلَتِ الصَّلَاةُ خَمْسًا، وَالْغُسْلُ مِنَ الْجَنَابَةِ مَرَّةً، وَغَسْلُ الْبَوْلِ مِنَ الثَّوْبِ مَرَّةً»

"Dahulu kewajiban shalat sebanyak 50 waktu, dan mandi janabah sebanyak 7x dan bersuci dari kencing sebanyak 7x.

Maka Rasūlullāh Shallallāhu 'alayhi wa sallam pun senantiasa meminta (yaitu meminta kepada Allāh agar diberikan keringanan) sampai Allāh jadikan shalat hanya 5 waktu shalat dan mandi janabah hanya 1x dan mencuci dari air kencing cukup 1x." (HR Abū Dāwūd dan beliau tidak mendha'ifkan hadits ini)

قال المصنف:
((والثلاثة أفضل))

((Dan mencuci sebanyak 3x itu lebih baik/afdhal))

Berdasarkan hadits:

«إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ، فَلَا يُدْخِلْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ »

"Apabila kalian bangun dari tidur, maka janganlah memasukkan tangannya ke dalam bejana sebelum mencucinya sebanyak 3x." (HR. Ash-hābus Sunan)

قال المصنف:
((وإذا تخللت الخمرة بنفسها طهرت وإن خللت بطرح شيء فيها لم تطهر))

((Apabila khamr berubah menjadi cuka dengan sendirinya, maka dia menjadi suci. Namun apabila berubah menjadi cuka dengan menambahkan sesuatu kedalamnya, maka dia tidak menjadi suci))

Ini adalah permasalahan yang kembali kepada masalah "Apakah khamr itu najis atau tidak?"

Dan bagi jumhur yang mengatakan bahwasanya khamr itu najis, maka dia bisa menjadi suci apabila berubah menjadi cuka dengan sendirinya, bukan dengan faktor kesengajaan.

Namun apabila disana ada faktor kesengajaan, apakah dengan menambahkan unsur atau dengan proses tertentu yang disengaja, maka khamr tersebut menurut jumhur tidaklah menjadi suci, walaupun dia berubah bentuknya menjadi sesuatu yang lain, yaitu menjadi cuka.

Demikian.
و الله تعالى أعلم
وصلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه و سلم
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته

🖋 Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
----------------------------------

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 20 Dzulhijjah 1440 H / 21 Agustus 2019 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.
📗 Matan Abu Syuja' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 27 | Hāidh,  Nifās Dan Istihādhah
~~~~~~~~~~~~~

HAIDH, NIFAS DAN ISTIHADHAH

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد

Para Sahabat Bimbingan Islam yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada halaqah yang ke-27 ini kita akan lanjutkan pelajaran thahārah dalam Kitab Matan Abū Syujā'.

قال المصنف:
((ويخرج من الفرج ثلاثة دماء دم الحيض والنفاس والاستحاضة))

((Dan dari kemaluan wanita keluar 3 macam darah: ⑴ darah hāidh, ⑵ darah nifas dan ⑶ darah istihādhah))

Ketiga darah ini adalah darah yang biasa keluar dari kemaluan seorang wanita.

■ HĀIDH

قال المصنف:
((فالحيض هو الدم الخارج من فرج المرأة على سبيل الصحة من غير سبب الولادة ولونه أسود محتدم لذاع))

((Dan darah hāidh adalah darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita dalam keadaan sehat dan bukan disebabkan karena kelahiran. Warna darah tersebut hitam matang [maksudnya adalah merah kehitaman])) 

Hāidh adalah proses peluruhan dinding rahim. Dan secara umum memiliki siklus yang tetap pada seorang wanita. Dan ciri-ciri hāidh yang normal dapat dilihat secara umum dari warna, tekstur maupun baunya.

✓Darah hāidh berwarna merah matang
✓Bertekstur kental
✓Lebih bau dibandingkan darah biasa

Para Sahabat sekalian,

● BAGAIMANA PENENTUAN MASA HĀIDH?

Dia dapat dilakukan oleh 2 hal;

⑴ Dengan adat kebiasaan yang terjadi pada seorang wanita pada tanggal tertentu, siklus tertentu atau kebiasaan yang biasa terjadi setiap bulannya.

⑵ Dengan tamyīz (membedakan) darah yang keluar. Jika memiliki ciri-ciri hāidh maka dia adalah darah haidh.

● BAGAIMANA CARA MENENTUKAN SELESAINYA MASA HĀIDH?

Dapat diketahui dengan 2 cara:

⑴ Dengan keluarnya cairan putih dari kemaluannya di akhir masa haidhnya, masa adat kebiasaannya.

⑵ Dengan kekeringan.
Maksudnya dengan melihat kemaluannya sudah kering atau belum. Yaitu dengan cara menggunakan kain katun atau yang semisalnya, kemudian dimasukkan ke dalam kemaluannya, jika tetap kering maka dia telah suci.

■ DARAH NIFAS

قال المصنف:
((والنفاس هو الدم الخارج عقب الولادة))

((Dan darah nifas adalah darah yang keluar disebabkan proses persalinan))

Walaupun yang keluar masih berbentuk gumpalan daging (mudghah) atau gumpalan darah ('alaqah), baik dalam keadaan hidup atau dalam keadaan meninggal dunia, baik yang keluar itu sempurna & lengkap ataupun yang keluar tidak sempurna atau hanya bagian tertentu saja, maka dia masuk ke dalam hukum nifas karena nifas secara bahasa artinya al-wilādah (persalinan).
Dan pernah disinggung pada pertemuan sebelumnya tentang khilaf para ulama: Kapan masuk ke dalam masa nifas, kapan darah tersebut disebut darah nifas, apakah sebelum kelahiran, atau masa kelahiran ataukah setelah kelahiran.

■ ISTIHĀDHAH

قال المصنف
((والاستحاضة هو الدم الخارج في غير أيام الحيض والنفاس))

((Dan istihādhah adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita, bukan pada masa haidh dan juga bukan pada masa nifas. Dan darah istihādhah, dia memiliki sifat dan ciri seperti darah biasa (berwarna merah segar, encer dan tidak berbau).))

Dan untuk darah istihādhah tidak ada batasan waktu. Darah istihādhah memiliki hukum sama seperti darah biasa. Oleh karena itu, orang yang keluar darah istihādhah dia hukumnya sama seperti orang biasa, dia tetap wajib shalat, puasa dan boleh berhubungan dengan suaminya.

Hukumnya orang yang terkena darah istihādhah sama seperti hukumnya orang yang suci. Hal ini berdasarkan hadits 'Āisyah radhiyallāhu Ta'āla 'anhā tentang Fāthimah bintu Abi Hubaisy yang diriwayatkan oleh Imām Bukhāriy dan Muslim. Beliau berkata:

قالت :يا رسول الله إني أستحاض فلا أطهر ، أفأدع الصلاة ؟ فقال : لا ، إنما ذلك عرق ، وليس بالحيضة ، فإذا أقبلت الحيضة فاتركي الصلاة ، فإذا ذهب قدرها فاغسلي عنك الدم وصلي .

Beliau bertanya: "Yā Rasūlullāh, saya seorang wanita yang mengalami istihādhah (keluar darah secara terus menerus) sehingga saya tidak bisa bersuci. Haruskah saya meninggalkan shalat?" Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pun menjawab: "Tidak, sesungguhnya darah itu berasal dari urat. Apabila datang haidh maka tinggalkanlah shalat. Dan jika sudah habis ukuran waktunya maka cucilah darah tersebut dan shalatlah."

Penjelasan berikutnya dalam Matan Abū Syujā' adalah mengenai:

● DURASI/MASA/WAKTU DARI MASING-MASING DARAH TERSEBUT

قال المصنف:
((وأقل الحيض يوم وليلة))

((Dan masa yang paling sedikit dari haidh adalah 1 hari 1 malam))

Hal ini berdasarkan pengamatan ataupun kejadian di lapangan dan juga berdasarkan hadits 'Ali radhiyallāhu Ta'āla 'anhu yang diriwayatkan oleh Imām Bukhāriy.

((وأكثره خمسة عشر يوما))

((Dan masa haidh yang paling banyak adalah 15 hari))

Dan ini pula berdasarkan istiqrā (pengamatan) dan kejadian di lapangan dan juga berdasarkan hadits 'Ali radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, beliau mengatakan:

ما زاد على خمسة عشر فهو استحاضة

"Apa yang lebih dari 15 hari maka dia adalah istihādhah." (HR Bukhāriy secara mu'allaq)

قال المصنف:
((وغالبه ست أو سبع))

((Dan secara umum/kebanyakan adalah 6 hari atau 7 hari))

Hal ini berdasarkan hadits Hamnah bintu Jahsy, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

تحيضي في علم الله ستا أو سبعا كما تحييض النسآء و يطهرن

"Ambillah masa haidh berdasarkan ilmu Allāh Subhānahu wa Ta'āla sebanyak 6 atau 7 hari sebagaimana para wanita haidh dan bersuci." (HR Ash-hābus Sunān)

قال المصنف:
((وأقل النفاس لحظه وأكثره ستون يوما))

((Dan masa nifas yang paling sedikit/pendek adalah sesaat atau tidak ada batasannya dan paling banyak adalah 60 hari))

Dalilnya berdasarkan istaqrā (pengamatan) dan kejadian yang terjadi di lapangan.

قال المصنف:
((وغالبه أربعون))

((Dan secara umum adalah 40 hari))

Dalilnya adalah berdasarkan hadits dari Ummu Salamah, beliau mengatakan:

كانت النفساء تجلس على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم أربعين يوما و أربعين ليلة

"Para wanita yang nifas di zaman Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mereka mereka duduk (yaitu tidak shalat) selama 40 hari dan 40 malam."

(HR? Abū Dāwūd dan Tirmidzi dan diperselisihkan derajat hasannya, akan tetapi Syaikh Al-Albāniy menshahihkannya)

Apabila seorang wanita yang mengalami nifas kemudian darahnya berhenti maka dia wajib untuk bersuci dengan mandi besar walaupun belum sampai 40 hari, walaupun baru 1 minggu atau kurang dari itu.

قال المصنف:
((وأقل الطهر بين الحيضتين خمسة عشر يوما ولا حد لأكثره))

((Masa suci antara 2 haidh adalah paling sedikit 15 hari. Dan masa suci yang paling banyak tidak ada batasannya))

Hal ini berdasarkan istiqrā (penelitian) atau pengamatan di lapangan bahwa ada seorang wanita yang masa sucinya hanya 15 hari dan ada seorang wanita yang haidhnya hanya sekali dalam setahun, artinya masa sucinya cukup panjang.

قال المصنف:
((وأقل زمن تحيض فيه المرأة تسع سنين))

((Dan umur yang paling kecil bagi seorang wanita untuk mengalami haidh adalah 9 tahun))

Hal ini berdasarkan istiqrā (pengamatan/penelitian) dan kejadian yang terjadi di lapangan.

قال المصنف:
((وأقل الحمل ستة أشهر وأكثره أربع سنين وأقل الحمل ستة أشهر وأكثرها أربع سنين وغالبه تسعة أشهر))

((Masa kehamilan yang paling pendek normal adalah 6 bulan. Dan masa kehamilan yang paling panjang yang pernah ada yaitu 4 tahun. Dan secara umum, masa kehamilan seorang wanita adalah selama 9 bulan))

Dalil masa hamil yang terpendek yaitu 6 bulan adalah firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ 

"Dan masa mengandung dan masa menyusui adalah 30 bulan." (QS Al-Ahqāf: 15)

Disini Allāh menggabungkan 2 masa, totalnya adalah 30 bulan.

Kemudian firman Allāh Ta'āla di ayat yang lain:

وَفِصَاله فِي عَامَيْنِ

"Dan masa menyusui selama 2 tahun." (QS Luqmān: 14)

⇒ 2 tahun = 24 bulan.
⇒ Artinya masa hamil minimal = 30 bulan, dikurangi 24 bulan yaitu 6 bulan.

Sedangkan dalil yang lainnya adalah berdasarkan istiqrā (pengamatan) dan kejadian yang ada.

Demikian yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini dan kita cukupkan.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
وآخر دعونا أن الحمد لله رب العلمين
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

🖋Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
----------------------------------

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 01 Shafar 1441 H / 30 September 2019 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.
📗 Matan Abu Syuja' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 28 | Yang Diharamkan Saat Haid, Nifas, Junub Dan Hadats Kecil
〰〰〰〰〰〰〰

YANG DIHARAMKAN SAAT HAID & NIFAS, JUNUB DAN HADATS KECIL

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد
Ustadz Fauzan S.T., M.A.
Para Sahabat Bimbingan Islam yang dirahmati Allāh Ta'āla, kita lanjutkan halaqah fiqh ini pada halaqah yang ke-28. Dan ini adalah halaqah terakhir pada Kitab Thahārah.

Ada 3 bagian yang disebutkan oleh Penulis pada halaqah kali ini.

PERTAMA
HAL-HAL YANG DIHARAMKAN UNTUK DILAKUKAN OLEH SEORANG WANITA YANG SEDANG HAIDH ATAU NIFAS

قال المصنف:
((ويحرم بالحيض والنفاس ثمانية أشياء))

((Ada 8 perkara yang terhalang/tidak boleh dilakukan oleh seorang wanita yang mengalami haidh ataupun nifās))

Ada beberapa catatan dalam masalah ini :

⑴ Hal ini berlaku pula apabila belum bersuci ataupun belum mandi besar walaupun darah itu sudah terhenti (baik darah haidh ataupun nifās), selama belum bersuci atau mandi besar maka hal ini berlaku.

⑵ Dalam hadits (dalil) hanya disebutkan haidh saja. Namun para ulama ijmā' bahwasanya nifās diqiyaskan sama dengan haidh hukumnya.

⑶ Darah istihādhah (penyakit) tidak termasuk dalam pembahasan ini karena wanita yang mengalami istihādhah hukumnya sama dengan wanita yang dia dalam keadaan suci.

قال المصنف:
((الصلاة والصوم وقراءة القرآن ومس المصحف وحمله ودخول المسجد والطواف والوطء والاستمتاع بما بين السرة والركبة))

⑴ Shalāt
⑵ Berpuasa
⑶ Membaca Al-Qurān
⑷ Menyentuh mushaf Al-Qurān dan membawanya
⑸ Masuk ke dalam masjid
⑹ Thawāf
⑺ Berhubungan intim
⑻ Bercumbu dengan apa yang ada di antara pusar dan lutut seorang wanita

Kita akan membahas satu-persatu,

■ ⑴ Shalāt dan ⑵ Puasa

Hal ini berdasarkan hadīts Sa'īd Al-Khudriy radhiyallāhu Ta'āla 'anhu tatkala Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam ditanya tentang kekurangan agama yang ada pada seorang wanita. Maka Beliaupun menjawab:

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَت ْلَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا

"Bukankah wanita apabila dia mengalami haidh maka dia tidak shalāt dan juga tidak berpuasa? Itulah kekurangan yang ada di dalam agamanya."
(HR. Imām Bukhari dan Imām Muslim)

■ ⑶ Membaca Al-Qurān

Para ulama disini berbeda pendapat, bolehkah seseorang yang mengalami haidh ataupun nifās membaca Al-Qurān dari hafalannya atau membaca Al-Qurān tanpa menyentuh mushaf?

Para ulama, mayoritas (jumhūr ulama) melarang seorang wanita yang haidh untuk membaca Al-Qurān.

Dalilnya adalah hadīts Ibnu 'Umar yang diriwayatkan oleh Imām At-Tirmidzi, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

لا تقرأ الجنب ولا الحائض شيئاً من القرآن

"Janganlah seorang yang hāidh atau junub dia membaca sedikitpun dari Al-Qurān."

Ini adalah salah satu dalil yang dipakai oleh para ulama yang mengatakan bahwa seorang yang mengalami haidh ataupun junub dilarang membaca Al-Qurān walaupun dari hafalannya.

Yang kuat (rājih) adalah bolehnya seorang wanita yang haidh ataupun nifās untuk membaca Al-Qurān tanpa menyentuh Al-Qurān, apakah dengan hafalannya ataupun dengan melihat.

Ini adalah pendapat dari Malikiyyah, Zhahiriyyah dan riwayat perkataan Imām Syāfi'ī dan dikuatkan oleh Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah dan dirajihkan oleh Syaikh Bin Bāz rahimahullāh.

Akan tetapi yang jadi permasalahan adalah untuk orang yang junub, karena keadaan junub beda dengan haidh dan nifas.
Para ulama berbeda pendapat tentang membaca Al-Qurān bagi orang yang junub.

• Pendapat Pertama
Bahwasanya tidak boleh secara mutlak. Ini adalah pendapat jumhūr (mayoritas) para ulama dan juga fatwa dari para shahābat.

• Pendapat Kedua
Ini diperbolehkan. Ini adalah pendapat madzhab Zhāhiriyyah dan juga perkataan beberapa orang shahābat radhiyallāhu Ta'āla 'anhum.

Dalil yang membolehkan:
• Tidak ada nash (dalil) yang sharīh (gamblang) yang melarang seorang yang junub untuk membaca Al-Qurān.
• Hadīts 'Āisyah radhiyallāhu Ta'āla 'anhā tatkala beliau mengatakan:

أَنَّ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ 

"Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam senantiasa berdzikir kepada Allāh dalam setiap keadaannya." (HR. Bukhāri dan Muslim)

*Setiap keadaan termasuk dalam keadaan junub.

Dan mereka mengatakan bahwa orang yang junub boleh membaca Al-Qurān karena Al-Qurān termasuk dzikir kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Namun yang rājih (kuat) yang dikuatkan oleh Syaikh Bin Bāz rahimahullāh adalah pendapat jumhūr (mayoritas) para ulama karena dalam junub ada pengkhususan yaitu hadīts 'Ali radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, beliau berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرئنا القرآن ما لم يكن جنبا

"Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam membacakan Al-Qurān kepada kami selama Beliau tidak junub." (HR.Ahmad, Abū Dāwud dan Ibnu Mājah)

Dan kata beliau, tidak boleh mengqiyaskan antara haidh dan nifās dengan junub karena junub waktunya pendek sedangkan haidh dan nifās waktunya panjang.

Haidh dan nifās bukan pilihan seseorang untuk mengalaminya, sedangkan junub adalah keadaan yang merupakan pilihan dari seseorang sehingga dia masuk dalam keadaan junub.

■ ⑷ Menyentuh Al-Qurān dan membawanya

Menurut pendapat Syāfi'īyyah dalam masalah ini bahwasanya hal itu adalah terlarang. Dan juga sebagaimana yang disebutkan dalam matan bahwasanya seorang yang haidh tidak boleh menyentuh mushaf karena ini juga adalah pendapat seluruh madzhab dan juga jumhūr mayoritas para ulama dan juga pendapat para shahābat radhiyallāhu Ta'āla 'anhum, berdasarkan firman Allāh Ta'āla :

لا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

"Tidaklah menyentuhnya (Al-Qurān) kecuali orang-orang yang suci." (Al-Wāqi'ah 80)

Dalam hadīts yang hasan bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

لا يمس القرآن الا الطاهرون 

"Tidaklah menyentuh Al-Qurān kecuali orang-orang yang suci."
(HR. Imām Bukhāri, Imām Nasāi dan Ibnu Hibban)

Hal ini berlaku juga bagi orang yang junub.

Pertanyaan:

Bolehkah bagi seorang yang haidh junub untuk menyentuh Al-Qurān dengan kain pelapis atau penghalang?

Jawab
Syaikh bin Bāz membolehkan seseorang wanita haidh menyentuh Al-Qurān dengan syarat ada kain penghalang seperti kaus tangan atau kain yang lainnya.

Adapun orang yang junub maka dia tidak boleh membaca Al-Qurān sebagaimana tadi sudah dijelaskan panjang lebar.

■ ⑸ Masuk masjid

Ada beberapa point, bahwasanya
🔹Orang masuk masjid untuk tinggal di masjid

Maka hal ini tidak diperbolehkan berdasarkan kesepakatan para Imām Madzhab berdasarkan firman Allāh Ta'āla:

لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ 

"Janganlah kalian mendekati shalāt sedangkan kalian dalam keadaan mabuk sampai kalian mengetahui apa yang kalian katakan. Dan begitu juga orang yang junub tidak diperbolehkan untuk masuk kecuali dia hanya lewat saja sampai dia bersuci (mandi besar)." (An-Nisā 43)

🔹Allāh Ta'āla melarang orang yang junub untuk masuk ke dalam masjid kecuali hanya apabila lewat saja.

Dalil yang lain, dalam hadīts Ummu 'Athiyah radhiyallāhu Ta'āla 'anhā, tatkala dia berkata:

امرنا أن نخرج الحيض يوم العيدين وذوات الخدور، فيشهدن جماعة المسلمين ودعوتهم ، ويعتزل الحيض مصلهن

"Beliau (Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam) memerintahkan kami untuk mengeluarkan orang-orang haidh pada hari 'Īd dan juga wanita-wanita yang masih dalam pingitan hingga mereka melihat jama'ah kaum Muslimīn serta dakwahnya.

Adapun orang-orang yang haidh berada diluar dari tempat shalat para wanita yang ada. (HR. Imām Bukhāri dan Muslim)

■ ⑹ Thawāf

Seorang wanita haidh ataupun nifās dilarang untuk melaksanakan thawāf, berdasarkan hadīts Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

الطَّوَافُ حَوْلَ البَيْتِ مِثْلُ الصَّلاةِ

"Thawāf di dalam rumah Allāh adalah seperti shalat." (HR. Tirmidzi)

Artinya manakala seorang wanita haidh dan nifas dilarang untuk shalat maka mereka juga dilarang untuk melaksanakan ibadah thawāf.

■ ⑺ Berhubungan intim antara suami dan istri

Hal ini dilarang berdasarkan firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ 

"Dan tinggalkanlah wanita (istri-istri) kalian dalam keadaan haidh mereka dan janganlah kalian dekati mereka sampai mereka bersih." (Al-Baqarah 222)

Maksudnya di sini adalah larangan untuk mencampuri/menggauli istri yang dalam keadaan haidh.

■ ⑻ Mencumbui/menikmati antara pusar dan kedua lutut istri.

Berdasarkan hadīts Abū Dāwud, dari 'Abdullāh bin Sā'ad beliau bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:

ما يحل لي من امرأتي وهي حائض ؟ قال : " لك ما فوق الإزار "

"Apa yang dihalalkan untuk saya perbuat sementara istri saya haidh?" Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pun menjawab: "Lakukan apa saja yang di atas izār/sarung (di atas pusar)."

KEDUA
HAL-HAL YANG DIHARAMKAN UNTUK DILAKUKAN OLEH SEORANG YANG SEDANG JUNUB

قال المصنف:
((ويحرم على الجنب خمسة أشياء: الصلاة وقراءة القرآن ومس المصحف وحمله والطواف واللبث في المسجد))

((Dan ada 5 perkara yang terlarang bagi seorang yang dia dalam keadaan junub))

Ini sebagian besarnya sudah dijelaskan pada pembahasan masalah haidh.

Bahwasanya orang yang dalam keadaan junub dilarang untuk:

⑴ Shalat
⑵ Membaca Al-Qurān
⑶ Memegang mushaf dan membawanya
⑷ Thawāf
⑸ Tinggal berada di dalam masjid

KETIGA
HAL-HAL YANG DIHARAMKAN UNTUK DILAKUKAN OLEH SEORANG YANG SEDANG HADATS KECIL

قال المصنف:
((ويحرم على المحدث ثلاثة أشياء الصلاة والطواف ومس المصحف وحمله))

((Dan diharamkan bagi seorang yang hadats 3 perkara))

Tiga perkara yang terlarang bagi seseorang yang batal (tidak dalam keadaan suci)

⑴ Shalat
⑵ Thawāf

Berdasarkan hadits Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dalam riwayat Abū Hurairah radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, beliau berkata:

لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَأَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأ

"Allāh tidak akan menerima shalat salah seorang di antara kalian apabila dia berhadats (batal dari suci) sampai dia berwudhū'." (HR. Bukhāri dan Muslim)

⇒Thawāf adalah termasuk shalat

⑶ Memegang mushaf Al-Qurān dan membawanya.

Bagi seorang yang muhdits (dalam keadaan hadats) maka dia tidak boleh menyentuh ataupun membawa Al-Qurān.

Ini adalah pendapat jumhūr ulama dan juga kesepakatan Imam yang Empat dan juga fatwa dari para shahābat radhiyallāhu Ta'āla 'anhum jamī'an.

Ini yang bisa kita sebutkan dalam pembahasan kali ini.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla memberikan kepada kita kemudahan untuk kita senantiasa terus menuntut ilmu dan in syā Allāh kita akan lanjutkan pada kitab berikutnya (Kitābush Shalāh).

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
وآخر دعونا عن الحمد لله رب العلمين

🖋Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
----------------------------------

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 02 Shafar 1441 H / 01 Oktober 2019 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.
📗 Matan Abu Syuja' | Kitab Shālat
🔊 Kajian 29 | Pendahuluan
➖➖➖➖➖➖➖

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد

Para Sahabat Bimbingan Islam yang dirahmati Allāh Ta'āla,

Pada halaqah yang ke-29 ini kita akan memasuki pembahasan di dalam Kitāb Shalāh Matan Abū Syujā'.

Sebelum kita memasuki pembahasan masalah fiqh shalāt, maka sedikit kita akan mengingatkan tentang agungnya ibadah shalat, pentingnya shalat dalam kehidupan seorang Muslim.

Bahkan shalāt dikatakan sebagai tiangnya agama, yang apabila tiang itu hilang (hancur) maka hancurlah agama seseorang. Dikatakan bahwa perbedaan antara seorang Muslim dengan seorang Non-Muslim (kāfir) adalah shalāt.

Dan dikatakan juga bahwasanya shalāt adalah yang pertama kali akan ditanya kelak di Hari Akhirat.

Para ikhwah sekalian dan akhwāt fillāh,

Oleh karena itu, bahwasanya amalan seseorang dinilai dari shalatnya.

Pada pembahasan kali ini kita akan bagi menjadi 3 bagian.

■ BAGIAN PERTAMA: KEUTAMAAN SHALAT

⑴ Bahwasanya shalāt yang khusyū' dan berkualitas adalah tanda kebahagiaan seseorang. Dimana Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ ﴿١﴾ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ ﴿٢﴾ 

"Sungguh beruntung (bahagia) orang-orang yang beriman (1). Yaitu mereka orang-orang yang khusyū' (berkualitas) di dalam shalātnya." (Al-Mu'minūn 1-2)

Ini adalah tanda bahwasanya orang tersebut memiliki hubungan yang erat dengan Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

⑵ Bahwasanya shalāt yang berkualitas akan mencegah seseorang dari perbuatan keji dan munkar.

Allāh Ta'āla berfirman:

 الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ  

"Sesungguhnya shalāt itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar dan mengingat Allāh (shalat) adalah lebih besar keutamaannya dari ibadah yang lainnya. Dan Allāh Maha Mengetahu apa yang kalian perbuat." (Al-'Ankabūt 45)

⑶ Bahwasanya shalāt dapat menghapus dosa dan keburukan dari seseorang.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

الصَّلَوَاتُالْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

"Antara shalat yang 5 waktu, antara satu Jum'at ke Jum'at berikutnya, antara satu Ramadhān ke Ramadhān berikutnya, maka di antara keduanya ada penghapus dosa, jika meninggalkan dosa-dosa yang besar." (HR. Muslim)

⑷ Bahwasanya shalāt akan menjadi cahaya bagi orang yang melaksanakannya di dunia maupun di akhirat.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُوراً وَبُرْهَاناً وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ وَلاَ بُرْهَانٌ وَلاَ نَجَاةٌ وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ وَفِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَأُبَىِّ بْنِ خَلَفٍ (رواه أحمد)

"Barangsiapa yang menjaga shalāt maka baginya cahaya, petunjuk dan keselamatan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang tidak menjaga shalat tersebut maka dia tidak akan mendapatkan cahaya, petunjuk, keselamatan. Dan nanti di hari kiamat akan dikumpulkan bersama Qārun, Fir'aun, Hāmān dan Ubay Ibn Khalf." (HR. Ahmad)

Kemudian dalam hadits yang lain, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

بشر المشائين في الظلم إلى المساجد بالنور التام يوم القيامة

"Berikanlah kabar gembira bagi mereka-mereka yang berjalan di tengah kegelapan menuju masjid, bahwasanya mereka akan mendapatkan cahaya yang sempurna pada hari kiamat." (HR. Ahmad dan dishahīhkan oleh Syaikh Al-Albani)

⑸ Bahwasanya perjalanan seseorang menuju masjid (tempat shalāt)nya maka akan dicatat sebagai kebaikan, diangkat derajatnya di setiap langkah dan dihapuskan keburukannya di setiap langkah.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً , وَالأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً  (رواه مسلم)

"Barangsiapa yang bersuci (berwudhū') di rumahnya kemudian berjalan diantara salah satu dari rumah-rumah Allāh dalam rangka menunaikan kewajiban yang Allāh wajibkan kepada dia maka di setiap salah 1 langkahnya adalah menghapuskan dosa dan langkah yang lainnya adalah mengangkat derajat orang tersebut di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla." (HR. Muslim)

⑹ Bahwasanya shalat adalah sebab paling utama seseorang untuk masuk ke dalam surga.

Rabī'ah bin Ka'ab Al-Aslami beliau berkata:

كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ فَقَالَ لِي سَلْ فَقُلْتُ أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ قَالَ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ قُلْتُ هُوَ ذَاكَ قَالَ فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ

Saya pernah bermalam bersama Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam maka saya datangkan kepada Beliau tempat air untuk berwudhū' dan juga kebutuhan-kebutuhan Beliau.

Maka Beliaupun berkata kepada saya: "Maka mintalah." Maka sayapun mengatakan: "Saya meminta agar saya bisa menemanimu disurga." Beliaupun mengatakan: "Apakah tidak ada yang lain?" Maka saya katakan: "Hanya itu saja."

Maka Beliaupun berkata: "Bantulah saya untuk mewujudkan keinginanmu dengan memperbanyak sujud (atau shalāt)." (HR. Muslim)

■ BAGIAN KEDUA: BAHAYA MELALAIKAN SHALAT DAN MENINGGALKANNYA

Di sini kita akan sebutkan beberapa, di antaranya:

⑴ Bahwasanya orang yang bermalas-malasan melaksanakan shalāt maka ini adalah sifat orang-orang yang munāfiq.

Allāh Ta'āla berfirman:

وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاةِ قَامُوا كُسَالَى 

"Dan apabila mereka (orang-orang munafiq) mendatangi shalat maka mereka menunaikan dalam keadaan malas." (An-Nisā 142)

⑵ Bahwasanya orang yang malas dan melalaikan shalat maka diancam neraka.

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

"Dan akan datang sebuah generasi setelah mereka, sebuah generasi yang mereka melalaikan (menyia-nyiakan) shalāt dan mengikuti syahwat maka mereka akan menemui al-ghayy." (Maryam 59)

Yang disebutkan oleh Ibnu Mas'ūd dan Barra bin Ādzib bahwasanya Al-Ghayy adalah lembah di neraka Jahannam yang dipenuhi dengan nanah dan darah dari penduduk neraka. Sangat dalam lembah tersebut dan sangat busuk makanannya.

Allāh Ta'āla berfirman:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)

"Maka neraka Wail bagi orang-orang yang shalat. (4) Yaitu mereka yang lalai di dalam shalatnya. (5)

Al-Wail dikatakan oleh Athā' bun Yasar bahwasanya dia adalah lembah di neraka Jahannam. Seandainya sebuah gunung dilewatkan di atasnya maka gunung tersebut akan meleleh dikarenakan saking panasnya.

Dan orang-orang yang lalai didalam shalatnya akan mendapatkan hukuman bertingkat-tingkat sesuai perbuatannya.

Yang lalai dalam rukunnya, yang lalai di dalam khusyu'nya, yang lalai dalam kewajibannya, yang lalai dalam waktunya dan lalai dalam hal-hal lainnya. Maka akan mendapatkan balasan sesuai dengan tingkat kelalaiannya di dalam shalat.

⑶ Bahwasanya orang yang meninggalkan shalat maka dia bisa jatuh ke dalam kekafiran.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْك ُالصَّلاَةِ

"Pembeda (pembatas) antara seseorang dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat." (HR. Muslim)

Dan juga dalam hadits yang lain dikatakan:

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Pembatas antara kami (orang Muslim) dan mereka (orang kuffār) adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya maka dia telah jatuh pada kekafiran." (HR. An-Nasāi)

■ BAGIAN KETIGA: TEMPAT YANG TERBAIK UNTUK SHALĀT

Bagi wanita maka tempat adalah di rumahnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

صلاتها في دارها أفضل من صلاتها في مسجد قومها

"Shalatnya dia (seorang wanita) di rumahnya lebih baik daripada shalatnya dia di masjid kaumnya." (HR. Ath-Thabrāniy dan dihasankan oleh Al-Albāniy)

Dan dalam hadits lain disebutkan:

وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ 

"Dan rumah-rumah mereka lebih baik untuk mereka." (HR. Abū Dāwūd dan dishahīhkan oleh Syaikh Al-Albani)

Akan tetapi, seorang wanita diperbolehkan untuk melaksanakan shalat ke masjid. Dan tidak boleh seorang untuk suami atau wali wanita tersebut melarang karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

لا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

"Janganlah kalian (wali-wali/suami-suami para wanita) untuk mencegah wanita-wanita kalian mendatangi masjid dan rumah-rumah mereka lebih baik untuk kalian." (HR. Ahmad dan Abū Dāwūd)

Akan tetapi di sini ada syarat bagi seorang wanita yang pergi ke masjid adalah dia tidak boleh:
· ⑴ bertabarruj (berhias, berwangi-wangian) atau,
· ⑵ menggunakan pakaian-pakaian yang bisa membuat orang tertarik dan,
· ⑶ aman dari fitnah.

Maka pada saat ini boleh bagi seorang wanita untuk pergi ke masjid apabila terhindar dari hal-hal yang disebutkan sebelumnya.

Adapun untuk laki-laki maka tempat yang paling afdhal (paling baik) adalah masjid. Bahkan dikatakan hukumnya adalah wajib berjama'ah di masjid, berdasarkan hadīts dari Abū Hurairah radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, beliau berkata:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ « هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ ». فَقَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَأَجِبْ »

Bahwasanya datang kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam seorang lelaki yang buta, maka diapun berkata kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam. "Yā Rasūlullāh, saya tidak memiliki seorangpun yang bisa menuntun saya ke masjid."

Maka dia meminta kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam agar memberikan rukhshah (keringanan) kepadanya agar shalat di rumahnya. Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberikan keringanan kepada beliau.

Maka tatkala orang tersebut berpaling (pergi), maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pun memanggilnya. "Apakah kamu mendengar adzan untuk shalat?' Maka diapun mengatakan: "Ya."Maka kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam: "Datangilah." (HR. Muslim)

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak memberikan keringanan karena ini adalah kewajiban yang agung, bahkan masih memerintahkan orang tersebut untuk tetap mendatangi masjid ketika mendengar adzan.

Dan di sana ada keutamaan yang besar bagi orang yang shalāt di masjid, bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

صلاة الرجل فيجماعة تزيد على صلاته وحده سبعاً وعشرين

"Bahwasanya shalatnya seseorang secara berjama'ah maka derajatnya dia lebih daripada dia shalat sendiri 27 derajat." (HR. Muslim)

Shalāt berjama'ah 27 derajat lebih utama daripada shalāt sendiri.

Demikian, semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla menjadikan kita sebagai orang yang ahli shalat dan orang yang menegakkan shalat dalam kehidupan kita.

Dan semoga Allāh menjadikan shalat kita bekal amalan dan perisai dari api neraka.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله و سلم والحمد لله رب العالمين

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
----------------------------------

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 03 Shafar 1441 H / 02 Oktober 2019 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 30 | Pengertian Shalāt Dan Waktu Shalāt Fardhu
➖➖➖➖➖➖➖

بسمــ اللّه الرحمنــ الرحيمـ‍ـ 
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد

Para Sahabat Bimbingan Islam yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

Pada halaqah yang ke-30 ini kita akan memasuki pembahasan di dalam Fiqh Shalāt dalam Kitāb Matan Abū Syujā'.

قال المصنف:
((كتاب الصلاة))

((Pembahasan Shalāt))

■ Shalāt secara bahasa adalah اَلدُّعَاءُ (do'a). Firman Allāh Ta'āla:

وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ 

"Dan do'akanlah mereka. (Karena) Sesungguhnyaoleh do'amu membuat mereka tenang." (At-Taubah 103)

Kemudian dalam hadīts yang diriwayatkan  Imām Muslim:

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ, فإن كان صائما فليصل 

"Apabila salah seorang dari kalian diundang (maksudnya diundang makan) maka datangilah. Apabila dia berpuasa do'akanlah."

Di dalam kamus, makna shalāt, selain juga dia maknanya adalah do'a, ada makna yang lain yaitu:
• rahmah
• istighfar (mohon ampun)
• ujian Allāh kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam
Maka ini tergantung kepada konteks dari kalimat yang ada pada kalimat shalāt (maknanya sesuai  konteks kalimatnya).

■ Shalāt secara istilah adalah:

أقوال وأفعال مخصوصة مفتتحة بالتكبير ومختتمة بالتسليم

"Perkataan dan perbuatan yang khusus (yang sudah diatur tata caranya di dalam syari'at), yang dibuka dengan takbir dan ditutup dengan salam."

Kemudian disini, Mushannif memulai pembahasan  pertama yaitu tentang waktu shalat.

قال المصنف:
((الصلاة المفروضة خمس))  

((Shalāt yang wajib ada 5 waktu))

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا

"Sesungguhnya waktu-waktu shalāt itu sudah ditetapkan bagi orang-orang yang beriman." (An-Nisā 103)

Di dalam hadīts Isrā dan Mi'rāj yang cukup panjang, disana dijelaskan tatkala Rasūlullāh shallallāhu ' wa sallam Isrā dan Mi'rāj, Beliau berkata :

فَفَرَضَ اللّه عَلَى أُمَّتِيْ خَمْسِينَ صَلَاةً 

"Maka Allāh Subhānahu wa Ta'āla mewajibkan shalāt atas umatku 50 waktu shalāt."

Kemudian sampai pada sabda Beliau:

فَرَاجَعْتُهُ فَقَالَ هِيَ خَمْسٌ وَهِيَ خَمْسُونَ لَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ

Tatkala Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam meminta keringanan kepada Allāh sampai Allāh Subhānahu wa Ta'āla mengubah dari 50 waktu shalāt menjadi 5 waktu shalāt.

Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pun masih kembali untuk meminta keringanan. Maka kata Beliau فَرَاجَعْتُهُ (Maka sayapun kembali kepada Allāh).

Maka Allāh Ta'āla berfirman:

هِيَ خَمْسٌ وَهِيَ خَمْسُونَ لَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ

"Dia adalah 5 waktu shalāt akan tetapi pahalanya sama dengan 50 waktu shalāt. Keputusan tersebut tidak berubah lagi di sisiKu." (HR Bukhāri dan Muslim)

Kemudian disini Penulis memulai dari penjelasan waktu shalāt Zhuhur.

قال المصنف:
((الظهر وأول وقتها زوال وقتها زوال الشمس وآخره إذا صار ظل كل شيء مثله بعد الزوال))

((Shalāt Zhuhur awal waktunya adalah tatkala tergelincirnya matahari dan batas akhirnya adalah tatkala panjang bayangan sama seperti aslinya-setelah tergelincir matahari))

Dalilnya adalah salah satu hadīts yang menjadi pegangan didalam waktu-waktu shalāt.

Hadīts dari Abū Mūsā -Asy'ariy yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menjelaskan tentang waktu-waktu shalāt secara keseluruhan.

وَعَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّهُ أَتَاهُ سَائِلٌ يَسْأَلُهُ عَنْ مَوَاقِيت الصَّلَاةِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ شَيْئًا

Dari Abū Mūsā Al-Asy'ari dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam. Bahwasanya datang seseorang yang bertanya kepada Beliau tentang waktu-waktu shalāt, namun Beliau tidak menjawab sedikitpun.

قَالَ فَأَقَامَ الْفَجْرَ حِينَ انْشَقَّ الْفَجْرُ وَالنَّاسُ لَا يَكَادُونَ يَعْرِفُ بَعْضُهُمْ بَعْض

Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pun keesokan harinya menunaikan shalāt Fajr manakala cahaya Fajr terbelah (manakala datang waktu Fajr). Dan masing-masing orang pada waktu itu tidak mengetahui satu sama yang lain karena masih gelap.

Karena pada saat itu tidak ada lampu dan juga di sini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam ingin menjawab pertanyaan orang tersebut tentang waktu-waktu shalāt dengan praktek.

ثم أمره فاقام بالظهر حين زَالَتْ الشَّمْسُ وَالْقَائِلُ يَقُولُ قَدْ انْتَصَفَ النَّهَارُ وَهُوَ كَانَ أَعْلَمَ مِنْهُمْ

Kemudian, Beliau pun memerintahkan dan melaksanakan shalāt Zhuhur pada saat matahari mulai tergelincir. Dan orang yang berkata, dia mengatakan bahwasanya hari sudah pertengahan (tengah hari) dan dia orang yang paling mengetahui waktu di antara mereka.

ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ بِالْعَصْرِ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ

Kemudian Beliaupun memerintahkannya untuk menegakkan shalāt Ashar. Dan Beliau melaksanakan shalāt Ashar sementara matahari masih tinggi.

ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ بِالْمَغْرِبِ حِينَ وَقَعَتْ الشَّمْس

Kemudian Beliau memerintahkannya dan menunaikan shalāt Maghrib pada saat matahari mulai jatuh (mulai tenggelam).

ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ

Kemudian Beliaupun memerintahkan dan menunaikan shalāt 'Isyā pada saat syafaq telah hilang (syafaq adalah warna kemerahan yang ada di langit).

ثُمَّ أَخَّرَ الْفَجْرَ مِنْ الْغَدِ حَتَّى انْصَرَفَ مِنْهَا وَالْقَائِلُ يَقُولُ قَدْ طَلَعَتْ الشَّمْسُ أَوْ كَادَتْ

Kemudian Beliau pada keesokan harinya mengakhirkan shalāt Fajr dan manakala Beliau meninggalkan mereka, seseorang berkata:

"Telah terbit matahari atau hampir terbit matahari."

ثُمَّ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى كَانَ قَرِيبًا مِنْ وَقْتِ الْعَصْرِ بِالْأَمْسِ

Kemudian Beliau mengakhirkan shalāt Zhuhur sampai waktu dekat dengan waktu 'Ashar yang dilakukan pada hari yang kemarin.

ثُمَّ أَخَّرَ الْعَصْرَ حَتَّى انْصَرَفَ مِنْهَا وَالْقَائِلُ يَقُولُ قَدْ احْمَرَّتْ الشَّمْس

Kemudian Beliau mengakhirkan waktu 'Ashar sampai tatkala Beliau meninggalkan mereka, orang-orangpun mengatakan (ada yang berkata):

"Matahari telah kemerahan-merahan."

ثُمَّ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى كَانَ عِنْدَ سقوطِ الشَّفقِ

Kemudian  mengakhirkan shalāt Maghrīb sampai syafaq mulai hilang.

ثم أخَّرَ العِشاءَ حتى كان ثُلُثُ اللَّيلِ الأوَّلُ

Kemudian Beliau mengakhirkan shalāt 'Isyā sampai akhir dari sepertiga malam yang pertama.

ثم أصبح فدَعَا السائلَ، فقال: الوقتُ بين هذَينِ

Kemudian Beliaupun keesokan harinya memanggil orang yang bertanya tadi maka Beliau bersabda bahwasanya waktu shalāt adalah antara 2 waktu tadi.

Inilah yang bisa kita sampaikan pada pertemuan kali ini. Dan in syā Allāh akan dilanjutkan dengan waktu-waktu shalāt dan beberapa catatan pada pertemuan berikutnya, biidznillāh.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
و آخر دعونا عن الحمد لله رب العالمين

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
----------------------------------

🌍 BimbinganIslam.com

Senin, 29 Shafar 1441 H / 28 Oktober 2019 M

👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.

📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt

🔊 Kajian 31 | Waktu Shalāt Fardhu

➖➖➖➖➖➖➖

بسم اللّه الرحمن الرحيم 

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد. 

Para Sahabat Bimbingan Islam yang semoga dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita lanjutkan pada halaqah yang ke-31. Dan pada halaqah yang sebelumnya sudah kita sebutkan waktu shalat Dzuhur dan salah satu hadīts yang menjadi pedoman (pegangan) dalam penentuan waktu shalat. 

Dan kita ulangi untuk waktu Dzuhur, 

قال المصنف: 

((الظهر وأول وقتها زوال الشمس وآخره إذا صار ظل كل شيء مثله بعد ظل الزوال)) 

((Shalat Dzuhur, 

awal waktunya adalah mulai tergelincir matahari dan akhir waktu Dzuhur adalah apabila bayangan sama panjang dengan bayangan bendanya setelah zhill zawwāl)).

⇒Zhill zawwāl yaitu manakala seseorang berdiri tegak dan matahari tepat di atas kepala dan matahari mulai tergelincir ke arah barat, maka bayangan tersebut disebut zhill zawwal.

▪Awal waktu shalat Dzuhur

sebagaimana disebutkan adalah manakala mulai tergelincir matahari atau bayangan sudah bertambah ke arah barat, maka sudah masuk waktu Dzuhur. Dalilnya adalah kitab dan sunnah dan juga ijma'. 

▪Adapun akhir waktu Dzuhur

adalah apabila bayangan sama panjang dengan bendanya yang tegak. 

Dan ini adalah pendapat dari Syāfi'īyyah dan juga mayoritas para ulama fiqh (jumhur fuqaha). 

قال المصنف: 

((والعصر وأول وقتها الزيادة على ظل المثل وآخره في الاختيار إلى ظل المثلين وفي الجواز إلى غروب الشمس)) 

((Shalat 'Ashar, 

awal waktunya adalah manakala bayangan bertambah dari panjang aslinya dan akhir waktu ikhtiyār adalah sampai panjang bayangan 2 kali aslinya dan waktu jawāz (waktu yang diperbolehkan) adalah sampai tenggelamnya matahari)).

Disini disebutkan awal waktu shalat 'Ashar adalah manakala bayangan sama dengan aslinya dan ini juga adalah akhir dari waktu shalat Dzuhur, yang merupakan awal dari shalat 'Ashar, tatkala mulai bertambah bayangannya maka sudah masuk shalat 'Ashar. 

Ini adalah pendapat Syāfi'īyyah dan juga mayoritas ulama fiqh (jumhur fuqaha) berdasarkan hadīts-hadīts yang menyebutkan tentang waktu shalat. 

⇒Waktu ikhtiyār (waktu pilihan) adalah rentang waktu yang diperbolehkan bagi seseorang untuk mengakhirkan shalat dan dia tidak berdosa di dalam melaksanakan waktu tersebut. 

Dan waktu ikhtiyār untuk shalat 'Ashar adalah waktu bertambahnya bayangan (yaitu mulai awal waktu) sampai bayangan 2 kali aslinya (isfirār, sampai matahari mulai menguning)

Adapun waktu al-jawāz (waktu dharurāt) adalah waktu yang diperbolehkan bagi orang-orang yang memiliki alasan darurat yang diperbolehkan dalam syar'iat sehingga melaksanakan shalat di akhir waktu ini, atau shalat pada waktu darurat. 

Dan waktu pada waktu darurat pada shalat 'Ashar adalah mulai manakala sinar matahari kekuning-kuningan (al isfirār) sampai terbenamnya matahari. 

Dan alasan darurat yang diperbolehkan di dalam syari'at diantaranya seperti: 

• Orang yang gila kemudian sadar. 

• Orang yang tertidur kemudian bangun. 

• Orang yang haidh kemudian suci. 

• Orang yang masuk ke dalam Islam. 

• Dan lainnya. 

Maka bagi mereka diperbolehkan untuk shalat pada waktu darurat ini. 

▪Adapun bagi orang yang mengakhirkan waktu shalat sampai pada waktu darurat dan dia tidak memiliki udzur syar'i (alasan yang dibenarkan oleh syari'at) maka para ulama berselisih pendapat; apakah dia berdosa atau tidak. 

Pendapat Mālikiyyah bahwasanya dia berdosa. Dan dalam madzhab Syāfi'īyyah bahwasanya ini adalah perbuatan yang makruh (dibenci) berdasarkan sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam: 

تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ ، يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ ، حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيِ الشَّيْطَانِ قَامَ ، فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا ، لَا يَذْكُرُ : اللَّهَ فِيهَا ، إِلَّا قَلِيلًا (رواه الجماعة الا البخاري و ابن ماجه)

Kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mensifati (menjelaskan) tentang shalat tersebut, kata Beliau: 

"Itu adalah shalatnya orang munafiq, dia duduk mengamati matahari sampai apabila matahari sudah berada di antara 2 tanduk syaithān maka dia berdiri shalat mematuk 4 kali. (Maksudnya shalat dengan sangat cepat seperti burung yang mematuk). Dan dia tidak mengingat Allāh kecuali sedikit saja."

Ini adalah dalil bahwasanya perbuatan tersebut adalah perbuatan yang minimal adalah perbuatan yang makruh atau perbuatan dosa, yaitu mengakhirkan shalat 'Ashar sampai pada akhir waktu. 

قال المصنف: 

((والمغرب ووقتها واحد وهو غروب الشمس وآخره إذا غاب الشفق الأحمر)) 

((Maghrib waktunya adalah satu yaitu tenggelamnya matahari secara sempurna dan akhir waktunya adalah apabila warna kemerahan (cahaya kemerahan) di ufuk telah hilang)) 

Dan disini, mempercepat shalat Maghrib di awal waktu adalah merupakan sesuatu yang afdhal. 

قال المصنف: 

((والعشاء أول وقتها إذا غاب الشفق الأحمر وآخره في الاختيار إلى ثلث الليل وفي الجواز إلى طلوع الفجر الثاني))

((Dan 'Isyā awal waktunya adalah apabila warna merah di ufuk telah hilang dan waktu akhir ikhtiyār adalah sampai sepertiga waktu malam yang pertama dan akhir waktu jawāz (waktu darurat) adalah sampai terbit fajar yang ke-2 (yaitu masuk waktu shalat Shubuh))) 

Disini dijelaskan bahwasanya awal waktu shalat 'Isyā adalah akhir dari waktu shalat Maghrib yaitu hilangnya warna kemerahan di langit (ufuk), berdasarkan ijma' yang dinukil oleh Imām 'Abdil Barr, Imām Nawawi dan para imam yang lainnya. 

Dan akhir waktu 'Isyā, para ulama berselisih menjadi 3; 

• Pendapat ke ⑴ 

Akhir waktu shalat 'Isyā (al-ikhtiār) yang diperbolehkan adalah sampai sepertiga malam yang pertama. 

Ini adalah pendapat Imām Syāfi'ī, Imām Ahmad dan pada waktu ini (waktu ikhtiyar) diperbolehkan seseorang untuk mengakhirkan tanpa memiliki alasan tertentu. 

Dan sisa waktunya setelah sepertiga malam sampai terbit fajar yang ke-2 (waktu Shubuh) termasuk waktu jawāz (waktu darurat). 

• Pendapat ke ⑵ 

Waktu ikhtiyār (waktu yang diperbolehkan untuk mengakhirkan waktu 'Isyā) adalah sampai setengah waktu malam. 

Ini adalah pendapat Imām Mālik, Abū Hanīfah dan juga diriwayatkan dari Imām Ahmad. Dan merupakan Qaul Qadīm (pendapat Imām Syāfi'ī yang lama) bahwasanya waktu shalat 'Isyā adalah sampai setengah malam. 

• Pendapat ke ⑶

Bahwasanya waktu shalat 'Isyā adalah sampai terbit fajar yang ke-2 yaitu sampai masuk waktu Shubuh. 

Ini adalah pendapat Dāwūd Azh-Zhāhiriy. 

Pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Bin Bāz adalah pendapat ke ⑵ dan merupakan riwayat Imām Ahmad sebagaimana yang telah disebutkan dan disebutkan oleh Syāfi'īyyah dalam Qaul Qadīm (pendapat beliau yang lama)

Dalilnya diantaranya adalah hadits Anas radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, dia berkata: 

أخّر رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاة العشاء إلى نصف الليل

"Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengakhirkan shalat 'Isyā sampai pertengahan malam." (HR. Bukhāri)

Dan shalat 'Isyā lebih afdhal diakhirkan waktunya jika tidak memberatkan, 

dan ini adalah pendapat mayoritas ahli ilmu (para fuqaha), 

berdasarkan hadits Abu Barzakh Al-Aslami, beliau mengatakan: 

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يستحب ان يؤخر العشاء

"Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam senang untuk mengakhirkan waktu shalat 'Isyā." (HR. Bukhāri dan Muslim)

قال المصنف: 

((والصبح وأول وقتها طلوع الفجر الثاني وآخره في الاختيار إلى الأسفار وفي الجواز إلى طلوع الشمس)) 

((Shalat Shubuh awal waktunya adalah terbit fajar yang ke-2 dan akhir waktu ikhtiyār (akhir waktu seseorang diperbolehkan mengakhirkan) adalah sampai langit kekuningan atau langit agak terang (isfār) dan waktu jawāz (waktu darurat) adalah sampai terbit matahari)) 

Fajar ke-2 (fajar shādiq) adalah munculnya cahaya yang tersebar merata di ufuk. 

Dalilnya adalah hadits-hadits tentang waktu shalat dan juga ijma' para ulama. 

Dan tidak diperbolehkan seseorang shalat Shubuh (shalat Fajar) sebelum waktunya, berdasarkan ijma para ulama.

Adapun akhir waktu yang diperbolehkan bagi seseorang tanpa udzur (alasan yang diperkenankan oleh syari'at) adalah sampai waktu isfār (langit mulai terang). 

Dan waktu darurat (waktu jawāz) bagi orang-orang yang memiliki alasan yang diperbolehkan oleh syari'at adalah sampai terbit matahari. 

Dan dalil-dalil yang menjadi pegangan didalam masalah ini, sebagaimana salah satunya sudah disebutkan, yaitu hadits-hadits yang cukup panjang yang menjadi pegangan (pedoman) di dalam waktu-waktu shalat. 

Demikian yang bisa kita sampaikan. Dan akan kita lanjutkan dalam halaqah berikutnya. 

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين 

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

______________

🌍 BimbinganIslam.com

Selasa, 01 Rabi'ul Awwal 1441 H / 29 Oktober 2019 M

👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.

📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt

🔊 Kajian 32 | Syarat Wajib Shalāt

~~~~~~~~~

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد. 

Para Sahabat Bimbingan Islam yang dirahmati Allāh Ta'āla, kita lanjutkan pada halaqah yang ke-32 tentang "Syarat Wajib Shalāt"

قال المصنف رحمه الله: 

Berkata Penulis rahimahullāh: 

((وشرائط وجوب الصلاة ثلاثة أشياء)) 

((Dan syarat wajibnya shalāt ada 3 perkara)) 

الإسلام والبلوغ والعقل وهو حد التكليف

((Islam, bulūgh/bāligh, 'aql dan itu adalah taklīf)) 

APA ITU SYARAT? 

الشرط هو: ما يلزم من عدمه عدم المشروط ولا يلزم من وجوده عدم ولا وجود لذاته

"Syarat adalah sesuatu yang jika syarat tersebut tidak ada maka pasti yang disyaratkan tidak ada. Dan tidak mesti jika ada syarat yang dipersyaratkan itu harus ada atau harus tidak ada."

• Misalnya kewajiban shalāt. 

>> Kewajiban shalāt tidak akan ada jika syaratnya tidak ada, yaitu misalnya akal. Jika tidak ada akal maka kewajiban shalātpun tidak ada. 

>> Misalnya, jika seseorang memiliki akal maka tidak mesti shalat itu menjadi wajib atau tidak menjadi wajib atau shalāt itu mesti ada atau tidak ada. 

Yang jelas, shalāt menjadi wajib jika terpenuhi 3 syarat; 

● Syarat ⑴: Islam

Seseorang yang belum masuk Islam (bukan seorang yang Muslim) maka shalāt tidaklah wajib bagi dia. 

Dalil: 

Hadīts Ibnu 'Abbās manakala Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengutus Mu'ādz bin Jabbal radhiyallāhu Ta'āla 'anhu ke negeri Yamān. Beliau berkata, 

ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا كَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدِافْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ (رواه البخاري ومسلم)

"Serulah/ajaklah mereka untuk mengucapkan syahādat Lā ilāha illallāh (tidak ada Ilah selain Allāh) dan menyaksikan bahwasanya saya adalah utusan Allāh. Apabila mereka menta'atimu akan hal itu maka beritahukanlah kepada mereka bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta'āla telah mewajibkan atas mereka shalāt 5 waktu satu hari satu malam." (HR Bukhāri dan Muslim)

● Syarat ⑵: Bulūgh atau Bāligh

Bāligh secara istilah, 

انتهاء حد الصغر في الإنسان ليكون أهلا للتكاليف الشرعية

"Batas akhir umur kanak-kanak dan mulai masuk pada fase taklīf, fase mulai dibebani hukum-hukum syari'āt."

KAPAN SESEORANG DIKATAKAN BĀLIGH? 

Disana ada beberapa alamat (tanda) yang disebutkan oleh para ulama, 

⑴ Apabila seseorang telah mimpi basah (ihtilām) yaitu keluarnya mani pada saat mimpi baik pada laki-laki maupun pada wanita. 

Pada saat ini maka seorang dia bāligh walaupun umurnya dia masih di bawah umur 10 tahun atau di atas umur 10 tahun & dibawah 15 tahun. 

Dalam hadīts Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda tatkala menjelaskan pena diangkat dari 3 kelompok orang, diantaranya Beliau sebutkan, 

وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ 

"Dan dari anak kecil sampai dia ihtilām." (HR Abū Dāwūd no. 4403)

>> Yaitu sampai dia mencapai bāligh

⑵ Tumbuh rambut disekitar kemaluannya. 

Berdasarkan hadīts yang mengisahkan tentang Sa'ad bin Mua'ādz tatkala beliau memberi hukuman kepada Bani Quraizhah yang diriwayatkan oleh Ash-hābus Sunān. 

Maka yang telah tumbuh rambut kemaluannya dikategorikan bāligh dan termasuk dikelompokkan orang-orang yang dihukum. 

Namun para ulama berbeda pendapat apakah tumbuhnya rambut di sekitar kemaluan menjadi standar bāligh atau tidak. 

Tanda yang ke-3 yaitu, 

⑶ Mencapai umur 15 tahun bila belum ada tanda-tanda yang lain. 

Ini adalah pendapat jumhūr (mayoritas) para ulama, diantaranya Syāfi'īyyah dan juga Hanābilah. 

Kemudian, tanda-tanda yang khusus bagi wanita yang ke-4 adalah, 

⑷ Hāidh

Apabila seseorang telah hāidh maka dia telah bāligh walaupun umurnya masih 9 tahun. 

Berdasarkan sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, 

لا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ

"Allāh tidak menerima shalāt orang yang hāidh (orang yang telah bāligh dari kalangan wanita), kecuali dengan penutup kepala (yaitu dengan menutup aurat)." (HR Abū Dāwūd dan Tirmidzi)

Tanda ke-5 yang khusus bagi wanita yaitu, 

⑸ Hamil

Ini juga terkait dengan ihtilām (keluarnya mani), maka seseorang yang hamil maka secara otomatis dia masuk kepada sinnul bulūgh (umur bāligh)

Ada pertanyaan, bolehkah seseorang Muslim yang dia berakal namun dia belum mencapai umur bulūgh (bāligh), dia menjadi imam shalāt bagi orang-orang yang telah bāligh? 

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini.

Jumhūr (mayoritas) ulama dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah maupun Hanābilah tidak memperbolehkan seorang anak kecil (belum bāligh) menjadi imām dalam shalāt fardhu. 

Bahkan Hanafiyyah secara mutlak, baik fardhu maupun sunnah (tetap) tidak boleh. 

Namun disana pendapat Syāfi'īyyah mereka membolehkan seorang anak kecil yang mumayyaz (sampai umur tamyīz) dan belum mencapai umur bulūgh menjadi imam bagi orang-orang yang telah bāligh. 

Dan pendapat ini dirajihkan (dikuatkan) oleh Imām Ibnu Hajar dan juga dipilih oleh Syaikh BinBāz dan Syaikh 'Utsaimin rahimahumullāh. 


Secara ringkas Syaikh Bin Bāz mengatakan bahwasanya yang lebih afdhal berdasarkan hadīts-hadīts yang ada adalah yang paling baik hafalannya dan bacaannya. 

√ Jika sama maka yang paling mengetahui sunnah. 

√ Jika sama maka yang paling dahulu hijrahnya. 

√ Jika sama, maka yang paling tua usianya. 

Ini diringkaskan dari Majmū' Fatāwa Bin Bāz. 

Syarat ⑶: Akal

Seorang yang tidak memiliki akal (tidak berakal) seperti contohnya orang yang gila, maka tidak wajib baginya untuk shalāt. 

Berdasarkan hadīts Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, 

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّىيَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ 

"Pena diangkat dari 3 orang; 

⑴ orang yang tidur sampai dia bangun, 

⑵ dari anak kecil sampai dia ihtilām (dewasa/bāligh) dan 

⑶ dari orang yang gila sampai dia berakal." (HR Ash-Hābus Sunan)

قال المصنف:

((وهو حد التكليف)) 

((Dan itu adalah batasan taklīf)) 

Seseorang yang dia Muslim, bāligh dan memiliki akal maka tatkala terpenuhi 3 hal ini, dia masuk pada fase taklīf (yaitu fase mulai dibebankannya perintah-perintah dan larangan-larangan (hukum-hukum) di dalam syari'at. 

Dan ini yang disebut dengan sinnul taklīf (umur mulai dibebankan hukum-hukum syari'at). 

Demikian yang bisa kita sampaikan. 

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

وآخر دعونا أن الحمد لله رب العالمين

و السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

______________

🌍 BimbinganIslam.com

Rabu, 02 Rabi'ul Awwal 1441 H / 30 Oktober 2019 M

👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.

📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt

🔊 Kajian 33 | Shalāt Sunnah

~~~~~~~~~~~~~~~~~

والصلوات المسنونات خمس العيدان والكسوفان والاستسقاء والسنن التابعة للفرائض سبع عشرة ركعة ركعتا الفجر وأربع قبل الظهر وركعتان بعده وأربع قبل العصر وركعتان بعد المغرب وثلاث بعد العشاء يوتر بواحدة منهن وثلاث نوافل مؤكدات صلاة الليل وصلاة الضحى والتراويح.

Adapun shalat sunnah ada 5 (lima) yaitu: 

① Idul Fitri dan Idul Adha, 

② Gerhana matahari (kusuf as Syamsi) dan gerhana bulan (khusuf al qamar); 

③ Shalat istisqa’ (minta hujan). 

④ Adapun shalat sunnah rawatib yang bersamaan dengan shalat fardhu ada 17 (tujuh belas) raka'at. 

Yaitu dua rokaat sebelum shalat subuh, empat raka'at sebelum dzuhur, dua rokaat setelah dhuhur, empat raka'at sebelum ashar, dua raka'at setelah maghrib dan tiga rokaat setelah isya’ dengan shalat witir (ganjil) dengan satu raka'at terakhir. 

⑤ Ada 3 (tiga) shalat sunnah mua’akkad yaitu shalat malam, shalat dhuha dan shalat tarawih.

(Fiqh AtTaqrib Matan Abū Syujā')

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

SHALAT SUNNAH

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد 

Para Sahabat Bimbingan Islam yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada halaqah yang ke-33 ini kita akan membahas tentang "Shalat Sunnah". 

Sebelum masuk ke dalam matan kitab maka saya mengajak diri dan Sahabat sekalian untuk memperbanyak shalat sunnah yang diajarkan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berdasarkan hadīts-hadīts (dalil-dalil) yang shahīh. 

Diantara faidah dalam memperbanyak amalan shalat sunnah diantaranya adalah: 

⑴ Bahwasanya dengan memperbanyak amalan shalat sunnah maka itu menjadi washilah untuk mendapatkan kecintaan dari Allāh kepada kita, dengan syarat bahwasanya kita menjaga amalan-amalan ibadah yang wajib. 

Sebagaimana di dalam hadīts Qudsi yang shahīh yang diriwayatkan oleh Imām Bukhāri bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda bahwa Allāh Ta'āla berfirman, 

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ... 

(فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا) 

... وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ 

"Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri beribadah kepadaKu dengan sesuatu yang Aku cintai melebihi dari pada ibadah-ibadah yang telah aku wajibkan kepadanya. 

Dan seorang hamba (-setelah dia mengerjakan amalan-amalan yang wajib-) senantiasa terus mendekatkan diri beribadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla kepadaKu dengan amalan-amalan yang sunnah sampai aku mencintainya."

⇒ Maksudnya adalah bahwasanya Allāh Ta'āla mencintai seorang hamba yang mendekatkan diri kepada Allāh dengan amalan-amalan yang diwajibkan kepadanya. 

Kemudian sampai pada lafazh 

"Tatkala Allāh telah mencintai dia" (فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ) 

وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ 

"Dan jika dia meminta kepadaKu niscaya akan Aku penuhi permintaannya. Dan apabila meminta perlindungan kepadaKu niscaya akan Aku lindungi dia."

⑵ Dengan shalat sunnah maka akan menutup kekurangan yang ada pada shalat yang wajib. 

Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imām Abū Dāwūd bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

(إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلَاةُ) ، قَالَ : (وَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ : انْظُرُوا فِي صَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا ؟ فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً ، وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا ، قَالَ : انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ؟ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ ، قَالَ : أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ 

"Sesungguhnya amalan manusia yang pertama kali dihisab (diperhitungkan) pada hari kiamat adalah amalan shalatnya.

Kemudian Nabi bersabda: Bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta'āla bertanya kepada para malaikatNya dan Allāh Maha Mengetahui akan hal itu: 

Lihatlah shalat hambaKu apakah sempurna ataukah kurang? 

Maka apabila sempurna akan dicatat sebagai amalan yang sempurna. Dan apabila berkurang sesuatu dari shalatnya maka Allāh berfirman: Lihatlah apakah hambaKu punya amalan-amalan shalat sunnah? 

Maka apabila dia memiliki amalan shalat sunnah, Allāh Ta'āla berfirman: Sempurnakanlah shalat wajib hambaKu dengan shalat sunnahnya."

قال المصنف رحمه الله: 

((والصلوات المسنونات خمس)) 

((Dan shalat sunnah/nafilah ada 5)) 

● PERTAMA

((العيدان)) 

((Dua shalat 'Īd)) 

⇒ Yaitu shalat 'Īdul Fithri dan shalat 'Īdul Adha. 

Disunnahkan untuk dilaksanakan secara berjama'ah bahkan dikatakan hukum berjama'ah adalah fardhu kifayah. 

Dalilnya adalah perbuatan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam. 

● KEDUA

((والكسوفان)) 

((Shalat 2 gerhana)) 

Yaitu shalat gerhana matahari dan gerhana bulan. 

Hukum shalatnya adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan/dianjurkan) karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melakukannya dan memerintahkannya. Dan disunnahkan pula untuk melakukannya berjama'ah.

● KETIGA

((والاستسقاء)) 

((Dan shalat mohon untuk diturunkan hujan)) 

Dan disunnahkan juga untuk dilakukan secara berjam'ah, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam. 

● KEEMPAT

((والسنن التابعة للفرائض سبع عشرة ركعة)) 

((Sunnah-sunnah yang mengikuti shalat wajib ada 17 raka'at)) 

Para sahabat Imām Syāfi'ī berbeda pendapat tentang berapa jumlah raka'atnya. 

Adapun yang disebutkan oleh Penulis di sini adalah sebanyak 17 raka'at, yaitu: 

((ركعتا الفجر وأربع قبل الظهر وركعتان بعده وأربع قبل العصر وركعتان بعد المغرب وثلاث بعد العشاء يوتر بواحدة منهن)) 

• 2 raka'at sebelum shalat Shubuh

• 4 raka'at sebelum shalat Zhuhur

• 2 raka'at setelah shalat Zhuhur

• 4 raka'at sebelum shalat 'Ashar

• 2 raka'at setelah shalat Maghrib

• 3 raka'at setelah shalat 'Isya dengan witir salah 1 nya

⇒ Jadi 2 raka'at ditambah 1 raka'at Witir. 

Totalnya adalah 17 raka'at yang mengikuti shalat fardhu berdasarkan yang disebutkan oleh Penulis. 

Namun para sahabat Imām Syāfi'ī kebanyakan menyebutkan 10 raka'at atau 12 raka'at yaitu rawātib yang mu'akkad, maksudnya adalah shalat rawātib yang senantiasa dikerjakan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam. 

Berdasarkan hadīts Ibnu 'Umar, diriwayatkan oleh Imām Bukhāri dan Muslim. Kata beliau: 

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَحَدَّثَنِيْ حَفْصَةُ بِنْتُ عُمَرُ رضي الله تعالى عنهما أَنَّ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ بَعْدَ مَا يطلع الْفَجْر

"Saya shalat bersama Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam; 

⑴ 2 raka'at sebelum Zhuhur

⑵ 2 raka'at setelah shalat Zhuhur

⑶ 2 raka'at setelah shalat Maghrib

⑷ 2 raka'at setelah shalat 'Isyā

Dan Hafshah bintu 'Umar mengabarkan bahwasanya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam shalat 2 raka'at yang ringan setelah terbit fajar (yaitu sebelum shalat Shubuh)."

Jadi yang ke-5 adalah: 

⑸ 2 raka'at sebelum shalat Shubuh

Adapun yang mengatakan bahwa sebelum shalat Zhuhur adalah 4 raka'at berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imām Bukhāri dari 'Āisyah radhiyallāhu Ta'āla 'anhā: 

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَمْ يَدَعْ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ  

"Bahwasanya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak pernah meninggalkan 4 raka'at sebelum shalat Zhuhur."

Adapun yang lain maka termasuk perkara yang mustahab namun tidak sampai derajat muakad (sangat ditekankan) yaitu 4 raka'at sebelum shalat 'Ashar. 

Adapun 2 raka'at sebelum shalat Maghrib maka menurut Imām Nawawi yang shahīh adalah termasuk mustahab (sunnah) karena disana ada khilaf apakah 2 raka'at sebelum shalat Maghrib termasuk sunnah atau tidak termasuk sunnah.

Imām Nawawi berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imām Bukhāri, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

صَلُّوا قَبْلَ صَلاَةِالْمَغْرِبِ - قَالَ فِي الثَّالِثَةِ -: لِمَنْ شَاءَ 

"Shalatlah kalian sebelum shalat Maghrib- Beliau mengatakan setelah 3 kali mengucapkan- Bagi yang menginginkan."

Ini menunjukkan bahwasanya hal tersebut adalah sunnah dan tidak muakkad. 

■ KEUTAMAAN SHALAT RAWĀTIB

Keutamaan shalat rawātib di dalam Shahih Muslim, dari Ummu Habībah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda, 

من صلى اثنتي عشرة ركعة في يوم وليلة بني له بهن بيت في الجنة " قالت أم حبيبة: فما تركتهن منذ ان سمعتهن من رسول الله صلى الله عليه وسلم

"Barangsiapa yang shalat 12 raka'at sehari dan semalam maka akan dibangunkan untuknya rumah di surga."

Maka berkata Ummu Habībah, "Sejak saya mendengar dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam maka saya tidak pernah meninggalkan amalan tersebut."

● KELIMA

قال المصنف: 

((وثلاث نوافل مؤكدات)) 

((Dan 3 shalat sunnah yang muakkad)) 

Yaitu yang sangat ditekankan/dianjurkan; 

١. ((صلاة الليل)) 

1. ((Shalat malam)) 

Dalam hadits riwayat Hākim yang mana syaratnya sesuai syarat Bukhāri, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ ، فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ ، وَ قُرْبَةٌ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ ، ومكفرة لِلسَّيِّئَاتِ ، وَمَنْهَاةٌ عَنَ الْإِثْمِ

"Hendaklah kalian menjaga shalat malam karena itu adalah kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian dan ibadah yang mendekatkan kepada Tuhan kalian dan juga sebagai penebus dan pencegah dari perbuatan dosa."

Dan juga shalat malam adalah ciri orang-orang yang beriman. 

Allāh Ta'āla berfirman, 

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ 

"Dan mereka senantiasa memohon ampun pada waktu-waktu sahur 

(Yaitu pada waktu sepertiga malam)." (Adz-Dzāriyāt 18)

٢. ((وصلاة الضحى)) 

2. ((Shalat Dhuha)) 

Yaitu shalat sunnah minimal 2 raka'at di waktu dhuha (antara 15 menit setelah terbitnya matahari sampai zawwal). 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : أَوْصَانِي خَلِيلِي بِثَلاثٍ : صِيَامِ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ , وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى , وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ 

Dari Abū Hurairah radhiyallāhu Ta'āla 'anhu berkata, "Bahwasanya kekasihku (yaitu Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam) pernah memberikan wasiat kepadaku dengan 3 perkara; puasa 3 hari setiap bulannya, mengerjakan 2 raka'at shalat Dhuha dan shalat Witir sebelum tidur." (HR Bukhāri dan Muslim)

٣. ((والتراويح)) 

3. ((Shalat Tarāwīh)) 

Yaitu shalat malam di setiap malam bulan Ramadhān. 

Dari Abū Hurairah radhiyallāhu Ta'āla 'anhu bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda, 

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًاغُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ 

"Barangsiapa yang menegakkan shalat malam di bulan Ramadhān (maksudnya shalat Tarāwīh) dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah terdahulu." (HR Bukhāri dan Muslim)

Sampai disini yang bisa kita sampaikan. 

وصلى الله على نبينا محمد و على آله وصحبه وسلم

والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

______________

🌍 BimbinganIslam.com

Senin, 28 Rabi'ul Awwal 1441 H / 25 November 2019 M

👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.

📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt

🔊 Kajian 34 | Syarat Shalāt

~~~~~~~~~~~~~~~~~

(فصل) وشرائط الصلاة قبل الدخول فيها خمسة أشياء طهارة الأعضاء من الحديث والنجس وستر العورة بلباس طاهر والوقوف على مكان طاهر والعلم بدخول الوقت واستقبال القبلة ويجوز ترك القبلة في حالتين في شدة الخوف وفي النافلة في السفر على الراحلة.

Syaratnya shalat sebelum melaksanakan shalat ada 5 (lima) yaitu: 

① sucinya anggota badan dari hadas dan najis, 

② menutup aurat dengan kain yang suci, 

③ berdiri pada tempat yang suci, 

④ tahu masuknya waktu shalat, 

⑤ menghadap kiblat. 

Boleh tidak menghadap kiblat dalam dua keadaan yaitu ketika sangat takut dan shalat sunnah di atas kendaraan dalam perjalanan.

(Fiqh AtTaqrib Matan Abū Syujā')

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

SYARAT SHALĀT

بسم الله الرحمن الرحيم 

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد 

Para Sahabat Bimbingan Islam yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada halaqah yang ke-34 ini kita akan membicarakan tentang "Syarat di dalam shalat."

قال المصنف: 

((وشرائط الصلاة قبل الدخول فيها خمسة أشياء)) 

((Dan syarat-syarat shalat sebelum dilaksanakannya ada 5 macam)) 

Syarat shalat apabila tidak dipenuhi maka shalat seseorang tidaklah sah (batal) dan hal ini sama seperti rukun. Hanya saja bedanya bahwasanya syarat shalat ada di luar shalat sedangkan rukun shalat itu adalah perkara-perkara yang ada di dalam shalat itu sendiri.

● SYARAT PERTAMA

((طهارة الأعضاء من الحدث والنجس)) 

((Sucinya anggota tubuh dari hadats maupun najis)) 

⒜ SUCI DARI HADATS

• Dalil 

⑴ Hadits Ibnu 'Umar manakala Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

لا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاة بِغَيْرِ طُهُورٍ 

"Dan tidaklah Allāh menerima shalat seseorang yang tidak bersuci." (HR Muslim, Tirmidzi, Ahmad)

⑵ Allāh Ta'āla berfirman: 

إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ 

"Apabila kalian hendak melakukan shalat maka cucilah wajah-wajah kalian (berwudhū')." (Al-Maidah 6)

⒝ SUCI DARI NAJIS

⇒ Baik di badan, di pakaian maupun di tempat shalat.

• Dalil

Hadits Ummu Qais tatkala beliau bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tentang pakaian yang terkena darah hāidh, maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

ثم اغسليه بالماء 

"Kemudian cucilah pakaian tersebut dengan air." (HR Abū Dāwud dan yang lainnya, hadits shahih)

◆ Apabila badan atau pakaian terdapat najis maka tidak sah shalat seseorang sampai dia menghilangkannya.

Apabila seseorang tidak tahu najis yang ada dalam pakaiannya kemudian selesai melaksanakan shalatnya maka dia tidak perlu mengulang shalatnya.

 Apabila dia mengetahui pada saat di pertengahan shalatnya maka dia wajib untuk menghilangkan (membuang) najis tersebut jika memungkinkan, maka tidak mengulangi yang sebelumnya.

◆ Apabila najis itu tidak dapat dihilangkan dari badannya atau pakaiannya pada saat dia shalat maka dia wajib mengulangi shalatnya.

● SYARAT KEDUA 

((وستر العورة بلباس طاهر )) 

((Dan menutup aurat dengan pakaian yang suci))

Menutup aurat pada saat shalat adalah wajib secara mutlak walaupun dalam keadaan sendirian di tempat ruangan yang gelap gulita, maka ini adalah ijma' bahwasanya wajib berdasarkan ijma' wajib menutup aurat pada saat dia melakukan shalat.

• Dalil

Firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla: 

خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ 

"Ambillah/pakailah pakaian yang terbaik tatkala kalian masuk ke dalam masjid (atau pada saat kalian akan shalat di masjid)." (Al-A'rāf 31)

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam juga bersabda: 

لا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ

"Dan Allāh tidak menerima shalat seseorang yang hāidh (bāligh) kecuali dia memakai khimār (penutup kepala)." (HR Tirmidzi)

⇒ Maksudnya adalah shalatnya seseorang yang bāligh (sudah mukallaf) jika dia tidak menutup auratnya maka tidak diterima shalatnya oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla karena menurut aurat merupakan syarat sahnya shalat seseorang.

Dan syarat penutup aurat bahwasanya:

◆ Penutup tersebut dapat menutup aurat dan tidak memperlihatkan warna kulit karena saking tipisnya atau karena tembus pandang.

⇒ Apakah dia berbahan dari kulit, kain, daun-daun, rumput-rumputan atau dari yang lainnya atau bahkan boleh dengan tanah liat jika memang bisa menutup aurat dan tidak tembus pandang.

Dan bahan-bahan yang tembus pandang dan masih menampakkan warna kulit seseorang maka tidak dipandang sebagai penutup aurat dan tidak sah shalatnya.

Adapun aurat laki-laki secara umum adalah dari lutut sampai pusar.

Dan aurat wanita ada khilaf di kalangan para ulama yaitu seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangannya.

● SYARAT KETIGA

((والوقوف على مكان طاهر)) 

((Dan berdiri/melaksanakan shalat tersebut di tempat yang suci))

• Dalil

Perintah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tatlala menyiram kencing Badui yang dia kencing di masjid Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam. 

أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ

"Dan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkan untuk menyiram dengan seember air." (HR Bukhāri dan Muslim)

● SYARAT KEEMPAT 

((والعلم بدخول الوقت)) 

((Dan mengetahui/meyakini masuknya waktu shalat))

Masuknya waktu shalat adalah shalat diterimanya shalat seseorang. Shalat bukan pada waktunya maka dia batal dan harus diulang.

⇒ Apakah tidak mengetahui sudah masuk atau belum maka seseorang harus berusaha keras untuk mencari tahu kapan masuknya waktu shalat.

⇒ Apakah dari tanda-tanda yang mungkin atau dari petunjuk-petunjuk yang lainnya. 

Karena Allāh Ta'āla telah berfirman: 

إِنَّ الصَّلاةَ كَانَت ْعَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا 

"Sesungguhnya waktu-waktu shalat telah ditentukan bagi orang-orang yang beriman." (An-Nisā 103)

● SYARAT KELIMA 

((واستقبال القبلة)) 

((Menghadap kiblat/Ka'bah)) 

⇒ Atau arah Ka'bah. 

Karena Allāh Ta'āla berfirman: 

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ 

"Dan palingkanlah wajahmu untuk menghadap ke arah Masjidil Harām." (Al-Baqarah 144)

Dan juga tatkala Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengajarkan kepada orang "musīush shalāt" (yang buruk shalatnya), kata Beliau: 

وَاسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ ، وَكَبِّرْ

"Menghadaplah kalian menghadap kiblat kemudian bertakbirlah." (HR Bukhāri dan Muslim) 

Bagi orang yang melihat/dekat Ka'bah dan bisa memastikan bahwasanya menghadap Ka'bah adalah wajib untuk menghadap Ka'bah harus secara tepat.

Adapun untuk orang yang jauh maka yang diwajibkan padanya adalah arah Ka'bah. 

((ويجوز ترك القبلة في حالتين)) 

((Dan diperbolehkan untuk tidak menghadap kiblat pada 2 keadaan)) 

• KEADAAN ⑴ 

((في شدة الخوف)) 

((Pada saat rasa takut yang amat sangat))

Misalnya: pada saat perang berkecamuk maka shalat sebisa mungkin untuk dilakukan pada keadaan apa saja, sebisa mungkin.

Dan tetap tidak diperbolehkan meninggalkan shalat ataupun shalat di luar waktunya. Dan tetap melaksanakan shalat dalam keadaan baik berkendaraan ataupun berjalan, baik menghadap kiblat atau tidak menghadap kiblat.

Berdasarkan firman Allāh Ta'āla: 

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا ۖ  

"Apabila kalian dalam keadaan takut maka tidak mengapa untuk melaksanakan ibadah tersebut sambil berjalan ataupun berkendaraan." (Al-Baqarah: 239)

Ibnu 'Umar radhiyallāhu Ta'āla 'anhu dalam menafsirkan ayat ini yaitu menghadap kiblat ataupun tidak menghadap kiblat.

Begitupula yang meriwayatkan Imām Mālik dari Nāfi', kata beliau: 

لا أرىه قال ذالك إلا عن رسول الله 

"Saya pikir dia tidaklah mungkin berkata demikian kecuali dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam."

Dan kalimat "fī syiddatil khawf" (ketakutan yang amat sangat) meliputi rasa takut yang amat sangat selama bukan dalam perkara-perkara yang maksiat.

Misalnya tatkala berhadapan dengan bencana, musuh, perampok atau hal-hal lain yang menimbulkan rasa takut yang amat sangat, maka dia termasuk di dalam ayat ini. 

• KEADAAN ⑵ 

((وفي النافلة في السفر على الراحلة)) 

((Dan pada shalat sunnah jika dilakukan safar di atas kendaraan))

Maka hal itu diperbolehkan bagi seseorang yang safar/bepergian dengan tujuan yang mubah untuk melakukan shalat sunnah yaitu baik dalam keadaan menunggangi kendaraan ataupun dalam keadaan berjalan, dalam keadaan dengan menghadap ke arah tujuan dari kendaraan tersebut, baik di dalam safar yang jauh maupun safar yang pendek. 

Pendapat ini berdasarkan pendapat dalam madzhab Syāfi'ī. 

• Dalil

Dari Ibnu 'Umar radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, dia berkata: 

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي فِى السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ 

"Adalah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam shalat di atas kendaraannya pada saat Beliau safar dan menghadap ke mana saja kendaraan tersebut menghadap." (HR Bukhāri dan Muslim)

وصلى الله على نبينا محمد وعلى لله وصحبه وسلم

وآخر دعونا ان الحمد لله رب العالمين

______________

🌍 BimbinganIslam.com

Selasa, 29 Rabi’ul Awwal 1441H / 26 November 2019M

👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.

📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt

🔊 Kajian 35 | Beberapa Permasalahan Seputar Syarat-Syarat Shalāt

~~~~~~~~~~~~~

BEBERAPA PERMASALAHAN SEPUTAR SYARAT SYARAT SHALĀT

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Para Sahabat Bimbingan Islam yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

Pada halaqah yang ke-35 ini akan kita bahas secara ringkas beberapa masāil (permasalahan-permasalahan) seputar syarat-syarat shalat.

■ PERTAMA | Seseorang yang melaksanakan shalat namun lupa kalau dia belum bersuci maka bagaimana hukumnya?

Hukumnya adalah wajib untuk mengulang shalat tersebut.

Dan dinukilkan bahwa hal tersebut adalah ijma' oleh Imām Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Imām Ibnu Baththal, Imām An-Nawawiy dan juga Imām Al-'Iraqiy.

■ KEDUA | Seseorang yang tidak mendapatkan air ataupun tanah atau dalam keadaan yang tidak bisa ataupun dilarang untuk bersuci (misalnya dalam keadaan terikat, terpenjara atau dalam keadaan yang lainnya), maka apa yang dia lakukan?

Maka dia hendaknya shalat berdasarkan keadaan yang ada dan tidak perlu diulang shalatnya.

Ini adalah madzhab Hanbali dan juga perkataan Imām Ash-hāb dari kalangan Mālikiyyah dan juga salah satu pendapat dari Syāfi'īyyah.

Dan pendapat ini dipilih oleh Imām Bukhāri, Imām Ibnu Hazm, Imām An-Nawawiy, Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah, Ibnu 'Utsaimin dan juga merupakan fatwa dari Lajnah Dāimah.

Dalil: 

Firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla: 

• QS At Taghābun: 16 

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ 

"Dan bertaqwalah kalian kepada Allāh sesuai dengan kemampuan (sebisa) kalian." 

• QS Al-Baqarah: 286

لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ

"Dan Allāh tidak membebani sebuah jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya."

■ KETIGA | Bahwasanya kesucian badan, kesucian pakaian dan kesucian tempat adalah syarat sah shalat.

Dan ini adalah menurut jumhur fuqahā.

■ KEEMPAT | Seseorang yang tidak mampu menghilangkan najis atau jika najis tersebut dihilangkan akan mengakibatkan mudharat yang besar, maka apa yang harus dilakukan?

Yang harus dilakukan adalah bahwasanya orang tersebut setelah dia thahārah, maka dia shalat dalam keadaan yang najis, baik yang ada pada pakaiannya maupun pada badannya. Dan tidak perlu mengulangi shalatnya.

Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyyah dan juga salah satu riwayat Hanabilah dan pendapat ini yang dipilih oleh Imām Ibnu Qudāmah, Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah, Syaikh Bin Bāz dan Syaikh 'Utsaimin.

Dalil: 

Qiyas terhadap orang yang sakit yang tidak mampu melaksanakan sebagian rukunnya atau syaratnya maka gugurlah rukunnya atau syaratnya tersebut.

■ KELIMA | Jika pada saat shalat lalu tiba-tiba pakaian atau badannya terkena najis maka apabila dia menghilangkan najis tersebut dan tidak ada bekasnya maka shalatnya adalah sah.

Dalilnya adalah ijma' dan dinukilkan oleh Imām Nawawiy Asy-Syāfi'ī dan juga oleh Ibnu Hajar rahimahullāh.

■ KEENAM | Seseorang yang shalat dengan sesuatu yang najis (misalnya dengan pakaian yang najis atau sandal yang najis) dikarenakan kejahilan (tidak tahu) atau dikarenakan dia lupa bahwa pakaiannya najis maka shalatnya sah dan tidak perlu mengulang shalatnya.

Pendapat ini riwayat dari Imām Ahmad dan juga pendapat Imām Syāfi'ī dalam Qaul Qadīmnya (pendapat lama), dan juga dipilih oleh Imām Ibnul Mundzir, Imām An-Nawawiy, Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Bin Bāz dan Syaikh 'Utsaimin.

Dalil: 

Hadits dari Abū Sa'īd Al-Khudriy radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, beliau berkata: 

بينما رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي بأصحابه إذ خلع نعليه فوضعهما عن يساره فلما رأى القوم ذلك ألقوا نعالهم فلما قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاته قال ما حملكم على إلقاء نعالكم قالوا رأيناك ألقيت نعليك فألقينا نعالنا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن جبريل عليه السلام أتاني فأخبرني أن فيهما قذرا 

Manakala Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam shalat bersama para shahābatnya, tiba-tiba Beliau melepaskan kedua sandalnya dan meletakkannya di sebelah kiri.

Tatkala shahābat melihatnya merekapun melemparkan sandal-sandal mereka.

Setelah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam selesai melaksanakan shalat, maka Beliaupun bertanya, "Mengapa kalian melemparkan sandal-sandal kalian?"

Merekapun menjawab, "Kami melihat engkau melemparkan sandalmu, yā Rasūlullāh, maka kamipun melemparkan sandal kami."

⇒ Maksudnya karena mengikuti Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda, "Tadi Jibrīl datang dan memberi tahu kepadaku bahwa di sandal tersebut ada najis." (HR Abū Dāwūd dan Imām Ahmad)

#CATATAN

Bahwasanya pada saat itu, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dan para shahābat shalat dengan menggunakan sandal.

Dasar pendalilannya: 

Bahwasanya jika pakaian yang tidak diketahui najisnya menyebabkan batal maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam akan mengulang dari awal.

Akan tetapi dalam hadits tersebut Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam meneruskan shalatnya.

⇒ Menunjukkan bahwa apabila tidak mengetahuinya maka tidak perlu diulang shalatnya.

■ KETUJUH | Beberapa masalah yang terkait tempat shalat.

Pada saat ditanya, Syaikh 'Utsaimin ditanya, beliau menjawab bahwa ada 5 tempat yang tidak sah shalat di atasnya karena pada asalnya shalat dimana saja diperbolehkan, berdasarkan sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam: 

جعلت لي الأرض مسجدًا

"Bahwasanya Allāh menjadikan permukaan bumi ataupun tanah sebagai tempat sujud."

Akan tetapi dikecualikan beberapa tempat berdasarkan hadits-hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bahwasanya apabila shalat di atasnya maka shalatnya tidak sah.

Tempat tersebut adalah:

⑴ Kuburan

Berdasarkan hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imām Tirmidzi: 

الأرض كلها مسجد إلا المقبرة والحمام

"Bahwasanya permukaan bumi/tanah seluruhnya adalah tempat sujud (tempat shalat) kecuali kuburan dan juga tempat mandi."

Dan juga sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam: 

لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

"Semoga Allāh melaknat orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashara karena mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid (tempat shalat)." (HR Bukhāri dan Muslim)

Dan pada masalah ini diperkecualikan shalat jenazah, diperbolehkan orang apabila luput untuk shalat jenazah di atas kuburan, berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

⑵ Tempat pemandian (al-hammām)

Berdasarkan dalil di atas.

Akan tetapi pendapat jumhur ulama bahwasanya shalat di tempat pemandian hukumnya adalah makruh dan dia tetap sah.

Karena tempat mandi tidak lepas dari sesuatu yang najis oleh karena itu menurut jumhur ini adalah tempat yang makruh.

⑶ WC (tempat buang hajat)

Ini adalah tempat yang tidak sah shalat di atasnya karena di sini adalah tempat berkumpulnya najis.

⑷ Kandang unta (a'thānal ibil)

Berdasarkan hadits Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam: 

صلوا في مرابض الغنم ، ولا تصلوافي أعطان الإبل 

"Shalatlah kalian di kandang kambing dan janganlah kalian shalat di kandang unta." (HR Tirmidzi dan Ibnu Mājah)

Jadi disini adalah larangan dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam untuk shalat di kandang unta.

⑸ Tanah hasil curian, hasil rampasan, hasil penipuan, dan tanah-tanah yang semisalnya yang dimiliki bukan karena hak dimiliki dengan merampas hak orang lain yang disebut sebagai al-ardhul masrūq (tanah hasil curian atau tanah hasil rampasan) maka tidak boleh shalat di atasnya.

Dan para ulama berselisih pendapat; jika shalat di atasnya, apakah shalat tersebut sah atau tidak.

Sebagian mengatakan bahwasanya shalat di atas tanah hasil rampasan curian atau penipuan maka tidak sah shalatnya.

Sebagian berpendapat bahwasanya shalatnya tetap sah namun dia dalam keadaan berdosa karena shalat di atas tempat yang terlarang kita shalat di atasnya yaitu tanah hasil curian atau hasil rampasan.

Pendapat yang terakhir ini yang dirajihkan oleh Syaikh 'Utsaimin.

KEDELAPAN | Terkait waktu shalat.

Apabila shalat sebelum waktu, kemudian dia mengetahuinya maka shalatnya wajib untuk diulangi.

Karena Allāh Ta'āla berfirman: 

إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا 

"Bahwasanya shalat telah ditetapkan waktunya bagi orang-orang yang beriman." (QS An-Nisā: 103)

Barangsiapa yang shalat sebelum waktunya maka shalatnya tidak sah dan harus diulang.

Ini adalah ijma' dan dinukil oleh Imām 'Abdil Barr dan juga Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah.

Dan tidak boleh seseorang mengakhirkan shalat keluar dari waktunya tanpa udzur yang syar'i (yang diperbolehkan oleh syari'at).

■ KESEMBILAN | Apabila mengetahui shalatnya menghadap ke selain kiblat.

Maka ada 2 keadaan;

• ⑴ Jika dia masih di dalam shalatnya maka dia berputar mengarah ke kiblat. Ini adalah pendapat jumhur.

• ⑵ Apabila dia mengetahui setelah selesai dari shalatnya maka shalatnya tidak perlu diulang. 

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم 

وآخر دعونا أن الحمد لله رب العالمين

والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

______________

🌍 BimbinganIslam.com

Rabu, 30 Rabi’ul Awwal 1441H / 27 November 2019M

👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.

📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt

🔊 Kajian 36 | Rukun-Rukun Shalāt (Bagian 1)

➖➖➖➖➖➖➖

MATAN KITAB

أركان الصلاة(فصل) وأركان الصلاة ثمانية عشرة ركنا النية والقيام مع القدرة وتكبيرة الإحرام وقراءة الفاتحة وبسم الله الرحمن الرحيم آية منها والركوع والطمأنينة فيه والرفع والاعتدال والطمأنينة فيه والسجود والطمأنينة فيه والجلوس بين السجدتين والطمأنينة فيه والجلوس الأخير والتشهد فيه والصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم فيه والتسليمة الأولى ونية الخروج من الصلاة وترتيب الأركان على ما ذكرناه.

Rukun-rukun (fardhu) shalat ada 18 (delapan belas); niat, berdiri apabila kuasa, takbirotul ihram, membaca al-fatihah dengan basmalah-nya, ruku’, tumakninah dalam ruku’, bangun dari ruku’, i’tidal (berdiri setelah ruku’), tuma’ninah saat i’tidal, sujud, dan tuma’ninah saat sujud, duduk di antara dua sujud dan tuma’ninah, duduk terakhir, dan tasyahud (tahiyat) saat duduk terakhir, membaca shalawat pada Nabi saat tahiyat akhir, salam pertama, niat keluar dari shalat, tertib sesuai urutan rukun di atas.

➖➖➖➖➖

RUKUN-RUKUN SHALĀT (BAGIAN 1)

بسمــ اللّه الرحمنــ الرحيمـ‍ـ  

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Para Sahabat Bimbingan Islam yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita masuk pada halaqah ke-36 tentang "Rukun-rukun di Dalam Shalat".

قال المصنف: 

((وأركان الصلاة ثمانية عشرة ركنا))

((Dan rukun-rukun shalat ada 18 macam perbuatan))

Perbuatan-perbuatan dalam shalat terbagi menjadi:

⑴ Perbuatan yang termasuk dalam rukun shalat. 

⑵ Perbuatan yang termasuk dalam wajib shalat. 

⑶ Perbuatan yang termasuk dalam sunnah shalat.

Rukun adalah perbuatan yang secara umum apabila ditinggalkan maka shalat menjadi batal.

Ada beberapa keadaan secara rinci:

■ Pertama | Apabila ditinggalkan secara sengaja sementara dia mampu untuk melakukannya maka batal shalatnya.

■ Kedua | Apabila ditinggalkan karena lupa maka ada beberapa keadaan:

⑴ Apabila seseorang teringat setelah melakukan shalat maka apabila jeda waktunya panjang maka batallah shalatnya.

⑵ Namun apabila jeda waktunya pendek maka yang rajih adalah pendapat Imām Syāfi'ī yaitu mengulangi rukun yang ditinggalkan dan perbuatan-perbuatan setelahnya sampai selesai shalat.

⇒ Panjang dan pendeknya jeda yang diperbolehkan maka dikembalikan kepada 'urf (kebiasaan) yang berlaku pada masyarakat tersebut.

✓Apabila teringat di dalam waktu shalat maka dia mengulangi rukun tersebut dan gerakan-gerakan setelahnya sampai selesai shalat kemudian dia sujud syahwi.

✓Apabila teringat setelah masuk raka'at berikutnya, misalnya seseorang terlupa rukun pada raka'at pertama dan kemudian dia telah masuk kepada raka'at yang kedua maka raka'at yang pertama itu tidak teranggap dan raka'at yang kedua maka dia menjadi raka'at yang pertama.

■ Ketiga | Takbiratul ihrām jika ditinggalkan sengaja atau lupa maka shalatnya tidak dianggap (shalatnya batal).

Dan disebutkan oleh Penulis dalam matan bahwasanya ada 18 gerakan yang terhitung termasuk di dalam rukun. Disebutkan secara rinci:

● RUKUN KE-1

((النية))

((Niat))

Tidak sah shalat seseorang yang dilakukan tanpa niat.

◆ Dalil:

• Sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam: 

إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

"Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu tergantung niatnya." (HR Bukhāri dan Muslim)

• Dan dinukilkan bahwasanya hal ini adalah ijmā' oleh Imām Nawawi, Ibnu Mundzir dan Ibnu Qudamah yaitu tidak sah shalat seseorang yang dilakukan tanpa niat.

Niat dilakukan sebelum melaksanakan shalat dan tempat niat adalah di dalam hati dan tidak dilafazhkan di lisan. 

● RUKUN KE-2

((والقيام مع القدرة)) 

((Berdiri jika mampu))

Hukum berdiri saat shalat perlu diperinci sebagai berikut.

✓Untuk shalat fardhu maka berdiri merupakan rukun di dalam shalat, artinya apabila ditinggalkan sengaja maka shalatnya batal.

◆ Dalil

• Firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla: 

وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

"Dan berdirilah kalian untuk Allāh dalam shalatmu dalam keadaan yang khusyū'." (QS Al Baqarah: 238)

⇒ Para mufassirin bersepakat bahwasanya maksud وَقُومُوا (dan berdirilah) dalam ayat tersebut yaitu berdiri untuk shalat.

• Dan dalam hadits bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ 

"Shalatlah kamu berdiri, jika tidak mampu maka duduklah, jika tidak mampu maka berbaringlah." (HR Bukhāri)

✓Untuk shalat sunnah maka  maka diperbolehkan untuk shalāt sambil duduk bahkan bagi orang yang mampu untuk berdiri dalam shalatnya.

◆ Dalil:

• Hadits ⑴ 

عن عمران بن حصين قال : سألت النبي صلى الله عليه و سلم عن الذي يصلي قاعدا قال من صلى قائما فهو أفضل ومن صلى قاعدا فله نصف أجر القائم ومن صلى نائما فله نصف أجر القاعد. 

Dari 'Imrān bin Husain radhiyallāhu Ta'āla 'anhu berkata: Saya bertanya kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tentang shalatnya seseorang sementara dia dalam keadaan duduk.

Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

"Barangsiapa yang shalat dan dia dalam keadaan berdiri maka itulah yang lebih baik bagi dia.

Dan barangsiapa yang dia duduk maka dia mendapatkan setengah dari pahala orang yang berdiri. 

Dan barangsiapa yang shalat dalam keadaan berbaring maka dia mendapatkan pahala setengah pahala dari orang yang shalat sambil duduk." (HR Bukhāri)

• Hadits ⑵ 

عن عائشة رضي الله تعالى عنها:  أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي جالسا 

Dari 'Āisyah radhiyallāhu Ta'āla 'anhā: bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi  wa sallam pernah shalāt sambil duduk (HR Bukhāri dan Muslim).

Bolehnya shalāt sambil duduk untuk shalāt sunnah disebutkan para ulama adalah ijma', yang dinukilkan ijma oleh Imām Nawawi, Ibnu 'Abdil Barr dan Ibnu Qudāmah

● RUKUN KE-3

((وتكبيرة الإحرام)) 

((Dan takbiratul ihrām))

Yaitu takbir yang pertama kali dan dengan takbir tersebut maka sesuatu yang halal menjadi haram, beberapa perbuatan yang boleh dilakukan di luar shalat tidak boleh dilakukan di dalam shalat. Dan dia termasuk dalam rukun shalat.

◆ Dalil

• Hadits ⑴ 

Hadits 'Ali bin Abī Thālib radhiyallāhu Ta'āla 'anhu bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

مِفْتَاحُ الصَّلاة الطُّهور، وتَحْرِيْمُهَا التكبيرُ، وَتَحْلِيلُهُا التَّسْلِيم 

"Bersuci adalah pembuka (kunci) shalat dan takbir adalah yang membuat haram (hal-hal yang diperbolehkan diluar shalat) dan salam adalah yang membuat menjadi halal kembali." (HR Imām Abū Dāwūd dan Tirmidzi).

• Hadits ⑵ 

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

اذا قُمْتَ إلَى الصَّلاةِ فَكَبِّرْ 

"Jika hendak melaksanakan shalat maka bertakbirlah." (HR Al Khamsah)

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم 

وآخر دعونا أن الحمد لله رب العالمين

______________

🌍 BimbinganIslam.com

Senin, 26 Rabi'ul Akhir 1441 H / 23 Desember 2019 M

👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.

📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt

🔊 Kajian 37 | Rukun-Rukun Shalāt (Bagian 2)

➖➖➖➖➖➖➖

RUKUN-RUKUN SHALĀT (BAGIAN 2)

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Para sahabat Bimbingan Islam yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita lanjutkan halaqah ke-37 masih pada "Rukun-rukun Shalat".

● RUKUN KE-4

قال المصنف:

((وقراءة الفاتحة و بسم الله الرحمن الرحيم آية منها)) 

((Membaca surat Al Fātihah dan Bismillahirrahmānirrahīm adalah termasuk salah satu ayat di dalam surat Al Fātihah tersebut)) 

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan 'Ubādah bin Shāmit: 

أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "لا صلاة لمن لا يقرأ فيها بفاتحة الكتاب"

Bahwasanya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: "Tidak ada shalat (yaitu tidak sah) bagi orang-orang yang tidak membaca surat Al Fātihah." (HR Khamsah/Imam yang lima)

Dan disebutkan tambahan dalam Ibnu Mājah: 

في كل ركعة

"Di setiap raka'at."

Jadi, hukum membaca surat Al Fātihah bagi imam dan orang yang shalat sendirian adalah wajib dan termasuk rukun diantara rukun shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnah.

Bagi yang tidak membaca surat Al Fātihah maka shalatnya tidak sah. 

◆ Bagaimana hukum membaca Al Fātihah bagi seorang makmum dibelakang imam, baik pada shalat jahriyah (shalat yang dikeraskan bacaannya) maupun shalat sirriyyah?

Madzhab Syāfi'ī di dalam masalah ini adalah wajib bagi makmum untuk membaca  surat Al Fātihah secara mutlak, baik pada shalat sirriyyah (shalat yang dilirihkan suaranya) maupun shalat jahriyyah (shalat yang dikeraskan bacaannya) 

Secara ringkas, pendapat para ulama dalam masalah "seorang makmum di belakang imam dalam membaca surat Al Fātihah", ada 3 pendapat:

■ PENDAPAT PERTAMA | Mewajibkan secara mutlak baik dalam shalat sirriyah maupun jahriyyah. 

⇒ Ini adalah pendapat Syāfi'īyyah yang sudah disebutkan tadi. 

Berdasarkan keumuman hadits yang sudah berlalu, yaitu: 

لا صلاة لمن لا يقرأ فيها بفاتحة الكتاب 

"Tidak ada shalat (yaitu tidak sah) bagi orang-orang yang tidak membaca surat alfatihah.

⇒ Ini umum baik sirriyyah maupun jahriyyah. 

■ PENDAPAT KEDUA | Tidak membaca surat Al Fātihah, baik sirriyyah maupun jahriyyah secara mutlak, selama dia menjadi makmum (dibelakang imam). 

⇒ Ini adalah pendapat Hanafiyyah. 

Berdasarkan hadits: 

روي من قوله صلى الله عليه وسلم : "مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ، فَإن قِرَاءَةُ الْإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ"

Diriwayatkan dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam: "Barangsiapa yang dia memiliki imam (shalat bersama imam), maka bacaan imam adalah menjadi bacaannya" (HR Ahmad).

■ PENDAPAT KETIGA | Mewajibkan membaca Al Fātihah di dalam shalat sirriyah dan tidak membaca di dalam shalat jahriyyah. 

⇒ Ini adalah pendapat Hanabilah dan Malikiyyah.

Dasarnya adalah dengan menggabungkan kedua hadits sebelumnya, yang menjadi dalil pendapat pertama dan kedua. 

Yang dirajihkan/dikuatkan oleh Syaikh Bin Bāz, Syaikh Ibn 'Utsaimin dan Mufti Saudi Arabia adalah madzhab Syāfi'īyyah yaitu wajibnya membaca surat Al Fātihah di dalam setiap raka'at, baik dalam shalat sirriyah maupun jahriyyah.

Berkata Syaikh 'Utsaimin rahimahullāh: 

الأفضل أن تكون قراءة الفاتحة للمأموم بعد قراءة الإمام لها؛ لأجل أن ينصت للقراءة المفروضة الركن ... اهـ. 

Yang paling afdhal (utama) adalah membaca surat Al Fātihah setelah imam selesai membaca surat Al Fātihah tersebut, agar bisa mendengarkan bacaan alfatihah yang merupakan kewajiban/rukun di dalam shalat."

Dan berkata Syaikh Bin Bāz: 

أما المأموم: فالمشروع له أن يقرأها في حالة سكتات إمامه إن سكت، فإن لم يتيسر ذلك قرأها المأموم سرا ولو كان إمامه يقرأ، ثم ينصت. اهـ. 

"Adapun makmum, maka dia dianjurkan untuk  membaca surat alfatihah pada saat imam sedang diam, namun apabila dka tidak bisa maka makmum tetap membaca surat alfatihah dengan suara yang lirih (pelan) walaupun imam sedang membaca, setelah selesai kemudian dia (makmum) diam untuk mendegarkan bacaan imam

قال المصنف: 

((و بسم الله الرحمن الرحيم آية منها)) 

((Dan bismillāhirrahmānirrahīm adalah terhitung ayat dalam surat Al Fātihah)) 

Berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallāhu Ta'āla 'anhā: 

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، أَنَّهَا ذَكَرَتْ أَوْ كَلِمَةً غَيْرَهَا " قِرَاءَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ) يُقَطِّعُ قِرَاءَتَهُ آيَةً آيَةً "

Dari Ummu Salamah beliau menyebutkan atau kalimat yang semisalnya tentang bacaan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam (Bismillāhirrahmānirrahīm, alhamdulillāhirabbil 'ālamīn, arrahmānirrahīm, mālikiyaumiddīn), Beliau membaca secara terpisah ayat demi ayat." (HR Abū Dāwūd)

Dan Imam Nawawi mengatakan bahwasanya: 

فمذهبنا أن: "بسم الله الرحمن الرحيم" آية كاملة من أول الفاتحة وليست في أول "براءة" بإجماع المسلمين،

"Madzhab kami bahwasanya Bismillāhirrahmānirrahīm adalah ayat yang sempurna dan termasuk awal surat Al Fātihah dan tidak termasuk dalam surat Al Barā-ah (At Taubah) berdasarkan ijma' kaum muslimin.

Oleh karena itu, wajib membaca surat Al Fātihah dengan didahului basmalah.

BEBERAPA HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DI DALAM MEMBACA SURAT AL FATIHAH

⑴ Membaca surat Al Fātihah dengan suara yang pelan yang bisa didengarkan oleh (telinga) pembaca sendiri. 

⑵ Wajib membaca basmalah sebelum membaca surat Al Fātihah.

⑶ Membaca secara urut sesuai dengan urutannya. 

⑷ Harus dibaca dengan bacaan yang benar dan tidak membaca secara lahn (keliru), baik makhrajnya maupun tajwidnya yang mengubah makna dari kalimat tersebut.

⇒ Oleh karena itu, maka hendaknya kaum muslimin belajar bagaimana membaca Al Qurān (terutama surat Al Fātihah) dengan cara yang benar.

⑸ Membaca Al Fātihah dengan bahasa Arab dan tidak sah jika membacanya dengan bahasa yang lainnya.

HUKUM MENGERASKAN BACAAN BASMALAH DALAM SHALĀT JAHRIYAH

Para ulama berbeda pendapat; ada yang mengatakan sunnahnya adalah dengan mengeraskan bacaan basmalah. Dan pendapat yang lain mengatakan sunnahnya adalah dipelankan (dilirihkan).

Madzhab Syāfi'ī dalam masalah ini adalah hukumnya sunnah mengeraskan bacaan basmalah, sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al Majmū'. 

◆ Yang rajih bahwa semuanya dicontohkan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam namun Rasūlullāh lebih banyak membaca basmalah dengan suara yang pelan/lirih.

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullāh: Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam terkadang mengeraskan bacaan bismillah, namun lebih banyak membacanya dengan suara yang pelan/lirih.

قال المصنف 

((والركوع والطمأنينة فيه، والإعتدال، والطمأنينة فيه، والسجود، والطمأنينة فيه، والجلوس بين سجدتين، والطمأنينة فيه))

((Kemudian ruku' dan thuma'ninah didalamnya, kemudian i'tidal dan thuma'ninah di dalamnya, kemudian sujud dan thuma'ninah didalamnya dan duduk diantara dua sujud dan thuma'ninah didalamnya)) 

● RUKUN KE-5

((والركوع))

((Rukū')) 

Dan disebutkan hadits: 

عن أبي مسعودٍ البَدْرِيِّ رضِيَ اللهُ عنه، قال النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ:  ((لا تُجزِئُ صلاةُ الرَّجلِ حتَّى يُقِيمَ ظهرَه في الرُّكوعِ والسُّجودِ)) رواه ابو داود و أحمد وصححه الألباني

"Dari Abū Mas'ūd Al Badriy radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, berkata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam: "Tidak sah shalat seseorang sampai dia meluruskan punggungnya pada saat ruku' dan juga pada saat sujud." (HR Abū Dāwūd dan Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al Albāni) 

⇒ Ruku' yang benar adalah sebagaimana ruku' Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam; 

◆ Punggung Rasūlullāh saat ruku’ terbentang lurus sehingga jika dituang air atau diletakkan gelas di atas punggungnya maka niscaya air itu akan menetap/tidak jatuh.

⇒ Begitulah tata cara ruku Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. 

● RUKUN KE-6

((والطمأنينة فيه)) 

((Thuma'ninah)) 

◆ أن يمكثَ المصلي في هيئة الركوع حتى تستقرَّ أعضاؤه أقلُّه قدر تسبيحة

◆ Thuma'ninah adalah berdiam diri pada kondisi ruku' yang sempurna sampai seluruh anggota tubuhnya pada posisi yang pas dan kadarnya waktu minimal satu kali mengucapkan tasbih.

⇒ Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mewajibkan thuma’ninah ketika ruku’. Hal ini disebutkan dalam hadits Rifa’ah Ibnu Rafi’ yang dikenal sebagai hadits Al Musīu Shalatahu, kata beliau: 

ثُمَّ يَرْكَعُ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ

“Kemudian beliau ruku’ hingga thuma’ninah/tenang persendiannya (anggota-anggota tubuh menetap pada tempatnya).” (HR Al Bukhāri no. 793)

Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fāthul Bāri (2/363) berkata: “Hadits ini dijadikan dalil akan wajibnya thuma’ninah dalam rukun-rukun shalat.”

Demikianlah pendapat jumhur, bahwasanya thuma'ninah merupakan rukun di dalam shalat. 

● RUKUN KE-7 DAN KE-8

((والاعتدال والطمأنينة فيه)) 

((I'tidāl dengan thuma'ninah)) 

I'tidal yaitu berdiri kembali dari ruku' sampai tulang punggung lurus dan thuma'ninah didalam ruku tersebut.

● RUKUN KE-9 DAN KE-10

((والسجود والطمأنينة فيه)) 

((Sujud dengan thuma'ninah)) 

● RUKUN KE-11 DAN KE-12

((والجلوس بين السجدتين والطمأنينة فيه)) 

((Duduk di antara dua sujud dengan thuma'ninah)) 

Dalam Musnad Imam Ahmad, dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, bahwasanya Beliau bersabda: 

أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ: لاَ يُتِمُّ رُكُوْعُهَا وَلاَ سُجُوْدُهَا.

“Sejahat-jahat pencuri adalah orang yang mencuri dari shalatnya”. 

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasūlullāh, bagaimana mencuri dari shalat?”. 

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berkata: “Dia tidak sempurnakan rukunya dan sujudnya.” (HR Ahmad no 11532, dishahihkan oleh Al Albāni dalam Shahīhul Jāmi’ 986)

Hadits yang lain: 

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا

"Jika kamu hendak mengerjakan shalat, maka bertakbirlah. Lalu bacalah ayat Al Qurān yang mudah bagimu. 

Kemudian rukuklah sampai benar-benar rukuk dengan tumakninah. Lalu bangkitlah (dari i'tidal) sampai kamu benar-benar berdiri tegak. 

Setelah itu sujudlah kamu sampai benar-benar sujud dengan tumakninah. Lalu angkat (kepalamu) untuk duduk sampai benar-benar duduk dengan tumakninah. 

Setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud (dengan tuma'ninah). Kemudian lakukanlah seperti itu pada seluruh shalatmu.” (HR Bukhari 757 dan Muslim 397 dari shahābat Abū Hurairah) 

Demikian yang bisa kita sampaikan dan kita akan lanjutkan pada rukun shalat pada halaqah yang akan datang. 

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

______________________

🌍 BimbinganIslam.com

Selasa, 27 Rabi'ul Akhir 1441 H / 24 Desember 2019 M

👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.

📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt

🔊 Kajian 38 | Rukun-Rukun Shalāt (Bagian 3)

➖➖➖➖➖➖➖

MATAN KITAB

أركان الصلاة(فصل) وأركان الصلاة ثمانية عشرة ركنا النية والقيام مع القدرة وتكبيرة الإحرام وقراءة الفاتحة وبسم الله الرحمن الرحيم آية منها والركوع والطمأنينة فيه والرفع والاعتدال والطمأنينة فيه والسجود والطمأنينة فيه والجلوس بين السجدتين والطمأنينة فيه والجلوس الأخير والتشهد فيه والصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم فيه والتسليمة الأولى ونية الخروج من الصلاة وترتيب الأركان على ما ذكرناه.

Rukun-rukun (fardhu) shalat ada 18 (delapan belas); niat, berdiri apabila kuasa, takbirotul ihram, membaca al-fatihah dengan basmalah-nya, ruku’, tumakninah dalam ruku’, bangun dari ruku’, i’tidal (berdiri setelah ruku’), tuma’ninah saat i’tidal, sujud, dan tuma’ninah saat sujud, duduk di antara dua sujud dan tuma’ninah, duduk terakhir, dan tasyahud (tahiyat) saat duduk terakhir, membaca shalawat pada Nabi saat tahiyat akhir, salam pertama, niat keluar dari shalat, tertib sesuai urutan rukun di atas.

➖➖➖➖➖

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Para Sahabat Bimbingan Islam yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita lanjutkan halaqah ke-38 dan masih pada "Rukun-rukun Shalat". 

Sedikit mengulang, mulai rukun sujud yang belum sempat dijelaskan:

قال المصنف 

((والسجود، والطمأنينة فيه، والجلوس بين سجدتين، والطمأنينة فيه، والجلوس الأخير))

((Dan sujud serta thuma'ninah di dalamnya, kemudian duduk diantara dua sujud dan thuma'ninah di dalamnya dan duduk tasyahud akhir)) 

■ RUKUN KE-9 DAN KE-10 ADALAH SUJUD DENGAN THUMA'NINAH

Bagaimana Tata Cara Sujud Yang Benar? 

● Pertama | Tidak mengangkat tangan ketika hendak sujud maupun bangun dari sujud. 

Berdasarkan hadits dari 'Abdullāh bin 'Umar radhiyallāhu 'anhumā, beliau berkata:

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَتَحَ التَّكْبِيرَ فِي الصَّلَاةِ فَرَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ يُكَبِّرُ حَتَّى يَجْعَلَهُمَا حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ فَعَلَ مِثْلَهُ وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَعَلَ مِثْلَهُ وَقَالَ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَلَا يَفْعَلُ ذَلِكَ حِينَ يَسْجُدُ وَلَا حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ

“Aku melihat Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam memulai shalat dengan bertakbir. Beliau mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir dan meletakkan kedua tangannya sejajar dengan pundaknya. Ketika bertakbir untuk rukuk Beliau juga melakukan seperti itu. 

Jika mengucapkan: 'SAMI'ALLĀHU LIMAN HAMIDAH' (Allāh mendengar siapa yang memuji-Nya), Beliau juga melakukan seperti itu sambil mengucapkan: ‘RABBANĀ WA LAKAL HAMD' (Ya Rabb kami, milik Engkaulah segala pujian). 

Namun Beliau tidak melakukan seperti itu ketika akan sujud dan ketika mengangkat kepalanya dari sujud.” (HR Al-Bukhari no. 738 dan Muslim no. 390)

● Kedua | Wajib sujud di atas tujuh anggota sujud.

Berdasarkan hadits dari 'Abdullāh bin 'Abbās radhiyallāhu 'anhumā, dia berkata: Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ وَلَا نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعَرَ

“Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh tulang (anggota sujud); Kening -dan Beliau menunjuk hidungnya-, kemudian kedua telapak tangan, kedua lutut, dan jari jemari dari kedua kaki. Dan saya diperintahkan untuk tidak menahan rambut atau pakaian.” (HR Al-Bukhari no. 812 dan Muslim no. 490)

● Ketiga | Mengangkat kedua sikunya tatkala sujud dan tidak menempelkan ke tanah.

Berdasarkan hadits: 

• ⑴ Dari 'Abdullāh bin Mālik bin Buhainah radhiyallāhu 'anhu, beliau berkata: 

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا صَلَّى فَرَّجَ بَيْنَ يَدَيْهِ    حَتَّى يَبْدُوَ بَيَاضُ إِبْطَيْهِ

"Jika Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam shalat, Beliau membentangkan kedua lengannya hingga tampak putih ketiaknya.” (HR Al-Bukhari no. 807 dan Muslim no. 495)

• ⑵ Dari Abu Humaid As Sa’idi radhiyallāhu 'anhu, beliau berkata: 

 فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلَا قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ    بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ 

“Jika sujud maka Beliau meletakkan tangannya dengan tidak menempelkan lengannya ke tanah dan tidak pula mendekatkannya ke badannya, dan dalam posisi sujud itu Beliau menghadapkan jari-jari kakinya ke arah kiblat.” (HR Al-Bukhari no. 828)

● Keempat | Membaca dzikir pada saat sujud. 

Berdasarkan hadits dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallāhu 'anhu:  

أَنَّهُ صَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ يَقُولُ فِي رُكُوعِهِ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ وَفِي سُجُودِهِ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى 

“Bahwasanya dia pernah shalat bersama Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam wasallam. Maka ketika ruku’ Beliau membaca: “SUBHĀNA RABBIYAL 'AZHĪM' (Maha suci Rabbku yang Maha Agung) dan ketika sujud beliau membaca 'SUBHĀNA RABBIYAL A'LA' (Maha suci Rabbku yang Maha Tinggi).” (HR Abū Dāwūd No. 871, At-Tirmizi no. 262, An-Nasai no. 998, Ibnu Mājah no. 878, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albāni dalam Al-Irwa` no. 333).

⇒ Dan dibaca minimal 1 kali dan disunnahkan tiga kali dan boleh apabila lebih dari tiga kali.

■ RUKUN KE-11 DAN KE-12 ADALAH DUDUK DIANTARA DUA SUJUD DENGAN THUMA'NINAH

◆ TATA CARA

Dari Abū Hurairah radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, dia berkata: Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda kepada orang yang jelek shalatnya, Beliau mengatakan: 

ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا 

“Setelah itu sujudlah sampai benar-benar kamu sujud, lalu angkatlah (kepalamu) untuk duduk hingga benar-benar duduk, Setelah itu sujudlah sampai kamu benar-benar sujud, kemudian lakukanlah seperti cara tersebut di seluruh shalat (raka'at) mu.” (HR Al-Bukhāri no. 793 dan Muslim no. 397)

◆ BACAAN

Berdasarkan hadits dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallāhu 'anhu dia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ رَبِّ اغْفِرْ لِي رَبِّ اغْفِرْ لِي

“Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam saat duduk di antara dua sujud, Beliau mengucapkan: 'RABBIGHFIRLĪ RABBIGHFIRLĪ (Wahai Rabbku ampunilah aku, wahai Rabbku ampunilah aku).” (HR Ibnu Majah no. 897 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albāni dalam Al-Irwa` no. 335)

⇒ Atau bacaan versi lain dengan tambahan. 

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzy, dari Ibnu 'Abbās, bahwa Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam membaca: 

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي

Demikian yang bisa kami sampaikaan, in syā Allāh akan kita lanjutkan pada halaqah berikutnya. 

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

وآخر دعونا أن الحمد لله رب العالمين

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

______________________

🌍 BimbinganIslam.com

Rabu, 28 Rabi'ul Akhir 1441 H / 25 Desember 2019 M

👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.

📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt

🔊 Kajian 39 | Rukun-Rukun Shalāt (Bagian 4)

➖➖➖➖➖➖➖

MATAN KITAB

أركان الصلاة(فصل) وأركان الصلاة ثمانية عشرة ركنا النية والقيام مع القدرة وتكبيرة الإحرام وقراءة الفاتحة وبسم الله الرحمن الرحيم آية منها والركوع والطمأنينة فيه والرفع والاعتدال والطمأنينة فيه والسجود والطمأنينة فيه والجلوس بين السجدتين والطمأنينة فيه والجلوس الأخير والتشهد فيه والصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم فيه والتسليمة الأولى ونية الخروج من الصلاة وترتيب الأركان على ما ذكرناه. 

Rukun-rukun (fardhu) shalat ada 18 (delapan belas); niat, berdiri apabila kuasa, takbirotul ihram, membaca al-fatihah dengan basmalah-nya, ruku’, tumakninah dalam ruku’, bangun dari ruku’, i’tidal (berdiri setelah ruku’), tuma’ninah saat i’tidal, sujud, dan tuma’ninah saat sujud, duduk di antara dua sujud dan tuma’ninah, duduk terakhir, dan tasyahud (tahiyat) saat duduk terakhir, membaca shalawat pada Nabi saat tahiyat akhir, salam pertama, niat keluar dari shalat, tertib sesuai urutan rukun di atas.

➖➖➖➖➖

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد 

Para Sahabat Bimbingan Islam yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita lanjutkan dan masih pada "Rukun-rukun Shalat". 

قال المصنف: 

((والجلوس الاخير والتشهد فيه، والصلاة على النبي فيه، و التسليمة الأولى، ونية الخروج من الصلاة، وترتيب الأركان على ما ذكرناه)) 

■ RUKUN KE-13 

((والجلوس الاخير)) 

((Duduk tahiyat akhir)) 

• Dalil ⑴ 

فقد روى البخاري عن أبي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ رضي الله عنه في صفة صلاة النبي صلى الله عليه وسلم ، وفيه : ( وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ) 

Diriwayatkan dari Imām Bukhāri dari Abū Humaid As Sā'idi tentang tata cara shalat Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, disebutkan di dalamnya:

"Dan apabila Beliau duduk pada raka’at terakhir maka Beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya serta Beliau duduk diatas tempat duduknya –bukan diatas kaki kirinya- (duduk tawarruk)." (HR Al Bukhari)

• Dalil ⑵ 

Dari 'Abdullāh bin Az-Zubair radhiyallāhu 'anhu beliau berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَعَدَ فِي الصَّلَاةِ جَعَلَ قَدَمَهُ الْيُسْرَى بَيْنَ فَخِذِهِ وَسَاقِهِ وَفَرَشَ قَدَمَهُ الْيُمْنَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ 

“Jika Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam duduk dalam shalat, maka Beliau memasukkan kaki kirinya di antara pahanya dan betisnya, serta menghamparkan telapak kaki kanannya, sambil meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya. Dan Beliau letakkan tangan kanannya di atas paha kanannya, lalu beliau memberi isyarat dengan jari (telunjuk)nya.” (HR Muslim no. 579)

■ RUKUN KE-14 

((والتشهد فيه)) 

((Tasyahhud)) 

Berdasarkan hadits: 

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليهوسلما ” يُعَلِّمُنَا التَّشَهُّدَ كَمَا يُعَلِّمُنَا الْقُرْآنَ، فَكَانَ يَقُولُ: التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ، الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ، سَلَامٌ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، سَلَامٌ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ “

Dari Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu Ta'āla 'anhu dia berkata, “Dahulu Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengajarkan kepada kami bacaan tasyahhud sebagaimana Beliau mengajarkan Al-Qurān kepada kami. 

Beliau mengucapkan : ATTAHIYYĀTUL MUBĀRAKĀTUSH SHALAWĀTUTH THAYYIBĀTU LILLĀH, SALĀMUN ‘ALAYKA AYYUHAN NABIYYU WARAHMATULLĀHI WABARAKĀTUH, SALĀMUN ‘ALAINĀ WA ‘ALA ‘IBĀDILLĀHISH SHĀLIHĪN, ASYHADU AN LĀ ILĀHA ILLALLĀH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASŪLULLĀH.”

(Penghormatan, keberkahan, shalawat dan thayyibat untuk Allah. Salam untukmu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan keberkahannya. Salam untuk kita dan untuk hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya). (HR Syāfi'ī, Ibnu Mājah dan Abū Dāwūd)

■ RUKUN KE-15

((والصلاة على النبي فيه)) 

((Shalawat kepada nabi)) 

Dalil : 

• Berdasarkan firman Allāh Ta'āla 

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا [الأحزاب:56]

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuknya dan bersalamlah dengan sebenar-benar salam.'' (QS Al-Ahzab: 56) 

• Ijma' para ulama 

Bahwa shalawat atas Nabi tidak wajib diluar shalat, maka perintah diatas menjadi  dasar wajibnya shalawat didalam shalat.

Konteks/kalimatnya di dalam kitab Shahīh Ibnu Hibbān dan dishahihkan oleh Syaikh Al lbani disebutkan hadits tentang bagaimana shalawat kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. 

⇒ Ini adalah salah satu konteks/versi dari beberapa versi kalimat shalawat yang diajarkan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam. 

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ فِي مَجْلِسِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ، فَقَالَ بَشِيرُ بْنُ سَعْدٍ: أَمَرَنَا اللَّهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْ نُصَلِّيَ عَلَيْكَ، فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ؟ قَالَ: فَسَكَتْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى تَمَنَّيْنَا أَنَّهُ لَمْ يَسْأَلْهُ، ثُمَّ قَالَ: «قُولُوا: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، فِي الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَالسَّلَامُ كَمَا قَدْ عَلِمْتُمْ» 

"Dari Abū Mas’ūd Al Anshāriy berkata: Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mendatangi kami saat kami di majlis Sa’ad bin 'Ubādah lalu Basyīr bin Sa’ad berkata kepada beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam: 

"Yā Rasūlullāh, sesungguhnya Allāh memerintahkan kami untuk bershalawat atas anda, lalu bagaimana (cara) kami bershalawat atas anda?" 

Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam diam hingga kami berharap (andai) dia tidak bertanya. Setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: 

“Ucapkanlah : 

ALLĀHUMMA SHALLI ‘ALA MUHAMMAD, WA ’ALAA ĀLI MUHAMMAD, KAMĀ SHALLAYTA ‘ALA IBRĀHĪMA WA ’ALA ĀLI IBRĀHĪMA WA BĀRIK ‘ALA MUHAMMAD WA ’ALA ĀLI MUHAMMAD KAMĀ BĀRAKTA ‘ALA IBRĀHĪMA WA ’ALA ĀLI IBRĀHĪMA FIL ’ĀLAMĪNA INNAKA HAMĪDUN MAJĪD. 

(Ya Allāh, limpahkan kesejahteraan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Kau melimpahkan kesejahteraan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim dalam seluruh alam, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Luhur)

Dan salamlah seperti yang telah diajarkan pada kalian.”

Di mana tempat diucapkannya shalawat? 

Shalawat atas Nabi wajib diucapkan pada duduk tasyahud akhir dalam shalat.

■ RUKUN KE-16

((و التسليمة الأولى)) 

((Salam yang pertama)) 

Berdasarkan hadits 'Āisyah dalam Shahīh Muslim:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «يَسْتَفْتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيرِ. ..(إلى قولها)، وَكَانَ يَخْتِمُ الصَّلَاةَ بِالتَّسْلِيمِ»

"Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memulai shalat dengan takbir...

(sampai perkataan beliau)

"... dan Rasūlullāh menutup shalat dengan salam."

Yang wajib adalah salam yang pertama minimal dengan mengucapkan "Assalāmualaikum" dan disunnahkan untuk menoleh ke kanan dan ke kiri sampai terlihat pipinya.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dalam Shahīh Muslim: 

عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: «كُنْتُ أَرَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ، وَعَنْ يَسَارِهِ، حَتَّى أَرَى بَيَاضَ خَدِّهِ»صحيح مسلم (1/ 409)

Dari 'Āmir bin Sa'ad dari bapaknya beliau berkata: 

"Saya pernah melihat Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, beliau salam dengan menoleh ke kanan dan ke kiri sampai terlihat pipinya yang putih."

■ RUKUN KE-17 

((ونية الخروج من الصلاة)) 

((Niat keluar dari shalat)) 

Yang shahih adalah bahwa niat keluar/selesai dari shalat tidaklah termasuk dari rukun shalat, sebagaimana yang dikatakan oleh Imām An-Nawawi Asy-Syāfi'ī, begitu pula dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudāmah Al-Hanbali.

■ RUKUN KE-18 

((وترتيب الأركان على ما ذكرناه))

((Tertib sesuai urutan yang sudah disebutkan)) 

Berdasarkan hadits yang shahih tentang tata cara shalat nabi, 

dan juga hadits yang dikenal sebagai hadits Al-Musi'ush Shalātuhu (hadits tentang pengajaran terhadap orang yang salah shalatnya). 

Di sana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengajarkan tata cara shalat dengan kalimat tsumma (ثم)/kemudian yang menunjukkan keharusan untuk dilakukan secara berurutan.

Demikian yang bisa kami sampaikan, in syā Allāh kita lanjutkan pada halaqah berikutnya.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

وآخر دعونا أن الحمد لله وب العالمين

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

______________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar