Senin, 20 Januari 2020

(3) Matan Abū Syujā

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 25 Jumada Al-Ula 1441 H / 20 Januari 2020 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 40 | Sunnah-Sunnah Sebelum dan Ketika Shalāt
➖➖➖➖➖➖➖
SUNNAH-SUNNAH SEBELUM DAN KETIKA SHALĀT

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Para Sahabat Bimbingan Islam yang dirahmati Allāh, kita lanjutkan halaqah yang ke-40 dalam Kitab Matan Abū Syujā'. 

قال المصنف 
((وسننها قبل الدخول فيها شيئان: الأذان، والإقامة))

((Dan sunnah-sunnah sebelum masuk shalat ada 2 yaitu adzān dan iqāmah)) 

Disini, penulis menyebutkan sunnah sebelum masuk shalat dan sunnah pada saat sudah masuk shalat. 

■ SUNNAH SEBELUM MASUK SHALAT 

Dan sunnah-sunnah di dalam shalat yaitu sunnah yang merupakan penyempurna shalat dan mendapatkan pahala apabila dikerjakan. 

Diantara sunnah sebelum shalat wajib (yang dimaksud shalat disini adalah shalat yang wajib/fardhu) adalah dengan mengumandangkan adzan dan iqomah. 

⇒ Jadi, mengumandangkan adzan dan iqamah merupakan sunnah sebelum melaksanakan shalat. 

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh imam yang lima, diantaranya adalah Imām Bukhāri: 

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: «لَمَّا كَثُرَ النَّاسُ» قَالَ: «ذَكَرُوا أَنْ يَعْلَمُوا وَقْتَ الصَّلاَةِ بِشَيْءٍ يَعْرِفُونَهُ، فَذَكَرُوا أَنْ يُورُوا نَارًا، أَوْ يَضْرِبُوا نَاقُوسًا فَأُمِرَ بِلاَلٌ أَنْ يَشْفَعَ الأَذَانَ، وَأَنْ يُوتِرَ الإِقَامَةَ»

Dari Anas bin Mālik radhiyallāhu Ta'āla 'anhu beliau berkata: 

"Manakala orang-orang/manusia sudah banyak dan orang-orang mengusulkan untuk memberikan tanda pemberitahuan shalat dengan sesuatu yang mereka ketahui, ada yang dengan menyalakan api atau dengan menabuh genderang. Maka Bilāl diperintahkan untuk mengumandangkan adzān dua-dua, dan iqāmah dengan satu lafadz." 
(HR Bukhāri)

⇒ Maksudnya disini adalah lafazh adzān diulang 2 kali sementara iqāmah disebutkan 1 lafadz.

Dan ini adalah salah satu alamat/tanda bahwa shalat sudah masuk. 

Dalam hadits yang lain dalam Shahīh Bukhāri, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberikan tawjih: 

فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ، وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ (صحيح البخاري (1/ 128)) 

"Apabila datang waktu shalat maka hendaknya salah seorang kalian adzan dan yang paling besar di antara kalian menjadi imam."

Juga berdasarkan hadits 'Abdullāh bin Zayd radhiyallāhu Ta'āla 'anhu yang diriwayatkan oleh Imām Abū Dāwūd: 

وَتَقُولُ: إِذَا أَقَمْتَ الصَّلَاةَ، اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ... (سنن أبي داود (1/ 135))

"Dan hendaknya kamu apabila hendak menegakkan/melaksanakan shalat mengucapkan 'Allāhu akbar, Allāhu akbar'..(seterusnya sampai akhir)."

⇒ Yaitu mengucapkan adzan, dan ini menunjukkan bahwasanya adzan adalah sunnah. 
⇒ Dan perintah disini hukum asalnya adalah wajib dan menjadi sunnah berdasarkan dalil-dalil yang lain. 


■ SUNNAH SETELAH MASUK SHALAT

قال المصنف 
((وبعد الدخول فيها شيئان : التشهد الأول والقنوت في الصبح وفي الوتر في النصف الثاني من شهر رمضان))

((Dan setelah masuk shalat maka ada 2 sunnah, yaitu: tasyahhud awwal dan qunut di shalat subuh dan di shalat witir pada pertengahan akhir bulan Ramadhān)) 

Diantara sunnah di dalam shalat yang disebutkan:

⑴ TASYAHHUD AWWAL

Berdasarkan hadits-hadits yang shahih diantaranya hadits Riwayat Bukhāri: 

«إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ مِنَ اثْنَتَيْنِ مِنَ الظُّهْرِ لَمْ يَجْلِسْ بَيْنَهُمَا، فَلَمَّا [ص:68] قَضَى صَلاَتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ، ثُمَّ سَلَّمَ بَعْدَ ذَلِكَ»(صحيح البخاري (2/ 67) )

"Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berdiri dari raka'at kedua pada saat shalat dhuhur dan tidak duduk. Maka, setelah selesai melaksanakan shalat maka Beliaupun sujud dua kali sujud kemudian salam."

⇒ Pada kisah ini, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam lupa untuk duduk tasyahhud awwal sehingga tatkala Beliau berdiri dari raka'at kedua, Beliau langsung berdiri tanpa melakukan duduk tasyahhud awwal, kemudian setelah selesai shalat Beliau melakukan sujud sahwi (atau sujud karena lupa).

⇒ Ini menunjukkan bahwa tasyahhud awal adalah sunnah, apabila hukumnya adalah rukun maka shalat itu menjadi batal. 

Sunnah kedua yang disebutkan oleh Penulis adalah: 

⑵ QUNUT 

Dan di sana ada qunut pada shalat Shubuh dan qunut pada shalat Witir. 

● DO'A QUNUT SHALAT SHUBUH

Do'a qunut pada Shalat Shubuh, di sini dijelaskan oleh para ulama fiqih tentang definisi dari qunut; 

القنوت في تعريف الفقهاء هو : اسم للدعاء في الصلاة في محل مخصوص من القيام

◆ Qunut adalah istilah untuk do'a di dalam shalat setelah gerakan tertentu atau pada waktu tertentu dalam gerakan di dalam shalat. 

Do'a Qunut merupakan do'a yang diamalkan saat mengerjakan shalat pada raka'at terakhir yaitu setelah mengerjakan ruku atau pada saat I’tidal, berdasarkan khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama, apakah sebelum ruku' atau setelah ruku'. 

Do'a qunut disyari'atkan pada: 

⑴ Akhir raka'at shalat witir, yaitu setelah ruku'. 
⑵ Saat terjadi musibah/bencana yang menimpa kaum muslimin, yang disebut sebagai qunut Nazīlah. 

Adapun qunut subuh, maka di dalam madzab Syāfi'ī sudah disepakati (muttafaq) bahwa membaca doa qunut dalam shalat subuh pada I’tidal rekaat kedua (raka'at terakhir) adalah sunnah, namun dalil yang dijadikan sandaran adalah dalil yang lemah (tidak sahih) sehingga tidak bisa menjadi hujjah dalam beramal. 

Yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur para ulama bahwasanya qunut subuh yang dilakukan secara terus menerus dalam setiap keadaan, baik keadaan musibah atau keadaan aman maka hal tersebut tidak ada dasar yang sahih yang datang dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. 

Adapun dalil yang shahih yang datang dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah Beliau melakukan qunut manakala terjadi musibah/bencana yang menimpa kaum muslimin yang disebut qunut nazilah. 

Dan beliau doa qunut pada shalāt subuh dan juga shalāt yang lainnya (tidak dikhususkan pada shalat Subuh saja)

● DOA' QUNUT DALAM SHALAT PADA PERTENGAHAN BULAN RAMADHĀN

Sebagaimana diatas telah dijelaskan tentang masyru'nya (disyari'atkannya) do'a qunut pada saat shalat tarawih. 

Kita simak perkataan Syaikh Bin Bāz: 

المراد بالقنوت في الوتر أن يأتي بدعوات بعد الركوع في الركعة الأخيرة من صلاة الوتر وهو سنة ومشروع عند جميع أهل العلم، فينبغي للمؤمن أن يفعله كما فعله النبي صلى الله عليه وسلم، وكما فعله الصحابة. 

"Yang dimaksud dengan qunut dalam witir addalah dengan mengucapkan doa setelah ruku' pada raka'at terakhir dalam shalāt witir dan dia adalah sunnah dan disyariatkan berdasarkan pendapat seluruh ulama, maka semestinya/seyogyanya bagi setiap orang yang beriman (muslim) mengerjakan sebagaimana yang dikerjakan oleh nabi saw dan juga para shahābat Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam. 

Beliau melanjutkan: 

ويقنت بما جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم، فقد ورد في الحديث الصحيح حديث الحسن بن علي رضي الله عنه وعن أبيه أن النبي صلى الله عليه وسلم علمه كلمات يقولها في قنوت الوتر: 

«اللهم اهدني فيمن هديت، وعافني فيمن عافيت، وتولني فيمن توليت، وبارك لي فيما أعطيت، وقني شر ما قضيت، فإنك تقضي ولا يقضى عليك، وإنه لا يذل من واليت، تبارك ربنا وتعاليت»

زاد في رواية البيهقي: «ولا يعز من عاديت»

وتعليم النبي صلى اللهعليه وسلم لشخص من الصحابة تعليم للأمة كلها. 

Dan berdo'a qunut sebagaimana yang datang dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yang terdapat dalam hadits shahih, yaitu hadits Hasan bin 'Ali radhiyallāhu Ta'āla 'anhu dan dari bapaknya (yaitu 'Ali bin Abī Thālib); 

Bahwasanya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mengajarkannya beberapa kalimat doa yang diucapkan pada saat qunut witir: 

"Allāhummahdina fī man hadaita, wa 'āfinī fī man 'āfaiyta, wa tawallanī fī man tawallayta, wa bāriklī fī man a'thayta, wa qinī syarra mā qhadayta, fainnaka taqdhī wa lā yuqdha 'alaiyka, wa innahu lā yadzilu man walayta tabāraka Rabbanā wa ta'ālayta."

("Wahai Allāh, berilah petunjuk padaku sebagaimana Engkau berikan petunjuk (kepada selainku), berilah keselamatan kepadaku sebagaimana Engkau berikan keselamatan (kepada selainku), jadikanlah aku wali-Mu sebagaimana Engkau jadikan (selainku) sebagai wali, berilah berkah kepadaku pada semua pemberian-Mu, lindungilah aku dari kejelekan takdir-Mu, sesungguhnya Engkau menakdirkan dan tidak ada yang menentukan takdir bagimu, dan orang yang Engkau jadikan wali tidak akan terhinakan. Mahasuci dan Mahatinggi Engkau.") 
(HR Abū Dāwūd; do'a dibawakan oleh Syaikh Al Albāniy dalam Sifat Shalat Nabi, hal. 180–181)

Dan Beliau menambahkan dalam riwayat Al Bayhaqiy: 

"Wa lā ya'izu man 'ādayta."

("Dan Engkau tidak memuliakan orang-orang yang memusuhiMu.") 

Dan pengajaran Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam kepada salah seorang shahābat adalah berarti pengajaran kepada ummat secara keseluruhan.

Demikian yang di nukil dari perkataan Syaikh Bin Bāz rahimahullāh. 

Adapun kapan disyari'atkan do'a qunut di dalam witir, berkata Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh:

"Adapun qunut di dalam witir maka hukumnya adalah boleh dan tidak wajib."

Dan diantara shahābat Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam; 

⑴ Ada yang tidak melakukan do'a qunut. 
⑵ Ada yang qunut pada akhir Ramadhān. 
⑶ Ada yang qunut selama setahun penuh. 

⇒ Diantara para ulama ada yang menyukai yang ⑴, yaitu tidak melakukan qunut, seperti Imām Mālik. 

⇒ Dan di antara mereka (para ulama) ada yang menyukai yang ⑵, yaitu seperti Imām Syāfi'ī dan Imām Ahmad, dalam suatu riwayat. 

⇒ Dan diantara mereka ada juga yang menyukai pilihan ⑶, seperti Imām Abū Hanīfah dan Imām Ahmad dalam suatu riwayat beliau. 

Demikian yang bisa disampaikan dalam pertemuan kali ini. 

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
______________________
🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 26 Jumada Al-Ula 1441 H / 21 Januari 2020 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 41 | Perkara-Perkara Sunnah Di Dalam Shalāt
➖➖➖➖➖➖➖

PERKARA-PERKARA SUNNAH DI DALAM SHALĀT

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Para Sahabat BiAS yang dirahmati Allāh, kita lanjutkan halaqah yang ke 41, masuk mengenai "Perkara-perkara Sunnah Di Dalam Shalat."

((قال المصنف رحمه الله)) 

((Berkata Penulis rahimahullāh))

((وهيأتها خمسة عشر خصلة ))

((Dan bentuk-bentuk sunnah dalam shalat ada 15 macam)) 

⇒ Di sini yang dimaksud yaitu perkara-perkara yang mustahab dan sunnah-sunnah yang dilakukan dalam shalat.

■ SUNNAH KE-1

((رفع اليدين عند تكبيرة الإحرام وعند الركوع والرفع منه))

((Mengangkat kedua tangan pada saat takbiratul ihram dan pada saat hendak rukū' ataupun bangkit dari rukū')) 

Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu 'Umar:

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَتَحَ التَّكْبِيرَ فِي الصَّلاَةِ، فَرَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ يُكَبِّرُ حَتَّى يَجْعَلَهُمَا حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ، وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ فَعَلَ مِثْلَهُ، وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَعَلَ مِثْلَهُ، وَقَالَ: رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ، وَلاَ يَفْعَلُ ذَلِكَ حِينَ يَسْجُدُ، وَلاَ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُودِ

"Saya melihat bahwa Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam membuka shalat dengan takbir. 

Maka kemudian Beliaupun bertakbir dengan mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan bahunya. 

Dan tatkala takbir untuk rukū', maka Beliau melakukan hal itu juga (yaitu mengangkat kedua tangannya sampai sejajar bahunya). 

Dan tatkala Beliau mengatakan 'Sami'allāhu liman hamidah', maka Beliau melakukan yang seperti itu juga (yaitu tatkala bangkit dari rukū', mengangkat kedua tangannya sampai kedua bahunya), dan beliau berkata 'Rabbana walakal hamdu.'

Dan Beliau tidak mengangkat kedua tangannya tatkala sujud ataupun tatkala bangkit dari sujudnya."
(HR Bukhāri)

■ SUNNAH KE-2

((ووضع اليمين على الشمال))

((Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri)) 

Hal ini berdasarkan hadits dari Sahl bin Sa'din radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, beliau mengatakan: 

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: «كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُونَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ اليَدَ اليُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ اليُسْرَى فِي الصَّلاَةِ»

"Bahwasanya manusia pada saat itu diperintahkan untuk meletakkan tangannya di atas tangan kirinya pada saat melakukan shalat."

■ SUNNAH KE-3

((والتوجه))

((At Tawajjuh)) 

⇒ Maksudnya adalah membaca do'a iftitah. 

Sebagaimana hadits dalam Sunan Abū Dāwūd (201/1): 

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ كَبَّرَ، ثُمَّ قَالَ: وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ

"Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tatkala berdiri untuk melaksanakan shalat kemudian bertakbir kemudian mengucapkan: 

'Wajjahtu wajhiya lilladzī fatharas samāwāti wal ardh...(sampai terakhir)'."

Dan ini adalah do'a iftitah yang masyhūr (dikenal) di kalangan kaum muslimin yang merupakan salah satu do'a yang dibaca oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam. 

■ SUNNAH KE-4

((والاستعاذة))

((Membaca isti'ādzah)) 

⇒ Membaca ta'awudz, meminta perlindungan kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla. 

Berdasarkan firman Allāh Ta'āla: 

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ 

"Apabila kalian membaca Al-Qurān maka mintalah perlindungan kepada Allāh dari syaithan ar-rajīm (membacalah isti'ādzah)." (QS An Nahl: 98

■ SUNNAH KE-5

((والجهر في موضعه والإسرار في موضعه))

((Membaca dengan keras pada tempatnya dan membaca perlahan pada tempatnya)) 

Sebagaimana tuntunan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam shalat. 

Di antara tempat-tempat yang dikeraskan (jahr/diperdengarkan) bacaannya, yaitu pada: 

• Raka'at shalat Shubuh
• 2 raka'at pertama shalat Maghrib dan 'Isyā
• Shalat Jum'at
• Shalat 'Īd 
• Shalat Khusuf
• Shalat Istisqa
• Shalat Tarāwīh
• Shalat Witir Ramadhān
• Dan juga tempat-tempat lain yang akan dijelaskan secara rinci pada waktunya.

■ SUNNAH KE-6

((والتأمين))

((Mengucapkan "Āmīn")) 

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abū Dāwūd dalam Sunannya (246/1): 

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا تَلَا {غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} [الفاتحة: 7]، قَالَ: «آمِينَ»، حَتَّى يَسْمَعَ مَنْ يَلِيهِ مِنَ الصَّفِّ الْأَوَّلِ

"Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam apabila Beliau membaca 'ghayril maghdhūbi 'alayhim wa ladhdhāllin', maka Beliau mengucapkan setelah itu 'āmīn' sampai-sampai orang-orang yang dibelakang Beliau di shaf awal mendengar ucapan Beliau 'āmīn'."

■ SUNNAH KE-7

((وقراءة سورة بعد الفاتحة))

((Membaca surat setelah membaca surat Al Fātihah)) 

⇒ Yaitu di dua raka'at pertama. 

Ini juga termasuk sunnah sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imām Bukhāri dalam Shahīhnya (155/1): 

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ بِأُمِّ الكِتَابِ وَسُورَةٍ مَعَهَا فِي الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ مِنْ صَلاَةِ الظُّهْرِ وَصَلاَةِ العَصْرِ

"Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam Beliau membaca Ummul Kitāb (Surat Al Fātihah) kemudian bersamanya surat setelah surat Al Fātihah pada 2 raka'at pertama dari shalat Dzuhur maupun shalat 'Ashar."

■ SUNNAH KE-8

((والتكبيرات عند الرفع والخفض))

((Mengucapkan takbir tatkala perubahan; mengangkat kepala ataupun menundukkan kepala))

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imām Bukhāri dalam Shahīhnya (157/1): 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ كَانَ «يُصَلِّي بِهِمْ، فَيُكَبِّرُ كُلَّمَا خَفَضَ، وَرَفَعَ»، فَإِذَا انْصَرَفَ، قَالَ: إِنِّي لَأَشْبَهُكُمْ صَلاَةً بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Dari Abū Hurairah radhiyallāhu Ta'āla 'anhu bahwasanya beliau shalat bersama mereka (yaitu para makmum) dan beliau bertakbir pada setiap akan menundukkan kepala ataupun pada saat mengangkat kepala. 

Tatkala telah selesai dari shalat beliau mengatakan 'Shalat saya ini adalah paling mirip dengan shalat Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam'."

■ SUNNAH KE-9 

((وقول سمع الله لمن حمده ربنا لك الحمد))

((Mengucapkan do'a/dzikir/kalimat "sami'allāhu liman hamidah Rabbanā walakal hamdu")) 

Berdasarkan hadits yang telah disebutkan pada sunnah-sunnah sebelumnya.

■ SUNNAH KE-10 & KE-11

((والتسبيح في الركوع والسجود))

((Membaca tasbih pada saat ruku' dan sujud)) 

Hal ini sebagaimana disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imām Ibnu Hibbān dalam Shahīhnya (223/5)

عَنْ حُذَيْفَةَ، قَالَ: «صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا رَكَعَ جَعَلَ يَقُولُ: سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ، ثُمَّ [ص:224] سَجَدَ فَقَالَ: سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى».

Dari Hudzayfah radhiyallāhu Ta'āla 'anhu beliau berkata: "Saya shalat bersama Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, tatkala Beliau rukū' maka Beliaupun mengucapkan 'Subhāna Rabbiyal 'azhīm (Maha Suci Rabb Yang Maha Agung)'. Kemudian Beliau sujud dan membaca 'Subhāna Rabbiyal A'lā'."

Kedua ini adalah kalimat tasbih (kalimat mensucikan Allāh Subhānahu wa Ta'āla). 

■ SUNNAH KE-12

((ووضع اليدين على الفخذين في الجلوس يبسط اليسرى ويقبض اليمنى إلا المسبحة فإنه يشير بها متشهدا))

((Meletakkan kedua tangan di atas kedua paha pada saat duduk, membuka telapak tangan kiri dan menggenggam telapak tangan kanan kecuali jari telunjuk, karena digunakan sebagai isyarat pada tasyahhud)) 

Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imām Muslim dalam Shahīhnya (408/1): 

«كَانَ إِذَا جَلَسَ فِي الصَّلَاةِ وَضَعَ كَفَّهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى، وَقَبَضَ أَصَابِعَهُ كُلَّهَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الَّتِي تَلِي الْإِبْهَامَ، وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى»

"Tatkala Beliau duduk dalam shalat maka Beliau meletakkan telapak tangan kanannya di atas paha kanannya dan Beliau menggenggam jari jemarinya seluruhnya dan berisyarat dengan jari telunjuknya dan Beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya."

■ SUNNAH KE-13

((والافتراش في جميع الجلسات))

((Duduk Iftirasy pada semua keadaan duduk)) 

Sebagaimana diriwayatkan Imām Bukhāri dalam Shahīhnya (165/1): 

فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ اليُسْرَى، وَنَصَبَ اليُمْنَى، وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ اليُسْرَى، وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ»

"Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tatkala duduk tasyahhud pada raka'at yang kedua maka Beliau duduk di atas kakinya yang kiri dan menegakkan kakinya yang kanan. 

Dan apabila Beliau duduk tasyahhud pada raka'at yang terakhir maka Beliau majukan kaki yang kiri dan menegakkan kaki yang kanan dan duduklah Beliau di atas tempat duduknya (maksudnya duduk di atas pantat Beliau)."

Ini yang disebut sebagai duduk iftirasy yaitu duduk di atas kaki kiri dan menegakkan kaki kanan. Sedangkan duduk yang terakhir yaitu duduk tawarruk. 

■ SUNNAH KE-14

((والتورك في الجلسة الأخيرة))

((Duduk tawarruk pada duduk akhir)) 

Berdasarkan hadits yang sudah disebutkan yang diriwayatkan oleh Imām Bukhāri. 

■ SUNNAH KE-15

((والتسليمة الثانية))

((Dan salam yang kedua)) 

Disebutkan oleh Imām Abū Dāwūd dalam Sunannya (261/1): 

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ، وَعَنْ شِمَالِهِ، حَتَّى يُرَى بَيَاضُ خَدِّهِ [ص:262]: «السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ»

Kata 'Abdullāh: "Bahwasanya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam Beliau salam ke arah kanan kemudian salam ke arah kiri sampai terlihat putih pipinya dan mengucapkan 'Assalāmu 'alaykum warahmatullāh'."

Demikianlah penjelasan tentang matan Abū Syujā' secara ringkas pada perkara-perkara sunnah di dalam shalat. 

Dan in syā Allāh kita akan bertemu pada halaqah berikutnya. 

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
وآخر دعونا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
______________________
🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 27 Jumada Al-Ula 1441 H / 22 Januari 2020 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 42 | Perbedaan Laki-Laki Dengan Wanita Dalam Perkara Shalāt
➖➖➖➖➖➖➖
MATAN KITAB

(فصل) والمرأة تخالف الرجل في خمسة أشياء: فالرجل يجافي مرفقيه عن جنبيه ويقل بطنه عن فخذيه في الركوع والسجود ويجهر في موضع الجهر وإذا نابه شيء في الصلاة سبح وعورة الرجل ما بين سرته وركبته.
والمرأة تضم بعضها إلى بعض وتخفض صوتها بحضرة الرجال الأجانب وإذا نابها شيء في الصلاة صفقت وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها والأمة كالرجل.

Shalat wanita berbeda dengan laki-laki dalam 5 (lima) perkara:

Laki-laki:
–1. Merentangkan kedua tangannya atau menjauhkan kedua lengannya dari kedua sisi badannya. 
–2. Mengangkat perutnya dan menjauhkan dari kedua pahanya pada saat ruku’ dan sujud.
–3. Mengeraskan suara di tempat yang perlu dikeraskan.
–4. Apabila hendak mengingatkan sesuatu dalam shalat, maka mengucapkan tasbih.
–5. Aurat laki-laki adalah antara pusar dan kedua lututnya.

Wanita:
–1&2. Merapatkan antara anggota badannya satu sama lain. 
–3. Mengucapkan dengan suara perlahan jika ada laki-laki asing.
–4. Apabila hendak mengingatkan sesuatu dalam shalat, maka menepukkan tangan. 
–5. Seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan. Adapun budak wanita, maka batasan auratnya seperti laki-laki.
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰
PERBEDAAN LAKI-LAKI DENGAN WANITA DALAM PERKARA SHALĀT

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد
 
Para Sahabat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita lanjutkan halaqah yang ke-42, dan kita masuk sekarang pada fasal tentang perkara didalam shalat yang berbeda antara laki-laki dan wanita. 
 
قال المصنف
Penulis Rahimahullāh berkata,  

((والمرأة تخالف الرجل في خمسة أشياء))

"Dan wanita berbeda dengan laki-laki dalam lima hal atau lima perkara"
 
 ((فالرجل يجافي مرفقيه عن جنبيه))

◆ Adapun Laki-laki
 
1. Merentangkan kedua tangannya atau menjauhkan kedua lengannya dari kedua sisi badannya

Sebagaimana yang disebutkan dalam hadīts Abdullāh bin Mālik bin Buhaināh

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا صَلَّى فَرَّجَ بَيْنَ يَدَيْهِ، حَتَّى يَبْدُوَ بَيَاضُ إِبْطَيْهِ

Dari Abdullāh bin Mālik bin Buhaināh : bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam apabila beliau shalat maka beliau membentangkan kedua lengannya sampai terlihat putihnya ketiak beliau" 
(Hadīts riwayat Bukhāri dan Muslim 1/ 356) 
 
↝ Jadi manakala seorang laki-laki sujud, kedua lengannya menjauhi kedua sisi badannya atau direntangkan 
 
((ويقل بطنه عن فخذيه في الركوع والسجود))
 
2. Mengangkat perutnya dan menahannya serta menjauhkan dari kedua pahanya pada saat ruku' dan sujud
 
Adapun ruku' yang dimaksud didalam pembahasan ini, kemungkinan yang dimaksud oleh penulis adalah kondisi shalat dalam keadaan duduk (bagi yang tidak mampu shalat dalam keadaan berdiri)

Sebagaimana hadīts yang diriwayatkan Imām Abū Dāwūd, 
 
وَإِذَا سَجَدَ فَرَّجَ بَيْنَ فَخِذَيْهِ غَيْرَ حَامِلٍ بَطْنَهُ عَلَى شَيْءٍ مِنْ فَخِذَيْهِ

"Apabila beliau (Shallallāhu 'alayhi wa sallam) sujud maka beliau membentangkan kedua pahanya dan tidak menempel sedikitpun antara perut dan kedua pahanya tersebut" 
(Hadīst riwayat Abū Dāwūd 1/ 196) 
 
((ويجهر في مواضع الجهر))

3. Dan mengeraskan suara ditempat yang perlu dikeraskan
 
Dan hal ini sudah dijelaskan pada fasal sebelumnya tentang kondisi-kondisi atau tempat-tempat yang perlu dikeraskan suaranya terutama oleh laki-laki
 
((وإذا نابه شيء في الصلاة سبح))

4. Apabila hendak mengingatkan sesuatu didalam shalat maka dengan mengucapkan kalimat tasbih
 
↝Seperti tatkala ingin membenarkan atau mengingatkan imam pada saat imam dalam kondisi lupa, atau mengingatkan orang buta yang ada di samping kita atau yang kita lihat jika dikhawatirkan dia akan terjatuh atau terjerembab atau yang semisalnya. 

↝Maka seorang laki-laki tatkala ingin mengingatkan pada kondisi seperti ini dia mengucapkan tasbih.

Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imām Muslim 

مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلَاتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ

"Barangsiapa yang hendak mengingatkan sesuatu dalam shalatnya maka hendaknya dia mengucapkan tasbih, karena dia mengucapkan tasbih menjadi sebab orang memperhatikan kepadanya, tashfiih merupakan tangan bagi wanita maka hal itu adalah untuk wanita" (Hadīts riwayat Muslim 1/ 316)

√ Jadi seorang laki-laki mengucapkan tasbih 
√ Seorang Wanita dia dengan menepukan tangannya 

((وعورة الرجل ما بين سرته وركبته))

5. Dan aurat laki-laki adalah antara pusar dan kedua lututnya

Sebagaimana yang disebutkan dalam hadīts, 

عَوْرَةُ الرجل ما بيت سُرَّتِهِ إلَى رُكْبَتِهِ

"Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lututnya" 
(Hadīts riwayat Imām Daruquthny dan Imām Al Baihaqy dengan sanad yang lemah)

Namun ada penguat lain yang diriwayatkan oleh Imām Bukhāri
 
 الفَخِذُ عَوْرَةٌ

"Paha termasuk Aurat" (HR. Bukhāri 1/ 83 ) 
 
قال المصنف
Kemudian Mushanif Rahimahullāh menjelaskan tentang perempuan, 

((والمرأة تضم بعضها إلى بعض))

Dan seorang wanita menggabungkan Sebagian tubuhnya dengan yang lainnya. 

◆ Ini sekarang penjelasan tentang wanita yaitu :

1 & 2. Yaitu seorang wanita merapatkan antara anggota badannya satu sama yang lain yaitu merapatkan tangan dengan tubuhnya begitu pula perut dan pahanya pada saat sujud dan mendekatkan antara paha dan perutnya pada saat ruku' dalam shalat yang duduk.
 
↝Kenapa? karena hal itu lebih tertutup bagi seorang wanita manakala wanita tersebut merapatkan atau menempelkan bagian tubuhnya satu sama lain, tidak terlihat bentuk tubuhnya.
 
Karena itu Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tatkala pada suatu saat beliau melalui dua orang wanita yang sedang sujud kemudian beliau mengatakan:

إِذَا سَجَدْتُمَا فَضُمَّا بَعْضَ اللَّحْمِ إِلَى الْأَرْضِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ لَيْسَتْ فِي ذَلِكَ كَالرَّجُلِ

"Apabila kalian berdua sujud maka tempelkanlah bagian tubuh satu sama lainnya ke tanah, karena dalam masalah itu wanita berbeda dengan laki-laki (tata caranya sujudnya)" 
(Hadīts riwayat Abū Dāwūd dalam marasilnya) 
 
((وتخفض صوتها بحضرة الرجال الأجانب))

3. Dan mengucapkan dengan suara yang perlahan jika ada laki-laki asing  
↝Laki-laki asing (yaitu) laki-laki selain suami dan mahramnya agar tidak terdengar suaranya, dalam rangka menghindari fitnah yang akan timbul dari suara seorang wanita tersebut, karena suara wanita berpotensi menimbulkan fitnah. 

Sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla, 

فلا تخضعن بالقول فيطمع الذي في قلبه مرض 

"Maka Janganlah kalian wahai wanita merendahkan suara (mendayu-dayu) sehingga membuat orang yang didalam hatinya ada penyakit timbul rasa keinginan (yaitu syahwat)"
(Qs. Al Ahzāb : 32)
 
Apabila seorang wanita tetap mengeraskan suaranya walaupun disana ada laki-laki asing, maka shalatnya tetap sah, namun hal ini adalah perkara yang makruh atau yang kurang disukai didalam syar'iat. 
 
Adapun jika tidak ada laki-laki asing yang mendengar maka seorang wanita mengeraskan suaranya namun tidak sampai pada level suara laki-laki tatkala mereka mengeraskan suaranya
 
((وإذا نابها شيء في الصلاة صفقت))
 
4. Apabila hendak mengingatkan sesuatu didalam shalat maka dengan cara menepukkan tangan.
 
Sebagaimana hadits yang sudah berlalu, bahwasanya menepukan tangan adalah cara untuk wanita tatkala ingin mengingatkan sedangkan laki-laki dengan cara mengucapkan tasbih.
 
((وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها والأمة كالرجل))
 
5. Dan seluruh tubuh wanita yang merdeka adalah aurat (yang wajib ditutupi) selain wajah dan kedua telapak tangannya, adapun Budak wanita maka batasan auratnya adalah seperti laki-laki tatkala didalam shalat
 
Sebagaimana hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, 

لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ

"Allāh tidak menerima shalat seorang yang sudah haidh (maksudnya, wanita yang sudah baligh) kecuali dengan memakai khimar (yaitu) penutup kepala" (Hadits riwayat Abū Dāwūd 1/ 173)

Begitu pula dijelaskan dalam hadits yang lain manakala ummu salamah ditanya tentang aurat wanita tatkala shalat:

تُصَلِّي فِي الْخِمَارِ وَالدِّرْعِ السَّابِغِ الَّذِي يُغَيِّبُ ظُهُورَ قَدَمَيْهَا

"Maka wajib bagi wanita shalat dengan menggunakan penutup kepala dan menggunakan gamis (atau pakaian) yang panjang yang menutupi telapak kakinya." 
(Hadits riwayat Abū Dāwūd 1/ 173) 
 
Wanita merdeka auratnya di dalam shalat maupun diluar shalat adalah sama yaitu seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan, maka apabila terbuka auratnya shalatnya tidak sah.
 
Adapun wanita budak maka aurat di dalam shalat adalah seperti laki-laki yaitu antara pusar dan kedua lututnya (artinya) jika dia shalat dan tidak memiliki kain penutup kecuali yang menutupi antara pusar dan kedua lututnya, maka shalatnya sah.
 
Konteks pembahasan aurat dalam shalat ini adalah dalam konteks yang minimal sah shalatnya. Namun tidak sepantasnya seorang muslim memakai pakaian yang tidak pantas di dalam shalatnya.

Hendaknya bagi setiap muslim menggunakan pakaian yang terbaik yang terindah pada saat melaksanakan shalat, baik dari sisi bentuknya, kebersihannya maupun baunya.

Allāh Ta'āla berfirman, 
 
يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ 

"Wahai anak adam pakailah perhiasanmu setiap pergi ke masjid" 
(Qs. Al A'rāf : 31)

↝Maksudnya adalah pakailah pakaianmu yang terbaik, karena ini salah satu perhiasan seorang laki-laki (pakaian yang bagus, pakaian yang baik).
 
Adapun aurat budak wanita pada saat di luar shalat adalah seperti wanita merdeka.  

↝Disini ada khilaf sebagian mengatakan yaitu:

Pendapat Pertama:
Seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan menurut sebagian pendapat para ulama diantaranya adalah madzhab syafi'i.

Pendapat Kedua:
Menutup seluruh tubuhnya tanpa terkecuali menurut sebagian madzhab atau pendapat ulama yang lainnya.
 
Seorang wanita wajib dia menutup auratnya, dan bagi wanita yang tidak menutup auratnya, maka :

• Dia telah bermaksiat kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla dan melanggar perintah Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
• Dia mendapatkan dosa setiap saat dia membuka auratnya (musibah yang sangat besar).
• Dia mendapatkan dosa dari fitnah yang ditimbulkannya atau bencana yang dihasilkannya, yaitu dimulai tatkala seorang laki-laki yang melihat auratnya, kemudian timbul syahwat kemudian laki-laki tersebut melakuan perkara-perkara yang tidak diridhai Allāh Subhānahu wa Ta'āla atau perkara-perkara dosa lainnya.
 
Oleh karena itu nasehat bagi setiap wanita untuk menutup auratnya agar menjadi keselamatan di dunia dan di akhirat kelak.
 
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
______________________
🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 23 Jumada Al-Akhir 1441 H / 17 Februari 2020 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 43 | Pembatal-Pembatal Shalāt (Bagian 1)
〰〰〰〰〰〰〰
PEMBATAL-PEMBATAL SHALĀT (BAGIAN 1)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد


Para sahabat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita lanjutkan pada halaqah yang ke-43, masuk pada fasal tentang perkara - perkara yang membatalkan shalāt bagian pertama

قال المصنف 
▪Penulis Rahimahullāh berkata

((والذي يبطل الصلاة أحد عشر شيئا))

Dan perkara-perkara yang membatalkan Shalāt ada 11 perkara

((الكلام العمد))
① Berbicara secara sengaja

Seseorang yang berbicara secara sengaja didalam shalātnya, maka shalātnya batal.

Hal ini berdasarkan sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, 

مسند أبي داود الطيالسي (2/ 427)
إِنَّ صَلَاتَنَا هَذِهِ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ

"Sesungguhnya shalāt kami ini tidak diperbolehkan sedikitpun ucapan manusia".
(HR Muslim, Abū Dāwūd, An-Nasai) 

Begitu juga hadīts Zaid bin arqom

توفيق الرحمن في دروس القرآن (1/ 313)
(إنا كنا لنتكلم في الصلاة على عهد النبي - صلى الله عليه وسلم -، يكلم أحدنا صاحبه بحاجته، حتى نزل: {حَافِظُواْ عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِينَ} ، فأمرنا بالسكوت ونهينا عن الكلام) . متفق عليه.

"Bahwasanya kami dulu pada zaman Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam saling berbicara tatkala shalāt , masing-masing mengajak temannya untuk berbicara tentang urusannya, sampai turun ayat 

'Jagalah shalāt -shalāt dan shalāt Al wustha dan berdirilah menghadap Allāh dalam keadaan khusyu'. Maka kemudian setelah itu kami diperintahkan untuk diam tatkala shalāt dan dilarang untuk berbicara." Muttafaqun 'alaih.
(Diriwayatkan oleh Bukhāri dan Muslim)

Namun apabila ucapan itu sedikit atau ucapan tersebut dikarenakan lupa ataupun karena jahil (tidak tahu) maka hal itu ma'fu atau ma'dur dimaafkan dan tidak membatalkan shalātnya. 

((والعمل الكثير المتوالي))
② Banyak bergerak secara berurutan

Yaitu gerakan-gerakan yang diluar gerakan shalāt yang diperintahkan

Di dalam mahzab Syāfi'i 3 gerakan secara berurutan baik sengaja ataupun lupa ataupun gerakan seluruh tubuhnya maka shalātnya batal. 

Hal ini berdasarkan hadits Muaiqīb dari Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam.

صحيح مسلم (1/ 388)
حَدَّثَنِي مُعَيْقِيبٌ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ فِي الرَّجُلِ يُسَوِّي التُّرَابَ حَيْثُ يَسْجُدُ، قَالَ: «إِنْ كُنْتَ فَاعِلًا فَوَاحِدَةً»

Kata Rasūlullāh:

"Tatkala beliau mengomentari orang yang sedang meratakan tanah sementara dia sedang sujud, maka kata Beliau 'Apabila memang harus dilakukan maka cukup sekali saja'."
(Hadīts riwayat Muslim)

· Banyak melakukan gerakan yang sia-sia baik dengan tangannya, kakinya, atau anggota tubuhnya yang lain maka ini adalah termasuk perkara yang dapat membatalkan shalāt, (karena) hal itu menganggu shalatnya dan mengganggu kekhusyu'an yang ada di dalam shalātnya. 

· Gerakan-gerakan yang dilakukan itu adalah cerminan dari hatinya yang tidak konsentrasi di dalam shalāt.

· Jika khusyu' hatinya, maka anggota tubuhnya pun akan khusyu' dan tenang serta thuma'ninah, karena thuma'ninah adalah termasuk rukun di dalam shalāt, maka apabila rukun itu hilang maka shalātpun batal. 

Adapun yang disebutkan dalam mahzab Syāfi'i bahwasanya 3 kali gerakan secara berturut-turut membatalkan, maka hal ini tidak ada dalilnya.

Yang jelas tidak ada batasan tertentu yang membatasi 3 gerakan baik kurang ataupun lebihnya seseorang bergerak atau menggerak-gerakan anggota tubuhnya maka selama hal itu mengganggu kekhusyu'an shalatnya maka bisa berakibat shalātnya menjadi batal. 

Oleh karena itu setiap orang berusaha agar bisa shalāt dalam keadaan tenang dan dalam keadaan Khusyu'agar diterima oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. 

Adapun gerakan yang disana ada maslahat dan diperintahkan untuk dilakukan maka tidak mengapa, seperti:

√ Menghalangi orang yang hendak melewati kita yang sedang shalāt. 
√ Menjauhkan perkara-perkara yang bisa membuat mudharat,

Misalnya :
↝Ada ular 
↝Membukakan pintu 
↝Lain sebagainya (disana ada mashlahat yang jelas)

((والحدث))
③ Hadats

Baik hadats yang kecil maupun hadats yang besar maka keduanya membatalkan shalāt.

Shalāt tidak akan diterima sampai seseorang bersuci dalam shalātnya

Berdasarkan sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam,

صحيح البخاري (1/ 39)
«لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ»

"Orang yang sedang hadats tidak diterima shalātnya sampai dia berwudhu atau sampai dia bersuci sampai terangkat hadatsnya."

(Hadīts riwayat Bukhāri) 

Maksudnya disini yaitu bersuci dari hadats tersebut yaitu Thaharah. 

Seseorang shalāt maka wajib bagi dia untuk berthaharah sebelum shalātnya.

 ((وحدوث النجاسة))
④ Keluar najis atau terkena najis

Dan sudah dijelaskan pada bab sebelumnya dalil-dalilnya maupun penjelasannya tentang najis itu sendiri, kemudian bagaimana cara menghilangkannya dan juga kewajiban untuk menghilangkan najis tersebut sudah dijelaskan pada halaqah yang lalu. 

Point ke 3 dan 4, ini terkait dengan thaharah. 

Thaharah adalah syarat diterimanya shalāt,tatkala syarat itu hilang maka shalātnya pun menjadi batal. 

Oleh karena itu wajib untuk mengangkat hadats dan menghilangkan najis. 

Demikian yang bisa kami sampaikan didalam halaqah ini, semoga bermanfaat.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
----------------------------------
🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 24 Jumada Al-Akhir 1441 H / 18 Februari 2020 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 44 | Pembatal-Pembatal Shalāt (Bagian 2)
〰〰〰〰〰〰〰
PEMBATAL-PEMBATAL SHALĀT (BAGIAN 2)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Para sahabat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita lanjutkan tentang perkara-perkara yang membatalkan shalat bagian ke-2

(وانكشاف العورة))
⑤ Terbuka auratnya tatkala didalam shalāt 

Tentang aurat ini juga sudah dijelaskan baik untuk laki-laki maupun untuk wanita.

Maka apabila seseorang shalāt dan terbuka auratnya maka shalātnya batal, namun apabila tersingkap dan langsung ditutup pada saat itu juga maka shalātnya tetap sah.

Menutup aurat termasuk syarat sahnya shalāt.

((وتغيير النية))
⑥ Merubah niat

Yaitu apabila seseorang berniat dengan niat shalāt tertentu dan pada saat ditengah shalātnya dia merubah niat shalātnya untuk shalāt lainnya, maka shalātnya tidak sah atau shalātnya tersebut menjadi batal.

Hal ini berdasarkan hadīts Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam 

«إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ»

"Sesungguhnya amalan itu tergantung dari niatnya". (HR Bukhāri dan Muslim)

Ada beberapa masalah dalam merubah niat ini :

⑴ Jika berniat untuk keluar dari shalāt maka merubah niat dari shalāt menjadi keluar shalāt atau batal shalāt, maka hal ini shalātnya batal dan tidak ada khilaf didalamnya

⑵ Jika merubah niat dari shalāt yang wajib ke shalāt wajib lainnya atau dari shalāt wajib ke shalāt sunnah lainnya, maka yang shahīh dalam mahzab bahwasanya shalātnya batal 

Misalnya :

Seseorang niat shalāt dhuhur, ditengah pelaksanaan shalātnya dia teringat kalau sudah masuk waktu ashar dan juga ternyata dia sudah shalāt dhuhur, oleh karena itu dia langsung merubah shalāt yang terlanjur dia lakukan dia rubah,yang tadinya niat shalāt dhuhur kemudian berubah niatnya menjadi shalāt ashar maka hal yang seperti ini tidak sah atau batal shalātnya.

Atau misalnya dia merubah menjadi shalāt sunnah ba'diyah dhuhur karena dia ingat shalāt sebelumnya shalāt dhuhur dia sudah lakukan maka ini juga batal.

Ataupun shalāt yang lainnya yang tertentu.

⑶ Jika dia berniat sungguh-sungguh ingin membatalkan shalāt setelah dia melaksanakan shalāt, maka pada saat itu otomatis shalātnya batal, walaupun kemudian setelah itu dia kembali lagi bahwasanya ingin melanjutkan shalāt maka pada saat berniat ingin sungguh-sungguh membatalkan shalāt otomatis shalātnya batal dan harus diulang.

⑷ Jika dia ragu-ragu dalam niatnya apakah dia ini sudah berniat keluar shalāt ataukah belum? Atau bagaimana,ada keraguan didalam hati maka disini ada khilaf dikalangan para ulama 

Secara umum disebutkan kaedah oleh Syaikh Utsaimin dalam Majmu' fatawa tentang perpindahan niat, kata beliau :

" تغيير النية إما أن يكون من معيَّن لمعيَّن ، أو من مطلق لمعيَّن : فهذا لا يصح ، وإذا كان من معيَّن لمطلق : فلا بأس .

"Perubahan niat itu ada beberapa kemungkinan, kemungkinannya apakah dari shalāt yang tertentu kepada shalàt lain yang tertentu juga, atau dari shalāt muthlaq ke shalāt yang tertentu, maka kedua bentuk ini tidak sah (Batal shalātnya) namun apabila dari shalāt tertentu kemudian berubah niatnya menjadi shalāt muthlaq maka kata beliau tidak mengapa"

▪ Untuk Shalāt tertentu ke shalāt tertentu

Contohnya:

→ Shalāt dhuhur (tertentu) yaitu dhuhur kemudian berubah niatnya menjadi shalāt ashar (tertentu), atau menjadi shalāt sunnah dhuha (tertentu juga) atau berubah niat menjadi shalāt sunnah fajar semisalnya, maka yang seperti ini shalātnya tidak sah atau batal.

Baik perpindahan dari fardhu ke fardhu atau fardhu ke sunnah atau sunnah ke sunnah, maka seperti ini tertentu ke shalat tertentu maka batal.

▪ Shalāt muthlak ke shalāt tertentu

Misalnya :

→ Seseorang yang sedang mengerjakan shalāt sunnah muthlak (yaitu shalāt sunnah yang dilakukan tanpa sebab apapun, seseorang hanya ingin shalāt kemudian dia shalāt 2 raka'at) kemudian dia ingat ternyata belum shalāt dhuhur maka dia langsung merubah niat shalāt sunnah muthlaknya menjadi shalāt dhuhur, maka ini juga tidak sah atau batal.

Atau merubah pada Shalāt tertentu lainnya maka juga tidak sah atau batal.

▪ Shalāt tertentu ke shalāt muthlaq

Misal contoh diatas :

→ Seseorang sedang shalāt dhuhur dan kemudian teringat bahwasanya dia sudah mengerjakan shalāt dhuhur, maka dia boleh mengalihkan niatnya dari shalāt dhuhur (karena sudah dikerjakan shalat dhuhur) di ubah niatnya menjadi shalāt sunnah muthlaq, dan ini tidak mengapa.

Namun kalau tadi (misalnya) niat shalāt dhuhur dia ubah menjadi shalāt tertentu (karena dia sudah selesai shalāt dhuhur) diubah menjadi shalāt sunnah ba'diyah dhuhur (misalnya) maka ini tidak sah atau batal Shalātnya.

((واستدبار القبلة))

⑦ Membelakangi kiblat

Membelakangi kiblat atau berpaling dengan sebagian tubuhnya kearah selain kiblat, maka ini shalātnya menjadi batal.

Hal ini berdasarkan firman Allāh Ta'āla,

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

"Maka palingkanlah wajahmu kearah masjidil Harām". (Qs. Al-Baqarah :217)

Menghadap kiblat adalah rukun didalam shalāt

Barangsiapa yang menghilangkan rukun tersebut maka shalātnya batal.

((والأكل))
⑧ Makan

((والشرب))
⑨ Minum

Kedua perbuatan ini termasuk pembatal shalāt. kenapa? Karena kedua perbuatan ini adalah perbuatan yang bertentangan dari maksud dan tujuan shalāt, dan juga bertentangan dengan khusyu' dan juga bertentangan dengan thuma'ninah yang diperintahkan didalam shalāt dan perbuatan tersebut menunjukkan rasa berpaling dari shalāt itu sendiri.

Namun tidak mengapa, jika seseorang lupa atau yang termakan sedikit, atau terpaksa atau tidak sengaja misalnya menelan sisa makanan yang tersangkut di giginya, atau menelan air dari sisa air wudhunya (semisalnya) maka ini tidak mengapa, adapun yang disengaja kemudian dalam jumlah yang banyak maka ini membatalkan shalāt.

((والقهقهة))
⑩ Tertawa

Yaitu apabila keluar dari lisannya 2 huruf, maka ini dianggap sebagai ucapan, dan sebagaimana tadi sudah disebutkan ucapan manusia didalam shalāt membatalkan wudhu.

3 perkara yang disebutkan sebelumnya yaitu :
⒈ Makan 
⒉ Minum
 3.Tertawa 

Jika dilakukan secara sengaja maka ijma' para ulama shalātnya adalah batal.

((والردة))
⑪ Murtad

Ini juga membatalkan shalāt berdasarkan firman Allāh Ta'āla,

 وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ

"Barangsiapa yang murtad (keluar) dari agamanya (islam) kemudian mati dalam keadaan kāfir, maka mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya (batal semua amalannya termasuk shalātnya)".
(Qs. Al Baqarah : 190)

Demikian yang bisa disampaikan didalam halaqah ini, Semoga bermanfaat.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
______________________
🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 25 Jumada Al-Akhir 1441 H / 19 Februari 2020 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 45 | Jumlah Raka'at Dan Gerakan Shalāt (Bagian 1)
〰〰〰〰〰〰〰

JUMLAH RAKA'AT DAN GERAKAN SHALĀT (BAGIAN 1)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد
 
Para sahabat BiAS yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla kita lanjutkan pada halaqah yang ke-45, dan kita masuk pada fasal tentang jumlah raka'at di dalam shalāt dan gerakan-gerakan lainnya yang ada di dalam shalāt.
 
قال المصنف

Penulis rahimahullāh berkata:

((وركعات الفرائض سبعة عشر ركعة))
 
🔹Shalāt yang wajib itu ada 17 raka'at (dalam sehari semalam), yaitu:

√ Subuh 2 raka'at
√ Dhuhur 4 raka'at
√ Ashar 4 raka'at
√ Maghrib 3 raka'at
√ Isya 4 raka'at

Adapun bagi musafir maka dia mengqashar shalāt yang 4 raka'at menjadi 2 raka'at, sehingga total raka'at dalam sehari semalam menjadi 11 raka'at.
 
((فيها أربع وثلاثون سجدة وأربع وتسعون تكبيرة وتسع تشهدات وعشر تسليمات ومائة وثلاث وخمسون تسبيحة))
 
🔹Di dalam shalāt tersebut ada:

√ 17 kali ruku,
√ 34 kali sujud,
√ 94 kali takbir,
√ 9 kali tasyahud, yang 5 kalinya adalah wajib,
√ 10 kali salam, 
√153 kali tasbih.
 
((وجملة الأركان في الصلاة مائتان وأربعة وثلاثون ركنا؛
في الصبح وثلاثون ركنا، وفي المغرب اثنان وأربعون ركنا وفي الرباعية أربعة وخمسون ركنا))

 
🔹 Jumlah rukun di dalam shalāt ada 234 rukun, dengan rincian:

√ Pada shalāt subuh ada 30 rukun.
√ Pada shalāt maghrib ada 42 rukun.
√ Pada shalāt yang 4 raka'at (Dhuhur, Ashar, Isya) masing-masing 54 rukun.

Ini adalah jumlah-jumlah yang disebutkan oleh penulis di sini, bahwasanya shalāt terdiri dari 17 raka'at, dan kalau ditotal maka semua macam-macam yang ada dalam shalāt baik rukunnya, sujudnya dan rukunya sebagaimana yang disebutkan oleh penulis rahimahullāh.

Kemudian beliau mengatakan:
 
((ومن عجز عن القيام في الفريضة صلى جالسا ))
 
Barangsiapa yang tidak mampu untuk berdiri di dalam shalāt wajib maka dia shalāt dalam keadaan duduk.
 
((ومن عجز عن الجلوس صلى مضطجعا (أي على جنبه الأيمن))

Barangsiapa yang tidak mampu shalāt sambil duduk maka shalāt dalam keadaan berbaring (berbaring pada posisi bertumpu pada sisi sebelah kanan).
 
((ومن عجز عن ذلك يصلي بالإيماء))
 
Apabila dia juga tidak mampu untuk shalāt sambil berbaring maka dia shalāt dengan memberikan isyarat.
 
((وإن عجز عن ذلك يصلي بطرفه وينوي بقلبه))

Jika masih tidak mampu untuk shalāt dengan isyarat mengerakan sebagian dari kepalanya misalnya maka dia shalāt dengan mengekedipkan matanya dan berniat dalam hatinya.

Ini adalah beberapa perkara yang disebutkan bahwasanya bila seseorang tidak mampu shalāt sambil berdiri maka dia shalāt dalam keadaan duduk.

Para sahabat sekalian,

Bahwasanya berdiri di dalam shalāt hukumnya adalah wajib dan termasuk di dalam rukun.

Sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

"Dan berdirilah kalian untuk Allāh dalam shalātmu dalam keadaan yang khusyū'." 
(QS Al Baqarah: 238)

Oleh karena itu, hukum asal berdiri di dalam shalāt adalah rukun. Apabila seseorang meninggalkan rukun tersebut tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat maka shalātnya batal.

🔹Diantara alasan yang dibenarkan untuk shalāt sambil duduk atau sambil berbaring, adalah:

① Jika dia berdiri menyebabkan kesulitan yang sangat.
② Seseorang yang sakit (apabila berdiri dia akan bertambah sakit).
③ Orang yang lumpuh atau orang yang sudah tua yang tidak mampu untuk berdiri.
④ dll 

Berdasarkan hadīts Bukhāri:

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ ، فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ ، فَقَالَ : ( صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ).

"Dari Imran bin Husain radhiyallāhu"anhu berkata, saya dulu punya penyakit bawasir (ambeien), maka sayapun bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tentang shalātnya maka beliaupun bersabda, 'Shalātlah berdiri, jika tidak mampu maka sambil duduk, jika tidak mampu maka berbaringlah'."
 
وقال النووي رحمه الله : " أجمعت الأمة على أن من عجز عن القيام في الفريضة صلاها قاعدا ولا إعادة عليه , قال أصحابنا : ولا ينقص ثوابه عن ثوابه في حال القيام , لأنه معذور , وقد ثبت في صحيح البخاري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ( إذا مرض العبد أو سافر كتب له ما كان يعمل صحيحا مقيما ) . قال أصحابنا : ولا يشترط في العجز أن لا يتأتّى القيام ، ولا يكفي أدنى مشقة ، بل المعتبر المشقة الظاهرة ، فإذا خاف مشقة شديدة أو زيادة مرض أو نحو ذلك أو خاف راكب السفينة الغرق أو دوران الرأس صلى قاعدا ولا إعادة " انتهى من "المجموع" (4/201) .
 
Berkata Imām Nawawi rahimahullāh dalam kitab Al majmu', "Umat telah sepakat bahwa orang yang tidak mampu berdiri di dalam shalāt wajib maka boleh shalāt sambil duduk dan tidak perlu mengulang shalātnya." 

Beliau berkata, "Sahabat-sahabat kami (para ulama syāfi'iyah) berkata:

Bahwasanya shalāt dalam keadaan duduk, tidak mengurangi pahalanya sedikitpun karena dia memiliki alasan (udzur syar'i)."

Dan disebutkan di dalam Shahīh Bukhāri:

( إذا مرض العبد أو سافر كتب له ما كان يعمل صحيحا مقيما )

Apabila seorang hamba sakit atau bepergian, maka akan tetap dicatatkan pahala amalan yang biasa dia lakukan dalam keadaan sehat dan mukim (tidak bepergian).

Sahabat-sahabat kami (para ulama syāfi'iyah) mengatakan bahwa:

Tidak disyaratkan bahwa seseorang yang dikatakan tidak mampu berdiri, bahwasanya dia sama sekali tidak bisa berdiri, dan tidak cukup juga hanya dengan sedikit masyaqqoh (kesulitan) maka langsung dikategorikan sebagai seseorang yang tidak mampu (misalnya kesemutan).

Kesulitan yang masuk dalam kategori yang diperbolehkan adalah kesulitan yang tampak jelas.

Jika seseorang mengkhawatirkan bahwasanya dengan berdiri akan timbul kesulitan yang sangat, atau menyebabkan sakitnya bertambah parah atau yang semisalnya, atau dikhawatirkan dia akan tenggelam jika berdiri (misalnya seseorang sedang naik perahu) atau akan merasakan pusing yang sangat, maka pada saat itu diperbolehkan shalāt sambil duduk.

Demikian yang disampaikan oleh Imām An nawawi (Al Majmū' 4/201).

Jadi, seseorang apabila dia tidak mampu berdiri, bukan berarti sama sekali tidak bisa berdiri, namun apabila dia memiliki alasan-alasan yang disebutkan di atas dengan kaedah masyaqqoh dzahirah (kesulitan yang benar-benar jelas) atau di sana ada mudharat yang jelas maka masuk pada kategori "al ajzu" atau tidak mampu yang dengan alasan tersebut boleh berpindah dari posisi berdiri menjadi posisi duduk atau berbaring.

Para sahabat sekalian,
 
• Posisi duduk.
Untuk posisi duduk, tidak diharuskan dengan posisi duduk tertentu, boleh dengan posisi duduk iftirasy (seperti dalam shalāt) dan boleh juga dengan posisi bersila.

Sebagian ulama mengatakan lebih afdal posisi iftirasy, sebagian mengatakan bahwasanya lebih afdal posisi bersila (karena lebih nyaman). Akan tetapi di dalam hadīts tidak dijelaskan, yang dijelaskan adalah boleh seseorang berpindah dari posisi berdiri menjadi posisi duduk.

Dan diperbolehkan juga duduk di atas kursi dan ini juga masuk dalam kaedah posisi duduk.
 
Adapun didalam shalāt sunnah dijelaskan oleh para ulama bahwasanya boleh seseorang duduk di dalam shalātnya (shalāt sunnah) walaupun dia mampu untuk berdiri.

Ini berbeda dengan shalāt wajib, shalāt (wajib) wajib untuk berdiri.

Dan untuk shalāt sunnah diperbolehkan untuk duduk (walaupun dia mampu untuk berdiri). Namun dia akan mendapatkan separuh dari pahala shalāt dengan berdiri.

Hal ini berdasarkan hadīts yang diriwayatkan Imām Muslim dari 'Abdullah bin Amr, bahwasanya beliau dikabari bahwa Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

لما روى مسلم (1214) عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رضي الله عنه قَالَ : حُدِّثْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ( صَلاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلاةِ

"Shalāt orang yang duduk separuh (pahala) shalāt (berdiri)."

Maksudnya pahalanya separuh dari shalāt orang yang berdiri.

Demikian yang bisa disampaikan, semoga bermanfaat. 

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
----------------------------------
🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 08 Dzulqa'dah 1441 H / 29 Juni 2020 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 46 | Jumlah Raka'at Dan Gerakan Shalāt (Bagian 2)
〰〰〰〰〰〰〰

JUMLAH RAKA'AT DAN GERAKAN SHALAT (BAGIAN 2)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد
 
Para sahabat BiAS yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla kita.

▪TATACARA SHALĀT SAMBIL DUDUK

① Posisi Berdiri.

Kaedahnya, seseorang semampu mungkin untuk melakukan rukun sesempurna mungkin yang dia mampu, apabila tidak mampu maka berpindah pada keadaan berikutnya yaitu duduk.

Apabila mampu berdiri dengan bertelekan tongkat, atau dengan bersandar, maka tetap wajib berdiri.
 
Apabila mampu berdiri 1 raka'at atau 2 raka'at, maka wajib untuk berdiri walaupun pada raka'at lainnya sudah tidak mampu, maka posisi berdiri pada saat itu digantikan dengan duduk, apakah duduk iftirasy seperti dalam shalāt, atau tarabbu' (yaitu posisi bersila) atau duduk di atas kursi.
 
② Posisi Ruku'
 
Jika seseorang tidak mampu berdiri, namun mampu ruku', maka pada saat ruku' mengambil posisi yang sempurna, namun apabila tidak mampu, maka semampunya dengan memiringkan badan, sambil berdiri jika mampu, atau sambil duduk jika tidak mampu.
 
③ Posisi sujud
 
Apabila mampu untuk sujud secara sempurna, maka berpindah ke posisi sujud secara sempurna, namun apabila tidak mampu, maka dengan memiringkan badan lebih rendah dari posisi ruku'
 
dan demikian seterusnya
 

▪TATACARA SHALĀT SAMBIL BERBARING
 
Apabila tidak mampu untuk duduk dalam shalāt fardhu, maka diperbolehkan untuk shalāt sambil berbaring sebagaimana hadits yang sudah disebutkan.

Adapun tata cara shalāt sambil berbaring sebagai berikut:
 
① Posisi berbaring:
→ bertumpu pada sisi kanan jika mampu dan menghadap kiblat
→ kemudian bertakbir dan meletakkan kedua tangan diatas dada jika mampu
→ kemudian ruku' dengan cara menundukkan kepala
→ i'tidal dengan kembali lagi
→ kemudian sujud dengan menundukkan kepala 
→ kemudian kembali lagi dan begitu seterusnya
(setiap perubahan pergerakan dengan menundukkan kepala).
 
② Jika tidak mampu bertumpu pada sisi kanan, maka pada sisi kiri, agak miring dan menghadap kiblat, dan lakukan yang sama
 
③ Jika tidak mampu maka berbaring diatas punggungnya, dengan posisi kiblat dikakinya, dan bertakbir dan melakukan gerakan semampu mungkin, dengan mengangkat kepala setiap perubahan gerakan.
 
④ Jika tidak mampu maka dengan mengedipkan mata pada setiap pergerakan
 
⑤ Jika tidak mampu maka dengan isyarat tangan
 
⑥ Jika tidak mampu maka niatkan dengan hatinya setiap perubahan gerakan
 

Demikianlah secara ringkas tata cara shalāt yang diajarkan dalam syariat dan kita bisa menyimpulkan tentang:

🔗Ibadah Shalat sangat penting dan agungnya shalāt, sehingga tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan bagaimanapun dan kondisi apapun.
 
🔗Dan juga bagaimana Islam adalah agama yang mudah dan memberikan kemudahan, memberikan keringanan dalam setiap kondisi yang tidak mungkin dilakukan secara sempurna.
 
Oleh karena itu hendaknya kita bersyukur atas anugrah yang Allāh berikan kepada kita berupa syariat yang lengkap dan mudah.
 
Demikian yang bisa disampaikan, semoga bermanfaat.
 
 
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
----------------------------------
🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 09 Dzulqa'dah 1441 H / 30 Juni 2020 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 47 | Sujud Syahwi (Bagian 1)
〰〰〰〰〰〰〰

SUJUD SAHWI

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد
 
Para sahabat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita lanjutkan halaqah yang ke-47, masuk pada fasal tentang (Sujud sahwi).
 
Sebelum membahas matan Abū Syujā', ada beberapa hal yang perlu ditambahkan dalam pengantar masalah sujud sahwi.
 
Sujud sahwi adalah salah satu nikmat yang besar dari Allāh Subhānahu wa Ta'āla yang harus kita syukuri, karena dia merupakan salah satu jalan keluar bagi manusia yang secara tabi'at mudah lupa.
 
Adapun pengertian sujud sahwi maka dijelaskan oleh para ulama 
 
سجدتان يسجدهما المصلِّي قبل السَّلام أو بعده لِجَبْرِ خلَلٍ في صلاته.
 
Sujud sahwi adalah dua sujud yang dilakukan oleh orang yang shalāt, baik sebelum salam atau pun sesudahnya dengan tujuan untuk menutupi kekeliruan di dalam shalātnya.
 
▪Hukum Sujud Sahwi
Mengenai hukum sujud sahwi para ulama sepakat bahwa hukumnya masyru' atau disyariatkan.

Adapun tingkatnya:
🔗 Menurut Hanafiyyah hukumnya adalah wajib, dan orang yang meninggalkannya berdosa akan tetapi tidak membatalkan shalāt.

🔗 Menurut jumhur, maka hukumnya adalah sunnah.
 
Sebab-sebab disunnahkannya sujud sahwi ada 3 hal yang disebutkan para ulama, yaitu :

⑴ Adanya penambahan ( الزيادة)
⑵ Adanya kekurangan ( والنقص)
⑶ Adanya keraguan pada orang yang shalāt ( والشك)
 
Hadits-hadits yang terkait dalam sujud sahwi secara umum ada 6 buah hadīts, yang merupakan sumber dari permasalahan sujud sahwi (menjadi rujukan didalam masalah sujud sahwi)

▪Waktu Sujud Sahwi
Waktu dilakukannya sujud sahwi, disana ada khilaf diantara para ulama tentang afdaliyyah, apakah sebelum salam ataukah setelah salam.
 
Namun pada hakikatnya, tidak ada perbedaan pendapat tentang bolehnya melakukan sujud sahwi baik sebelum salam atau setelah salam.

Perbedaan pendapat adalah seputar mana yang lebih utama atau lebih sunnah antara sujud sahwi sebelum salam dan sujud sahwi setelah salam.  

▪Berkata kalangan 

🔗 Kalangan Hanafiyyah 
Bahwasanya yang lebih utama dilakukan setelah salam, baik pada perkara adanya tambahan ataupun adanya kekurangan.
 
🔗 Kalangan Mālikiyyah 
Jika yang terlupa padahal adanya kekurangan, maka dilakukan sebelum salam, namun jika disana, shalāt nya ada tambahan maka dilakukan setelah salam
 
🔗 Kalangan Syāfi'iyah 
Mereka mengatakan lebih utama dilakukan sebelum salam, baik pada perkara tambahan atau adanya kekurangan di dalam shalāt 
 
🔗 Kalangan Hanābilah 
Adapun Hanābilah, mereka mempersilahkan karena kedua-duanya adalah sama. Apakah ingin sebelum salam atau setelah salam keduanya utama (sesuai dengan sunnah)
 
▪Tata Cara Sujud Sahwi
 
Imām Nawawi berkata: 

"Sujud sahwi adalah dua sujud dengan duduk diantara keduanya, dan disunnahkan duduk iftirasy (seperti duduk diantara dua sujud) dan setelah sujud kedua duduk tawarruk (duduk seperti akhir shalāt) sampai salam. dan tata cara sujud sahwi serta tata cara berdzikirnya sama dengan sujud tatkala shalāt", Wallāhu a'lam.
 
Adapun mengucapkan takbir didalam sujud adalah disunnahkan berdasarkan hadīts yang tertera didalam shahihain.
 
▪▪Kita masuk didalam matan Abū Syujā'.
 
قال المصنف
Penulis berkata, Rahimahullāh 

((والمتروك من الصلاة ثلاثة أشياء))
 
((Dan perkara-perkara yang ditinggalkan didalam shalāt ada tiga macam jenisnya.))
 
((فرض وسنة وهيئة))

① Fardhu didalam shalāt/perkara yang wajib didalam shalāt.
② Sunnah-sunnah didalam shalāt (sunnatul ab'adh).
③ Haiat yaitu shalāt yang tidak berpengaruh jika ditinggalkan.
 
Sujud sahwi disyariatkan baik pada shalāt fardhu maupun shalāt sunnah.

Dan ketentuan sujud sahwi adalah apabila melakukan perkara-perkara yang dilarang seperti :
√ Menambah rakaat
√ Menambah ruku' atau 
√ Menambah sujud

Maka diperintahkan untuk sujud sahwi.

Atau juga meninggalkan perkara yang diperintahkan seperti :
√ Meninggalkan rakaat.
√ Meninggalak ruku' ataupun.
√ Meninggalkan sujud.

Maka diperintahkan untuk sujud sahwi.
 
Dan sudah dijelaskan sebabnya ada 3 (tiga) yaitu :
⑴ Adanya penambahan
⑵ Adanya pengurangan dan 
⑶ Adanya keraguan

Dan terjadi pada 3 hal yaitu :
⑴ Wajib shalāt.
⑵ Sunnah-sunnah shalāt.
⑶ Haiat shalāt.
 
Dalilnya yang menjadi pegangan di dalam sujud sahwi adalah hadīts yang diriwayatkan Imām Muslim dan senada dengan itu juga hadīts dalam Bukhāri, bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا، فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ، ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ، فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ، وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
 
"Apabila kalian ragu didalam shalāt dan tidak tahu apakah shalāt 3 (tiga) raka'at atau 4 (empat) raka'at dalam keadaan ragu, maka buanglah rasa ragu dan berpeganglah pada yang yakin, kemudian sujud 2 (dua) kali sujud sebelum salam, jika ternyata dia shalāt 5 (lima) raka'at maka sujud itu menggenapkan jumlahnya, namun apabila ternyata shalāt sempurna 4 (empat) raka'at, maka sujud tadi (sujud sahwi) sebagai penghinaan bagi syaithān".
(Hadīts riwayat Muslim I/400)

Demikan yang bisa disampaikan, semoga bermanfaat.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ditranskrip oleh Tim Transkrio BiAS
----------------------------------
🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 10 Dzulqa'dah 1441 H / 01 Juli 2020 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 48 | Sujud Syahwi (Bagian 2) 
〰〰〰〰〰〰〰

SUJUD SAHWI BAGIAN 2

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد
 
Para sahabat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita lanjutkan halaqah yang ke-48 masuk pada fasal tentang "Sujud sahwi bagian ke-2"


قال المصنف

Penulis melanjutkan, 

((فالفرض لا ينوب عنه سجود السهو بل إن ذكره والزمان قريب أتى به وبنى عليه وسجد للسهو))
 
Kata beliau, adapun perkara yang faraid (rukun), maka tidak bisa digantikan dengan sujud sahwi.

Apabila dia ingat (kalau dia meninggalkan rukun) dan waktunya masih pendek atau masih dekat (belum lama), maka rukun yang ditinggalkannya tadi segera dikerjakan pada saat dia ingat, dan dilanjutkan (gerakan shalāt setelahnya) (yakni) tidak perlu diulang dari awal (shalāt) lalu kemudian sujud sahwi setelahnya (maksudnya) sebelum salam.
 
Faraid atau rukun shalāt, apabila ditinggalkan maka harus (kembali) untuk dikerjakan.

Ada beberapa keadaan:

⑴ Apabila dia *ingat* (rukun yg ditinggalkan) dan *masih dalam keadaan shalāt*, maka wajib kembali mengulang mulai dari rukun yang ditinggalkan, lalu sujud sahwi. Adapun gerakan sebelum rukun yang lupa tadi tidak perlu diulang.

Jadi apabila ingat dan masih dalam keadaan shalāt, maka wajib untuk kembali kepada shalāt yang ditinggalkan dan tidak perlu mengulangi dari awal, kemudian sujud sahwi.
 
(2) Apabila dia *ingat setelah salam (selesai shalāt)*, namun *belum lama jeda waktunya*, maka segera kembali mulai dari al fard (rukun) yang ditinggalkan tadi dan gerakan setelahnya dan tidak perlu mengulang dari awal .

(3) Apabila dia *ingat setelah salam (setelah selesai shalāt)*, namun ada *jeda cukup panjang* maka dia wajib mengulangi shalāt tersebut dari awal.
 
Hal ini berlaku bagi imam maupun orang yang shalāt munfarid (shalāt sendirian).

Adapun makmum, maka apabila dia lupa maka dia tidak melakukan sujud sahwi dan imam menanggung apa yang dilupakan oleh makmumnya.

Kemudian penulis melanjutkan,

((والسنة لا يعود إليها بعد التلبس بالفرض لكنه يسجد للسهو عنها))
 
"Adapun sunnah-sunnah shalāt maka tidak perlu mengulang kembali untuk melakukannya. "

Jika dia telah melakukan gerakan lain yang merupakan perkara faraid (rukun) di dalam shalāt. Tetapi tetap perlu melakukan sujud sahwi karena lupa melakukan perkara yg termasuk wajib shalāt.

~~~~~~~
Catatan: Diibaratkan dalam matan dengan sunnah maksudnya adalah perkara yg termasuk wajib dalam shalāt. Dan disebutkan alfaraid maksudnya adalah rukun shalāt.

Hal ini karena perbedaan pembagian dalam madzhab syafii di dalam shalāt hanya ada wajib shalāt dan sunnah shalāt. Wajib shalāt yg diistilahkan rukun shalāt pada madzhab lain, dan sunnah shalāt yg meliputi wajib shalāt dan sunnah shalāt dalam istilah madzhab lainnya.

Dalam madzhab lain dibagi menjadi rukun shalāt, wajib shalāt dan sunnah shalāt.
 ~~~~~~~

Sunnah-sunnah didalam shalāt terbagi menjadi 2 (dua) (dalam istilah madzhab syafii demikan) yaitu : 

1. Al ib'adh, yaitu sunnah shalāt) yang apabila ditinggalkan dilakukan sujud sahwi (catatan: dalam madzhab lain dimasukkan dalam kategori wajib dalam shalāt).

2. Haiat, yaitu sunnah shalāt yang tidak ada pengaruhnya apabila ditinggalkan (catatan: dalam madzhab lain diistilahkan sebagai sunnah-sunnah dalam shalāt).
 
*Sunnah al ib'adh* (atau diistilahkan dalam madzhab lain sebagai wajib-wajib dalam shalāt), seperti: 

Tasyahud awwal
Duduk tasyahhud
Shalawat atas nabi dalam tasyahhud, dan lain-lain.
 
Sunnah al ib'adh apabila tertinggal maka dilakukan sujud sahwi, misalnya:

▪Seseorang lupa tasyahud awal, kemudian dia berdiri. Tasyahhud awwal merupakan sunnah ib'adh (termasuk wajib shalāt, sedangkan berdiri adalah termasuk al fard (rukun).

Maka tatkala dia sudah berdiri kemudian ingat bahwasanya dia belum tasyahud awal, maka tidak diperkenankan untuk kembali duduk pada tasyahud awal (karena dia telah terlanjur melakukan kewajiban (rukun) shalāt yang lainnya) oleh karena itu langsung dia melanjutkan shalāt tersebut dan nanti diganti dengan sujud sahwi sebelum salam.

Hal ini berdasarkan hadīts yang diriwayatkan oleh Abdullāh bin Buhinah,

عن عبدِ اللهِ بنِ بُحينةَ، أنه قال: ((صلَّى لنا رسولُ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّمَ ركعتينِ، ثم قام فلمْ يجلِسْ، فقام الناسُ معه، فلمَّا قضى صلاتَه وانتظَرْنا التسليمَ كبَّر، فسجَدَ سجدتينِ وهو جالسٌ قبل التَّسليمِ، ثم سلَّمَ صلَّى الله عليه وسلَّمَ )) رواه المسلم
 
"Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam shalāt 2 (dua) raka'at kemudian beliau berdiri dan tidak duduk, maksudnya tidak duduk tasyahud awal maka orang-orang pun berdiri mengikuti beliau, setelah beliau selesai shalātnya dan kami menunggu beliau untuk salam, maka beliau Shallallāhu 'alayhi wa sallam bertakbir dan sujud dengan dua kali sujud dan dia dalam keadaan duduk sebelum salam, kemudian setelah itu beliau salam". (Hadīts riwayat Muslim)

Kemudian penulis melanjutkan, 

((والهيئة لا يعود إليها بعد تركها ولا يسجد للسهو عنها))
 
Adapun sunnah Haiat maka tidak perlu kembali untuk melakukannya dan tidak perlu melakukan sujud sahwi karena meninggalkannya.
 
Sunnah Haiat adalah sunnah yang tidak berpengaruh jika dilakukan. (Catatan: dalam madzhab lain dikategorikan dalam istilah sunnah-sunnah dalam shalāt).

Sunnah Haiat seperti :

√ Membaca tasbih
√ Membaca takbir tatkala perpindahan gerak
√ Membaca taawwudz, dll

Apabila ditinggalkan baik sengaja ataupun lupa maka tidak perlu sujud sahwi.

Kemudian penulis melanjutkan,
 
((وإذا شك في عدد ما أتى به من الركعات بنى على اليقين وهو الأقل وسجد للسه))
 
Apabila ragu terhadap jumlah bilangan raka'at yang dikerjakan maka ambilah patokan sesuatu yang yakin, yaitu dengan mengambil jumlah raka'at yang paling sedikit, kemudian setelah itu sujud sahwi.
 
Disini jika seseorang ragu maka dia berpatokan kepada sesuatu yang yakin, namun apabila dia tetap ragu, maka ambilah jumlah bilangan raka'at yang terkecil, karena itu lebih yakin daripada raka'at yang lebih besar.

Apabila seseorang lupa apakah dia shalāt 2 (dua) atau 3 (tiga) raka'at, dia yakin kalau 2 (dua) pasti, maka tinggalkan dia kembali untuk menghitung raka'at nya menjadi raka'at yang 2 (dua)
 
((وسجود السهو سنة ومحله قبل السلام))
 
Sujud sahwi hukumnya adalah sunnah dan dilakukan sebelum salam.
 
Masalah ini sudah dibahas diawal yang merupakan mahzhab dari Imām Syāfi'ī bahwasanya hukumnya sunnah dan dilakukan sebelum salam, ini yang afdhal.

Demikian yang bisa disampaikan, semoga bermanfaat.

 
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

~~~~~~~~~

▪Tentang istilah pembagian gerakan atau bacaan dalam sholat

Dalam madzhab Syafi'i
▪Al Fard ( Wajib2 dalam sholat) ➡ ini diistilahkan rukun sholat dalam madzhab lain

▪Sunnah
      Sunnah ib'adh (dalam madzhab lain diistilahkan wajib-wajib shalāt)
      Sunnah haiat (dalam madzhab lain diistilahkan sunnah-sunnah sholat)

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
----------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar