Senin, 15 Oktober 2018

Kitab Aqidah Al-Wāsitthiyah

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 3 Dzulqoidah 1439 H / 16 Juli 2018 M
👤 Ustadz Rizqo Kamil Ibrahim, Lc
📗 ‘Aqidah Al-Wāsithiyyah
🔊 Halaqah 001| Muqaddimah - Pentingnya Menuntut Ilmu Syar’i
〰〰〰〰〰〰〰
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليك ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Kitāb ini, sebagaimana judulnya, menjelaskan 'aqidah-'aqidah yang penting bagi seorang muslim untuk dipelajari.

Sedangkan kata yang digandeng atau disandingkan setelah kata 'aqidah (sebagaimana telah disinggung bahwa judul halaqah kita ini dan halaqah-halaqah berikutnya adalah Al 'Aqidah Al Wāsithiyyah) adalah nama sebuah daerah yang bernama Wāsith yang berada di Irāq.

Kenapa dinamakan demikian?

Karena kitāb ini dikarang di daerah yang bernama Wāsith, dikarang oleh Imām (ulamā) yang cukup terkenal yaitu Ibnu Taimiyyah atau yang diberi gelar Syaikhul Islām.

Sebelum kita membahas lebih lanjut apa itu 'Aqidah Wāsithiyyah atau siapa itu Ibnu Taimiyyah dan seberapa penting kita mengkaji Al 'Aqidah Al Wāsithiyyah dan seberapa penting kita memuliakan atau mengambil ilmu dari Ibnu Taimiyyah, maka pada halaqah kali ini saya mengingatkan diri saya pribadi dan kaum muslimin untuk senantiasa mengingat pentingnya menuntut ilmu atau belajar.

Pentingnya belajar ini harus kita ulang terus 17 kali kurang lebih sehari semalam, yaitu di dalam bacaan shalāt kita, kita diwajibkan membaca Al Fatihah.

Di dalam Al Fatihah ada ayat di mana kita meminta agar:

⑴ Dijauhkan untuk menjadi kaum yang sesat, dan
⑵ Kita meminta kepada Allāh dijauhkan menjadi kaum yang di murkai.

Yaitu :

غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
"Bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang dhāllin (sesat)."
(QS Al Fatihah: 7)

Jadi setelah kita meminta shirātal mustaqīm (meminta jalan yang lurus), kita meminta kepada Allāh dijauhkan dari orang-orang yang dimurkai.

Siapa orang-orang yang dimurkai itu?

Jika kita merujuk kitāb-kitāb yang membahas tafsir Al Fatihah, maka orang yang dimurkai adalah kaum Yahūdi.

Tentu akan timbul pertanyaan, kenapa kaum Yahūdi dimurkai?

Orang-orang Yahūdi dimurkai karena mereka sudah berilmu atau sudah tahu tetapi tidak mengamalkan ilmunya.

Kalau kita lihat di Al Qur'ān atau di sejarah, bagaimana orang-orang Yahūdi, mereka sudah tahu akan datang seorang nabi bernama Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam tetapi mereka tetap mengingkarinya.

Bagaimana orang Yahūdi dilarang mengambil ikan pada hari sabtu, tetapi mereka tetap mengambilnya dengan tipu daya muslihat dan sebagainya.

Lantas, lebih baikkah jika kita tidak usah berilmu?

Tidak demikian, karena ketika Yahūdi dimurkai karena berilmu tetapi tidak beramal. Mungkin sebagian kita akan bertanya:

"Akan berat bila kita mempunyai ilmu lalu tidak diamalkan, apakah sebaiknya tidak berilmu saja?"

Jawabannya akan kita temukan dibacaan selanjutnya yaitu:

وَلَا الضَّالِّينَ
"(Yā Allāh) jangan juga masukan kami menjadi orang-orang yang dhāllin."

Apa itu dhāllin?

Dhāllin adalah sesat.

Lalu timbul pertanyaan, kenapa sesat?

√ Mereka sesat karena mereka beramal tanpa ilmu, atau
√ Mereka sesat karena mereka tidak belajar sehingga meninggalkan hidayah, meninggalkan kebenaran.

Siapakah orang-orang yang dhāllin?

Orang-orang yang dhāllin adalah kebalikan dari orang-orang yang dimurkai, mereka adalah orang-orang Nashrāni. Mereka beramal tapi tanpa ilmu.

Jadi, bila dikatakan lebih baik tidak berilmu saja, maka ini pun salah.

Karena apabila dia tidak mau belajar, dia seperti orang yang dhāllin (orang yang sesat) dan kalau dia belajar dan tidak mengamalkan ilmunya maka dia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang dimurkai.

Maka itulah jalannya orang Islām,  الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ, jalannya para nabi, jalan yang sesuai Al Qur'ān yaitu ilmu dan amal.

Semoga 'Aqidah Wāsithiyyah ini merupakan wasilah atau sarana kita untuk mengangkat diri kita dari kebodohan yaitu kebodohan atau ketidaktahuan akan agama ini.

Yang semoga dengan itu, kita bisa menjadi hamba-hamba yang berada di jalan: الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ,sebagaimana yang selalu kita minta setiap shalāt kita.

Demikian, kurang lebihnya saya mohon maaf.

وصلاة وسلم على نبينا محمد و آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_____________________________________________

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 4 Dulqo'dah 1439 H / 17 Juli 2018 M
👤 Ustadz Rizqo Kamil Ibrahim, Lc
📗 ‘Aqidah Al-Wāsithiyyah
🔊 Halaqah 002| Muqaddimah - Sekilas Biografi Penulis Kitab
〰〰〰〰〰〰
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليك ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين وعلى آله وصحبه أجمعين، ومن تبعهم باحسان الى يوم الدين

Al 'Aqidah Al Wāsithiyyah ini dikarang dalam rentang waktu yang cukup singkat yaitu antara waktu dhuhur dan ashar. Tentu ini akan memancing rasa ingin tahu kita akan siapa sosok dibalik Al 'Aqidah Al Wāsithiyyah.

Kenapa ?

Karena, bagaimana kitāb yang memuat pokok-pokok aqidah ahlussunnah waljamā'ah yang disertai dalīl, hadīts dan dihapal oleh ulamā di zaman kekinian atau zaman sebelumnya dan dijelaskan maksudnya, (termasuk di negara kita) hanya dikarang dalam rentang waktu sedikit. Tentu ini membuat kita ingin tahu siapa sosok penulis kitāb tersebut.

Sahabat BiAS sekalian,

Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa Al 'Aqidah Al Wāsithiyyah ini dikarang oleh Imām Ibnu Taimiyyah (Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah).

Syaikhul Islām adalah gelar yang diberikan kepada beliau dan juga gelar yang diberikan kepada ulamā-ulamā sebelum beliau yang pantas menerima gelar ini. Bahkan Abū Bakar dan 'Umar juga mendapatkan gelar Syaikhul Islām.

Ibnu Taimiyyah bukanlah nama asli beliau, nama asli beliau adalah Ahmad dan ayah beliau adalah Abdul Halim. Taimiyyah ini mungkin adalah nenek beliau yang mungkin dari jalur agak jauh dari beliau, karena ayah dan kakek beliaupun dinisbatkan kepada Taimiyyah (keluarga beliau disebut keluarga Taimiyyah)

Keluarga Taimiyyah ini adalah keluarga ulamā, kakek beliau Ahmad Ibnu Abdul Halim adalah ulamā, beliau mengarang kitāb Muntaqa Al Akhbar, yang sekarang ada ulamā yang mencoba menjelaskan hadīts-hadīts.

Jadi kitab Muntaqal Al Akhbar adalah kitāb kumpulan hadīts dan hadīts-hadīts yang dikumpulkan oleh kakek Ibnu Taimiyyah ini dijelaskan arti hadīts (maknanya) oleh Imām Syaukani dan diberi nama Nailul Authar.

Jadi penjelasan hadīts-hadīts tersebut, kitābnya diberi nama Nailul Authar. Tentu beberapa dari kita tidak asing dengan nama Nailul Authar ini.

Ayah beliau pun adalah ulamā, maka tidak heran di keluarga Taimiyyah ini lahir seorang Syaikhul Islām yaitu Ibnu Taimiyyah.

Keluasan ilmu-ilmu Ibnu Taimiyyah sudah tidak dipungkiri lagi, ini juga bisa terlihat dari murid-murid yang ditelurkan oleh beliau.

Kalau kita bicara tentang tafsir tentu banyak nama yang akan berputar di kepala kita, salah satu nama yang mungkin akan kita ingat ketika kita mendengar kata tafsir adalah tafsir Ibnu Katsīr.

Ibnu Katsīr adalah murid dari Ibnu Taimiyyah, meskipun secara fiqih beliau banyak berpandangan dengan madzhab syāfi'i, berbeda dengan Ibnu Taimiyyah yang lebih dekat atau lebih banyak mengambil madzhab Imām Ahmad atau Imām Hambali.

Kalau kita berbicara tentang tazkiyatun nufus atau kesucian jiwa dan sebagainya banyak nama juga, salah satunya yang mungkin kita ingat adalah Imām Ibnu Qayyim Al Jauziyyah. Beliau adalah murid Ibnu Taimiyyah bahkan murid setianya.

Atau misalnya dalam sejarah atau dalam biografi ulamā, yang menyusun biografi ulamā atau mungkin sahābat BiAS pernah membaca artikel (buku) lalu ada di situ disebutkan sekilas biografi ulamā lalu dicatatan kaki disebutkan bahwa biografi tersebut diambil dari kitāb Syiar A'lamin Nubala.

Kitāb Syiar A'lamin Nubala ini adalah karangan Imām Adz-Dzahabi dan beliau (Imām Adz Dzahabi) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah.  Dan masih banyak murid Ibnu Taimiyyah yang lain yang menunjukkan luasnya ilmu sang guru.

Keluasan ilmu, selain dilihat dari muridnya juga dilihat dari karya-karyanya. Beliau banyak memiliki karya, terlebih karya-karya yang itu menjelaskan tentang 'aqidah dan bantahan terhadap 'aqidah-'aqidah menyimpang.

Mungkin karena beliau sangat intens menjaga kaum muslimin dari 'aqidah yang rusak sehingga ada beberapa orang yang kurang suka dengan beliau. Sehingga mungkin bila sahabat BiAS pernah menemukan misalnya orang yang menulis sesuatu yang jelek tentang Ibnu Taimiyyah atau menuliskan beberapa sejarah-sejarah tentang Ibnu Taimiyyah maka kita harus kroscek, apakah benar atau tidak ?

Karena bisa jadi tulisan-tulisan tersebut dibangun atas subyektifitas semata atau tidak adil dalam memandang permasalahan atau diambil dari informasi yang salah dan sebagainya. Maka kita perlu berhati-hati, kita perlu cerdas dalam memilah-milah informasi.

Selain karya-karya beliau juga keseharian beliau. Beliau merupakan ahli ibadah, ahli dzikir. Oleh karena itu Ibnu Qayyim pernah berujar:

"Ibnu Taimiyyah bisa mengarang karya dalam waktu singkat yang mungkin kalau kami yang mengarang akan memerlukan waktu yang panjang."

Karena luar biasa ilmu beliau dan ibadah juga dzikir beliau, bahkan beliau (Ibnu Taimiyyah) pernah mengatakan bahwa, "Dzikir bagi beliau seperti asupan (nutrisi)."

Ibnu Taimiyyah adalah seorang ulamā yang memiliki pemahaman yang dalam akan syari'at ini, akan ayat Allāh, akan dzikir, akan hikmah-hikmah. Salah satunya ketika beliau ditanya tentang maksud do'a istiftah.

Kenapa Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam ketika membaca do'a istiftah mengunakan redaksi (yaitu) meminta dibersihkan dengan air, es dan juga embun.

Ketika itu Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam berdo'a: 

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لى بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ
Kenapa tidak memakai air panas?

Air panas kan lebih cepat dalam menghilangkan kotoran?

Ketika itu Ibnu Taimiyyah menjawab pertanyaan dari Ibnul Qayyim, karena menurut beliau (Ibnu Taimiyyah) bahwa tubuh ketika berbuat dosa itu panas, maka memerlukan sesuatu yang meredakannya. Dan tubuh setelah melakukan maksiat atau dosa dia akan lemas (loyo) sehingga memerlukan sesuatu yang menyegarkannya.

Sehingga menurut beliau (Ibnu Taimiyyah), itulah hikmah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menggunakan redaksi memilih disucikan dengan air dingin dan sebagainya.

Tentu ini hikmah dalam artian bukan sebab kenapa hal itu disyari'atkan, tentu hanya Allāh yang tahu.

Ibnu Taimiyyah mencoba mencari apa sih hikmahnya minta dibersihkan dengan air, es dan juga embun?

Ini menunjukkan dalamnya beliau memahami syari'at ini.

Masih banyak hal tentunya, tetapi bisa digali sendiri oleh sahabat BiAS sekalian. Selain tentunya kita membaca biografi atau sejarah kekasih kita Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, kita juga perlu membaca (melihat) sejarah dari Imām Ibnu Taimiyyah ini.

Ibnu Taimiyyah wafat tahun 728 Hijriyyah, di Syiria, ketika itu banyak sekali yang hadir dipemakaman beliau. Ini menunjukkan betapa manusia kala itu sangat mencintai beliau.

Ini saja yang bisa saya sampaikan, kurang lebihnya saya mohon maaf.

وصلاة وسلم على نبينا محمد و آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_____________________________________________

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 5 Dzulqo'dah 1439 H / 18 Juli 2018 M
👤 Ustadz Rizqo Kamil Ibrahim, Lc
📗 ‘Aqidah Al-Wāsithiyyah
🔊 Halaqah 003| Muqaddimah - Gambaran Isi Kitab Secara Umum
〰〰〰〰〰〰〰
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليك ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Pada halaqah kali ini kita akan melihat 'Aqidah Wāsithiyah secara global (umum).

√ Apa yang dibahas di dalam kitāb ini (العقيدة الواسطية) ?
√ Materi apa saja yang dibahas di dalam kitāb ini (العقيدة الواسطية) ? dan sebagainya.

Secara garis besar, kitāb Al 'Aqidah Al Wāsithiyah (العقيدة الواسطية) memuat pokok-pokok penting 'aqidah yang harus diketahui oleh kaum muslimin dan kitāb Al 'Aqidah Al Wāsithiyah (العقيدة الواسطية) ini menitik beratkan pada ma'rifatullāh.

Apa itu ma'rifatullāh ?

⇒ Ma'rifatullāh adalah mengenal Allāh 'Azza wa Jalla melalui sifat-sifat dan nama-nama- Nya (Asma Al Husna).

Ma'rifatullāh di sini bukan berarti ma'rifatullāh yang mungkin tersebar di masyarakat sebagai suatu tingkatan dalam agama yang kalau seseorang sudah mencapainya maka ada yang sampai bersatu dengan Allāh (na'ūdzu billāhi).

Ada pendapat sesat demikian yang mereka katakan, "Inilah ma'rifatullāh," atau ada juga yang mengatakan, "Maka sudah bebas syari'at," atau ada yang mungkin tidak sebahaya itu tetapi mungkin membuat dzikir-dzikir bid'ah (tidak sesuai dengan tuntunan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam).

Seperti hanya sekedar mengatakan, "Hu.... hu...," saja. Jadi tidak mengatakan "Allāh" atau "Lā ilāha illallāh" tetapi mengatakan "Hu.... hu...,"saja. mungkin sambil Mungkin menari-nari dan mereka menamakan itu adalah ma'rifatullāh.

Ma'rifatullāh yang dimaksud bukanlah yang seperti ini. Yang di maksud ma'rifatullāh di sini adalah ma'rifatullāh yang benar yang sesuai dengan bahasa.

• Ma'rifat secara bahasa artinya "pengetahuan", dan
• Allāh adalah Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

⇒ Jadi ma'rifatullāh adalah pengetahuan atau mengilmui (memahami) Allāh 'Azza wa Jalla melalui sifat-sifat dan nama-nama-Nya.

Inilah yang dititik beratkan oleh Imām Ibnu Taimiyyah di dalam kitābnya ini.

Selain membahasa sifat-sifat Allāh dan nama-nama-Nya, Ibnu Taimiyyah juga membahas tentang:

√ Imān kepada takdir (takdir baik dan takdir buruk).
√ Imān kepada hari akhir.
√ Dan juga ada tambahan-tambahan lain yang dia adalah pelengkap dari imān, (seperti) pelaku maksiat apakah dia dikāfirkan atau tidak ? atau masih masuk imān tetapi imānnya kurang.

√ Dan bagaimana posisi kita terhadap shahābat Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, semua dijelaskan dalam kitāb ini dan ini merupakan pelengkap dari imān seorang muslim.

√ Dan juga terhadap saudara-saudara Nabi atau keluarga Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yang disebut dengan ahlul bait.

Apakah kita harus mencintai ahlul bait atau harus membencinya?

Bagaimana posisi yang tepat sebenarnya, ini juga akan dijelaskan oleh Imām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.

Dan juga masalah akhlaq, nanti akan disebutkan di akhir, karena akhlaq adalah penyempurna imān, karena banyak sekali hal-hal yang menyangkut dengan akhlaq dikaitkan dengan imān.

Contohnya seperti memuliakan tetangga. Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ . قِيْلَ: وَ مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : الَّذِيْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

"Demi Allāh, tidak berimān. Demi Allāh, tidak berimān. Demi Allāh, tidak berimān."

Ditanyakan:

"Wahai Rasūlullāh, siapa dia?"

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjawab:
"Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.
(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 6016)

Tidak berimān di sini maksudnya bukanlah tidak berimān karena dia kāfir, melainkan tidak berimān secara sempurna meskipun imānnya masih ada.

Sehingga disebutkan juga di akhir pembahasan tentang akhlaq oleh Imām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.

Jadi inilah Al 'Aqidah Al Wāsithiyah yang secara umum menitik beratkan sifat-sifat dan nama-nama Allāh, yang mana mempelajari sifat dan nama-nama Allāh ini memiliki keutamaan-keutamaan yang amat besar.

InsyāAllāh nanti akan kita singgung ketika kita sudah masuk dalam apa yang dibahas oleh Imam Ibnu Taimiyyah.

Ini saja yang bisa saya sampaikan, kurang lebihnya saya mohon maaf.

وصلاة وسلم على نبينا محمد و آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_____________________________________________

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 10 Dzulqo'dah 1439 H / 23 Juli 2018 M
👤 Ustadz Rizqo Kamil Ibrahim, Lc
📗 ‘Aqidah Al-Wāsithiyyah
🔊 Halaqah 004| Muqaddimah - Muqaddimah Penulis Kitab
〰〰〰〰〰〰〰
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Sahabat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Alhamdulilāh, kita kembali lagi pada kajian kitāb "Al 'Aqidah Al Wāsithiyah" (العقيدة الواسطية) yang sekarang memasuki halaqah ke-4.

Pada halaqah yang lalu telah disampaikan garis besar bahasan kitāb Al 'Aqidah Al Wāsithiyah yang dikarang oleh Imām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.

Pada kesempatan kali ini, kita akan masuk pembahasan apa yang dibahas oleh Imām Ibnu Taimiyyah.

Sahabat BiAS sekalian,

Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah di awal bukunya berujar:

بسم اللّه الرحمن الرحيم

Syaikhul Islām Ibnu dalam pembukaannya memulai dengan:

بسم اللّه الرحمن الرحيم

Sebelum kita melangkah lebih lanjut membaca muqaddimah yang akan disampaikan Ibnu Taimiyyah rahimahullāh maka pada halaqah kali ini kita sempatkan dahulu untuk membahas arti dari:

بسم اللّه الرحمن الرحيم

Bismillāhirrahmānirrahīm

Sebagaimana yang sudah tidak asing lagi bagi kita, sering kita baca atau dengar dengan artian, "Dengan menyebut nama Allāh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."

Itu adalah tafsiran atau terjemahan secara umum. Kita sedikit mendalami tafsiran ini, kita mulai dari "Bismillāh".

"Bismillāh" dalam artian "Dengan nama Allāh", tentu kalau kita mengartikan dengan nama Allāh, maka kalimatnya tidak sempurna, harus ada yang menyempurnakannya.

Misalnya:

Orang mengatakan, "Dengan sendok."

Kita tidak paham apa yang dia maksud "dengan sendok". Kita akan paham ketika kalimatnya menjadi, "Saya makan dengan sendok," atau, "Dengan perantara sendok," dan sebagainya.

Begitu pula dengan "Bismillāhirrahmānirrahīm", yang kalau kita artikan secara harfiah (leterlex) maka artinya adalah "Dengan menyebut nama Allāh yang Rahmān dan Rahīm".

Maksud dari "dengan nama Allāh" disini adalah "dengan nama Allāh saya memulai aktifitas saya".

Maka ketika Ibnu Taimiyyah meletakkan "Bismillāhirrahmānirrahīm" di dalam muqaddimah kitāb ini, berarti: "Dengan menyebut nama Allāh yang Rahmān dan Rahīm, maka saya memulai kitāb ini."

Dengan demikian Ibnu Taimiyyah meminta pertolongan Allāh 'Azza wa Jalla dalam menulis kitāb ini, karena manusia satu detikpun dia tidak bisa lepas dari taufīq dan bantuan Allāh 'Azza wa Jalla.

Tindakan Ibnu Taimiyyah memulai kitābnya dengan "Bismillāhirrahmānirrahīm" merupakan (mencontoh) dari Al Qur'ānul Karīm yang dimulai dengan "Bismillāhirrahmānirrahīm".

Begitu pula dengan mencontoh surat-surat Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam yang dikirimkan kepada raja-raja yang dimulai dengan "Bismillāhirrahmānirrahīm".

Selanjutnya arti lafadz Jalallāh ("Allāh" Subhānahu wa Ta'āla).

Artinya adalah dzat yang memiliki hak (patut) untuk diibadahi. Sebagaimana perkataan Ibnu 'Abbās radhiyallāhu ta'āla 'anhu.

Selanjutnya Ar Rahmān Ar Rahīm.

Sering kita dapati yang diartikan "Maha Pengasih dan Maha Penyayang".

Namun sejatinya, kalau kita membaca (membuka) buku-buku tafsir para ulamā, maka Ar Rahmān Ar-Rahīm ini, diartikan dengan lebih dalam di dalam buku-buku tersebut.

Ulamā mengartikan Ar Rahmān Ar Rahīm ini sejatinya sama. Dia adalah nama Allāh yang menunjukkan Allāh memiliki sifat Rahmān (kasih sayang).

Namun apa yang membedakannya?

Ar Rahmān dipakai untuk menunjukkan bahwa Allāh memiliki sifat rahmāh, Allāh Maha Penyayang, Allāh memiliki sifat kasih sayang.

Ar Rahīm dipakai di dalam redaksi (kalimat-kalimat) yang menunjukkan perbuatan Allāh atau menunjukkan rahmat Allāh terhadap makhluknya.

Jadi seakan-akan: kalau Ar Rahmān itu secara Dzat, Allāh Maha Pengasih. Sedangkan Ar Rahīm, Allāh melakukan kasih sayang terhadap hamba-hamba-Nya.

Kalau kita lihat di Al Qur'ān ketika menyebutkan bahwa Allāh mengasihi makhluknya maka menggunakan kata Rahīm bukan Rahmān.

Misalnya:

Firman Allāh 'Azza wa Jalla:

وَكَانَ بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًۭا

"Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang berimān."
(QS Al Ahzāb: 43)

⇒ Artinya Allāh mengasihi mereka, Allāh menggunakan "Rahīm" bukan "Rahmān".

Dalam ayat yang lain, Allāh Subhānahu wa Ta'āla  berfirman:

إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٌۭ رَّحِيم

"Sesungguhnya Allāh Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia."
(QS Al Baqarah: 143 dan QS Al Hajj: 65)

Itulah perbedaan Rahmān dan Rahim.

Yang tentunya kenapa diartikan menjadi Maha Pengasih dan Maha Penyayang, (Wallāhu A'lam) jika diartikan secara mendalam maka akan panjang dan sulit dipahami apalagi bagi kita yang mungkin tidak terlalu paham dengan bahasa Arab.

Maka untuk memudahkan, ulamā-ulamā kita hanya mencukupkan menafsirkan Ar Rahmān Ar Rahīm dengan Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Ini saja yang bisa saya sampaikan, kurang lebihnya saya mohon maaf, in syā Allāh kita lanjutkan dihalaqah berikutnya.

وصلاة وسلم على نبينا محمد و آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 
_____________________________________________

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 11 Dzulqo'dah 1439 H / 24 Juli 2018 M
👤 Ustadz Rizqo Kamil Ibrahim, Lc
📗 ‘Aqidah Al-Wāsithiyyah
🔊 Halaqah 005| Muqaddimah - Muqaddimah Penulis Kitab (Bagian 02)
〰〰〰〰〰〰〰
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد.

Pada halaqah sebelumnya beliau membuka kitāb ini dengan: بسم اللّه الرحمن الرحيم, maka pada halaqah ini kita lanjutkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah di dalam pembukaan kitāb ini (العقيدة الواسطية).

Beliau rahimahullāh berkata:

الحمد لله الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله وكفى بالله شهيدا 
"Segala puji bagi Allāh, yang telah mengirim rasūl-Nya, dengan ilmu dan agama atau dengan amal shālih untuk mengangkat Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, mengangkatnya di atas seluruh agama-agama yang ada dan cukuplah Allāh sebagai saksi."

Di sini Ibnu Taimiyyah memulai setelah mengucapkan basmallāh beliau melanjutkan dengan hamdallāh.

⇒ Alhamdulilāh artinya Segala puji bagi Allāh 'Azza wa Jalla.

Setiap perkataan atau perbuatan yang berkenaan dengan pujian, maka ketika kita mengucapkan alhamdulilāh maka seluruhnya dihaturkan kepada Allāh 'Azza wa Jalla.

Jadi cukup kita mengucapkan "Alhamdulilāh" maka segala pujian yang ada di dunia ini bagaimanapun bentuknya, perkataannya, maka itu dihaturkan (sudah dicakup) dengan alhamdulilāh.

Membuka sebuah kitāb atau ceramah dengan alhamdulilāh, memiliki dasar hadīts yang diriwayatkan oleh Abū Dāwūd.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

كل أمرٍ ذي بال لا يبدأ فيه: بالحمد لله فهو أقطع 

"Segala urusan yang tidak dimulai dengan alhamdulilāh maka dia terputus."

(Hadīts hasan riwayat Abū Dāwūd nomor 1394 dan yang lainnya)

Apa maksud terputus?

Maksudnya tidak ada berkahnya atau berkahnya hilang (terputus) dan sebagainya. Maka sunnah untuk memulai tulisan, ceramah dan lainnya selain dengan "Basmallāh" yaitu dengan "Alhamdulilāh".

Kita mengatakan Alhamdulilāh memuji Allāh karena sifat-sifat dan nama-nama-Nya dan juga karena nikmat yang Allāh berikan kepada kita.

Dan salah satu nikmat yang Allāh berikan sebagaimana yang diucapkan oleh (ditulis) oleh Ibnu Taimiyyah disini adalah:

الذي أرسل رسوله بالهدى

"Segala puji bagi Allāh yang telah mengutus rasūlnya dengan ilmu."

Maksud بالهدى adalah hidayah atau ilmu-ilmu yang bermanfaat, (seperti) hadīts atau khabar Nabi tentang hari kiamat atau bagaimana Nabi mengajarkan kita shalāt. Ini semua adalah Hudā (هدى).

Jadi, Allāh mengutus Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak cukup dengan ilmu saja tetapi dengan ilmu yang bermanfaat dan juga dengan amal shālih (دين الحق).

ليظهره على الدين كله  

Allāh mengangkat (meninggikan) Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dari segala agama.

Jadi tidak ada lagi agama yang lebih tinggi dari agama yang dibawa oleh Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam. Semua agama sudah dihapus dan semua orang wajib untuk beragama Islām (wajib untuk mengimāni Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam).

وكفى بالله شهيدا

Dan cukuplah Allāh sebagai saksi (bagi Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam).

Inilah pembukaan setelah Basmallāh yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah, in syā Allāh pembukaan berikutnya beliau akan memulai dengan syahadat kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla dan juga kepada Rasūl Nya.

In syā Allāh akan kita lanjutkan dihalaqah berikutnya.

Demikian.

وصلاة وسلم على نبينا محمد و آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 
_____________________________________________

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 12 Dzulqo'dah 1439 H / 25 Juli 2018 M
👤 Ustadz Rizqo Kamil Ibrahim, Lc
📗 ‘Aqidah Al-Wāsithiyyah
🔊 Halaqah 006 | Muqaddimah - Muqaddimah Penulis Kitab (Bagian 03)
〰〰〰〰〰〰〰
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن والاه، اما بعد

Di dalam halaqah-halaqah sebelumnya kita telah sedikit membahas apa yang ditorehkan (ditulis) oleh Ibnu Taimiyyah di dalam muqaddimah kitāb "Al 'Aqidah Al Wāsithiyah" (العقيدة الواسطية).

Beliau memulai kitāb ini dengan mengucap Basmallāh dan memulai dengan memuji Allāh 'Azza wa Jalla dan kali ini kita lanjutkan apa yang beliau tulis setelah pujian kepada Allāh 'Azza wa Jalla.

Beliau rahimahullāh berkata:

وأَشْهَدُ أَنَّ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، إقرَاربه و التوحيد

Dan aku bersaksi tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allāh 'Azza wa Jalla, hanya Allāh lah yang berhak disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya.

Saya mengikrarkannya dengan lisan (mengucapkan kalimat 'Lā ilāha illallāh dengan lisan) dan juga merealisasikan (makna 'Lā ilāha illallāh) dalam perbuatan.

Yaitu dengan mengikhlāskan seluruh ibadah, baik ibadah yang berkenaan dengan jasmani atau badan seperti shalāt, menyembelih dan sebagainya atau ibadah yang berkenaan denga hati seperti tawakal, takut, rasa harap, cemas dan lain sebagainya yang hanya diberikan untuk Allāh 'Azza wa Jalla.

Di sini, tadi saya menerjemahkan:

أَشْهَدُ أَنَّ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ الله

"Saya bersaksi tiada sesembahan yang patut disembah melainkan Allāh 'Azza wa Jalla.

Mungkin akan timbul pertanyaaan, kenapa tidak diterjemahkan dengan makna yang sudah umum dimasyarakat kita atau yang lebih dikenal dengan "Tidak ada Tuhan selain Allāh" ?

Maka jawabannya:

Terjemahan "Lā ilāha illallāh" dengan "Tiada Tuhan selain Allāh" itu kurang lengkap. Itu hanyalah mengandung sedikit makna dari yang dikandung oleh kalimat Lā ilāha illallāh.

Kenapa ?

Karena sejatinya keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allāh, itu juga diyakini oleh orang-orang kāfir Quraisy di zaman Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Sehingga dengan demikian jika kita mengartikan "Lā ilāha illallāh" dengan "Tiada Tuhan selain Allāh" maka seharusnya kita akan mengatakan kāfir Quraisy juga telah ber Lā ilāha illallāh atau telah bertauhīd tetapi nyatanya tidak.

Kenapa demikian ?

Karena sejatinya "Lā ilāha illallāh" artinya tidak sebatas "Tidak ada Tuhan selain Allāh".

Untuk lebih jelasnya di dalam Al Qur'ān ada ayat yang menunjukkan bahwa kaum kāfir Quraisy yang dahulu diperangi oleh Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam mereka juga meyakini bahwa "Tiada Tuhan selain Allāh" dalam artian tidak ada yang memberi rejeki, tidak ada yang mengatur alam kecuali Allāh 'Azza wa Jalla.

Dalīlnya Allāh Subhānahu wa Ta'āla  berfirman:

قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ ٱلسَّمْعَ وَٱلْأَبْصَـٰرَ وَمَن يُخْرِجُ ٱلْحَىَّ مِنَ ٱلْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ ٱلْمَيِّتَ مِنَ ٱلْحَىِّ وَمَن يُدَبِّرُ ٱلْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ ٱللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?"

Maka mereka akan menjawab: "Allāh". Maka katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?"

(QS Yūnus: 31)

Di sini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam diperintahkan untuk bertanya.

قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ

"Siapakah yang memberi kalian rezeki kepadamu dari langit dan bumi ?"

مَّن يَمْلِكُ ٱلسَّمْعَ وَٱلْأَبْصَـٰرَ

"Siapa yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan?"

مَن يُخْرِجُ ٱلْحَىَّ مِنَ ٱلْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ ٱلْمَيِّتَ مِنَ ٱلْحَىِّ

"Siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup?"

مَن يُدَبِّرُ ٱلْأَمْرَ

"Siapakah yang mengatur segala urusan?"

Mereka akan menjawab: "Allāh" dan ini menunjukkan bahwa mereka mengakui bahwa:

√ Allāh sebagai Pencipta.
√ Allāh sebagai Pengatur.

Sehingga sejatinya mereka mengakui bahwa "Tiada Tuhan selain Allāh".

Lalu kenapa mereka dihukumi sebagai orang musyrik?

Mereka dihukumi orang musyrik karena mereka tidak mengikhlāskan ibadah kepada Allāh 'Azza wa Jalla saja.

Dalam artian mereka terkadang beribadah kepada Allāh dan terkadang mereka beribadah kepada selain Allāh, sehingga mereka disebut musyrik atau yang menyekutukan. Menyekutukan ibadah antara Allāh dan selainnya.

Oleh sebab itu maka makna yang tepat dari "Lā ilāha illallāh" adalah "Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allāh 'Azza wa Jalla".

Sesembahan didunia ini banyak.

√ Terkadang nabi disembah, sebagaimana Nabi 'Īsā 'alayhissallām.
√ Terkadang pohon disembah,
√ Terkadang kuburan disembah.
√ Terkadang dewa-dewa disembah,
dan sebagainya.

Namun sejatinya semua peribadatan yang hakiki hanyalah untuk satu sesembahan saja, yaitu untuk Allāh 'Azza wa Jalla.

Inilah sesembahan yang benar, inilah sesembahan yang hak, sedangkan sesembahan yang lainnya adalah bathil.

Tentu jika kita ingin menyelami makna 'Lā ilāha illallāh secara dalam, kita harus mempelajari kitāb At Tauhīd yang ditulis oleh Imām Muhammad ibn 'Abdil Wahab.

Ini saja yang dapat saya sampaikan, in syā Allāh kita akan lanjutkan pada halaqah berikutnya.

وصلاة وسلم على نبينا محمد و آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 
_____________________________________________

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 17 Dzulqo'dah 1439 H / 30 Juli 2018 M
👤 Ustadz Rizqo Kamil Ibrahim, Lc
📗 ‘Aqidah Al-Wāsithiyyah
🔊 Halaqah 007 | Muqaddimah - Muqaddimah Penulis Kitab (Bagian 04)
〰〰〰〰〰〰〰
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين، وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Pada halaqah sebelumnya kita membahas apa yang ditorehkan (ditulis) oleh Ibnu Taimiyyah di dalam muqaddimah kitāb Al 'Aqidah Al Wāsithiyah (العقيدة الواسطية).

Beliau (rahimahullāh) memulai dengan;

√Bismillāhirrahmānirrahīm (بسم اللّه الرحمن الرحيم).
√Pujian kepada Allāh.
√Syahadat, beliau bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang hak melainkan Allāh 'Azza wa Jalla.

Maka masih dalam pembukaan atau pendahuluan Al 'Aqidah Al Wāsithiyah, setelah beliau bersaksi: 'Lā ilāha illallāh (Tiada sesembahan yang hak melainkan Allāh 'Azza wa Jalla), beliau melanjutkan dengan bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah utusan Allāh dan juga hamba Allāh.

Saya bacakan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullāh:

قال إبن تيمية رحم الله, وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه و على آله وسلم تسليما مزيدا

Berkata Ibnu Taimiyyah rahimahullāh:

"Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba-Nya dan rasūl-Nya, (maksudnya) hamba dan rasūl Allāh. Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla melimpahkan shalawatNya kepada Nabi dan keluarganya dan semoga Allāh memberikan keselamatan (salam) kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam."

Di sini, Ibnu Taimiyyah rahimahullāh memulai persaksiannya dengan mengatakan:

وأشهد أن محمدا عبده ورسوله

"Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba-Nya dan rasūlNya."

Sahabat BiAS sekalian.

Kalau kita perhatikan redaksi ini, bagaimana Ibnu Taimiyyah menggunakan, "Bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan rasūl Allāh," ini menunjukkan bahwa seorang muslim hendaknya berlaku proposional (seimbang) terhadap Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Bagaimana maksudnya?

Maksudnya ketika seorang muslim mengikrarkan bahwasanya dia bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba Allāh (عبده) ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam bukanlah seorang Tuhan, bukanlah illāh, bukan sesembahan yang patut disembah. 

Maka ini menunjukkan tercelanya (kelirunya) orang-orang yang sampai meninggikan derajat Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam, sehingga tidak ada bedanya dengan derajat ketuhanan.

Seperti:

Kaum Nashrāni yang memuja-muja nabi mereka bahkan beribadah kepada nabi mereka atau beberapa kelompok yang menisbatkan diri mereka kepada Islām dan mereka menyembah bahkan meminta anak, rejeki dan sebagainya kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Mereka meminta dipenuhi hajatnya oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam atau memuja Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dengan sihir-sihir yang kalau kita dalami maknanya ada di situ hal-hal yang menyerupai sesuatu yang itu khusus untuk Allāh 'Azza wa Jalla saja.

Selanjutnya Ibnu Taimiyyah rahimahullāh mengatakan: ورسوله, beliau bersaksi bahwanya Nabi Muhammad adalah hamba Allāh dan rasūl-Nya, ini juga menjadikan kita tidak meremehkan rasūl.

Jadi di sini kita berada ditengah-tengah, tidak menuhankan Rasūlullāh, karena Rasūlullāh  adalah hamba-Nya, namun meskipun beliau adalah hamba Allāh (manusia) namun beliau bukan manusia biasa.

Beliau adalah Nabi (rasūl Allāh) yang perkataan dan perbuatannya adalah wahyu yang harus kita turuti.

Tidak seperti kaum liberal (orang Yahūdi) yang meremehkan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, atau orang-orang Islām yang acuh (tidak peduli) terhadap hadīts-hadīts Nabi dan sebagainya. Maka ini juga merupakan tindakan yang tercela.

Maka dengan mengatakan: عبده ورسوله (hamba dan rasūlNya), maka sejatinya seorang muslim berada ditengah-tengah dari mengangungkan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam secara berlebihan dan meremehkan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam seakan-akan beliau bukan rasūl dan sebagainya.

Setelah Ibnu Taimiyyah bersaksi kemudian beliau bershalawat kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Dengan mengatakan:

صلى الله عليه و على آله وسلم تسليما مزيدا

"Semoga shalawat tercurahkan kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dan keluarganya dan semoga Allāh memberikan keselamatan (salam) kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam."

Shalawat dari Allāh, apa maksudnya?

Banyak tafsiran tentang apa yang dimaksud dengan Allāh bershalawat kepada Nabi.

Maka tafsiran yang paling baik sebagaimana yang diucapkan oleh Abdul Aliyyah bahwa shalawat Allāh bermakna:

صلاة الله على رسوله سنائه عليه في الملاء الأعلى

"Pujian Allāh terhadap Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam diantara malāikat-malāikat-Nya.

Dalam artian, Allāh memuji Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam di hadapan para malāikat, inilah yang dimaksud shalawat Allāh 'Azza wa Jalla.

Sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla :

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ صَلُّوا۟ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًا

"Wahai orang-orang yang berimān, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya."

(QS Al Ahzāb: 56)

Sedangkan shalawat hamba untuk Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam maksudnya adalah mereka meminta Allāh untuk memberikan shalawatnya kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Apa itu shalawat Allāh kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam itu?

Allāh Subhānahu wa Ta'āla memuji Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam di hadapan para malāikat-Nya.

Dan shalawat memiliki faedah yang sangat agung. Shalawat memiliki keutamaan yang banyak, bahkan kalau kita mau melirik kitāb Jala'ul Afham yang dikarang oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, di situ disebutkan kurang lebih ada 100 manfaat shalawat.

(Saya kurang tahu apakah kitāb ini sudah diterjemahkan atau tidak. Namum bila sudah diterjemahkan silahkan dicari dan dibaca, bagaimana luar biasanya keutamaan dari shalawat kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.)

Maka hendaknya kita memperbanyak shalawat kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Shalawat yang paling mudah adalah:

اللهم صلِّ على محمد

"Yā Allāh, curahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad."

Tidak perlu waktu tertentu atau dengan berjama'ah. Shalawat di mana saja dan jadwalkan ketika waktu senggang atau mungkin ketika kita bepergian, sambil menyetir mobil atau membawa motor atau menunggu bis dan sebagainya. Kita bershalawat kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam sambil menunggu kegiatan-kegiatan kita agar berkah waktu kita.

Selanjutnya beliau mengatakan:
و على آله

"Dan shalawat semoga tercurahkan kepada keluarga Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam."

Siapa yang dimaksud keluarga Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam?

Keluarga Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bisa memiliki dua makna:

⑴ Bisa diartikan keluarga Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yang haram menerima zakāt, yaitu keluarga Nabi dari jalur Banī Hāsyim.

Salah satunya, shahābat Āli bin Abī Thālib atau paman beliau Hamzah atau paman beliau 'Abbās atau sepupu beliau Ibnu Abbās dan lainnya, ini termasuk golongan ahli Nabi atau yang sering disebut ahlil bayt atau di zaman sekarang sering dipanggil dengan sebutan habib.

Itu mungkin orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan atau mereka keturunan dari Banī Hāsyim.

Soal kita percaya atau tidak, apakah masih ada atau tidak keturunan rasūl di zaman sekarang, masih ada, hanya saja memang ada yang betul yang memang mereka memiliki pohon nasab.

Jadi kalau kita tanya apakah betul anda keturunan dari Banī Hāsyim atau ahlil bayt ? Maka dia bisa memberikan nasabnya.

Mungkin ada juga yang pura-pura, namun yang penting kita harus memuliakan ahlil bayt yang nanti akan dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah di akhir kitāb.

Di bab-bab poin akhir, Ibnu Taimiyyah rahimahullāh menjelaskan hak-hak ahlul bayt.

Namun perlu diperhatikan bahwa ahlul bayt tidak ma'shum, sehingga ahlul bayt bisa keliru, bisa berfatwa keliru bahkan mungkin bisa condong terhadap beberapa kelompok sesat. Bahkan ada keluarga Nabi yang (maaf) dikāfirkan dan tidak dianggap sebagai ahlul bayt, seperti Abū Lahab.

Abū Lahab dari Banī Hāsyim, namun kenapa tidak disebut ahlul bayt atau keluarga Nabi?

Karena beliau menyimpang, karena Abū Lahab telah terjerumus ke dalam kekāfiran.

Selanjutnya adalah:

وسلم تسليما مزيدا

Semoga salam dari Allāh tercurah kepada Nabi Muhammad. Salam maksudnya adalah do'a, kita meminta kepada Allāh agar memberikan kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam keselamatan dari segala kekurangan, dari segala kehinaan dan sebagainya.

Ini saja yang dapat saya sampaikan, in syā Allāh kita akan lanjutkan pada halaqah berikutnya.

وصلاة وسلم على نبينا محمد و آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 
_____________________________________________

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 18 Dzulqo'dah 1439 H / 31 Juli 2018 M
👤 Ustadz Rizqo Kamil Ibrahim, Lc
📗 ‘Aqidah Al-Wāsithiyyah
🔊 Halaqah 008 | Muqaddimah - Muqaddimah Penulis Kitab (Bagian 05)
〰〰〰〰〰〰〰
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين، وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Pada halaqah sebelumnya kita membahas apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullāh di dalam muqaddimah kitāb "Al 'Aqidah Al Wāsithiyah" (العقيدة الواسطية).

Beliau (rahimahullāh) memulai dengan;

√Bismillāhirrahmānirrahīm (بسم اللّه الرحمن الرحيم).
√ Pujian kepada Allāh (Hamdallāh).
√ Menyaksikan (bersaksi) dengan dua kalimat syahadat.
√ Shalawat.

Maka setelah membuka kitābnya dengan hal yang tadi saya sebutkan, kemudian beliau menyebutkan dengan:

أما بعد: فهذا اعتقاد الفرقة الناجية المنصورة إلى قيام الساعة، أهل السُّنَّة و الجماعة

Amā ba'du, inilah i'tiqad ('aqidah) firqah an nājiyyah al manshūrah (yang senantiasa ditolong) sampai hari kiamat nanti, mereka adalah ahlus sunnah wal jama'ah.

Demikianlah artinya secara singkat.

Sekarang kita mulai memaknai satu persatu lafadz yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.

Beliau memulai dengan "amā ba'du" (أما بعد).

Kita sering mendengar diceramah-ceramah dan sebagainya kata "amā ba'du" ini.

Arti "amā ba'du" adalah "maka setelahnya",  arti mudahnya seperti itu. Yang fungsinya agar menjadi pemisah antara perkataan atau kalimat sebelumnya yang merupakan pembukaan dengan kalimat yang akan diucapkan setelahnya.

Karena bila langsung, mungkin orang akan kaget atau sebagainya, sehingga ulamā dalam cara berbicara atau dalam buku-buku mereka, mereka mengucapkan "amā ba'du" atau "maka setelahnya".

Akhirnya pengucapan "amā ba'du" ini dijadikan tradisi oleh kita, baik penceramah ataupun siapa saja yang sedang berbicara dalam lingkup resmi biasanya mengucapakan kata "amā ba'du" setelah pembukaan.

Maka kata beliau:

أما بعد: فهذا اعتقاد الفرقة الناجية

"Inilah i'tiqād ('aqidah) firqah an nājiyyah (buku ini memuat 'aqidah firqah an nājiyyah)."

Apakah aqidah itu?

'Aqidah adalah hal-hal yang harus diyakini oleh seorang muslim (manusia) dalam hatinya dan harus diikat dengan kuat.

Ini berkenaan dengan hal-hal hati, yang harus diyakini. Seperti masalah imān, masalah ke-Esa-an Allāh Azza wa Jalla, masalah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, apakah beliau itu ma'shum atau tidak?

Tentu kita yakin bahwa beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) adalah ma'shum.

Ini semua wilayah keyakinan bukan wilayah amal. Beda dengan haji, shalāt atau sebagainya yang merupakan wilayah amal badan.

Kalau 'aqidah wilayahnya adalah wilayah hati, wilayah keyakinan meskipun nanti amalan-amalan bisa mencoreng 'aqidah.

Bukan berarti 'aqidah itu yang penting hatinya baik, tapi tidak beramal. Tidak!

Nanti secara detail akan dijelaskan (in syā Allāh) 'aqidah adalah hal-hal yang harus diyakini.

Buku ini memuat 'aqidah apa?

Apakah 'aqidah seluruh agama?

Apakah 'aqidah seluruh kelompok dalam Islām yang kita lihat di zaman kekinian yang sangat bervariasi?

Maka di sini beliau menjelaskan:

فهذا اعتقاد الفرقة الناجية

Kitāb ini membahas 'aqidah-'aqidah firqah an nājiyyah.

Apakah firqah nājiyyah itu?

Kenapa kita harus belajar firqah nājiyyah itu?

Kenapa Ibnu Taimiyyah mengarang kitāb untuk menjelaskan 'aqidah firqah nājiyyah?

• Firqah Nājiyyah

Firqah, secara bahasa adalah "kelompok". Nājiyyah artinya "selamat".

Firqah nājiyyah bukan barang baru atau hal baru diperkarsai oleh Ibnu Taimiyyah, istilah ini sudah digunakan oleh ulamā di zaman-zaman sebelumnya.

Dari mana istilah ini muncul?

Istilah ini muncul merupakan intisari atau diambil dari perkataan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dalam hadīts yang menyatakan bahwa umat Islām akan terpecah menjadi 73 golongan dan yang selamat kata beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam):

كلها في النار الا واحدة

"Dari 73 golongan tersebut diancam masuk neraka yang selamat hanya satu."

Kenapa saya katakan, "diancam"?

Karena bisa jadi dari 72 golongan itu yang mungkin di akhir hayatnya diampuni oleh Allāh atau karena ketidak tahuan mereka sehingga mereka melakukan hal tersebut, sehingga tidak serta merta masuk neraka tetapi  mereka terancam.

Jadi sangat bahaya sekali jika mereka ber'aqidah atau pemikiran mereka sesuai dengan 72 kelompok ini.

كلها في النار الا واحدة

"Yang selamat hanya satu kelopok saja."

Siapakah yang selamat itu ?

⇒ Mereka adalah orang-orang  yang menempuh jalan Nabi dan para shahābat (merekalah yang akan selamat).

Ketika dia yang selamat maka disebut dengan firqah nājiyyah atau kelompok yang selamat.

Kalau kelompok firqah nājiyyah yang selamat, maka penting bagi kita untuk mempelajari apasih 'aqidah mereka sehingga mereka bisa selamat.

Selanjutnya:

فهذا اعتقاد الفرقة الناجية المنصورة إلى قيام الساعة

Inilah buku atau tulisan yang memuat 'aqidah firqah nājiyyah al manshūrah yang mereka (kelompok ini) senantiasa ditolong sampai akhir hayat atau akhir zaman.

⇒ Jadi firqah nājiyyah ini adalah kelompok yang akan senantiasa di tolong atau bahasa Arabnya: المنصورة.

Di sini pula sering kita mendengar ada yang sering mengutip tentang "thāifah al manshūrah".

Maksud thāifah al manshūrah itu sama seperti firqah nājiyyah, maksudnya adalah kelompok yang ditolong.

Kata al manshūrah diambil dari hadīts riwayat Bukhāri di mana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

"Senantiasa ada di dalam umatku kelompok yang senantiasa berdiri di atas kebenaran, maka tidak berbahaya, siapa yang tidak menolong mereka atau yang menghalangi mereka sampai datang ketetapan Allāh."

Maksudnya sampai datang ketetapan Allāh adalah sampai nanti manusia yang berimān semua akan ditiup. Di akhir zaman nanti akan datang angin yang membuat orang-orang mukmin yang terkena angin tersebut meninggal dunia.

Sebelum dunia ini hancur akan ada angin yang membuat sisa-sisa orang-orang mukmin meninggal dunia.

Jadi ketika hari kiamat nanti (ketika hari H nya), semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla  menyelamatkan kita semua, tidak ada lagi orang yang berimān karena nyawa orang berimān sudah dicabut dengan wasilah atau perantara angin.

Jadi maksud manshūrah adalah orang-orang yang berimān yang akan senantiasa ditolong sampai datang ketetapan Allāh yaitu orang-orang berimān akan diwafatkan.

Karena mereka adalah kelompok yang dan ditolong dan firqah yang selamat, maka penting bagi kita untuk mempelajari aqidahnya yang in syā Allāh akan diurai oleh Imām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.

Ini saja yang bisa saya sampaikan, kurang lebihnya mohon maaf.

وصلاة وسلم على نبينا محمد و آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 
_____________________________________________

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 19 Dzulqo'dah 1439 H / 1 Agustus 2018 M
👤 Ustadz Rizqo Kamil Ibrahim, Lc
📗 ‘Aqidah Al-Wāsithiyyah
🔊 Halaqah 009 | Muqaddimah - Muqaddimah Penulis Kitab (Bagian 06)
〰〰〰〰〰〰〰
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين وعلى آله وصحبه أجمعين، ومن تبعهم بإحسان الى يوم الدين

Pada halaqah sebelumnya kita masuk kepada keterangan Ibnu Taimiyyah akan isi dari kitāb beliau ini, dimana dihalaqah yang ke-8, kita telah mengartikan perkataan Ibnu Taimiyyah, yaitu beliau berujar :

أما بعد: فهذا اعتقاد الفرقة الناجية المنصورة إلى قيام الساعة، أهل السُّنَّة و الجماعة

Amā ba'ad, jadi risalah kitāb ini, adalah kitāb yang memuat 'aqidah firqah an nājiyyah (golongan selamat) al manshūrah (yang senantiasa akan ditolong) sampai hari akhir nanti.

Dan telah kita jelaskan bahwa yang dimaksud dengan hari akhir di sini adalah hari dimana nanti orang-orang berimān, jauh sebelum hari kiamat yang sebenarnya, mereka akan diwafatkan seluruhnya.

Nanti akan ada angin, yang dengan angin itu orang-orang yang berimān akan diwafatkan.

Yang dimaksud:

الفرقة الناجية المنصورة إلى قيام الساعة

Adalah ahlus sunnah wal jama'ah.

Sahabat BiAS sekalian.

Di halaqah sebelumnya kita telah sama-sama mengkaji apa itu firqah an nājiyyah, apa itu thāifah manshūrah. Maka dipertemuan kita kali ini, kita akan membahas sedikit perkataan Ibnu Taimiyyah di akhir kalimat beliau yaitu :

هم أهل السُّنَّة و الجماعة

"Mereka adalah ahlus sunnah wal jama'ah."

Apa sih ahlus sunnah wal jama'ah ini?

⇒ Mereka adalah golongan yang selamat, secara umum seperti demikian.

Makna umum ahlus sunnah wal jama'ah secara kata perkata?

⇒ Ulamā menjelaskan ahlus sunnah artinya adalah orang-orang yang komitmen di dalam sunnah yang mengikuti sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Yang berjalan di atas sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

• Sunnah

Perlu diperhatikan, sunnah di sini, yang dimaksud adalah sunnah secara umum. Karena sunnah ini artinya tergantung dibahasan apa dia dibicarakan.

Karena sunnah ini memiliki banyak arti, sebagaimana yang kita tahu bahwa bahasa arab sangat luas, maka sunnah di sini jangan diartikan sunnah secara fiqih yaitu sunnah dalam artian: "Kalau dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa". Bukan itu!

Ketika kita mendengar seorag da'i atau membaca kitāb-kitāb (misalnya):

"Mari kita mengikuti sunnah, mari kita tegakkan sunnah."

Maka sunnah disini yang dimaksud adalah bukan sunnah dalam artian fiqih, tapi sunnah dalam artian yang lebih luas.

Apa itu sunnah dalam artian yang lebih luas?

⇒ Sunnah dalam arti lebih luas adalah:

"Jalan atau pedoman beragama yang dicontohkan (diajarkan) oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, baik hukumnya wajib secara fiqih maupun hukumnya sunnah secara fiqih."

Karena sunnah secara umum mencakup makna wajib secara fiqih dan makna sunnah secara fiqih.

Dalam artian, ketika kita mengaitkan ahlus sunnah disini adalah orang-orang yang mengikuti sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, maka maksudnya:

"Mereka mengerjakan perintah-perintah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, baik yang hukumnya wajib maupun yang tidak sampai wajib atau istilahnya sunnah secara fiqih."

• Jamā'ah

Apa itu jamā'ah?

Jamā'ah adalah orang yang senantiasa atau golongan yang bersatu padu di bawah kebenaran.

Banyak sekali perintah-perintah untuk senantiasa bersatu padu dalam kebenaran seperti:

"Alaykum biljamā'ah."

Hendaknya kalian bersama jamā'ah.

Dan sebagainya.

Namun jamā'ah di sini hendaknya tidak diartikan secara tekstual, dalam artian secara bahasa jamā'ah itu artinya segolongan orang yang banyak.

Namun secara syari'at di dalam istilah ahlus sunnah wal jamā'ah, jamā'ahnya bisa bermakna seperti bahasa, bisa juga bermakna orang yang senantiasa komitmen dalam kebenaran meskipun dia sendirian.

Sebagaimana Shahābat Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yaitu Ibnu Mas'ūd radhiyallāhu ta'āla 'anhu pernah berujar:

الجماعة ماوافق الحق؛ وإن كنت وحدك

"Jamā'ah itu sesuai dengan kebenaran, dia bersama kebenaran meskipun engkau sendirian."

Jika orang sendiri tetapi dia berdasarkan Al Qur'ān dan Sunnah, berdasarkan ajaran Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, maka dia juga disebut jamā'ah.

Kalau kita membaca artikel yang mengutip hadīts-hadīts tentang jamā'ah (misalnya):

"Ikutilah jamā'ah maka engkau tidak akan sesat."

Atau dengan hadīts dengan lafazh:

"Sawadhul a'dham."

Sekumpulan orang banyak.

Maka ini tidak serta merta diartikan bahwa mayoritas itu yang benar. Tidak bisa seperti itu!

Maka timbangannya atau ukurannya adalah apakah dia sesuai dengan kebenaran atau tidak. Karena 'sawadhul a'dham" atau jamā'ah atau lafazh-lafazh semisalnya di dalam syari'at artinya lebih luas dari arti bahasa.

Kalau arti bahasa memang dia adalah segolongan orang yang banyak, tetapi secara syari'at artinya bisa segolongan orang yang banyak yang bersatu padu tidak bercerai berai di dalam kebenaran atau orang yang sendirian tetapi dia komitmen dengan kebenaran.

Di dalam hadīts-hadīts Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, tidak ada hadīts yang secara lugas mengatakan, "Ikutilah ahlus sunnah wal jamā'ah." Tidak ada!

Yang ada seperti hadīts yang sering kita dengar dihari Jum'at.

فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافا كثيراا 

"Barangsiapa yang hidup nantinya setelahku maka akan melihat perbedaan yang banyak."

Maka solusinya bagaimana?

Maka Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan:

عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين وهل

"Hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah-sunnah Khulafā'i rāsyidīn almahdīyin."

Sunnah Khulafā'i rāsyidīn secara umum yaitu jalan atau metode beragama para shahābat atau metode beragama Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, pedoman beragama yang Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam ajarkan mulai dari 'aqidah, akhlaq, ibadah wajib atau sunnah dan sebagainya.

Hendaknya kita berpegang dengan itu semua.

Di sini dikatakan "sunnatiy" tidak disebut "ahlus sunnah" dan sebagainya.

Ini saja yang bisa saya sampaikan.

وصلاة وسلم على نبينا محمد و آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 
_____________________________________________

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 21 Muharram 1440 H / 01 Oktober 2018 M
👤 Ustadz Rizqo Kamil Ibrahim, Lc
📗 ‘Aqidah Al-Wāsithiyyah
🔊 Halaqah 010 | Muqaddimah - Muqaddimah Penulis Kitab (Bagian 07)
〰〰〰〰〰〰〰
بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين. وبه نستعين على امور الدنيا والدين. والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء وإمام المرسلين. وعلى اله وصحبه أجمعين من تبعهم بإحسان إلى يوم الدين. أمّا بعد.

Sahabat BiAS dan kaum muslimin sekalian.

Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah setelah menjelaskan bahwa kitāb ini (Aqidah wāsithiyah) dikarang untuk menjelaskan aqidah ahlus sunnah wal jamā'ah, thaifah manshūrah, yaitu golongan yang akan ditolong sampai nanti hari kiamat (hari akhir).

Kemudian Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah melanjutkan apa aqidah ahlus sunnah wal jamā'ah itu?

Apa yang dikandung dalam aqidah ahlus sunnah wal jamā'ah?

Kemudian Ibnu Taimiyyah berujar:

وهو الإيمان بالله، و ملائكته و كتبه ورسله والبعث بعد الموت، والإيمان بالقدر خيره وشرِّه

"Aqidah ahlus sunnah adalah beriman kepada Allāh dan beriman kepada malāikat-malaikatnya dan beriman kepada kitāb-kitāb Allāh dan rasūl-rasūl-Nya dan juga beriman dengan hari dibangkitkannya manusia setelah kematian dan beriman dengan taqdir Allāh yang baik dan yang buruk."

⇒ Inilah aqidah ahlus sunnah wal jamā'ah secara umum.

Sedikit sekali ustadz? Hanya enam.

Iya secara umum, tapi nanti setiap bagian, seperti iman kepada Allāh, iman kepada malāikat, setiap ushul iman atau asas iman ini yang sering disebut rukun iman, nanti akan dibahas lebih rinci oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullāh di dalam kitābnya ini (terlebih iman kepada Allāh).

Sedangkan rukun-rukun yang lain, disebutkan secara global saja, tapi iman kepada Allāh disebutkan secara detail.

Kita akan menyinggung tentang apa-apa yang dikandung oleh rukun iman.

• Iman kepada Allāh

Seorang muslim tidak berhenti pada mengatakan, "Saya beriman kepada Allāh." Tapi apa yang diimani?

Dalam beriman kepada Allāh:

√ Kita mengimani wujud-Nya atau keberadaan Allāh 'Azza wa Jalla.

√ Kita mengimani bahwa Allāhlah yang memelihara alam ini, (seperti) Allāh yang memberi rizki, Allāh yang menciptakan manusia.

√ Kita mengimani ada hal-hal yang hanya bisa dilakukan oleh Allāh 'Azza wa Jalla (aspek rubūbiyah).

Jadi tidak hanya cukup kita mengimani wujud Allāh saja (Allāh ada). Sementara di sisi lain dia juga menganggap bahwa ada yang bisa mendatangkan hujan selain Allāh Subhānahu wa Ta'āla, ada yang bisa mendatangkan rizki selain Allāh Subhānahu wa Ta'āla, maka ini termasuk orang yang tidak beriman (kāfir).

Karena iman kepada Allāh harus mengimani seluruh aspek-aspeknya, yaitu:

⑴ Mengimani adanya Allāh.

⑵ Mengimani rubūbiyah Allāh atau aspek yang hanya bisa dilakukan oleh Allāh seperti memberikan rizki dan sebagainya.

⑶ Mengimani bahwa segala ibadah hanya diperuntukkan bagi Allāh 'Azza wa Jalla, baik itu shalāt, menyembelih, berdo'a, tawakal, takut dan harap hanya untuk Allāh Azza wa Jalla. Ini sering diistilahkan dengan aspek ulūhiyah.

⑷ Mengimani nama-nama Allāh yang husna dan sifat-sifat Allāh.

Sampai di sini halaqah kita, in syā Allāh iman kepada malāikat dan selainnya akan dibahas pada halaqah selanjutnya.

وصلاة وسلم على نبينا محمد و آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 
_____________________________________________

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 22 Muharram 1440 H / 02 Oktober 2018 M
👤 Ustadz Rizqo Kamil Ibrahim, Lc
📗 ‘Aqidah Al-Wāsithiyyah
🔊 Halaqah 011 | Muqaddimah - Sekilas Tentang Imam Kepada Malāikat Dan Kutub
〰〰〰〰〰〰〰
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين

Pada pertemuan sebelumnya kita membahas perkataan Ibnu Taimiyyah yang menjelaskan tentang salah satu aqidah ahlus sunnah wal jamā'ah adalah mengimani rukun iman yang enam, sebagaimana beliau berujar.

وهو الإيمان بالله، و ملائكته و كتبه ورسله والبعث بعد الموت، والإيمان بالقدر خيره وشرِّه

"Beriman kepada Allāh, dan beriman kepada malāikat-malaikat-Nya, dan beriman kepada kitāb-kitāb Allāh dan rasūl-rasūl-Nya dan juga beriman dengan hari dibangkitkannya manusia setelah kematian dan beriman dengan taqdir Allāh yang baik dan yang buruk."

Iman kepada Allāh telah dijelaskan pada pertemuan sebelumnya, beriman kepada Allāh yaitu kita mengimani empat hal yaitu:

⑴ Mengimani akan wujud Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

⑵ Mengimani ada hal-hal khusus yang hanya bisa dilakukan oleh Allāh Azza wa Jalla atau yang disebut dengan rubūbiyah, (seperti) Allāh yang menurunkan hujan, Allāh yang memberikan rizki, Allāh yang menciptakan manusia dan sebagainya.

⑶ Mengimani ulūhiyah atau mengimani bahwa segala bentuk peribadatan hanya untuk Allāh Azza wa Jalla.

⑷ Mengimani nama-nama dan sifat Allāh 'Azza wa Jalla.

Juga perlu kita ketahui bahwa iman dalam bahasa Arab adalah "tasydiq" atau mempercayai. Namun di dalam syari'at artinya lebih luas yaitu mempercayai dan juga melafazhkan dengan lisan dan melakukan dengan badan.

Jadi tidak cukup dengan mempercayai namun harus muncul dalam lisan dan dalam perbuatan. Itulah iman secara syari'at (iman yang benar)

Dalam halaqah kali ini kita melanjutkan poin berikutnya yaitu beriman kepada malāikat.

• Beriman kepada malāikat

Pembahasan mengenai poin beriman kepada malāikat pada halaqah ini akan dibahas secara singkat karena untuk detailnya akan dibahas nanti pada babnya masing-masing.

Setelah mengucapkan beriman kepada Allāh dan yang merupakan aqidah ahlus sunnah adalah beriman kepada malāikat-malāikat Allāh.

Bagaimana mengimani malāikat Allāh?

Mengimani malāikat Allāh adalah dengan mempercayai, mentasdiq, meyakini, mengimani akan adanya malāikat dan juga mengimani bahwa mereka (para malāikat) adalah hamba-hamba Allāh yang mulia yang selalu menta'ati perintah Allāh 'Azza wa Jalla.

Dan juga mengimani bahwa salah seorang dari mereka ada yang bertugas untuk membawa wahyu (menyampaikan wahyu) kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

⇒ Minimal mengimani bahwa malāikat adalah hamba Allāh (makhluk) yang memiliki tugas masing-masing sebagaimana dalam Al Qur'ān. Dan salah seorang dari mereka (yaitu) malāikat Jibrīl 'alayhissallām mempunyai tugas menyampaikan wahyu.

Jumlah malāikat banyak, hanya saja yang sampai kepada kita hanya beberapa nama beserta tugas-tugasnya.

Seperti (misalnya):

⑴ Malāikat Jibrīl tugasnya adalah menyampaikan wahyu
⑵ Malāikat Mikail tugasnya adalah menurunkan hujan, dan sebagainya.

Selanjutnya iman kepada malāikat adalah mengimani deskripsi (gambaran) bagaimana sifat-sifat malāikat sebagaimana dijelaskan di dalam Al Qur'ān.

• Beriman kepada kutub (kitāb-kitāb)

Kitāb yang Allāh turunkan banyak tidak hanya lima tetapi yang kita ketahui atau sampai kepada kita adalah:

⑴ Taurāt
⑵ Injīl
⑶ Zabūr
⑷ Shuhuf Ibrāhīm
⑸ Al Qur'ān

Kita harus meyakini bahwa Allāh menurunkan kitāb-kitāb kepada yang Allāh kehendaki, meskipun kita tidak tahu namanya dan kita harus mengimani kitāb-kitāb lain yang diturunkan sebelum diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam seperti Taurāt, Injīl, Zabūr.

Kita harus mengimani keberadaan kitāb Taurāt, Injīl dan Zabūr. Kita harus mengimani bahwa Allāh Subhānahu wa Ta'āla telah menurunkan kitāb-kitāb tersebut, meskipun zaman kekinian kitāb Taurāt, Injīl dan Zabūr sudah banyak mengalami perubahan yang dilakukan oleh pengikut-pengikut nabi yang telah lampau.

Dan juga meyakini bahwa kitāb tersebut adalah benar merupakan cahaya dan jalan hidayah namun semuanya sudah terhapus dengan adanya Al Qur'ān.

Jadi hanya Al Qur'ānlah yang berlaku sebagai yang haq dan jalan hidayah yang harus diimani.

Demikian saja halaqah kali ini.

وصلاة وسلم على نبينا محمد و آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 
_____________________________________________

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 23 Muharram 1440 H / 03 Oktober 2018 M
👤 Ustadz Rizqo Kamil Ibrahim, Lc
📗 ‘Aqidah Al-Wāsithiyyah
🔊 Halaqah 012 | Muqaddimah - Sekilas Tentang Iman Kepada Rasūl, Hari Kiamat Dan Qadar
〰〰〰〰〰〰〰
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين

Selanjutnya adalah iman kepada rasūl-rasūl Allāh. Sama seperti tadi malāikat dan kitāb, juga rasūl-rasūl dan anbiyyā' (nabi-nabi) yang banyak jumlahnya, namun yang kita ketahui hanya beberapa saja. Maka ini juga wajib diimani, baik yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui.

• Beriman kepada rasūl

Bahwa di sana banyak nabi-nabi atau rasūl-rasūl yang diutus oleh Allāh 'Azza wa Jalla.

Kita harus mengimani bahwa Allāh mengirim (mengutus) kepada manusia utusan-utusan untuk memerintahkan manusia agar ibadah kepada Allāh.

Dan kita juga harus mengimani bahwa akhir dari para utusan tersebut adalah Nabi kita Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Salah satu dalīl bahwa ada rasūl-rasūl yang belum kita ketahui jumlahnya atau jumlahnya lebih banyak dari yang dicantumkan di dalam Al Qur'ān dan sunnah adalah firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla  dalam surat An Nissā': 164.

وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ ۚ وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا

"Dan ada beberapa rasūl yang telah Kami kisahkan mereka kepadamu sebelumnya dan ada beberapa rasūl (lain) yang tidak Kami kisahkan mereka kepadamu. Dan kepada Mūsā, Allāh berfirman langsung."

⇒ Jadi, ada rasūl yang Allāh kabar dan ada yang tidak Allāh kabarkan.

Ini juga merupakan pelajaran bagi kita bahwa kita tidak harus terkenal untuk menyebarkan kebaikan.

Lihat! Mereka rasūl tapi namanya saja kita tidak tahu. Betapa banyak utusan Allāh (rasūl) yang namanya tidak diketahui oleh manusia. Ada yang disembunyikan dan ada yang tidak dikenal.

Maka, jadi orang baik tidak harus dikenal, diketahui dan sebagainya.

Rasūl yang paling afdal adalah Nabi Nuh alayhissallām yang disebut dengan ulul azmi. Mereka adalah Nuh, Ibrāhīm, Mūsā, Īsā dan Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Di sini, sekedar tambahan, faedah apa bedanya antara nabi dan rasūl. Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh mengatakan:

√ Nabi, mereka diberikan wahyu berupa syari'at tetapi tidak diperintahkan untuk menyampaikannya.

√ Rasūl, mereka diberikan wahyu dan diperintahkan untuk menyampaikan syari'atnya.

• Beriman kepada hari kebangkitan

Apa yang diimani?

Yang diimani adalah bahwa manusia akan dibangkitkan dari kuburnya dan manusia akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang dia lakukan.

Barangsiapa yang melakukan kebaikan maka akan mendapatkan balasan surga dan barangsiapa yang melakukan keburukan maka akan dimasukan ke dalam neraka (na'ūdzubillāhi min dzālik).

• Beriman kepada qadar (takdir Allāh)

Yaitu mengimani bahwa Allāh Subhānahu wa Ta'āla sudah mentakdirkan (mengatur) segala sesuatu, baik hal yang baik maupun yang buruk.

Dan semuanya tidak akan terjadi kecuali dengan kehendak Allāh Subhānahu wa Ta'āla  dan ciptaan Allāh Azza wa Jalla.

Jadi apa yang kita lakukan sekarang, kita tidak akan dapat melakukannya kecuali dengan izin dari Allāh Azza wa Jalla (kehendak dari Allāh Azza wa Jalla).

Ini secara global tetapi secara rinci silahkan dibaca masalah-masalah takdir ini. Yang jelas beberapa ulamā menyampaikan untuk tidak terlalu mendalam membahas masalah taqdir karena dikhawatirkan akan jatuh kedalam jurang kesesatan dan sebagainya.

Taqdir ini cukup kita imani bahwa manusia diberikan taqdir oleh Allāh Azza wa Jalla namun manusia juga mempunyai kemampuan untuk berusaha melakukan amalan-amalan, seperti: dia bangun, dia tidur. Namun dia juga ditaqdirkan oleh Allāh Azza wa Jalla (secara detail in syā Allāh akan dibahas dibab perbab).

Demikian saja halaqah kali ini.

وصلاة وسلم على نبينا محمد و آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 
_____________________________________________

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 06 Jumādā Ats-Tsānī 1440 H / 11 Februari 2019 M
👤 Ustadz Rizqo Kamil Ibrahim, Lc
📗 ‘Aqidah Al-Wāsithiyyah
🔊 Halaqah 013 | Beriman Kepada Allāh ‘azza wa jalla (Bagian 01)
〰〰〰〰〰〰〰

BERIMAN KEPADA ALLĀH AZZA WA JALLA (BAGIAN 01)

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين

Sahabat BiAS sekalian, saudara muslimin dan muslimat.

Alhamdulilāh, kita telah sampai pada halaqah yang ke-13, kita melanjutkan rangkaian silsilah dari kitāb "Al 'Aqidah Al Wāsithiyah" (العقيدة الواسطية) karangan Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh (Ahmad ibn Abdil Halīm Al Harrānī)

Pada halaqah sebelumnya kita membahas rukun iman secara qlobal dan sekarang kita masuk pada pembahasan rukun iman secara rinci (in syā Allāh, kita akan bahas beberapa rinciannya)

Pada hari ini (in syā Allāh) kita masuk pada pembahasan beriman kepada Allāh Azza wa Jalla terlebih khusus beriman kepada sifat-sifat Allāh.

Ini merupakan inti dari kitāb Al 'Aqidah Al Wāsithiyah.

Ibnu Taimiyyah rahimahullāh berkata:

قال ابن تيمية في (العقيدة الواسطية): ومن الإيمان بالله: الإيمان بما وصفبه نفسه في كتابه، وبما وصفه به رسوله محمد صلى الله عليه وسلم.

Dan merupakan iman kepada Allāh yaitu iman kepada apa yang Allāh sifatkan tentang dirinya dalam Al Qurān dan apa yang Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam sifatkan Allāh Subhānahu wa Ta'āla di dalam hadīts.

من غير تحريف ولا تعطيل

Dan mengimani sifat-sifat tersebut tanpa tahrīf (menyelewengkan makna) dan tidak menafikan sifat-sifat tersebut.

ومن غير تكييف ولا تمثيل

Dan mengimani juga tanpa takīf (menentukan teknisnya bagaimana) dan juga dalam mengimani sifat tersebut tanpa tamtsīl (menyamakan Allāh dengan makhluk nya)

بل يؤمنون بأن الله سبحانه ليس كمثله شيء وهو السميع البصير

Tetapi mengimaninya bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta'āla sebagaimana firman Allāh, "Tidak ada yang menyerupai Allāh Subhānahu wa Ta'āla dan Allāh Maha Mendengar dan Maha Melihat."

Dari text di atas, terkandung kurang lebih 6 poin, (in syā Allāh) akan kita bahas poin per poin.

⑴ Merupakan iman kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla adalah mengimani sifat-sifat Allāh yang Allāh kabarkan didalam Al Qurān dan juga yang dikabarkan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam hadītsnya.

Disebutkan merupakan iman kepada Allāh karena sebagaimana kita singgung dalam pertemuan sebelumnya bahwa beriman kepada Allāh mencakup;

√ Iman kepada wujudnya.
√ Iman, bahwa Allāh itu tunggal dalam perbuatannya.
√ Meng Esa kan Allāh dalam ibadah.
√ Beriman kepada nama-nama dan sifat-sifatnya.

Pada pembahasan kali ini Ibnu Taimiyyah rahimahullāh mengatakan termasuk iman kepada Allāh salah satunya adalah beriman kepada sifat-sifat Allāh. Yaitu mengimani apa yang Allāh kabarkan di dalam Al Qurān dan apa yang Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam kabarkan di dalam hadīts.

Sifat Allāh seperti yang di sebutkan di dalam Al Qurān salah satunya

ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

"Allāh Maha Pengasih dan Maha Penyayang.”

Bisa disimpulkan bahwa Allāh memiliki sifat mengasihi, (dan ini harus kita imani). 

Ini menunjukkan bahwa iman kepada sifat Allāh harus melalui jalur wahyu tidak boleh dengan akal, perasaan dan sebagainya.

Jangankan Allāh Subhānahu wa Ta'āla makhluk saja kita tidak mengetahui sifatnya kalau kita tidak melihat.

Karena kita bisa mengetahui sesuatu dengan tiga cara (yaitu):

① Melihat langsung.
② Mendengar kabarnya.
③ Melihat replikanya.

Kita tidak bisa melihat Allāh Subhānahu wa Ta'āla di dunia maka bagaimana kita menentukan sifat-sifatnya?

Jawabannya adalah dengan mengimani apa yang Allāh kabarkan dalam Al Qurān dan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam kabarkan di dalam hadīts.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pun tidak mengetahui (tidak melihat) Allāh Subhānahu wa Ta'āla hanya saja Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mendapatkan wahyu, karena hadīts itu adalah wahyu yang lafafznya dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Jadi apa yang datang dalam Al Qurān dan sunnah harus kita imani dan tidak boleh menggunakan akal dalam menentukan sifat dan nama nama Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Surga, kita tidak tahu bagaimana sifatnya karena kita belum pernah melihat tapi kita tahu karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla mengabarkannya di dalam Al Qurān dan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengabarkannya di dalam hadītsnya.

⑵ Dalam mengimani sifat-sifat tersebut tanpa menyelewengkan maknanya.

Misalnya:

Allāh Subhānahu wa Ta'āla mengabarkan dirinya bahwa "Allāh Maha Pengasih dan Maha Penyayang" bisa disimpulkan bahwa Allāh Subhānahu wa Ta'āla memiliki sifat rahmat.

Dan kita tidak boleh menyelewengkan maknanya misalnya dengan mengatakan "Allāh tidak mungkin memiliki sifat rahmat" berarti Allāh lemah (misalnya).

Maka ini telah menyelewengkan makna, ini merupakan iman yang tidak benar (mencederai imannya kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla)

⇒ Maksud rahmat di sini adalah keinginan untuk memberikan nikmat.

Lalu bagaimana iman yang benar?

Kita harus mengimani (menetapkan) bahwasanya Allāh memiliki sifat rahmat (kasih sayang yang layak bagi Allāh) meskipun rahmat Allāh beda dengan makhluknya dan in syā Allāh, ini akan kita bahas pada poin ke-5 dan ke-6.

Contoh firman Allāh lainya:

{الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ}

"Allāh beristiwā' di atas Arsy.”
(QS Thahā 15)

Pernyataan Allāh di atas Arsy ini tidak boleh diselewengkan dengan mengatakan, "Allāh tidak beristiwā' " karena beristiwā' di sini artinya menguasai (menguasai Arsy).

Jadi iman yang benar kepada Allāh Azza wa Jalla adalah tidak menyelewengkannya, kita harus tetapkan bahwa Allāh beristiwā' di atas Arsy.

⑶ Mengimaninya tanpa takīf atau tidak menafīkan maknanya

⑷ Mengimaninya tanpa menjelaskan teknisnya.

⑸ Mengimaninya tanpa tamtsīl atau tanpa menyamakan dengan makhluk.

⑹ Mengimani Allāh sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla

لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌۭ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ

"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.”

(QS Asy Syūrā: 11)

In syā Allāh  akan kita lanjutkan kembali di halaqah yang akan datang.

Ini saja yang bisa saya sampaikan, semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat dan menambah iman kita, menjadi penerang kubur kita dan menjadi jalan menuju Surga tanpa melewati siksa di Neraka.

وصلاة وسلم على نبينا محمد و آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 
____________

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 07 Jumādā Ats-Tsānī 1440 H / 12 Februari 2019 M
👤 Ustadz Rizqo Kamil Ibrahim, Lc
📗 ‘Aqidah Al-Wāsithiyyah
🔊 Halaqah 014 | Beriman Kepada Allāh ‘azza wa jalla (Bagian 02)
〰〰〰〰〰〰〰
BERIMAN KEPADA ALLĀH AZZA WA JALLA (BAGIAN 02)

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين

Sahabat BiAS sekalian, saudara muslimin dan muslimat.

Alhamdulilāh, kita telah sampai pada halaqah yang ke-14, kita melanjutkan rangkaian silsilah dari kitāb "Al 'Aqidah Al Wāsithiyah" (العقيدة الواسطية) , karangan Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh (Ahmad ibn Abdil Halīm Al Harrānī)

Pertemuan sebelumnya kita telah membahas perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullāh mengenai hal-hal yang termasuk mengimani sifat-sifat Allāh Azza wa Jalla.

Dan Ibnu Taimiyyah rahimahullāh menegaskan ada 6 poin. Dan pertemuan kemarin kita telah membahas dua poin dasar atau rujukan dalam mengimani sifat Allāh adalah Al Qurān dan hadīts Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

√ Kita mengimani apa yang Allāh sampaikan tentang diri-Nya dan kita mengimani apa yang Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam sampaikan tentang Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

√ Dalam mengimani ini, kita imani tanpa adanya tahrīf yaitu menyelewengkan makna dari dalīl-dalīl yang menyebutkan sifat Allāh Azza wa Jalla.

Seperti contoh yang lalu bila ada di dalam hadīts atau Al Qurān yang menyatakan Allāh memiliki sifat rahmat maka kita tidak boleh menyelewengkan maknanya. Rahmat di sini maksudnya adalah Allāh menginginkan (memberikan) kenikmatan.

Atau Allāh memiliki sifat istiwā' di atas Arsy maka tidak boleh diselewengkan maknanya sebagai "menguasai".

Jadi Allāh benar-benar di atas Arsy. Bagaimana bentuknya nanti, in syā Allāh, akan kita bahas pada poin berikutnya.

⑶ Perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullāh:

ولا تعطيل

“Juga tidak ta'thīl (meniadakan sifat Allāh) atau menegasikan.”

Jadi ketika mendengar:

ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

"Allāh Maha Pengasih dan Maha Penyayang.”

Jika ada yang mengatakan, "Tidak mungkin Allāh memiliki sifat rahmat," atau, "Saya tidak tahu makna rahmat itu apa," dan lain sebagainya maka inilah ta'thīl.

Sebenarnya ta'thīl ini adalah fase pertama dari tahrīf. Jadi, jika orang mentahrīf ada dua fase.

Misalnya dia mendengar bahwa Allāh beristiwā' di atas Arsy, ketika dia mendengar ini dia melakukan ta'thīl dulu (meniadakan makna yang benar). Misalnya dengan mengatakan, "Ah, tidak mungkin Allāh beristiwā."

Kemudian fase yang kedua adalah tahrīf, yaitu meniadakan kemudian mengganti dengan makna lain, dia menyelewengkan maknanya misalnya dengan mengatakan, "Allāh tidak memiliki sifat istiwā' tetapi memiliki sifat menguasai.”

Jadi, (menurutnya) Istiwā' di atas Arsy di sini artinya menguasai Arsy bukan Allāh di atas Arsy.

Tidak mungkin Allāh menjelaskan dalam Al Qurān karena Allāh lebih tahu sifat diri-Nya. Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mendapatkan wahyu dari Allāh untuk menyampaikan sifat Allāh sedangkan maknanya tidak diketahui oleh orang, padahal Al Qurān dan As Sunnah adalah pedoman untuk kita semua (umat muslim).

Para shahābat pun tidak menanyakan atau menafī'kan hal tersebut, mereka semua mengimani.

(4) Poin selanjutnya adalah:

من غير تكييف ولا تمثيل

Dan mengimani juga tanpa takyīf (menanyakan teknisnya bagaimana) dan juga dalam mengimani sifat tersebut tanpa tamtsīl (menyamakan Allāh dengan makhluk-Nya).

In syā Allāh  akan kita sampaikan pada halaqah berikutnya.

Ini saja yang bisa saya sampaikan.

وصلاة وسلم على نبينا محمد و آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 
____________

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 08 Jumādā Ats-Tsānī 1440 H / 13 Februari 2019 M
👤 Ustadz Rizqo Kamil Ibrahim, Lc
📗 ‘Aqidah Al-Wāsithiyyah
🔊 Halaqah 015 | Beriman Kepada Allāh ‘azza wa jalla (Bagian 3)
〰〰〰〰〰〰〰

BERIMAN KEPADA ALLĀH AZZA WA JALLA (BAGIAN 3)
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين

Sahabat BiAS sekalian, saudara muslimin dan muslimat.

Alhamdulilāh, kita telah sampai pada halaqah yang ke-15, kita melanjutkan rangkaian silsilah dari kitāb "Al 'Aqidah Al Wāsithiyah" (العقيدة الواسطية) karangan Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh (Ahmad ibn Abdil Halīm Al Harrānī)

Pada pertemuan sebelumnya kita telah membahas perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullāh mengenai hal-hal yang termasuk mengimani sifat-sifat  Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Yaitu mengimani dengan apa yang Allāh sifatkan akan diri-Nya, baik dalam kitāb-Nya dan juga dengan apa yang Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam sifatkan di dalam hadītsnya sebagaimana yang diwahyukan kepada Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam).

Sehingga Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tahu bagaimana sifat Allāh Subhānahu wa Ta'āla bukan dari pikiran Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam), melainkan dari wahyu yang Allāh berikan kepada Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam). Tanpa menyelewengkan maknanya dan juga tanpa membatalkan sifat tersebut.

Kemarin kita telah bahas bahwa tahrīf adalah lanjutan dari ta'thīl, dalam artian orang yang melakukan tahrīf (menyelewengkan makna atau mengganti makna) sebelumnya terlebih dahulu dia melakukan ta'thil.

Misalnya:

Allāh memiliki tangan, mereka akan menta'thīl dulu dengan mengatakan, "Tidak, Allāh tidak memiliki tangan,” mereka akan menafīkan dahulu sifat Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kemudian mereka mentahrīf, "Tangan disini maksudnya adalah nikmat atau rahmat Allāh Subhānahu wa Ta'āla." Yang telah keluar dari apa yang Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dan Allāh Subhānahu wa Ta'āla terangkan.

Untuk pertemuan kali ini kita akan lanjutkan pembahasan tentang mengimani Allāh Subhānahu wa Ta'āla selain mengimani nama dan sifat Allāh Subhānahu wa Ta'āla tanpa tahrīf dan ta'thīl juga tanpa takīf dan tanpa tamstsil.

Poin selanjutnya adalah:

من غير تكييف ولا تمثيل

⑸ Dan mengimani juga tanpa takyīf (menentukan teknisnya, bagaimana) dan juga dalam mengimani sifat tersebut tanpa tamtsīl (menyamakan Allāh dengan makhluk-Nya).

Takyīf maksudnya adalah menanyakan bagaimana teknisnya. Misalnya Allāh Subhānahu wa Ta'āla di dalam beberapa ayat (seperti), "Allāh beristiwā di atas Arsy."

Maka kita mengimani beristiwā' ini sebagaimana kita imani tanpa kita takrīf tanpa kita ta'thīl,  hanya saja istiwā'nya Allāh berbeda dengan manusia.

Istiwā' disini sesuai dengan keagungan Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Maka jika ada yang menanyakan, “Bagaimana istiwā'nya Allāh?” Apakah dengan cara (maaf) sila, duduk?  (na'ūdzu billāhi) semoga kita terhindar dari perkataan semacam ini.

Inilah yang disebut takyīf. Dan ini dilarang karena telah menanyakan teknis.

Kalau bertanya, "Apa itu istiwā'?' Maka ini diperbolehkan.

Tetapi jika bertanya teknisnya, misalnya:

√ Bagaimana tangan Allāh?
√ Berapa jumlah jarinya?

Maka ini tidak diperbolehkan, karena masuk dalam pengertian takyīf dan ini tidak dibenarkan.

Seorang salaf (Imām Mālik) yang merupakan guru dari Imām Syāfi'i pernah ditanya tentang ayat ini.

"Bagaimana istiwā' itu?"

Kemudian Imām Mālik berkata, "Istiwā' itu sudah diketahui maknanya secara bahasa, tetapi bagaimananya tidak diketahui. Mengimaninya adalah wajib dan mempertanyakannya adlah bid’ah."

Perkataan ini (perkataan Imām Mālik) adalah kaidah bagi seluruh sifat-sifat Allāh.

Kaidah ini tidak khusus untuk istiwā'.

Kaidah: "Istiwā' sudah diketahui maknanya (maklum) dan bagaimana teknisnya adalah majhul (tidak kita ketahui)."

Allāh Subhānahu wa Ta'āla tidak memberi tahu akan hal ini. Ini berlaku juga bagi semuanya (sifat Allāh yang lain).

Selanjutnya:

ولا تمثيل

⑹ "Dan tidak melakukan tamtsil (menyamakan) sifat Allāh dengan sifat makhluk"

Jika tahrīf menafīkan misalnya "Allāh tidak memiliki tangan." Sedangkan tamtsīl adalah kebalikannya, "Allāh memiliki tangan, tetapi tangan Allāh seperti tangan makhluk," ini yang salah karena telah menetapkan tangan bagi Allāh sama dengan yang dimiliki makhluk.

Tamtsīl ini merupakan perbuatan kufur, dalīlnya adalah:

Firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌۭ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ

"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat."

(QS Asy Syūrā: 11)

Ketika Allāh mendahulukan menyatakan tidak ada yang serupa dengan-Nya, dan Allāh Maha Melihat dan Maha Mendengar l, ini merupakan isyarat. Dan kita paham, bahwa melihat, mendengarnya Allāh di sini tidak serupa dengan mendengar dan melihatnya manusia.

Begitu pula dengan nama-nama dan sifat-sifat Allāh yang lainnya.

Demikian halaqah yang bisa disampaikan kali ini, yaitu untuk menjelaskan perkatan Ibnu Taimiyyah bahwa mengimani Allāh Subhānahu wa Ta'āla dengan apa yang Allāh dan Rasūl-Nya sifatkan tanpa ada tahrīf, ta'thīl, takyīf dan tamtsīl (menyerupakan Allāh dengan makhluk).

وصلاة وسلم على نبينا محمد و آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته 
______

Tidak ada komentar:

Posting Komentar