Senin, 29 Oktober 2018

(1) Matan Abu Syujā

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 20 Shafar 1440 H / 29 Oktober 2018 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abi Syuja' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 04 | Macam Macam Air Yang Diperbolehkan Untuk Bersuci
〰〰〰〰〰

MATAN KITAB:

المياه التي يجوز بها التطهير سبع مياه ماء السماء وماء البحر وماء النهر وماء البئر وماء العين وماء الثلج وماء البرد

Artinya: Macam-macam Air Air yang dapat dibuat untuk bersuci ada 7 (tujuh) yaitu air hujan (langit), air laut, air sungai, air sumur, air sumber (mata air), air salju, air dingin.

(Fiqh AtTaqrib Matan Abi Syuja')
➖➖➖➖➖➖➖➖

MACAM MACAM AIR YANG DIPERBOLEHKAN UNTUK BERSUCI

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على أسرف الأنبيآء والمرسلين نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين. أما بعد.

Para Sahabat Bimbingan Islam sekalian yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada halaqah yang ke-4 ini kita akan membacakan Kitab Matan Abū Syujā', semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla memberkahi dan memudahkan kita semua.

قال المألف :
((كِتَابُ الطّهَارَةِ))

Berkata Penulis rahimahullāh:
((Kitab Thahārah))

◆ Ath-Thahārah (الطّهَارَةِ)

• Makna secara bahasa adalah an-nazhāfah (أَلنَّظَافَةُ), yaitu kebersihan.
• Makna secara istilah adalah:

عِبَارَةٌ عَنْ رَفْعِ الْحَدَثِ وَ إِزَالَةِ النَّجَسِ

"Proses mengangkat hadats dan menghilangkan najis."

◆ Al-Hadats (الحَدَثُ)

Adalah:

وصف قائم بالبدن يمنع من الصلاة ونحوها مما تشترط له الطهارة

"Sifat atau status pada diri seseorang yang menghalangi dari shalat dan ibadah-ibadah yang lainnya yang disyaratkan pada ibadah tersebut thahārah."

Misalnya:
Seorang yang keluar angin dari duburnya, maka statusnya dia berhadats dan menghalanginya untuk melaksanakan ibadah shalat sampai dia thahārah (berwudhū') yang mengangkat hadats tersebut.

◆ Najis

Adalah:

كل عين يجب التطهر منها

"Segala sesuatu zat yang kita diwajibkan secara syari'at untuk bersuci darinya."

Misalnya:
Kotoran manusia, maka ini adalah zat yang najis. Seseorang yang terkena kotoran manusia, maka dia wajib untuk membersihkannya, sebelum dia melaksanakan ibadah shalat.

Para Sahabat sekalian yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

Para ulama memulai kitab fiqh mereka diawali dengan pembahasan kitab Thahārah, karena kitab ini berkaitan dengan kitab Shalat, dimana shalat disyaratkan untuk bersuci sebelum melaksanakan ibadah tersebut.

Dan Penulis disini memulai kitab Thahārah dengan menjelaskan tentang bermacam-macam (jenis-jenis) air yang bisa digunakan untuk bersuci.

Berkata Penulis rahimahullāh:

((الْمِيَاهُ الَّتِي يَجُوْزُ التَّطْهِيْرُ بِهَا سَبْعُ مِيَاهٍ))

((Air yang diperbolehkan untuk digunakan dalam bersuci ada 7 macam))

• PERTAMA

((مَاءُ السَّمآءِ))

((Air dari langit))

Yaitu hujan. Dalilnya adalah surat Al-Anfāl ayat 11. Allāh Ta'āla berfirman:

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ السَّمَاءِ مَاءً لِّيُطَهِّرَكُم بِهِ

"Dan Dia menurunkan kepada kalian air dari langit, agar kalian bersuci dengannya."

• KEDUA

((وَمَاءِ الْبَحْرِ))

((Air laut))

Atau مَاءُ الْبِحَارِ dalam shahīh yang lain.

Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, yang diriwayatkan dalam Ash-hābus Sunān, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda tatkala ditanya tentang air laut, Beliau mengatakan:

وَالطَّهُورُ ماؤُهُ ، الحِلُّ ميتتُهُ

"Bahwasanya air laut tersebut adalah suci airnya dan halal bangkainya."

Yaitu hewan air laut apabila menjadi bangkai, maka halal.

• KETIGA

((وماء النهر))

((Air sungai))

Dan ini adalah ijma' para ulama bahwasanya air sungai adalah yang suci.

Dan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ كَمَثَلِ نَهَرٍ جَارٍ غَمْرٍ عَلَى بَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فيه كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ ». وَمَا يُبْقِى ذَلِكَ مِنَ الدّنَسِ

"Permisalan shalat lima waktu adalah seperti sungai yang mengalir yang melimpah ruah airnya di depan pintu seseorang diantara kalian. Kemudian dia mandi setiap hari 5 waktu, maka apakah tersisa sedikit pun kotoran?." (HR Muslim)

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memisalkan dengan air sungai yang digunakan untuk bersuci.

KEEMPAT

((وَ مَاءُ الْبِئْرِ))

((Air sumur))

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imām Tirmidzi, dimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berwudhū' dari air sumur Budhā'ah. Dan tatkala Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam ditanya, maka Beliau mengatakan

الْمَاءُ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

"Bahwasanya air itu tidak menajiskan segala sesuatu apapun."

• KELIMA

((وَمَاءُ الْعَيْنِ))

((Mata air))

Yang maknanya sama dengan air laut dan air sungai, maka hukumnya pun suci.

KEENAM

((وَمَاءُ الثَّلْجِ))

((Air salju))

• KETUJUH

((وَمَاءُ الْبَرَدِ))

((Air embun))

Dalilnya:
Hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tentang do'a istiftah, ketika Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam berdo'a:

اللهم اغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ

"Ya Allāh, cucilah dosa-dosaku dengan air salju dan air embun."
(HR Bukhari 2/182, Muslim 2/98)

Demikian yang bisa kita sampaikan.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
_____________________________________________

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 21 Shafar 1440 H / 30 Oktober 2018 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abi Syuja' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 05 | Pembagian Jenis Air berdasarkan Penggunaannya dalam Thahārah
〰〰〰〰〰〰〰
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد.

Para ikhwah fiddīn a'āzaniyallāhu wa iyyākum wa akhawāt fillāh,

Pada halaqah yang ke-5 ini kita akan membahas tentang "Pembagian macam-macam air dilihat dari penggunaannya di dalam thahārah".

Berkata Muallif (Pengarang) rahimahullāhu Ta'āla:

((ثم المياه على أربعة أقسام))

((Kemudian pembagian air ada 4 macam))

Pembagian 4 macam ini di dalam mahdzab Syāfi'iyyah, dimana 3 macam adalah masyhūr di kalangan para fuqahā dan 1 macam khusus di dalam madzhab Syāfi'iyyah.

Tiga macam yang masyhūr di dalam pembagian oleh para fuqahā:

⑴ AIR YANG THAHŪR
Yaitu air yang suci dan mensucikan.
Contoh: Air hujan.

⑵ AIR YANG THĀHIR
Yaitu air yang suci namun tidak mensucikan.
Contoh: (-) air teh dan (-) air musta'mal.

⑶ AIR YANG NAJIS
Yaitu air yang terkena benda najis dan air tersebut kurang dari 2 qullah. Atau disyaratkan berubah untuk lebih dari 2 qullah.

Kemudian pembagian yang KHUSUS di dalam madzhab Syāfi'ī yaitu:

⑷ AIR YANG THAHŪR WA MAKRUH
Air yang suci dan mensucikan akan tetapi air tersebut makruh untuk digunakan, yaitu air musyamasy.

Berkata Muallif (Pengarang) rahimahullāhu setelah menjelaskan bahwasanya pembagian air ada 4 macam;

((طاهر ومطهر غير مكروه وهو الماء المطلق))

((Air yang suci dan mensucikan yang dan dia tidak makruh penggunaannya, maka ini adalah air mutlak))

Para ikhwah fiddīn a'āzaniyallāhu wa iyyākum (semoga Allāh memuliakan kita),

Air ini adalah:
√ Air yang digunakan untuk kita bersuci.
√ Air yang dia dapat mengangkat hadats dan menghilangkan najis.
√ Dia adalah air mutlak.

Dan apa itu air mutlak?

Dikatakan para ulama:

◆ كل ماء بقي على وصفه التي خلقه الله عليه 

◆ Yaitu setiap air yang dia masih tetap pada sifat aslinya yang Allāh ciptakan dia (air tersebut)."

Maka ini disebut sebagai air mutlak, yaitu setiap air yang dia tetap pada sifat asli yang Allāh ciptakan dia dengannya.

Kemudian, atau kita katakan:

◆ كل ماء نزل من السماء أو نبع من أرض بدون أن يغيره إستخدام البشر و هذا و ماؤه طهور

◆ Setiap air yang dia turun dari langit atau muncul ke permukaan dari bumi dan tidak berubah dengan penggunaan manusia maka ini adalah air yang thahūr (suci dan mensucikan)."

Apa yang dimaksud dengan:

بقي على أصله القطعه

"Dia tetap pada sifat asalnya."

Yaitu maksudnya adalah tidak berubah 3 sifat asli yang terkait dengan warna, maupun baunya, maupun rasanya.

◆ Apabila berubah salah satu saja maka air tersebut berubah dari sifat aslinya sehingga tidak bisa digunakan untuk bersuci.

◆ Apabila berubah karena benda yang suci maka dia menjadi air yang suci dan tidak mensucikan.

◆ Apabila berubah dikarenakan benda yang najis maka dia menjadi air yang najis yang tidak suci dan tidak mensucikan.

Kemudian perlu diketahui bahwa perubahan air disebabkan benda yang suci ada 2 macam;

⑴ Perubahan yang tidak mungkin dihindari.
Seperti misalnya air sungai yang mengalir di tanah atau di batu kapur atau di permukaan lain yang menyebabkan perubahan warna, bau maupun rasanya.
Walaupun berubah akan tetapi air tersebut tetap memiliki predikat thahūr (suci dan mensucikan).

Berbeda apabila perubahan yang kedua yaitu;

⑵ Perubahan yang bisa dihindari.
Seperti air teh, ini bisa dihindari. Maka apabila air kemudian diberi dengan teh dan berubah warna, rasa dan baunya atau salah satunya maka dia menjadi air yang suci namun tidak mensucikan.

Oleh karena itu, air disebut air mutlak adalah air yang apabila kita menyebutkan kepada orang lain "air" maka akan terbetik di dalam pikirannya air yang dimaksud yaitu air yang masih tetap pada sifat penciptaannya yang pertama kali.

Demikian, kita akan lanjutkan pada halaqah berikutnya tentang pembagian yang ke-2 dari pembagian air.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله و صحبه و سلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_____________________________________________

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 22 Shafar 1440 H / 31 Oktober 2018 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abi Syuja' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 06 | Pembagian Jenis Air Berdasarkan Penggunaan Dalam Thahārah (Bagian 2)
~~~~~~

ثم المياه على أربعة أقسام طاهر مطهر، مكروه وهو الماء المشمس وطاهر غير مطهر وهو الماء المستعمل والمتغير بما خالطه من الطاهرات وماء نجس

Jenis air ada 4 (empat) yaitu:
⑴ Air suci dan mensucikan; ⑵ Air yang makruh yaitu air musyammas; ⑶ Air suci tapi tidak meyucikan yaitu air mustakmal dan air yang air berubah karena kecampuran perkara suci; ⑷ Air najis.

(Fiqh At-Taqrīb Matan Abū Syujā')
➖➖➖➖➖➖➖➖

PEMBAGIAN JENIS AIR BERDASARKAN PENGGUNAANNYA DALAM THAHĀRAH (BAGIAN 2)

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
ألسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
وَ الصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللّهِ وَ بَعْدُ.

Para Sahabat sekalian yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'ālā, pada halaqah yang ke-6 ini kita akan membahas macam-macam air berikutnya. Ini adalah pembagian yang kedua. Sebelumnya kita sudah sebutkan pada pembagian yang pertama طَاهِرٌ وَ مُطَهِّرٌ, yang disebut sebagai air mutlak, di mana dia air suci dan mensucikan.

Adapun pembagian yang kedua di sini:

قال المصنف رحمه الله:

Penulis menyebutkan:

((طَاهِرٌ وَ مُطَهِّرٌ مَكْرُوْهٌ اِسْتِعْمَالُهُ وَهُوَ المَاءُ الْمُشَمَّسُ))

((Air yang suci dan dia bisa mensucikan, akan tetapi dia makruh penggunaannya dan disebutkan yaitu air musyammas))

Apa maksudnya air musyammas?

Air musyammas yaitu air mutlak yang berada di dalam bejana logam selain emas dan perak, yang dia terkena terik matahari yang sangat.

Jadi, disyaratkan di dalam madzhab Syāfi'ī ini ada 2 syarat bahwasanya dia dikatakan sebagai air musyammas:

• ⑴ Dia berada di dalam bejana logam selain emas dan perak.

Karena logam-logam tersebut akan terpengaruh oleh sengatan matahari, dimana partikel-partikel dari logam tersebut akan larut dan memberikan mudharat bagi orang yang menggunakannya.

• ⑵ Air tersebut terkena terik matahari yang sangat kuat.

Jadi,

◆ Apabila air mutlak atau air berada dalam logam bejana emas dan perak atau pun selain logam maka tidak dikatakan sebagai air musyammas.

Ataupun,

◆ Berada di dalam daerah yang tidak memiliki terik matahari yang sangat, maka juga tidak dikatakan sebagai air musyammas.

Dan pembagian ini adalah KHUSUS di dalam madzhab Syāfi'ī, di mana jumhur yang lain tidak melihat adanya pembagian air suci dan mensucikan namun makruh penggunaannya.

Di antara dalil-dalil yang digunakan oleh Syāfi'iyyah adalah beberapa hadits yang tidak lepas dari riwayat yang dha'īf. Di antaranya adalah hadits Ibnu 'Abbas, beliau mengatakan:

أَنَّ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ:  نَهَي عَائِشَةَ رَضِى الله تعالى عَنْهَا عَنِ المُشَمَّسِ, وَقَالَ: إِنَّهُ يُورِثُ البَرَصَ

“Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melarang 'Āisyah radhiyallāhu ta’āla 'anha untuk menggunakan air musyammas dan Beliau bersabda: 'Karena air tersebut bisa menimbulkan penyakit kusta (yaitu penyakit barash)'."
(HR Imam Daruquthni dengan derajat hadits yang dha'īf)

Sehingga tidak dapat digunakan sebagai sandaran.

Oleh karena itu pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwasanya:
✓Air musyammas tidaklah makruh.
✓Dia seperti air mutlak yang lainnya yang suci & mensucikan.
✓Setiap orang bisa menggunakannya.

Dan pendapat ini di rajihkan pula oleh Imam Nawawi Asy-Syāfi'ī dalam kitab Ziyādatur Raudhah, beliau berkata:

وَهُوَ الرَّاجِحُ من حَيْثُ الدَّلِيل وَهُوَ مَذْهَب أَكثر الْعلمَاء وَلَيْسَ للكراهية دَلِيل يعْتَمد

"Pendapat ini adalah pendapat yang rajih jika menilik dari dalil yang digunakan. Dan dia adalah madzhab kebanyakan para ulama (mayoritas para ulama). Dan untuk pendapat makruhnya penggunaan air musyammas tidak ada dalil yang bisa dijadikan sebagai sandaran."

Demikian yang bisa kita sampaikan.

وَصَلَّى اللّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ أَجْمَعِيْن
_____________________________________________

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 18 Rabiul Awwal 1440 H / 26 November 2018 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abi Syuja' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 07 | Pembagian Jenis Air Berdasarkan Penggunaan Dalam Thahārah (Bagian 3)
~~~~~

MATAN KITAB:

وَطَاهِرٌ غَيْرُ مُطَهِّرٍ وَهُوَ اْلمَاءُ اْلمُسْتَعْمَلُ وَالْمُتَغَيُرُ بِمَا خَالَطَهُ مِنَ الطَّاهِرَاتِ
وَالْمُتَغَيُرُ بِمَا خَالَطَهُ مِنَ الطَّاهِرَاتِ

Jenis yang suci namun dia tidak mensucikan, yaitu air musta'mal (air bekas) & air yang berubah karena tercampur dengan benda-benda suci.

Air yang berubah disebabkan tercampur dengan benda-benda suci
〰〰〰〰〰〰〰〰

PEMBAGIAN JENIS AIR BERDASARKAN PENGGUNAANNYA DALAM THAHĀRAH (BAGIAN 3)

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله, أما بعد.

Para Sahabat sekalian, kita lanjutkan pada halaqah yang berikutnya (yang ke-7).

Pada penjelasan kali ini penulis ingin menjelaskan bagian ke-3 dari jenis air dari sisi thaharahnya, yaitu "Jenis yang suci namun tidak mensucikan".

قال المصنف رحمه الله:
((وَطَاهِرٌ غَيْرُ مُطَهِّرٍ وَهُوَ اْلمَاءُ اْلمُسْتَعْمَلُ وَالْمُتَغَيُرُ بِمَا خَالَطَهُ مِنَ الطَّاهِرَاتِ))

((Jenis yang suci namun dia tidak mensucikan, yaitu air musta'mal (air bekas) & air yang berubah karena tercampur dengan benda-benda suci))

Dua jenis ini termasuk air yang suci namun tidak mensucikan (thāhir ghairu muthahhir).

Disini Penulis menjelaskan tentang:

● PERTAMA
Air bekas (air musta'mal)

Apa yang dimaksud air bekas? Adalah air bekas cucian dari thahārah yang wajib. Misalnya:

• Wudhū' yang wajib
• Mandi yang wajib

Maka air bekas tersebut dikatakan sebagai air musta'mal, yang mana di dalam madzhab Syāfi'ī, air musta'mal ini termasuk air yang suci tapi dia tidak bisa mensucikan.

Akan tetapi, pendapat yang benar adalah pendapat jumhur yang mengatakan bahwasanya:

√ Air musta'mal itu adalah tetap dia air mutlak selama tidak berubah warnanya, baunya maupun rasanya, yang bisa digunakan untuk bersuci.

Dalil:
Sebuah hadits dari Abū Daud rahimahullāh, yang diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, beliau berkata,

اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَفْنَةٍ فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَتَوَضَّأَ مِنْهَا أَوْ يَغْتَسِلَ فَقَالَتْ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ جُنُبًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَاءَ لَا يُجْنِبُ

Bahwasanya salah seorang dari istri Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mandi dari sebuah bejana. Kemudian datang Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam ingin berwudhu dari bejana tersebut (ingin mandi).

Berkata istri Beliau:

"Wahai Rasūlullāh, sesungguhnya tadi saya itu junub (mandi junub)."

Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pun berkata:

"Sesungguhnya air itu tidak junub."

Ini adalah dalil bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menggunakan air bekas cucian (air musta'mal), bekas thahārah wajib dan digunakan untuk bersuci (berwudhū').

Dan ini menunjukkan bahwasanya pendapat jumhur-wallāhu a'lam-lebih rajih (lebih kuat), bahwasanya:

√ Air musta'mal selama dia masih bersifat sebagai air mutlak (yang tidak berubah warna, bau maupun rasanya) maka dia bisa digunakan untuk bersuci.

Wallāhu a'lam.

● KEDUA

Kemudian yang ke-2 yang disebutkan sebagai jenis air yang thāhir ghairu muthahhir (suci tapi tidak mensucikan) yaitu:

((وَالْمُتَغَيُرُ بِمَا خَالَطَهُ مِنَ الطَّاهِرَاتِ))
((Air yang berubah disebabkan tercampur dengan benda-benda suci))

Kita bisa lihat bahwasanya:

◆ ⑴ Yang tercampur adalah benda-benda suci.

Jika benda-benda najis maka dia tidak termasuk pada jenis ini.

◆ ⑵ Air mutlak tersebut berubah, baik warnanya, baunya maupun rasanya.

Salah satu dari sifat ini apabila berubah maka dia tercabut dari sifat mensucikan, maka dia termasuk jenis yang suci namun tidak mensucikan.

Contohnya: Air teh

Tatkala air mutlak kemudian dicampur teh maka berubah menjadi air teh, berubah warnanya, bau atau rasa maka air teh ini tidak dapat digunakan untuk berwudhū' atau bersuci.

Kemudian contoh lainnya misalnya:

• Air kopi
• Air susu
• Dan contoh-contoh yang lainnya.

Disebutkan oleh para ulama, diantara PATOKAN dalam perubahan tadi adalah:

• ⑴ Sebuah perubahan yang JELAS.

Jadi apabila perubahannya tidak jelas atau sangat sedikit sekali maka tidak merubah sifat air mutlak tadi, dari sifatnya sebagai air yang suci dan mensucikan.

Namun, apabila perubahannya itu jelas maka dia akan mencabut sifatnya dari sifat mensucikan menjadi sifat yang suci namun tidak mensucikan.

Kemudian yang kedua,

• ⑵ Perubahan tersebut disebabkan benda-benda suci yang DAPAT DIHINDARI.

Contohnya: teh, kopi.

Ini bisa dihindari. Apabila bercampur dengan benda-benda tersebut maka sifat air mutlak menjadi thāhir ghairu muthahhir (suci namun tidak mensucikan).

Apabila tercampur dengan benda-benda suci yang tidak dapat dihindari. Contohnya:

⑴ Air sungai yang tercampur dengan lumpur yang kemudian berubah warnanya, baunya maupun rasanya.

⑵ Mata air yang tercampur dengan daun-daun yang berguguran sehingga merubah sifat warnanya, baunya maupun rasanya.

Yang semua itu tidak dapat dihindari maka air tersebut TETAP pada sifat asalnya yaitu thāhir wa muthahhir (suci dan mensucikan).

Demikian yang bisa kita jelaskan pada jenis air yang ke-3 ini, kita cukupkan.

و صلى الله على محمد و على آله و صحبه و سلم

Sampai berjumpa pada halaqah berikutnya.

والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
__________________________________

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 19 Rabi'ul Awwal 1440 H / 27 November 2018 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 08 |  Pembagian Jenis Air Berdasarkan Penggunaannya Dalam Thahārah (Bagian 4)
~~~~~~~~
MATAN KITAB

وماء حلت فيه نجاسة  وهو دون القُلَّتين أو كان قلتين فتغير

Dan air yang tercampur ke dalamnya benda-benda yang najis, Dan dia air yang kurang dari 2 qullah, Jika air tersebut 2 qullah atau lebih dan berubah
~~~~~~~~

PEMBAGIAN JENIS AIR BERDASARKAN PENGGUNAANNYA DALAM THAHĀRAH (BAGIAN 4)

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد.

Para Sahabat sekalian, kita lanjutkan pada pelajaran berikutnya yaitu pada halaqah yang ke-8 dari Matan Abū Syujā'. Pada penjelasan kali ini Beliau menjelaskan jenis air yang ke-4 yaitu air yang najis (air yang tidak suci).

● AIR NAJIS

قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللّهُ:
((وماء حلت فيه نجاسة)) 

((Dan air yang tercampur ke dalamnya benda-benda yang najis))

Disini dibahas tentang air mutlak yang dia tercampur atau terjatuh ke dalamnya benda-benda najis, baik dia secara langsung ataupun secara tidak langsung.

◆ Secara langsung, benda tersebut jatuh kedalam air tersebut.
◆ Secara tidak langsung jika dengan melalui peresapan atau perembesan dan lain sebagainya.

Maka hukumnya disini dibedakan di dalam Madzhab Syāfi'ī tentang air tersebut apakah banyak atau sedikitnya. Disebutkan:
⑴ Apabila air kurang dari 2 qullah
⑵ Apabila air 2 qullah atau lebih.

Dan qullah adalah ukuran volume air, yang nanti akan dijelaskan oleh beliau pada akhir pembahasan.

※ PERTAMA

((وهو دون القُلَّتين))

((Dan dia air yang kurang dari 2 qullah))

Air yang kurang dari 2 qullah apabila terkena najis maka hukumnya adalah air yang najis walaupun dia tidak berubah baik sifat, warna, bau maupun rasa, jadi tidak berubah sifatnya. Maka tetap air tersebut adalah air yang najis.

※ KEDUA

((أو كان قلتين فتغير))

((Jika air tersebut 2 qullah atau lebih dan berubah))

Berubah apanya? Berubah sifatnya, baik warna, bau maupun rasanya.

Dan disini, 2 qullah atau lebih yang tercampur ke dalamnya najis (misalnya bangkai, air kencing atau lainnya) kemudian merubah salah satu sifat air tersebut maka walaupun dia 2 qullah ataupun lebih maka air tersebut menjadi air yang najis.

Namun apabila dia tidak berubah salah satu sifatnya, maka air tersebut merupakan air yang suci dan mensucikan.

Dalil: Sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam,

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ (وَ فِيْ رِوَايَةٍ النَّجَسَ)

"Apabila air telah mencapai 2 qullah maka dia tidak mengandung khabats." (atau dalam riwayat lain: najis).
(Hadits shahih riwayat Abū Dāwūd dan Imam Tirmidzi)

Didalam pemahaman hadits ini disebutkan bahwasanya air terbagi menjadi 2 :
⑴ Apabila lebih dari 2 qullah
⑵ Apabila kurang dari 2 qullah

√ Dan apabila kurang dari 2 qullah maka dia terpengaruh dengan adanya najis.
√ Namun apabila air mencapai 2 qullah atau lebih maka dia tidak berpengaruh dengan adanya najis.

Ini adalah pendapat dalam madzhab Syāfi'ī dan juga pendapat Imām Abū Hanifah dan Imām Ahmad, yang merupakan pendapat jumhur (mayoritas ulama).

Namun disana ada pendapat yang lain yang mengatakan bahwasanya:

“Selama air tersebut tidak berubah sifatnya baik sedikit maupun banyak maka air tersebut adalah tetap suci dan mensucikan."

Ini pendapat Imām Mālik, Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim, yang diperkuat oleh Syaikh 'Abdul 'Azīz bin Bāz.

Kemudian beliau mengatakan:

((والقلتان خمسمائة رطل بالعراقي))

((Dan 2 qullah itu sama dengan 500 rithl 'iraqi))

Qullah yang dimaksud disini oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah qullah dari negeri Hajar.

Berkata Imām Syāfi'ī,

رأيت قلال هجر، والقلة تسع قربتين، أو قربتين ونصف

"Bahwasanya saya sudah pernah melihat qullah-qullah yang ada di negeri Hajar dan 1 qullah itu dia bisa untuk memenuhi 2 qirbah atau 2,5 qirbah."

√ Qirbah adalah kantung-kantung untuk menampung air.
√ 1 qirbah sekitar 100 rithl 'iraqi.
√ Jadi 2 qullah = 5 qirbah= 500 rithl 'iraqi.

Qullah adalah tempat menyimpan air yang terbuat dari batu atau biasa kita sebut sebagai bak air.

Ukuran pasti dari qullah sendiri berbeda-beda disebutkan oleh para fuqaha atau para ulama.

√ Ada yang menyatakan dengan ukuran volume yaitu sekitar 60 cm kubik atau sekitar 216 liter.

√ Ada yang disebutkan seperti diatas (500 rithl 'iraqi).
Dimana 1 rithl = 406,25 gram.
Jadi, 500 rithl 'iraqi = 203,125 kg = 203,125 liter

Dalam kitab Fiqih muyassar disebutkan bahwa:
1 qullah = 93,075 shā' = 160,5 liter.

Oleh karena itu, sebagaimana diperkuat oleh Syaikh 'Utsaimin rahimahullāh bahwasanya yang benar adalah TIDAK ADA UKURAN YANG STANDAR (PASTI) UNTUK 2 QULLAH.

Dan yang dimaksudkan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam hadits adalah air yang banyak dengan perkiraan 2 qullah yang disebutkan sebagai qullah Hajar (qullah dari negeri Hajar).

Demikian yang bisa kita sampaikan.

و صلى الله علىنبيّنا محمد و على آله و صحبه و سلم.
و آخر دعونا عن الحمد لله رب العلمين.
_______________________________

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 20 Rabi'ul Awwal 1440 H / 28 November 2018 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 09 |  Hukum Kulit Bangkai Yang Disamak
~~~~~~~~

فصل) وجلود الميتة تطهر بالدباغ إلا جلد الكلب والخنزير وما تولد منهما أو من أحدهما

Terjemah: Kulit bangkai dapat suci dengan disamak kecuali kulit anjing dan babi dan hewan yang terlahir dari keduanya atau dari salah satunya.

(Kitab Matan Al-Ghayah wat Taqrib)
〰〰〰〰〰〰〰

KULIT BANGKAI YANG DISAMAK

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد.

Para Sahabat sekalian, kita lanjutkan pada halaqah yang ke-9 dari pembahasan Matan Abū Syujā' Asy-Syāfi'iy rahimahullāh.

Pada pembahasan yang lalu kita telah menjelaskan tentang pembagian air di dalam madzhab Syāfi'iy, (yaitu):

⑴ Air thahūr, yaitu air yang suci dan mensucikan (air mutlak). Contohnya: air hujan, air danau dan lain-lain.

⑵ Air yang thahūr yang makrūh, yaitu air yang suci dan mensucikan namun dia makruh penggunaannya. Contohnya air musyammas.

Dan kita telah jelaskan bahwasanya pembagian ini adalah khusus didalam madzhab Syāfi'iy, namun tidak disepakati oleh jumhur ulama.

⑶ Air yang thāhir (suci) namun tidak dapat digunakan untuk mensucikan. Misalnya: minuman teh, minuman kopi dan lain-lain.

⑷ Air najis, yaitu air yang tercampur dengan benda-benda yang najis.

Kemudian disini Penulis rahimahullāh akan menyebutkan tentang "Hukum kulit bangkai yang disamak".

Pembahasan tentang "Kulit" setelah pembahasan "Pembagian Air" karena kulit pada zaman dahulu itu adalah media yang banyak sekali digunakan untuk menampung air, yaitu dengan membuat kantung-kantung air dari kulit.

Oleh karena itu beliau membahas tentang kulit setelah pembahasan tentang air.

قال المصنف رحمه الله تعالى:
((فصل: وجلود الميتة تطهر بالدباغ إلا جلد الكلب والخنزير وما تولد منهما أو من أحدهما))

((Pasal: Dan kulit-kulit bangkai (bangkai secara umum) yang dia itu menjadi suci dengan cara disamak kecuali kulit anjing dan babi))

⇒ Disini beliau ingin menjelaskan bahwasanya beliau memulai dengan pembahasan yang baru

Karena anjing dan babi dalam Madzhab Syāfi'ī najisnya adalah najis 'ayni (najis secara zatnya), baik semasa hidup apalagi terlebih setelah menjadi bangkai.

((وما تولد منهما أو من أحدهما))

((Dan apa saja yang lahir dari keduanya (peranakan dari keduanya) atau salah satunya))

Jadi, misal induk jantannya adalah anjing dan induk betinanya hewan lain (misalnya kambing) maka peranakannya mengikuti hukum dari hukum anjing tadi.

Para Sahabat sekalian yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'ālā,

Hewan sebagaimana yang kita ketahui ada;

⑴ Hewan yang hidup di laut (hewan laut).

√ Hewan laut seluruhnya suci dan bangkainya pun suci dan halal untuk dimakan.

⑵ Hewan yang hidup di darat (hewan darat).

Di sana ada,

• ⒜ Hewan yang diperbolehkan dimakan dagingnya, seperti: sapi, kambing dan lain sebagainya.

√ Apabila disembelih dengan aturan & cara yang syar'i maka dagingnya adalah halal dan yang disembelih tersebut adalah suci.

√ Namun apabila hewan tersebut tidak disembelih dengan cara yang syar'i atau mati sendiri, baik disengaja atau tidak disengaja maka hukumnya menjadi hukum bangkai dan dia menjadi najis.

• ⒝ Hewan yang tidak diperbolehkan untuk dimakan dagingnya, seperti: harimau, keledai yang jinak dan seterusnya.

√ Selama hewan tersebut masih hidup maka dia adalah thāhir (suci) walaupun tidak boleh dimakan dagingnya.

√ Apabila dia mati, baik dengan cara disembelih ataupun mati sendiri maka hukumnya menjadi hukum bangkai.

Oleh karena itu, seluruh bangkai adalah najis dan haram dimakan dagingnya KECUALI ikan dan belalang.

Mengenai bagian-bagian bangkai kita akan bahas, diantaranya tentang:

⑴ DAGING BANGKAI

Hukum daging bangkai adalah najis dan haram dimakan berdasarkan ijma' para ulama.

⑵ KULIT BANGKAI

Kulit bangkai yang belum disamak maka hukumnya adalah najis sebagaimana yang disepakati oleh para Imām Madzhab yang empat, bersepakat bahwasanya hukumnya adalah najis.

Kemudian, kulit bangkai yang telah disamak, disana ada beberapa pendapat para ulama namun yang paling kuat adalah 2 pendapat:

● Pendapat Pertama

Bahwasanya kulit bangkai menjadi suci setelah disamak KECUALI kulit anjing dan babi.

Jadi, semua kulit bangkai apapun menjadi suci setelah disamak.

Ini adalah pendapat Madzhab Syāfi'ī sebagaimana yang telah kita bacakan dia atas dan juga pendapatnya Hanafiyah, akan tetapi berbeda di dalam masalah kulit anjing.

Dan juga ini adalah pendapat sebagian para shahābat.

◆ Dalil:

⑴ Hadits Ibnu 'Abbas radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu, beliau berkata bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ؛ فَقَدْ طَهُرَ

"Apabila kulit-kulit itu telah disamak maka dia telah menjadi suci." (HR Muslim)

⑵ Sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam yang lain manakala Beliau melihat kambing yang ditarik oleh para shahābat.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

لو أخذتم إهابها. فقالوا : إنها ميتة ، فقال : يطهرها الماء والقرظ

"Jikalah kalian mengambil kulitnya."

Kemudian para shahābat berkata, "Sesungguhnya hewan tersebut adalah bangkai."
Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pun bersabda, "Air dan daun qarazh itu akan membersihkan (kulit dari bangkai tersebut)."
(HR Abū Dāwūd dengan sanad yang hasan)

Al-Qarazh adalah sejenis daun yang bentuknya kasar yang banyak digunakan untuk proses samak.

● Pendapat Kedua

Bahwasanya proses samak hanyalah mensucikan kulit bangkai hewan-hewan yang diperbolehkan dimakan dagingnya, seperti sapi, kambing dan lain sebagainya.

Adapun hewan yang tidak boleh dimakan maka tetap hukumnya-walaupun sudah disamak-maka hukumnya najis.

Ini adalah pendapat jumhur dari Malikiyyah, Hanabilah dan lain-lain, juga pendapat Ibnu Taimiyyah, Syaikh Bin Bāz rahimahullāh, dan pendapat Syaikh 'Utsaimin dengan dalil hadits di atas yaitu bangkai (yang dimaksud disitu adalah bangkai kambing).

Oleh karena itu mereka mengkhususkan bangkai yang diperbolehkan atau menjadi suci itu adalah bangkai dari hewan yang boleh dimakan dagingnya.

Kemudian kita akan sedikit membahas tentang "Samak" (addibāgh).

Samak adalah sebuah proses mensucikan/membersihkan kulit.

Oleh karena itu kata Al-Khātib Syarbini dalam kitab Mughnil Muhtāj, beliau mengatakan  bahwasanya:

Dibāgh (proses samak) itu adalah:

نزع فضول الجلد وهي مائيته ورطوباته التي يفسده بقاؤها

"Menghilangkan kotoran-kotoran yang ada pada kulit (baik itu lemaknya, darahnya dan lain-lain) yang cairnya ataupun yang lembab/basahnya, yang mana kalau ada maka kulit tersebut akan menjadi rusak."

Jadi, proses samak adalah proses penghilangan kotoran-kotoran yang ada pada kulit dengan menambahkan zat-zat tertentu, apakah zat itu nabati, hewani ataupun zat yang sekarang dipakai (zat kimia) yang bisa menghilangkan kotoran dari kulit baik darahnya, lemaknya dan lain sebagainya.

Jadi, salah satu ciri bahwasanya proses penyamakannya itu bagus adalah apabila kulit tersebut ditaruh di dalam air maka dia tidak akan berbau dan tidak akan menjadi busuk. Ini adalah contoh kulit yang baik.

Dan tidak cukup pengeringan kulit tersebut hanya dengan ditaruh di bawah sinar matahari, tapi harus dengan proses dan tahapan-tahapan yang dikenal di dalam proses penyamakan.

Sehingga kulit tersebut menjadi suci setelah disamak, kemudian dicuci maka kulit tersebut menjadi suci.

Demikian.

و صلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه و سلم
___________________

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 16 Rabi'ul Akhir 1440 H / 24 Desember 2018 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 10 | Hukum Tulang & Rambut dari Bangkai
~~~~~

وَ عَظْمُ الْمَيْتَةِ وَ شَعْرُهَا نَجَسٌ إِلّاَ اْلآدَمِى إِلّاَ اْلآدَمِى

Dan tulang hewan bangkai serta rambutnya adalah najis kecuali [tulang dan rambut] manusia, kecuali anak Adam/manusia.

(Kitab Matan Al-Ghayah wat Taqrib)
〰〰〰〰〰〰〰

HUKUM TULANG DAN RAMBUT DARI BANGKAI

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد.

Para Sahabat sekalian, kita lanjutkan pada halaqah yang ke-10 yang masih membahas tentang seputar najis. Dimana sebelumnya telah dibahas tentang kulit bangkai.

Beliau melanjutkan:

قَال رَحِمَهُ اللّهُ:
((وَ عَظْمُ الْمَيْتَةِ وَ شَعْرُهَا نَجَسٌ إِلّاَ اْلآدَمِى))

((Dan tulang hewan bangkai serta rambutnya adalah najis kecuali [tulang dan rambut] manusia))

Ini adalah pendapat didalam madzhab Syāfi'ī bahwasanya tulang dari bangkai dan rambutnya hukumnya adalah najis.

Kita akan simpulkan bahwa bangkai secara umum adalah najis, berdasarkan firman Allāh Subhānahu wa Ta'ālā:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ

"Diharamkan atas kalian bangkai." (QS Al-Maidah: 3)

Dan disana ada bagian-bagian dari bangkai yang akan kita jelaskan sedikit ;

⑴ Kulit bangkai

Ini kita sudah jelaskan bahwasanya:

✓Sebelum disamak, dia adalah najis.

✓Setelah disamak, dia adalah thāhir (suci) kecuali anjing dan babi.

⑵ Daging dan gajih bangkai

Dia adalah najis berdasarkan kesepakatan para ulama (para imam madzhab).

⑶ Rambut atau bulu bangkai selain anjing dan babi

Menurut pendapat di dalam madzhab Syafi'i adalah najis, sebagaimana pernyataan di atas.

Dan madzhab jumhur fuqaha dari Hanabilah dan Hanafiyyah serta Malikiyyah, dia adalah thāhir (suci).

Dan ini, wallāhu a'lam, pendapat yang lebih kuat.

Dalil ⑴
Firman Allāh Subhānahu wa Ta'ālā:

ْوَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثًا وَمَتَاعًا إِلَى حِينٍ

"Dan dari bulu domba dan bulu onta dan bulu kambing, itu kalian jadikan sebagai alat-alat rumah tangga (perkakas) dan perhiasan sampai waktu tertentu."

(QS An-Nahl: 80)

Di sini Allāh Subhānahu wa Ta'ālā menjelaskan tentang karunia dari Allāh Subhānahu wa Ta'ālā kepada manusia bahwasanya bulu-bulu hewan tersebut bisa digunakan sebagai alat-alat rumah tangga ataupun perhiasan.

Dan ayat ini secara umum menjelaskan tentang bolehnya menggunakan bulu-bulu hewan tersebut, apakah dalam keadaan hidup ataupun dalam keadaan mati.

Dalil ⑵

Bahwasanya segala sesuatu adalah boleh dan suci sampai ada dalil yang menunjukkan tentang kenajisannya dan tidak ada dalil khusus menunjukkan kenajisannya.

Dalil ⑶

Yang dimaksud dengan bangkai yang diharamkan adalah bagian-bagian yang memiliki indra perasa atau bisa bergerak sesuai dengan keinginan atau memiliki kehidupan.

Sementara rambut, bulu dan semisalnya dia tidak ada kehidupan di dalamnya (tidak dapat merasakan) maka dia tidaklah najis tetapi suci.

Bagian bangkai yang ke-4 yaitu:
⑷ Tulang, tanduk dan kuku bangkai.

Didalam madzhab Syāfi'ī dia adalah najis dan ini juga pendapat jumhur fuqaha dari Malikiyyah dan juga dari kalangan Hanābilah.

Kemudian bagian yang ke-5 yaitu

⑸ Bagian tubuh yang tersendiri yang dialiri oleh darah, seperti telinga, hidung, tangan.

Maka dia adalah najis berdasarkan ijma' para ulama.

⑹ Darah dan nanah dan semisalnya

Maka itu semua adalah najis dan masuk dalam makna najis itu sendiri.

Adapun penjelasan lebih rinci tentang darah maka akan dibahas pada tempatnya in syā Allāh Ta'āla.

Kemudian beliau melanjutkan:

((إِلّاَ اْلآدَمِى))

((Kecuali anak Adam/manusia))

Disini beliau ingin mengecualikan bangkai yang dia disana adalah suci.

Karena pada asalnya bangkai adalah najis, dikecualikan:

⑴ Maytatul ādamī (ميتة الآدمى), bangkai manusia.

Dia adalah suci baik dari kalangan muslim ataupun orang-orang kafir, sebagaimana keumuman firman Allāh Subhānahu wa Ta'ālā:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ

"Dan sungguh telah Kami muliakan anak Adam." (Al-Isra 70)

Disini konsekuensinya adalah anak Ādam (manusia) suci, baik hidup ataupun matinya.

⑵ Bangkai hewan laut (maytatul bahr, ميتة البحر)

Sebagaimana sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tatkala Beliau ditanya tentang air laut.

Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:

هو الطهور ماؤه ، الحل ميتته

"Air laut itu suci (dan mensucikan) airnya serta halal bangkai hewannya."

(HR Mālik, Ash-hābus Sunan, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibbān, dan lain-lain)

⑶ Maytatus samak wal jarād (مَيْتَةُ السَّمَكِ وَالْجَرَادِ), bangkai ikan ataupun bangkai belalang

Ikan disini adalah ikan air tawar, adapun yang laut sudah kita jelaskan pada point sebelumnya.

Sebagaimana hadits Ibnu 'Umar, beliau berkata:

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ: َالْجَرَادُ وَ السَّمَكُ، وَالْكَبِدُ ، وَالطِّحَالُ

"Dihalalkan bagi kami 2 macam bangkai dan 2 macam darah; belalang dan ikan, hati dan limpa." (HR Ahmad, Ibnu Mājah)

⑷ Mā lā nafsa lahu sāilah (ما لا نفس له سائلة), hewan yang tidak memiliki aliran darah, seperti lalat, semut, lebah dan semisalnya.

Dalil:
Sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhāri.

اذا وقع الذباب في شراب أحدكم فليغمسه ثم لينتزعه فإن في إحدى جناحية داء و الأخرى شفاء

"Apabila seekor lalat jatuh pada minuman kalian maka celupkanlah kemudian buanglah karena pada salah satu sayapnya ada penyakit dan pada sayap yang lainnya ada obatnya (penawarnya)."
(HR Bukhāri, Ahmad dan Ibnu Mājah)

Ini menunjukkan bahwasanya hewan yang tidak memiliki aliran darah maka dia adalah suci bangkainya.

Demikian yang bisa kita sampaikan. Kita lanjutkan pada halaqah selanjutnya.

وصلى الله على نبينا محمد و علي آله و صحبه و سلم
وآخر دعونا ان الحمد للّه رب العلمين.
____________

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 17 Rabi'ul Akhir 1440 H / 25 Desember 2018 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 11 | Hal-hal Yang Berkaitan Dengan Najis
—---------------------------------

HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGAN NAJIS

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد.

Para Sahabat sekalian yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita lanjutkan pada halaqah yang ke-11.

Yang mana pada halaqah kali ini kita akan sedikit membahas tentang beberapa masalah yang berkaitan dengan najāsah.

■ MASALAH PERTAMA | HUKUM MENGHILANGKAN NAJIS

Hukumnya adalah wajib, sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ

"Dan pakaianmu bersihkanlah (sucikanlah)."
(QS Al-Muddatstsir: 3)

Dan juga dalam sebuah hadits, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

أَكْثَرُ عَذَابِ اَلْقَبْرِ مِنْ البَوْلِ

"Kebanyakan adzab/siksa di dalam kubur adalah disebabkan karena kencing."
(Hadits shahih, riwayat Ibnu Majah, Ahmad dan Hakim)

⇒ Yaitu maksudnya dia tidak bersuci (mensucikan) kemaluannya dari kencing tersebut.

■ MASALAH KEDUA | MACAM-MACAM NAJIS

Maksudnya disini adalah; akan disebutkan hal-hal yang disebutkan oleh para ulama, di mana hal tersebut adalah termasuk hal yang najis, baik disepakati atau di sana ada perbedaan para ulama di dalamnya.

• ⑴ BANGKAI

Bahwasanya bangkai adalah najis. Dan sudah kita jelaskan bagian-bagiannya dan juga pengecualiannya (pada halaqah sebelumnya).

• ⑵ DAGING BABI

Ini juga najis, sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ

"Atau daging babi karena itu adalah najis."
(QS Al-An'ām: 145)

• ⑶ KENCING DAN KOTORAN ANAK ĀDAM (MANUSIA)

Para ulama sepakat tentang kenajisannya.

• ⑷ KENCING DAN KOTORAN HEWAN

Adapun hewan yang diperbolehkan untuk dimakan, disana ada khilaf (perbedaan pendapat), seperti: kambing, sapi dan kelinci, apakah kotoran dan kencingnya najis.

✓Maka yang rajih (kuat) adalah pendapat yang tidak najis (thāhir).

Ini adalah pendapat Imām Mālik dan Imām Ahmad.

◆ Dalil:

Dalam sebuah hadits shahih, dimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkan kaum Uraniyyun untuk meminum kencing dari kencing unta dalam rangka mengobati penyakit mereka.

(Hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi)

Dan seandainya kencing tersebut adalah najis maka tidak boleh diminum.
Ini menunjukkan bahwasanya kencing hewan yang bisa dimakan adalah tidak najis.

• ⑸ AIR LIUR ANJING

Ini juga disebutkan oleh para ulama termasuk hal yang najis.

◆ Dalil:

Sebuah hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkan untuk mencuci bejana yang dijilat oleh anjing sebanyak 7 kali yang salah satunya dengan tanah.

• ⑹ DARAH

Adapun darah hāidh dan nifās maka dia adalah najis sebagaimana kesepakatan para ulama.

Sedangkan darah yang lainnya, menurut pendapat jumhur (mayoritas) para ulama dia adalah najis namun dengan syarat.

Syaratnya adalah masfūhan (darah tersebut mengalir), sebagaimana hal ini disebutkan didalam ayat.

Oleh karena itu jika darah tidak mengalir, maka dia tidaklah najis.

Adapun pendapat didalam madzhab Syāfi'īyyah, membedakan antara banyak dan sedikitnya.
✓Jika banyak dia najis.
✓Jika sedikit tidak najis karena perkara tersebut adalah perkara yang dimaafkan (ma'fuw).

• ⑺ CAIRAN MADZI

Cairan madzi adalah cairan yang keluar dari kemaluan seseorang tatkala tergerak syahwatnya.

Ini dihukumi oleh para ulama sebagai cairan yang najis dan membatalkan wudhū'.

• ⑻ CAIRAN MANI

Disebutkan oleh sebagian para ulama termasuk perkara najis.

✓Namun pendapat yang shahih bahwasanya air (cairan) mani adalah suci dan tidak najis.

• ⑼ CAIRAN WADHI

Yaitu cairan yang keluar dari kemaluan yang biasanya setelah kencing. Ini adalah najis.

• ⑽ KHAMR

Dimana sebagian ulama mengatakan khamr adalah najis dan sebagian yang lain mengatakan khamr adalah thāhir (suci).
✓Pendapat yang rajih (kuat) bahwasanya khamr adalah tidak najis (suci).

Demikianlah sekilas beberapa perkara yang termasuk perkara-perkara yang disebutkan oleh para ulama tentang kenajisannya.

Dan in syā Allāh pada halaqah berikutnya kita akan kembali membacakan matan (teks) dari penulis Abū Syujā'.

وصلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه و سلم
___________________

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 18 Rabi'ul Akhir 1440 H / 26 Desember 2018 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abu Syuja' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 12 | Hukum Bejana (Wadah) Dari Emas Dan Perak
—---------------------------------

ولا يجوز استعمال أواني الذهب والفضة ويجوز استعمال غيرهما من الأواني

Dan tidak diperbolehkan menggunakan bejana (wadah) yang terbuat dari emas dan perak. Dan diperbolehkan untuk menggunakan bejana (wadah) yang lainnya, selain wadah yang terbuat dari emas dan perak.

(Kitab Matan Al-Ghayah wat Taqrib)
〰〰〰〰〰〰〰

HUKUM BEJANA (WADAH) DARI EMAS DAN PERAK

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Para Sahabat sekalian yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

Kita lanjutkan pada halaqah yang ke-12 pada Matan Abū Syujā', pembahasan baru tentang "Bejana Yang Terbuat Dari Emas Dan Perak".

قال المصنف:
((ولا يجوز استعمال أواني الذهب والفضة))

((Dan tidak diperbolehkan menggunakan bejana (wadah) yang terbuat dari emas dan perak))

((ويجوز استعمال غيرهما من الأواني))

((Dan diperbolehkan untuk menggunakan bejana (wadah) yang lainnya, selain wadah yang terbuat dari emas dan perak))

Para Sahabat sekalian yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

Para pembahasan tentang emas dan perak ini, ada beberapa point yang akan kita jelaskan secara ringkas.

● PERTAMA | Hukum menggunakan bejana (wadah) emas dan perak adalah haram, baik bagi laki-laki maupun wanita.

• Dalil: Sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:

لا تشربوا في آنية الذهب والفضة ولا تأكلوا في صحافها ، فإنها لهم في الدنيا ولكم في الآخرة (متفق عليه)

"Janganlah kalian meminum dari wadah-wadah yang terbuat dari emas & perak dan juga kalian makan dari piring (mangkuk) yang terbuat dari emas & perak karena sesungguhnya hal itu adalah untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kita nanti di akhirat."
(HR Bukhāri dan Muslim)

Oleh karena itu, termasuk di dalam makna "bejana" disini adalah segala wadah yang kecil maupun yang besar (seperti cangkir, gelas dan lainnya) maka dia termasuk di dalam larangan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Begitu pula segala media yang digunakan untuk makan atau minum (seperti piring, tempayan dan lainnya) maka apabila terbuat dari emas dan perak hukumnya adalah haram.

Dan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberikan peringatan yang sangat keras terhadap masalah ini.

Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

مَن شَرِب في إناءٍ من ذَهبٍ أو فِضَّة، فإنَّما يُجرجِر في بطنِه نارًا من جَهنَّم (رواه مسلم)

"Barangsiapa yang minum dari wadah (cangkir) yang terbuat dari emas atau perak maka sesungguhnya dia telah mendidihkan perutnya dengan api dari Jahannam."
(HR Muslim)

● KEDUA | Bolehkah kita menggunakan emas dan perak untuk barang-barang selain wadah minum ataupun makan?

Disini para ulama (imam madzhab) bersepakat bahwasanya hukumnya adalah haram, seperti menggunakan sendok, gantungan kunci, jam dinding, pena, perhiasan, souvenir, kancing, dari emas dan perak maka ini adalah hukumnya haram, baik yang murni maupun yang sepuhan.

Diperkecualikan (yang diperbolehkan) adalah:

⑴ Perhiasan bagi wanita.

Seperti kalung, cincin, gelang kaki, gelang tangan, anting dan semisalnya.

⑵ Cincin perak bagi laki-laki.

Sebagaimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memakai cincin dari perak.

⑶ Alat tukar dan mata uang.

Sebagaimana pada zaman Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam telah digunakan sebagai dinar maupun dirham.

Para sahabat sekalian yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

Syaikh Bin Bāz tatkala beliau ditanya tentang pena yang terbuat dari emas dan perak, maka beliau menjawab:

الأقلام من الذهب والفضة لا يجوز استعمالها للرجال والنساء جميعا ؛
لأنها ليست من الحلية وإنما هي أشبه بأواني الذهب والفضة ،
والأواني من الذهب والفضة محرمة على الجميع

"Pena-pena yang terbuat dari emas dan perak tidak boleh digunakan baik bagi laki-laki maupun perempuan seluruhnya.

Karena sesungguhnya pena tadi tidaklah termasuk dari perhiasan yang diperkecualikan (dibolehkan) dalam syari'at. Akan tetapi dia lebih tepat disamakan hukumnya dengan wadah-wadah yang terbuat dari emas dan perak.

Dan adapun wadah yang terbuat dari emas dan perak maka hukumnya adalah haram bagi laki-laki maupun wanita."

لقول النبي صلى الله عليه وسلم : لا تشربوا في آنية الذهب والفضة

Berdasarkan sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:
"Janganlah kalian minum dari wadah-wadah yang terbuat dari emas maupun perak."
(HR Bukhari dan Muslim, dari hadits Hudzaifah radhiyallāhu 'anhu)

Demikianlah pendapat Syaikh Bin Bāz mengenai barang-barang yang terbuat dari emas dan perak selain wadah (bejana) yang sudah jelas keharamannya.

Senada dengan fatwa Syaikh Bin Bāz, juga fatwa Syaikh Jibrīn maupun fatwa Syaikh Shālih Fauzan dan para ulama terkini lainnya.

● KETIGA | Bolehkah kita menyimpan wadah-wadah/bejana/cangkir yang terbuat dari emas dan perak walaupun kita tidak menggunakannya?

Maka disini dijawab oleh jumhur fuqahā (para ahli fiqh) mengatakan keharamannya walaupun kita tidak menggunakannya.

Dan ini adalah sebagai pengamalan dari sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

... فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا...
ِ
"...Karena sesungguhnya emas dan perak itu adalah untuk mereka (orang-orang kafir) didunia ini..."

● KEEMPAT | Hukum bersuci dengan wadah dari emas dan perak.

Apabila seseorang bersuci dari wadah yang terbuat dari emas dan perak maka hukumnya adalah sah, akan tetapi dia berdosa karena melanggar perintah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Ini adalah pendapat jumhurshallallāhu (mayoritas) ulama.

● KELIMA | Hikmah dibalik larangan Rasūlullāh  'alayhi wa sallam untuk menggunakan peralatan ataupun bejana-bejana yang terbuat dari emas dan perak.

⑴ Ini adalah sebagai ujian bagi seorang mu'min, apakah dia lebih mencintai Allāh dan RasulNya ataukah dia lebih mengutamakan hawa nafsunya.
⑵ Sebagai latihan agar kita sebagai seorang mu'min tidak tertipu dengan gemerlapnya dunia karena sesungguhnya dunia adalah sementara (fana).

Sikap bermewah-mewahan akan menghancurkan kita di dunia maupun di akhirat.

Oleh karena itu, kita simak bagaimana nashihat Syaikh Bin Bāz mengenai masalah ini. Beliau mengatakan:

فالواجب على كل مسلم الحذر مما حرم الله عليه، وأن يبتعد عن الإسراف والتبذير والتلاعب بالأموال

"Maka wajib bagi setiap muslim agar berhati-hati terhadap perkara-perkara yang Allāh haramkan kepadanya dan hendaklah dia menjauhi dari sikap bermewah-mewahan dan membuang-buang harta serta berfoya-foya dengan harta."

فالواجب على المؤمن أن يصرف المال في جهته الخيرية

"Maka wajib bagi setiap muslim untuk menyalurkan hartanya pada perkara-perkara kebaikan."

Oleh karena itu, Para Sahabat sekalian..
Harta kita yang sebenarnya adalah yang ada disisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Allāh Ta'āla berfirman:

مَا عِندَكُمْ يَنفَدُ ۖ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ بَاقٍ ۗ

"Apa yang ada pada sisi kalian itu akan hilang semua, dan apa yang ada disisi Allāh itulah yang akan kekal selamanya."
(QS An-Nahl: 96)

Sesungguhnya harta yang kita sedekahkan itu adalah harta kita dan harta yang kita tumpuk (kumpulkan) itu adalah harta oranglain yang akan kita tinggalkan.

Oleh karena itu hendaklah kita belajar terus menempa diri kita agar terbiasa kita terus bersedekah, karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menganjurkan :

واتّقوا النّار ولو بِشِقِّ تمرة

"Dan jagalah diri kalian dari api neraka walaupun dengan separuh kurma (yaitu dengan bersedekah dengan separuh kurma)."
(HR Bukhari dan Muslim)

Demikian yang bisa kita sampaikan.

و صلى الله على نبينا محمد و على آل نبينا محمد و على آله و صحبه وسلم
____________

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 15 Jumādâ Al-Ūlā 1440 H | 21 Januari 2019 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abu Syuja' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 13 | Hukum Bersiwak- Hal-hal Yang Berkaitan Dengan Siwak
—---------------------------------

فصل: والسواك مستحاب في كل حال، إلا بعد الزوال للصائم، و هو في ثلاثة مواضع أشد استحبابا: عند تغير الفم من أزم وغيره، و عند الإستيقاظ من النوم، وعند القيام الصلاة

Dan bersiwak hukumnya mustahāb dalam setiap waktu,  kecuali setelah tergelincirnya matahari bagi orang yang berpuasa.

Bersiwak itu pada tiga keadaan dimana dia sangat dianjurkan:
① Pada saat mulut berubah menjadi bau disebabkan azmin atau sebab lainnya.
② Pada saat bangun tidur
③ Pada saat hendak melaksanakan shalat

(Kitab Matan Al-Ghayah wat Taqrib)
➖➖➖➖➖➖➖

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد.

Para Sahabat sekalian yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada halaqah yang ke-13 ini, Penulis rahimahullāh melanjutkan pembahasan tentang siwak.

قال المصنف:
((فصل: والسواك مستحاب في كل حال، إلا بعد الزوال للصائم، و هو في ثلاثة مواضع أشد استحبابا: عند تغير الفم من أزم وغيره، و عند الإستيقاظ من النوم، وعند القيام الصلاة))

Para Sahabat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla, ada beberapa point yang akan kita simpulkan dalam masalah siwak kali ini.

■ PERTAMA | APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN SIWAK?

Siwak adalah nama akar atau ranting dari pohon yang digunakan untuk bersiwak atau membersihkan gigi dan mulut.

Dan yang terbaik-dikatakan oleh para ulama-adalah dari pohon al-arak. Namun pohon lain pun bisa digunakan dengan syarat :

✓Seratnya lembut.
✓Dapat membersihkan.
✓Tidak berjatuhan pada saat digunakan.

Secara umum dikatakan, siwak adalah alat yang digunakan untuk bersiwak atau membersihkan mulut.

■ KEDUA | HUKUM MENGGUNAKAN SIWAK

Berkata Muallif (Penulis) rahimahullāh di dalam matannya:

((والسواك مستحاب في كل حال))

((Dan bersiwak hukumnya mustahāb/sangat dianjurkan/sunnah dalam setiap waktu))

Ini adalah pendapat madzhab Syāfi'ī dan juga pendapat madzhab jumhūr ulama bahwa hukumnya mustahāb (sunnah) dan sangat dianjurkan.

Dan disana ada pendapat yang lain yang lemah bahwasanya mengatakan siwak hukumnya adalah wajib, ini pendapat Imām Dāwūd Azh-Zhāhiri.

Para Sahabat rahimakumullāh,

Bersiwak termasuk sunnah yang sangat disukai dan sering dilakukan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Bahkan tatkala menjelang wafat Beliau, Beliau masih memiliki keinginan untuk bersiwak sehingga mengisyaratkan kepada 'Āisyah bahwasanya Beliau ingin bersiwak.

Oleh karena itu, hendaknya setiap muslim menghidupkan sunnah ini dan tidak melecehkan atau menghina orang-orang yang menghidupkan sunnah ini, yaitu yang mereka bersiwak disetiap waktunya.

Dan hendaknya bagi orang yang bersiwakpun untuk menjaga adab-adab di dalam menggunakan siwaknya.

Rasulullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda mengenai keutamaan siwak :

السِّوَاكُ مطهرة لِلْفَمِ وَ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

"Bahwasanya siwak itu adalah kebersihan bagi mulut dan mendatangkan keridhaan dari Rabb." (Hadits shahīh, diriwayatkan oleh Imām Ahmad)

Dalam hadits yang lain, Rasulullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam juga mengatakan :

لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ

"Seandainya tidak memberatkan umatku maka niscaya sudah aku perintahkan mereka untuk bersiwak pada saat setiap akan berwudhū'." (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Bukhāri dan Muslim di dalam hadits yang lain :

عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ

"Pada saat setiap akan melaksanakan shalat."

⇒ Ini menunjukkan bagaimana Rasulullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam sangat menekankan pentingnya untuk bersiwak dan membersihkan mulut dari kotoran dan bau.

Kenapa? Karena kata Rasulullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, seandainya tidak memberatkan maka Beliau akan wajibkan.

■ KETIGA | HUKUM BERSIWAK BAGI ORANG YANG BERPUASA

Di dalam matan, mushannif mengatakan :

((إلا بعد الزوال للصائم))

((Siwak itu adalah mustahāb/sunnah kecuali setelah tergelincirnya matahari bagi orang yang berpuasa))

⇒ Tergelincirnya matahari maksudnya adalah pada saat masuk waktu Zhuhur.

Ini adalah pendapat Syāfi'īyyah dan Hanbali; bahwa orang yang berpuasa apabila masuk waktu dzuhur maka makruh bagi mereka untuk bersiwak bagi mereka.

Dalil hadits Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam :

لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

"Bau mulutnya orang yang berpuasa adalah lebih baik disisi Allāh daripada bau minyak wangi yang terbuat dari misk." (HR Bukhāri dan Muslim)

Dan kata mereka, bau mulut itu terjadi mulai siang dan sore.

⇒ Dan ini adalah pujian dari Allāh Subhānahu wa Ta'āla terhadap orang yang berpuasa dan keutamaan mereka (orang yang berpuasa).

Maka tidak selayaknya dihilangkan bau tersebut karena bau tersebut memiliki keutamaan, sebagaimana disebutkan dalam hadits.

Sebagaimana para syuhadā, mereka dikuburkan dengan darah-darah mereka tanpa dibersihkan terlebih dahulu.

Kenapa? Karena darah-darah tersebut memiliki keutamaan di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Ini adalah sisi pendalilan mereka.

Namun, yang dirajihkan (dikuatkan) oleh Syaikh 'Utsaimin rahimahullāh bahwasanya hukumnya adalah sunnah baik pagi maupun sore atau kapan saja.

Dan tidak ada dalil yang kuat (jelas) yang menunjukkan tentang makruhnya bersiwak setelah tergelincirnya matahari bagi orang yang berpuasa.

■ KEEMPAT | WAKTU-WAKTU YANG DIANJURKAN UNTUK BERSIWAK

Bersiwak dianjurkan pada setiap waktu, sebagaimana sudah kita sebutkan di awal pembahasan.

Namun disana ada waktu-waktu yang amat sangat dianjurkan karena pada waktu-waktu tersebut mulut seseorang menjadi bau.

Berkata Mushannif di dalam matannya:
((وهو في ثلاثة مواضع أشد استحبابا))

((Bersiwak itu pada 3 keadaan dimana dia amat sangat dianjurkan))

• ⑴
((عند تغير الفم من أزم وغيره))

((Pada saat mulut berubah menjadi bau disebabkan azmin* atau disebabkan sebab-sebab yang lainnya))

*Azmin adalah seorang yang diam cukup lama atau tidak makan dalam waktu yang cukup lama sehingga menyebabkan mulutnya bau.

⇒ Maka pada saat ini amat sangat dianjurkan untuk bersiwak.

• ⑵
((و عند الإستيقاظ من النوم))

((Pada saat bangun dari tidur))

Sebagaimana kita tahu, kebanyakan orang pada saat bangun tidur maka mulutnya menjadi bau.

⇒ Maka pada saat ini amat sangat dianjurkan untuk bersiwak atau membersihkan mulutnya.

Pada point ⑴ dan ⑵ ini adalah aplikasi dari hadits Rasulullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bahwasanya siwak adalah :

السِّوَاكُ مطهرة لِلْفَمِ

"Sebagai pembersih dari mulut seseorang."

• ⑶

((وعند القيام الصلاة))

((Pada saat seseorang hendak melaksanakan shalat))

⇒ Maka amat sangat dianjurkan untuk bersiwak.

Begitu juga pada ibadah yang lainnya seperti berwudhū' sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhāri dan Muslim. Juga ibadah membaca Al-Qurān dan ibadah-ibadah yang lainnya.

Hendaknya setiap Muslim bersiwak dan membersihkan mulutnya agar mulutnya tidak menjadi bau, karena bau mulut seseorang itu akan mengganggu orang lain dan yang ada di sebelahnya.

Dan ketahuilah, segala sesuatu yang mengganggu oranglain maka dia juga mengganggu para malaikat.

Dalam sebuah hadits, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda :

فَإِنَّ الْمَلائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بنو آدمَ

"Karena sesungguhnya para malaikat itu dia terganggu dengan apa-apa yang membuat anak Ādam (manusia) terganggu." (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits ini tatkala ada seseorang yang masuk ke dalam masjid yang mana dia mulutnya bau bawang, maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan bahwa malaikat terganggu dengan apa-apa yang terganggu olehnya anak Ādam.

■ KELIMA | SIKAT GIGI YANG BANYAK DIGUNAKAN, APAKAH DIA MEMILIKI KEUTAMAAN YANG SAMA ATAU MASUK PADA KEUTAMAAN SIWAK?

Disini ulama bersepakat bahwa:
◆ Yang terbaik digunakan untuk bersiwak adalah akar dari pohon al-arak, karena dia:

✓Memiliki zat-zat yang sangat bermanfaat dan juga menghilangkan bau yang tidak sedap.

✓Bisa mengeluarkan bau yang sedap bagi orang yang memakainya.

Akan tetapi, dikatakan oleh para ulama bahwasanya semua yang dapat menghilangkan kotoran dan bau dari mulut, maka dia termasuk ke dalam keutamaan bersiwak.

Demikian yang bisa disampaikan.

والله أعلم بالصواب
وصلى الله على نبينا محمد
____________

🌍BimbinganIslam.com
Selasa, 16 Jumādâ Al-Ūlā 1440 H | 22 Januari 2019 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abu Syujā' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 14 | Bab Wudhū - Keutamaan, Hukum & Anjuran Berwudhū
➖➖➖➖➖➖➖

KEUTAMAAN, HUKUM DAN ANJURAN BERWUDHŪ'

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد.

Para Sahabat sekalian yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada halaqah yang ke-14 ini kita akan membahas tentang "Permasalahan di dalam wudhū'".

Namun sebelumnya, kita akan menjelaskan keutamaan-keutamaan di dalam wudhū'.

■ PERTAMA | KEUTAMAAN WUDHŪ'

⑴ WUDHŪ' ADALAH BENTUK KESUCIAN/THAHĀRAH YANG DICINTAI OLEH ALLĀH SUBHĀNAHU WA TA'ĀLA.

Allāh Ta'āla berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

"Sesungguhnya Allāh Subhānahu wa Ta'āla menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang senantiasa bersuci." (QS Al-Baqarah: 222)

⑵ KESUCIAN ADALAH SEBAGIAN DARI IMAN.

Dalam sebuah hadits, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda :

الطُّهورُ شَطْرُ الإيمان

"Kesucian/thahārah adalah sebagian dari keimanan." (HR Muslim)

⑶ BERWUDHŪ' SEBELUM TIDUR ADALAH SEBAB SESEORANG MATI DI ATAS FITHRAH.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ...إِلَى قَوْلِهِ صلى الله عليه و سلم: فَإِنْ مُتَّ مِنْ لَيْلَتِكَ فَأَنْتَ عَلَى الْفِطْرَة

"Apabila kamu hendak tidur maka barwudhū' lah seperti wudhū' mu untuk shalat... sampai sabda Rasūlullāh: ِ"Apabila kamu mati pada malam tersebut maka engkau mati diatas fithrah." (HR Bukhari dan Muslim)

⑷ DALAM BERWUDHŪ' ADALAH SEBAB SESEORANG LEBIH MUDAH DIKABULKAN DO'ANYA.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَبيتُ عَلَى ذِكْرٍ طَاهِراً فَيَتَعَـارّ مِنَ الّليْلِ، فَيَسْأَلُ الله خَيْراً مِنَ الدّنْيَا وَالآخِرَةِ إِلاّ أَعْطَـاهُ إِيّـاهُ

"Tidak ada seorang Muslim pun yang dia tidur di malam hari dalam keadaan berdzikir dan bersuci, kemudian terbangun di tengah malam dan meminta kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla kebaikan didunia maupun di akhirat, niscaya Allāh Subhānahu wa Ta'āla akan memberikan apa yang dia minta." (Hadits shahih, riwayat Abū Dāwūd)

⑸ BERWUDHŪ' ADALAH SEBAB DIAMPUNKANNYA DOSA SESEORANG.

Dalam sebuah hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda :

مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَوُضُوئِي هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barangsiapa yang berwudhū' seperti wudhū'ku ini, kemudian shalat 2 raka'at dan tidak terlintas pada hatinya pikiran-pikiran yang merusak urusan shalatnya, niscaya dia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lampau." (HR Bukhāri dan Muslim)

⑹ WUDHŪ' ADALAH SEBAB SESEORANG MASUK KE DALAM SURGA.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَهُ ، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ، فَيُقْبِلُ عَلَيْهِمَا بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ إِلا وَجَبَ لَهُ الْجَنَّةُ

"Tidaklah seorang muslim berwudhū' lalu dia membaguskan wudhū' nya dan shalat 2 raka'at dalam keadaan hati dan wajahnya khusyū' pada 2 raka'at (shalat) tersebut kecuali wajib baginya untuk mendapatkan surga." (HR Muslim)

Para Sahabat yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada point yang ke-2 tentang:

■ KEDUA | HUKUM BERWUDHŪ'

Bahwasanya hukum berwudhū' adalah wajib apabila menyertai ibadah-ibadah yang wajib. Dan hukumnya menjadi sunnah apabila dia menyertai ibadah-ibadah yang sunnah.

Akan tetapi ibadah yang sunnah seperti shalat sunnah maka dia tidak sah kecuali disertai dengan wudhū'.

Pada point yang ke-3 tentang:

■ KETIGA | ANJURAN UNTUK MENJAGA WUDHŪ'

Yaitu agar senantiasa seorang Muslim di dalam keadaan bersuci. Rasūlullāh shallallāhu'alayhi wa sallam memberikan pujian dalam haditsnya:

ولا يحافظ على الوضوء إلا مؤمن

"Dan tidak ada seorangpun yang menjaga wudhū'nya kecuali dia orang yang beriman." (HR Ahmad dan Ibnu Mājah)

⇒ Menunjukkan bahwasanya seseorang yang dia senantiasa menjaga wudhū' nya terdorong dari rasa iman di dalam hatinya.

Marilah kita simak tentang kisah Bilāl radhiyallāhu Ta'āla 'anhu tatkala Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bertanya kepada Bilāl:

يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ

"Wahai Bilāl, ceritakanlah kepadaku tentang amalan yang telah engkau amalkan yang paling engkau harapkan didalam Islam? Karena sesungguhnya aku mendengar suara langkah sandalmu di surga."

Maka Bilāl menjawab:

"Tidaklah aku melakukan amalan yang paling aku harapkan pahalanya melainkan sebuah amalan yaitu aku bersuci kapan saja, baik pada saat malam hari atau siang hari, kecuali aku shalat setelahnya." (Muttafaqun 'alayh, HR Bukhāri Muslim)

⇒ Hadits ini menunjukkan:

⑴ Keutamaan Bilāl radhiyallāhu Ta'āla 'anhu dan ini adalah busyrā (kabar gembira) kepada Bilāl bahwasanya dia termasuk penduduk surga.

⑵ Keutamaan untuk menjaga wudhū' dan shalat setelah kita berwudhū'.

Demikian yang bisa kita sampaikan.

وصلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه و سلم.
وآخر دعونا أن الحمد لله رب العلمين
____________

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 17 Jumādâ Al-Ūlā 1440 H | 23 Januari 2019 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abu Syuja' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 15 | Bab Wudhū' - Macam-Macam Kewajiban Dan Sunnah Wudhū'
~~~~~

MATAN KITAB:

(فصل) وفروض الوضوء ستة أشياء النية عند غسل الوجه وغسل الوجه وغسل اليدين إلى المرفقين ومسح بعض الرأس وغسل الرجلين إلى الكعبين والترتيب على ما ذكرناه.

Rukun atau fardhu-nya wudhu ada 6 (enam) yaitu:
1. Niat saat membasuh muka.
2. Membasuh muka.
3. Membasuh kedua tangan sampai siku.
4. Mengusap sebagian kepala.
5. Membasuh kedua kaki sampai mata kaki.
6. Dilakukan secara tertib dari no. 1 sampai 5.
➖➖➖➖➖➖➖

MACAM-MACAM KEWAJIBAN (RUKUN) DAN SUNNAH WUDHŪ'

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد.

Para Sahabat sekalian yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, pada halaqah kali ini Penulis akan memulai membahas tentang perkara-perkara yang terkait dengan kewajiban-kewajiban (rukun-rukun) dan sunnah-sunnah wudhū'.

■ PERTAMA | KEWAJIBAN WUDHŪ'

((وفروض الوضوء ستة أشياء))

((Kewajiban wudhū' ada 6 perkara))

Dan kewajiban-kewajiban (rukun-rukun) di dalam wudhū' yaitu apabila seseorang meninggalkan rukun/kewajiban tersebut maka wudhū' nya menjadi tidak sah.

Di dalam banyak pembahasan bahwa kewajiban (al-fardhu) dan rukun adalah kata yang bersinonim (maknanya sama).

Al-wudhū'u (الوُضُوْعُ):

• Secara bahasa: berasal dari الوَضَاءَةُ (kebaikan/kebersihan)

• Secara istilah adalah menggunakan air untuk membersihkan anggota wudhū' yang telah ditentukan didalam ayat.

Allāh Ta'āla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

"Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak melaksanakan shalat maka basuh/cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian sampai ke siku serta usaplah kepala kalian dan basuhlah kaki-kaki kalian sampai ke mata kaki."
(QS Al-Maidah: 6)

Disini Mushannif mengatakan :

Dan kewajiban/rukun dalam wudhū' ada 6 perkara (secara ringkas) yaitu :

● RUKUN ⑴

((النية عند غسل الوجه))

((Niat pada saat membasuh muka))

● RUKUN ⑵

((وغسل الوجه))

((Membasuh muka))

● RUKUN ⑶

((وغسل اليدين إلى المرفقين))

((Membasuh/mencuci kedua tangan sampai siku tangan))

● RUKUN ⑷

((ومسح بعض الرأس))

((Mengusap sebagian kepala))

● RUKUN ⑸

((وغسل الرجلين إلى الكعبين))

((Membasuh/mencuci kedua kaki sampai dengan mata kaki))

● RUKUN ⑹

((والترتيب على ما ذكرناه))

((Berurutan/tertib sesuai dengan apa yang telah disebutkan))

Sebelum kita menerangkan furūdhul wudhū', kita akan menyebutkan :

■ SYARAT-SYARAT WUDHŪ'

⑴ Islam
⑵ Tamyiz (bisa membedakan)
⑶ Taklīf (seorang yang baligh dan berakal)
⑷ Bersih dari haidh dan nifas
⑸ Air yang dipakai adalah air yang thahūrun (suci dan mensucikan)
⑹ Menghilangkan penghalang yang menghalangi antara air dengan kulit (seperti cat dan lainnya) karena akan menghalangi sampainya air ke kulit.

Kemudian, kita akan membahas rukun wudhū' yang disebutkan oleh Penulis.

■ PENJELASAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN WUDHŪ'

⑴ NIAT

Berdasarkan sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam :

إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

"Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung pada niatnya."

Oleh karena itu didalam madzhab Syāfi'ī disebutkan bahwasanya waktu niat yang wajib adalah "manakala seseorang hendak membasuh wajahnya".

Karena wajah adalah anggota pertama yang wajib dibasuh. Apabila berniat sebelum itu maka hukumnya menjadi mustahab, seperti berniat pada saat mulai mencuci kedua telapak tangan.

Tentang masalah niat, terdapat khilaf para ulama, apakah dia termasuk kewajiban atau sunnah dalam wudhū'.

⑵ MENCUCI WAJAH

Dalil : Firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla :

... فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ...

"... Basuhlah wajah-wajah kalian..."َ (QS Al Māidah: 6)

⇒ Maksud al-ghasl (mencuci) yaitu mengalirkan air pada anggota wudhū' dan meratakannya.

⇒ Maksud al-wajh (wajah) menurut Ibnu Katsir bahwasanya batasan wajah menurut para ahli fiqh :

√ Panjangnya : mulai tumbuhnya rambut di kepala atas sampai ujung dagu.

√ Lebarnya : antara kedua telinga.

⇒ Membasuh wajah, para ulama ittifaq (bersepakat) bahwa wajah termasuk anggota tubuh.

⑶ MEMBASUH/MENCUCI KEDUA TANGAN SAMPAI KE KEDUA SIKU

Kata إِلَى (ke) di sini maksudnya adalah مَعَ atau maksudnya siku termasuk di dalam anggota wudhū'.

Dalil : Firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla :

... وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ...

"...Dan cucilah kedua tangan kalian sampai (kedua) siku..." (QS Al Māidah: 6)

⇒ Sebagaimana tadi disebutkan bahwasanya makna إِلَى di sini adalah مَعَ, artinya cucilah tangan kalian sampai kedua siku kalian termasuk juga bagian anggota yang dicuci.

⇒ Maknanya disini adalah wajib meratakan air ke seluruh kulit maupun bulu yang ada ditangan dan menghilangkan segala sesuatu yang menghalangi air tersebut sampai kepada kulit.

⑷ MENGUSAP SEBAGIAN KEPALA

Allāh Ta'āla berfirman :

... وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ...

"...Dan usaplah (sebagian dari) kepala kalian..." (QS Al Māidah: 6)

Ini adalah pendapat di kalangan Asy-Syāfi'iyyah dengan berdalil pada bahwa huruf ب di ayat tersebut adalah bermakna li tab'īdh (sebagian), bukan seluruhnya.

Namun pendapat yang rajih/kuat adalah pendapat jumhur dari kalangan Malikiyyah, Hanabilah dan yang lainnya; yaitu bahwa "Merupakan kewajiban adalah mengusap seluruh kepala".

Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah, Syaikh Bin Bāz, Syaikh 'Utsaimin dan Syaikh Al-Albāni.

Dalil :

• ⑴ Bahwasanya huruf ب pada ayat diatas tidaklah menunjukkan makna sebagian.

Hal ini diperkuat dengan beberapa keterangan dari hadits-hadits yang lain.

• ⑵ Hadits yang menerangkan tentang tata cara wudhū' Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menunjukkan bahwasanya yang dimaksud mengusap kepala adalah seluruh kepala (bukan sebagiannya).

Namun demikian, dikalangan Syāfi'iyyah juga bersepakat bahwa "Merupakan kesempurnaan adalah apabila mengusap seluruh kepala, akan tetapi apabila hanya sebagian kepala diusap maka tetap sah."

✓Pendapat yang benar adalah pendapat jumhur yaitu bahwasanya mengusap kepala adalah termasuk rukun/kewajiban dalam wudhū'.

Sebagaimana dalam hadits disebutkan tentang wudhū' Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, disebutkan:

...فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ...

"Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memulai kedua tangannya dari depan dan mengembalikkannya dari belakang."

...بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ, حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ, ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ

"...Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mulai dari depan kemudian ditarik belakang sampai tengkuknya, kemudian dikembalikan lagi kedepan ke tempat Beliau memulai mengusap kepalanya..."
(HR Bukhari dan Muslim)

⇒ Berapa jumlah usapan yang dilakukan?

Pendapat jumhur bahwasanya jumlah usapan yang dilakukan hanya sekali saja dan tidak disyari'atkan untuk diusap berulang-ulang, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :

...فَمَسَحَ رَأْسَهُ فَأَقْبَلَ بِهٍمَا وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً...

"...Kemudian Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam mengusap kepalanya dimulai dari depan dan dikembalikan dari belakang sekali saja..."
(HR Bukhari Muslim dengan lafazh dari Muslim)

HUKUM MENGUSAP TELINGA

Dalam pendapat Syāfi'īyyah bahwasanya mengusap telinga termasuk ke dalam sunnah wudhū', bukan masuk ke dalam wajib wudhū'.

Namun yang dirajihkan oleh Syaikh Bin Bāz, Syaikh 'Utsaimin dan merupakan fatwa Lajnah Dāimah adalah pendapat Hanābilah yang mengatakan bahwa "Wajib hukumnya mengusap telinga."

Dalil: Hadits dari Ibnu 'Umar bahwasanya beliau berkata :

...الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ...

"...Bahwasanya kedua telinga termasuk dari kepala..."

(HR Dāruquthni dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahīhul Jāmi')

✓Oleh karena itu wajib mengusap telinga sebagaimana wajib mengusap kepala karena telinga mengambil hukum kepala.

Tata cara mengusap kepala yaitu dimulai dari depan kemudian ditarik ke belakang sampai tengkuk, kemudian dikembalikan lagi ke depan sampai dimulainya usapan tadi.

Kemudian mengusap kedua telinga bagian depan, bagian luar maupun bagian dalam tanpa mengambil kembali air yang baru.

⑸ MEMBASUH KEDUA KAKI SAMPAI MATA KAKI

Dalil 1 :

...وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ...

"...Dan membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki..." (QS Al-Māidah: 6)

Dan makna إِلَى disini sebagaimana yang telah disebutkan yaitu maknanya مَعَ, membasuh kedua kaki dan juga sampai kedua mata kakinya.

Dalil 2 :
Ijma' para ulama bahwasanya wajibnya mencuci kedua kaki sampai mata kaki (mata kaki adalah termasuk bagian tubuh yang harus dicuci).

Dan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah memperingatkan dengan peringatan yang keras saat seorang shahābat yang ada sebagian dari kakinya yang tidak terbasuh, padahal hanya kecil saja (sebesar mata uang).

Maka kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam :

ويل للأعقاب من النار, إسبغ الوضوع

"Celakalah kaki-kaki (yang terbuat) dari (api-api) neraka, sempurnakanlah wudhū'."
(Hadits shahih riwayat Ahmad)

Maksudnya adalah celakalah bagi pemilik-pemilik kaki yang melalaikan didalam menyempurnakan wudhū' nya di dalam mencucinya.

Oleh karena itu para Sahabat, hendaknya kita mawas diri dan berusaha untuk menyempurnakan wudhū' kita.

⑹ BERURUTAN/TARTIB

Yaitu melakukannya secara berurutan sesuai dengan perintah Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Dan rukun tartib dalam berwudhū' adalah termasuk fardhu sehingga tidak sah seseorang apabila dia berwudhū' tidak sesuai dengan urutan yang telah diperintahkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Ini adalah pendapat jumhur dikalangan Syāfi'īyyah, Malikiyyah dan Hanabilah dan juga pendapat yang dipilih oleh Syaikh Bin Bāz, Syaikh 'Utsaimin dan juga fatwa Lajnah Daimah.

Dan tidak disebutkan dalam matan bahwasanya termasuk furūdhul wudhū' dari kalangan jumhur selain Syāfi'iyyah adalah:

⑺ MUWĀLAH

Maksudnya adalah seseorang mencuci bagian anggota wudhū' langsung setelah dia selesai mencuci dari anggota wudhū' yang sebelumnya.

Muwālah ini termasuk furūdhul wudhū' di dalam madzhab Malikiyyah dan Hanabilah seta dipilih oleh Syaikh Bin Bāz dan Syaikh 'Utsaimin.

Adapun madzhab Syāfi'īyyah maka muwālah tidak termasuk di dalam rukun wudhū' sehingga tidak disebutkan dalam matan.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla memberikan taufiq kepada kita agar kita dapat beribadah sesuai dengan tuntunan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dan terhindar dari peringatan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam terhadap orang-orang yang tidak menyempurnakan wudhū' nya, yang meremehkan wudhū' nya dan meremehkan thaharahnya.

وصلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه أجمعين
____________

🌍BimbinganIslam.com
Senin, 27 Jumādā Ats-Tsānī 1440 H / 04 Maret 2019 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 16 | Bab Wudhū - Sunnah-Sunnah Di Dalam Berwudhū'
-----------------------------------

SUNNAH-SUNNAH DI DALAM BERWUDHŪ'

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد.

Para Sahabat Bimbingan Islam sekalian yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kali ini kita akan memasuki halaqah yang ke-16. Dan pada halaqah kali ini kita akan membahas tentang "Sunnah-sunnah di dalam berwudhū'."

Para Sahabat sekalian,

Sunnah-sunnah ini adalah penyempurna wudhū' seseorang dan dianjurkan seseorang Muslim untuk menyempurnakan wudhū'nya sebisa mungkin, semampu yang dia bisa lakukan walaupun dalam keadaan yang kurang disukai.

Misalnya:

√ Pada saat musim panas sehingga tidak tersedia kecuali air panas untuk berwudhū'.

Atau sebaliknya,

√ Pada musim dingin tidak tersedia kecuali air yang sangat dingin untuk berwudhū'.

Maka tatkala seseorang menemui kondisi tersebut dan dia tetap menyempurnakan wudhū'nya, maka dia akan mendapatkan keutamaan sebagaimana yang disabdakan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Kata Beliau:

أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ. قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ.

"Rasūlullāh bertanya kepada para shahābatnya:
'Maukah kalian aku tunjukkan pada amalan yang menjadikan Allāh menghapus dosa-dosa kalian dan mengangkat derajat kalian?'

Mereka (para shahābat). menjawab:
'Mau, yā Rasūlullah.'

Maka Beliau bersabda:
'Menyempurnakan wudhū' walaupun pada keadaan yang tidak disukai, memperbanyak langkah menuju masjid, dan menunggu shalat berikutnya sesudah selesai shalat, maka ketahuilah itu adalah ribāth'."
(HR Muslim, Nasāi dan Tirmidzi)

⇒ Ar-Ribāth adalah salah satu amalan dalam jihad yaitu menjaga perbatasan dalam perang.

Oleh karena itu, kita berusaha semaksimal mungkin untuk bisa menyempurnakan wudhū' kita.

Para Sahabat sekalian yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

Penulis mengatakan di dalam matannya:

((وسنته عشرة أشياء))

((Dan sunnah-sunnah di dalam wudhū' ada 10 macam))

■ SUNNAH PERTAMA

((التسمية))

((Dengan mengucapkan Bismillāh))

■ SUNNAH KEDUA

((وغسل الكفين قبل إدخالهما الإناء))

((Mencuci kedua telapak tangan sebelum memasukkannya ke dalam bejana))

■ SUNNAH KETIGA

((والمضمضة والاستنشاق))

((Berkumur-kumur dan juga mengeluarkan air dari hidung))

■ SUNNAH KEEMPAT

((ومسح جميع الرأس))

((Mengusap seluruh kepala))

■ SUNNAH KELIMA

((ومسح الأذنين ظاهرهما وباطنهما بماء جديد))

((Mengusap kedua telinga, baik bagian luar dan juga bagian dalamnya dengan air yang baru))

■ SUNNAH KEENAM

((وتخليل اللحية الكثة))

((Menyela-nyela janggut yang tebal))

⇒ Agar air wudhū' nya merata.

Dalam hadits Anas bin Malik radhiyallāhu Ta'ālā 'anhu:

أَنَّ النبي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ فَخَلَّلَ بِهِ لِحْيَتَهُ

"Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam apabila Beliau berwudhū', Beliau mengambil air setelapak tangan, kemudian memasukkan air ke dalam janggutnya dari bawah dagunya, kemudian menyela-nyela janggutnya."

(Hadits hasan riwayat Abū Dāwūd)

■ SUNNAH KETUJUH

((وتخليل أصابع اليدين والرجلين))

((Menyela-nyela/membasuh di sela-sela jari-jari tangan dan jari-jari kaki))

Dalam hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

إِذَا تَوَضَّأْتَ فَخَلِّلْ الْأَصَابِعَ يَدَيْكَ وَرِجْلَيْكَ

"Apabila kamu berwudhū', maka basuhlah di sela-sela jari tangan dan jari-jari kaki."
(Hadits hasan riwayat Tirmidzi).

■ SUNNAH KEDELAPAN

■ SUNNAH KESEMBILAN

■ SUNNAH KESEPULUH

Yaitu,

((وتقديم اليمنى على اليسرى والطهارة ثلاثا ثلاثا والمولاة))

((Mendahulukan bagian kanan, kemudian mengulang tiga kali dan muwalāt))

⇒ Muwalāt: berkesinambungan antara anggota wudhu' satu kemudian anggota wudhu' yang lainnya telah disebutkan di dalam hadits 'Utsmān yang telah lalu.

Yang terakhir, bahwasanya hendaknya kita berdo'a setelah berwudhū'.

Dalam hadits Muslim, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ أَوْ فَيُسْبِغُ الْوَضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ

"Setiap orang diantara kalian yang berwudhū' dan mencapai puncak atau menyempurnakan wudhū'nya, kemudian berdo'a:

'Asyhadu an lā ilāha illallāh wa anna Muhammadar Rasūlullāh.'

[Aku bersaksi bahwasanya tiada ilah-tidak ada Tuhan-yang berhak disembah selain Allāh dan bahwasanya Nabi Muhammad adalah utusan Allāh Subhānahu wa Ta'āla]

Maka akan dibukakan baginya delapan pintu surga, dan dia bisa masuk dari mana saja pintu yang dia kehendaki."

Demikian.

وصلى الله على نبينا محمد
وآخر دعونا أن الحمد لله رب العلمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
-----------------------------------

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 28 Jumādā Ats-Tsānī 1440 H / 05 Maret 2019 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abu Syujā' | Kitab Thahārah
🔊 Kajian 17 | Bab Istinjā' - Hukum dan Adab Istinja'
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

HUKUM DAN ADAB ISTINJĀ'

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد.

Para Sahabat sekalian rahīmakumullāh, kita memasuki halaqah ke-17 dan akan membahas tentang Istinjā'.

Dijelaskan oleh para ulama;

الِاسْتِنْجَاءَ إزَالَةُ مَا يَخْرُجُ مِنَ السَّبِيلَيْنِ ، سَوَاءٌ بِالْغَسْلِ أَوِ الْمَسْحِ بِالْحِجَارَةِ وَنَحْوِهَا عَنْ مَوْضِعِ الْخُرُوجِ وَمَا قَرُبَ مِنْهُ

"Istinjā' adalah proses menghilangkan apa saja yang keluar dari qubul maupun dubur baik dengan cara dicuci ataupun diusap dengan batu atau semisalnya di tempat keluarnya atau sekitarnya."

Di dalam pembahasan matan Abū Syujā', kita akan bagi menjadi beberapa point ;

● PERTAMA

((والاستنجاء واجب من البول والغائط))

((Istinjā' hukumnya wajib baik untuk buang air kecil maupun buang air besar))

Ini adalah pendapat Syāfi'iyyah dan jumhur (mayoritas) para ulama.

Dalil:
• Hadits ⑴

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: وليستنج بثلاثة أحجار ( رواه البيهقي)

Dari Abū Hurairah radhiyallāhu 'anhu mengatakan: Bersabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam: "Hendaknya dia beristinjā' dengan 3 buah batu." (HR Bayhaqi)

Hadits ini adalah perintah dan perintah hukumnya adalah WAJIB.

• Hadīts ⑵

عن عائشةَ رضي الله عنها أنَّ النبيَّ صلَّى الله عليه وسلَّم قال: إذا ذهب أحدُكم إلى الغائطِ فليذهبْ معه بثلاثة أحجارٍ يَستطيب بهنَّ؛ فإنَّها تُجزئ عنه (رواه أبو داود و إبن ماجه)

Dari 'Āisyah radhiyallāhu 'anhā, bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: "Apabila salah seorang dari kalian pergi ke tempat buang air maka hendaklah dia membawa 3 buah batu untuk digunakan dalam membersihkan, maka itu cukup." (HR. Abū Dāwūd dan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih)

• Hadīts ⑶

Hadits ini menunjukkan seseorang bisa diadzab dikuburnya karena dia tidak bersuci.

عَنْ ابن عبَّاسٍ رَضِيَ اللَّـهُ عَنْهُمَا قَالَ: "مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّـهُ عَلَيْهِ سَلَّمَ بِقَبْرينِ فَقَالَ: ((إِنِّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنَ الْبَوْلِ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ)) رواه البخاري

Dari Ibnu 'Abbās radhiyallāhu 'anhumā berkata: "Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berjalan melewati kuburan dan mengatakan: 'Kedua penghuni kubur ini sedang disiksa dan mereka disiksa disebabkan sesuatu yang tidak dianggap besar. Adapun salah satunya karena tidak bersuci dari buang air kecilnya dan yang lain karena dia mengadu domba di antara manusia'." (HR. Bukhāri)

● KEDUA

((والأفضل أن يستنجي بالأحجار ثم يتبعها بالماء))

((Dan yang paling afdhal adalah beristinjā' dengan menggunakan batu kemudian dilanjutkan dibersihkan dengan air))

((ويجوز أن يقتصر على الماء أو على ثلاثة أحجار ينقي بهن المحل))

((Dan diperbolehkan istinjā' hanya dengan menggunakan air atau 3 buah batu yang bisa membersihkan tempat keluarnya kotoran tersebut))

((فإذا أراد الاقتصار على أحدهما فالماء أفضل))

((Apabila ingin mencukupkan dengan salah satunya maka penggunaan air lebih afdhal))

Para Sahabat sekalian,

√ Boleh seseorang beristinjā' dengan menggunakan 3 buah batu atau 1 buah batu yang memiliki 3 sisi yang (semua sisinya) bisa dipakai untuk beristinjā'.

√ Jika pada usapan yang ketiga sudah bersih maka sudah cukup.

√ Apabila belum bersih maka bisa ditambah lagi dengan batu berikutnya sampai bersih.

√ Disunnahkan jumlah keseluruhan dari batu adalah ganjil.

√ Boleh menggunakan batu atau yang semakna dengan batu tersebut, dengan syarat benda tersebut:

⑴ Suci (tidak boleh benda najis).
⑵ Dapat menghilangkan najis dan kering.
⑶ Bukan benda yang dihormati, seperti tulang, roti (makanan) dan lain-lain.

● KETIGA

((ويجتنب استقبال القبلة واستدبارها في الصحراء))

((Dan hendaknya dijauhi manakala beristinjā' di padang pasir atau tempat terbuka dengan menghadap atau membelakangi kiblat))

Dalil :

عن أبى ايوب الأنصاريِّ رضي الله عنه ان النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذا أتيتم الغائط فلا تستقبلوا القبلة ولا تستدبروها ببول ولا غائط ولكن شرقوا أو غربوا (رواه البخاري و مسلم)

Dari Abū Ayyub Al-Anshāriy radhiyallāhu 'anhu, bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: "Apabila kalian mendatangi tempat untuk buang air maka janganlah buang air kecil ataupun buang air besar dengan menghadap kiblat, akan tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat." (HR. Bukhāri Muslim)

⇒ Karena di tempat itu, menghadap atau membelakangi kiblat adalah ke arah utara atau ke selatan. Oleh karena itu kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam; menghadaplah ke timur atau ke barat (yang dia tidak menghadap atau membelakangi kiblat)

Dan ini adalah permasalahan buang air di tempat yang terbuka, seperti di padang pasir, lapangan atau tempat yang lainnya.

Namun apabila buang air di dalam bangunan maka para ulama berbeda pendapat ;

√ Ada yang mengatakan hadits tersebut hukumnya umum, meliputi di dalam bangunan ataupun diluar bangunan, baik di tempat tertutup ataupun tempat yang terbuka.

√ Pendapat Imam An-Nawawī bahwasanya beliau memperbolehkan menghadap kiblat atau membelakanginya apabila ditutup dengan penutup setinggi minimal 3 dzirā' (3 lengan). Namun tetap disunnahkan untuk menghadap ke arah selain kiblat walaupun di tempat tertutup atau di dalam bangunan.

● KEEMPAT

((ويجتنب البول والغائط في الماء الراكد وتحت الشجرة المثمرة وفي الطريق والظل والثقب))

((Dan menghindari buang air kecil atau buang air besar di dalam air yang tidak bergerak, di bawah pohon yang berbuah, di jalanan, di tempat teduh dan di lubang-lubang))

Dalil:
• Hadīts ⑴

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: (( لا يَبُولَنَّ أَحَدُكُم في الماءِ الدائمِ الذي لا يَجْرِي)) رواه الخمسة

Dari Abū Hurairah radhiyallāhu 'anhu berkata: Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda, "Janganlah kalian buang air kecil di air yang diam yang dia tidak bergerak." (HR. Al-Khamsah/Imam yang lima)

Berkata Imām Ar-Rāfi Asy-Syāfi'i (salah seorang ulama Syāfi'iyyah) bahwa larangan tersebut meliputi baik air dengan volume yang sedikit maupun volume yang banyak karena akan mengotori dan menajisi air tersebut.

• Hadīts ⑵

اِتَّقُوا اللَّاعِنَيْنِ. قَالُوا: وَمَا اللَّاعِنَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ وَ ظِلِّهِمْ (رواه أبوا داود و مسلم)

"Hati-hatilah terhadap 2 orang yang dilaknat." Para shahābat bertanya: "Apa itu 2 orang yang terlaknat, ya Rasūlullāh?". "Yaitu orang-orang yang buang air di jalanan umum (jalanan yang dilalui oleh orang-orang) dan di tempat mereka berteduh." (HR Abū Dāwūd dan Muslim)

⇒ Maksudnya adalah perbuatan yang menyebabkan seseorang dilaknat oleh manusia.
⇒ Karena hal ini akan mengganggu orang-orang sehingga mereka akan melaknat orang yang buang air di jalan tersebut.

• Hadīts ⑶

عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَرْجِسَ، «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُبَالَ فِي الْجُحْرِ»، قَالُوا لِقَتَادَةَ: مَا يُكْرَهُ مِنَ الْبَوْلِ فِي الْجُحْرِ؟ قَالَ: كَانَ يُقَالُ إِنَّهَا مَسَاكِنُ الْجِنِّ (رواه أبوداود والنسائي)

Dari Qatādah dari 'Abdillāh Ibnu Sarjas, bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melarang untuk buang air kecil di lubang-lubang. Maka merekapun berkata kepada Qatādah, "Kenapa dilarang untuk buang air kecil di lubang-lubang?" Qatādah berkata, "Karena itulah tempat tinggalnya jin." (HR Nasāī dan Abū Dāwūd)

● KELIMA

قال المصنف:
((ولا يتكلم على البول))

((Dan tidak berbicara pada saat buang air kecil ataupun buang air besar))

Dalil :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ مَرَّ رَجُلٌ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَبُولُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ (رواه الخمسة)

Dari Ibnu 'Umar radhiyallāhu 'anhumā berkata: "Seseorang melewati Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dan Beliau sedang buang air kecil, kemudian diapun memberikan salam kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam namun Beliau tidak menjawab salam tersebut." (HR Imam yang lima)

● KEENAM

((ولا يستقبل الشمس والقمر ولا يستدبرهما))

((Dan tidak menghadap matahari atau rembulan dan tidak pula membelakanginya))

Namun dasar yang digunakan pada point ini adalah hadits yang dha'īf dan lemah. Oleh karena itu Imam An-Nawawī mengatakan tentang hadits yang digunakan dalam point 6 ini: "Hadits ini bathil dan tidak diketahui."

● KETUJUH

قال المصنف:
((ولا يستنج بيمينه))

((Dan janganlah beristinjā' dengan tangan kanannya))

Dalil : Hadits Salmān

عَنْ سَلْمَانَ رضي الله عنه قَالَ: «نَهَانَا رَسُولُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ، أَوْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ، أَوْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثةِ أَحْجَارٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ عَظْمٍ» رواه المسلم

Dari Salmān radhiyallāhu 'anhu berkata: "Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melarang kami untuk menghadap kiblat pada saat buang air besar ataupun kecil, begitupula melarang beristinjā' dengan tangan kanan atau beristinjā' dengan kurang dari 3 buah batu atau beristinjā' dengan kotoran atau tulang." (HR Muslim)

Demikian pembahasan kita kali ini.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
----------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar